Kebimbangan Hati Adalia




“Aku mau denger pendapat Mas Tommy. Itu aja, Mas.. Aku siap disuruh dan dilarang. Sebagai istri aku ngikut aja kata Mas Tommy.”

Keheningan merayap di antara Adalia dan suaminya, Tommy Pradana. Tommy melirik ke istrinya yang sedang menunduk.

Kaca-kaca sudah hendak luruh dari kedua mata Adalia. Tommy menyentuh pundak istrinya, tersenyum penuh pengertian.

“Mas justru ingin dengar gimana pendapat Dal… Mas sebagai suami-nya Dal ga mungkin memutuskan untuk melarang dan menyuruh Adalia bekerja begitu saja… Ini akan jadi keputusan besar dalam keluarga kecil kita, Sayang…”

Adalia mengusap matanya yang mulai menangis. Suaminya memang selalu pengertian. Selalu. Adalia berusaha meyakinkan hati untuk mengutarakan kalimat-kalimat penjelasannya.

Adalia menjadi teringat pertemuannya dengan Tommy saat ia lulus kuliah S2 profesi Psikolog Pendidikan. Ibunya mengenalkannya dengan Tommy.

Kenalannya sepupu jauh Ibu, begitu Ibu memperkenalkan Tommy. Ibu meyakinkan Adalia bahwa Tommy adalah lelaki baik.

Dan memang kenyataannya betul adanya, Tommy adalah lelaki yang baik. Tepat satu tahun kemudian Adalia resmi dipersunting oleh Tommy.

“Huwaaaa!!Huhu!!Huwaaaa! Huhuhuhu!”

Suara jeritan tangis Iswa membelah keheningan di antara Adalia dan Tommy. Adalia buru-buru berlari ke kamar Iswa, putri keduanya yang berusia satu tahun.

Iswa menangis keras sekali sambil menghentakkan kedua kakinya. Adalia segera menutup pintu dan merebahkan diri di samping Iswa. Rutinitas menyusui Iswa diawali Adalia dengan mengucap bismillah terlebih dahulu.

Iswa, bayi menggemaskan yang berambut keriting menyusu dengan semangat. Adalia tersenyum. Bayi itu tidak pernah gagal menyemangati ibunya yang sedang merasakan kegalauan.

Adalia mengusap-usap pipi Iswa. Bayi satu tahun ini begitu montok sekali, pikir Adalia. Ini adalah sebuah nikmat yang patut kusyukuri.

Adalia pun tidak lama kemudian ikut terlelap di sebelah Iswa.

***

Sinar matahari pagi menyusup dari jendela-jendela depan ke dalam ruang tamu. Situasi pukul 6 pagi di rumah Adalia sudah mencapai titik puncaknya.

Tommy sudah bersiap-siap berangkat ke tempat kerjanya. Adalia menyusun bekal Suna, putra sulungnya. Sebentar lagi jemputan sekolah Suna akan segera tiba, Adalia harus cepat-cepat membereskan kotak makan Suna.

“Hoeek. Hoeekkk..”

“Aduuuuh, Iswaaa. Kenapa dimakan? Ini potongan apel untuk dibawa Kakak Suna ke sekolahnya. Terlalu besar kalau dimakan kamu, Sayangku.”

Adalia membereskan muntahan Iswa di lantai. Tommy menghampirinya dan mengesun pipi Adalia.

“Aku pergi dulu ya Dal. Anak-anak! Papa berangkat dulu, oke? Suna, baik-baik di sekolah, okey? Iswa, baik-baik sama Mama ya di rumah. Assalamualaikum!”

Klap.

Pintu depan tertutup kembali setelah Tommy berlalu. Suara motor Tommy terdengar menjauh. Adalia menatap Suna. Sebentar lagi harusnya mobil jemputan Suna akan datang.

“Ayo, Suna. Sini Mama anter ya Suna ke depan. “ Adalia membopong Iswa dalam gendongannya. Suna diam saja masih asyik dengan lego dan mainan mobil-mobilannya.

“Sunaa.. Ayo, Nak. Nanti mobil jemputannya sebentar lagi dateng lhoooo..”

“Bremmm.bremmmm! Mobil meluncuuuuuuur”

“Sunaaa…”

“Bremmmmm…bremmmmmm!!!!”

“SUNA! AYO, KE SINI! KAMU DENGER, GA SIH?” Adalia berteriak kepada Suna sambil menjewer kupingnya.

“Huwaa! Mamaaaaaaa. Huhuhuhu….”

Adalia terduduk di hadapan Suna yang menangis. Kepalanya terasa cenat-cenut. Iswa menatapnya melongo. Suara klaksom mobil jemputan Suna di depan rumah Adalia sudah terdengar.

Adalia ingin bekerja. Adalia ingin melakukan ritme kehidupan ibu bekerja. Adalia rindu kembali menjadi konselor di sekolah.

Adalia benci jadi ibu rumah tangga.

***

Siang hari suasana di rumah Adalia sudah lebih baik. Suna masih di sekolah. Iswa sudah tertidur. Adalia bisa membuka laptopnya untuk melihat kembali pengumuman lowongan pekerjaan itu.

Konselor sekolah.

Sebuah pekerjaan yang memang adalah pekerjaan Adalia sejak dulu sebelum dia menikah dengan Tommy.

Adalia pun teringat atas keinginannya bekerja sejak Suna baru lahir 6 tahun yang lalu. Waktu itu Tommy mengizinkan dengan syarat ada yang bersedia menjaga Suna.

Ah, waktu berlalu begitu cepat.

Iswa lahir setahun yang lalu. Dan Adalia belum juga bekerja. Ia masih setia menjadi seorang ibu rumah tangga.

Rumah Adalia terasa sepi saat pagi hari seperti ini. Suna baru pulang jam 12 siang nanti. Iswa memiliki jadwal tidur pagi yang cukup panjang.

Di hadapan laptopnya Adalia mengetik beberapa dokumen penunjang pendaftaran kerjanya. Adalia serius kali ini.

Ia akan kembali ke dunia pekerjaan. Adalia akan melamar lowongan pekerjaan itu

***

Matahari sore menyinari perumahan kecil di mana Adalia tinggal. Suna sedang bermain sepeda dengan teman-temannya. Adalia menyirami tanaman di halaman rumahnya sambil memperhatikan Suna.

Perumahan itu memang hanya terisi oleh 7 rumah. Lokasinya yang strategis dekat dengan stasiun kereta membuat Tommy dan Adalia jatuh hati untuk membeli rumah di sana.

Tommy biasanya pulang jam 7 malam. Adalia sudah tidak sabar untuk memberitahukan rencananya melamar pekerjaan.

“Bruak!!!!!!”

Suna tergeletak di jalan. Sebuah mobil menabrak Suna yang sedang berhenti bersama sepedanya. Adalia mematung sepersekian detik untuk kemudian berlari ke arah Suna dengan sekencang-kencangnya.

“SUNA!!!!!!!”

***

Tommy dan Adalia terdiam berdua menunggu dokter menyelamatkan Suna. Mobil itu ternyata milik pasangan saudara dari tetangga Adalia yang baru saja tiba dari luar kota.

Suna tertabrak karena mereka belum begitu hafal kebiasaan setiap sore di perumahan yaitu di mana anak-anak berlarian ke sana kemari seperti tadi sore.

“Mas, aku sudah memutuskan untuk ga jadi melamar pekerjaan. Aku takut ini sebuah pertanda untukku tetap di rumah.”

Tommy menengok menatap istrinya. Tommy pun meraih tangan istrinya. Sembari menggenggam tangan Adalia, Tommy hanya tersenyum menenangkan istrinya itu.

“Mas ga ingin kamu membatalkan rencana kembali bekerja hanya gara-gara insiden ini, Dal. Mas tau betul kamu merasa bersalah, tapi kecelakaan Suna ini bukan salah kamu.”

Adalia terisak. Dia tidak bisa lagi menahan rasa sesak di dalam dadanya. Ingin sekali dia memutar kembali waktu dan menjaga Suna lebih baik lagi.

Kini gara-gara salahnya Suna terbaring mendapatkan perawatan dan masih tidak sadarkan diri. Adalia menarik tangannya dari genggaman Tommy.

Peristiwa ini adalah kesalahan Adalia. Dia tidak bisa menjaga Suna dengan baik.

***
Adalia menggenggam tangan Suna yang terlelap di hadapannya. Fase kritis Suna sudah terlewati dengan baik.

Kini Suna masih terlelap tidur akibat pengaruh obat. Adalia mengelus tangan Suna yang terpasang infus.

Betapa tega rencana Adalia untuk meninggalkan anak-anaknya dan bekerja. Sudah dia putuskan, lowongan konselor sekolah itu akan dia lepaskan.

Anak-anaknya terlalu berharga dibandingkan lowongan pekerjaan manapun.

 “Mama,,,”

Suara lirih Suna menyadarkan Adalia dari pikirannya sendiri.

“Ya, sayang? Ini Mama, Nak. Suna di sini sama Mama. Suna yang sabar ya Sayang. Maafin Mama ya, Nak. Mama sayang sekali sama Suna, Nak. Suna sama Mama sekarang. Mama ada buat kamu, Nak…“

Adalia meyakinkan dirinya bahwa tidak pernah akan dia kembali ke pekerjaannya. Selama-lamanya dia akan berada di sisi anak-anaknya.

**

Matahari pagi menyinari setiap sisi-sisi rumah Adalia. Hari Minggu seperti ini adalah waktunya Tommy mengajak Suna dan Iswa berjalan-jalan di sekitar lingkungan komplek rumah mereka.

Adalia begitu menikmati suasana hari Minggu pagi ini. Sambil duduk di teras rumahnya, Adalia menyesap teh manis hangat yang baru saja dia buat sendiri.

Beberapa tukang jualan melintas di depan rumah Adalia. Suara khas masing-masing tukang membuai Adalia.

Sambil bersantai, Adalia membuka ponselnya untuk mengecek pesan yang masuk. Tadi malam dia sedang memantau rencana ibu-ibu komplek yang sedang berdiskusi di grup untuk acara jalan-jalan mereka.

Sebuah pesan pribadi masuk dari grup kampus Adalia

“URGENT! Dibutuhkan konselor sekolah untuk SD Citra Amatika, Jl. Pemuda Depok Lama. Cp : Nur 0812-5678-7767”

Adalia termangu demi membaca deretan kalimat tersebut. Jalan Pemuda? Itu hanya berjarak satu kilometer dari rumah Adalia. Cukup dekat untuk sebuah jarak lokasi pekerjaan.

“Mama! Mama! Lihat! Suna beli ikan, Ma! Ayo, Ma! Kita pelihara ikan, Ma! Ma, lihat Ma, Suna bawa ikan!Mama, lihat ke sini dong, Maa”. Suara rengekan Suna yang baru saja kembali dari jalan-jalan bertiga menyadarkan Adalia.

Kerja, jangan, kerja, jangan, kerja, jangan, kerja, jangan, kerja, jangan.……..

-The End-


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Kebimbangan Hati Adalia"

Comment