Kereta Silaturahim

 orange train between fall trees

I

Hai! Hallo! Pada minggu lalu saya dan suami berhasil melajukan kereta silaturahim kami… Senang banget rasanya bisa melakukannya. Kenapa dan apa sih kereta silaturahim?

Itu sebetulnya mah cuman kreativitas saya saja. Kereta silaturahim, dua kata yang saya gabungkan. Kerena karena gerbongnya ada banyak, alias tidak satu pihak saja yang kami kunjungi. Silaturahim karena kami keluar rumah dan mengunjungi sanak saudara, that’s why kami menyebutnya silaturahim.

Btw saya pernah baca kalau silaturahim itu memang diprioritaskan untuk sanak saudara dengan pertalian darah. Kalau untuk rekan sahabat kawan itu apa dong namanya, bukan silaturahim tapi saya lupa euy namanya apa. Hehehehe.

Agenda silaturahim ini memang salah satu yang saya rencanakan di dalam buku agenda milik saya. Sejak bulan Desember, hmm, bulan November bahkan saya sudah merencanakan, memilih, dan menuliskan apa saja kegiatan yang hendak saya lakukan harian, mingguan, bulanan, dalam tahun 2021 ini.

Kalau tidak terlaksana gimana Dey? Ya ga gimana-gimana. Wkwkwk

Masih ada yang luput dari perncanaan ga Dey? Ya masih ada aja sih pastinya….

Tapi merencanakan kegiatan di dalam kehidupan kita sebetulnya dianjurkan di dalam ajaran agama Islam juga sih…. Ya memang teknisnya diserahkan kepada masing-masing pribadi.

Tapi adanya sholat wajib 5 waktu saja sudah sebuah pengingat bahwa di dalam kehidupan kita Allah menerapkan “kandang waktu-kandang waktu”.

Wah, another istilah baru. Apa sih kandang waktu itu, Dey? Ya waktu yang dikandangin, muehehe. Jadi sebuah range waktu di mana kita memfokuskan waktu untuk sebuah kegiatan dengan tujuan tertentu.

Kegiatan sholat lima waktu di dalam ajaran Islam sendiri merupakan kandang waktu dari Allah sih menurut saya….

Jadi waktu ga dibiarin blassss gitu aja, mengalir, go with the flow, karena kalau begitu bisa-bisa waktu kita habis buat hal tidak berfaedah. Huuuu. Tapi tapi boleh ga Dey sesekali melakukan hal tidak berfaedah?

Buat istirahat mah boleh….. (asal tau kapan get up alias mulai lagi yak)

Okeh kembali lagi ke topik kereta silaturahim ya…..

 

II

 

Jadi ceritanya adik ibu saya sedang berkunjung ke kota tempat saya tinggal. Saya pun alhamdulillah lagi semangat dan keingetan untuk mengajak silaturahim bareng suami dan anak-anak.

Bukan apa-apa, geng. Kadang-kadang semangat aja ga ada buat silaturahim tuh yah, huuu. Bayangin ribetnya silaturahim di tengah pandemi gini coba deh….

Mulai dari masker tidak pernah dilepas, selalu bawa hand sanitizer, ganti baju plus mandi sepulang dari silaturahim, dan deg-degan bercampur was-was saat keesokan harinya apakah kita menulari atau tertulari dari silaturahim itu.

Oh. OH MY GOD…..

Memang pandemi ini selain mengancam kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental yah, heuuu. Sungguh tak terkira beratnya pandemi ini bagi yang memiliki kerentanan kesehatan mental, huuuu.

Okey kembali ke topik inti kita.

Akhirnya saya memberanikan diri mengusung ide silaturahim menemui keluarga adik ibu saya tersebut. Alhamdulillahnya suami saya menyetujui dan merencanakan semuanya secara mendetail (as always)

Di dalam lubuk hati saya terdalam, saya selalu tau, selalu paham, selalu bersyukur Allah menjodohkan saya dengan orang seperfeksionis ini dalam perencanaan apapun, sungguh berbeda dengan istrinya yang sering random abstrak dan ngalay ini, mu3h3h3h3 *salim sama suami*

Nah, tiba-tiba saya teringat bahwa bertepatan nih…. Suami saya kan habis payday, dan saya sebetulnya punya rencana bulanan untuk berkunjung ke mertua di planet lain (baca:Bekasi) sehabis payday.

Bukan, bukan karena apa-apa, simply karena jajan anak-anak saya bolak-balik perjalanan bisa setengah juta sendiri sih, huks-huks-huks. Padahal mah bilang aja jajan orangtuanya tuh, hahaha

Okeh kata suami saya. Mari kita juga ke Bekasi! Sehabis dari adik ibu saya lalu ke Bekasi? Wah, wah, benar-benar kereta silaturahim, tuuut-tuuuutttt-tuuuuutttt

Eh, eh sebentar kata suami saya. Kenapa-kenapa ada apa, kata saya. Suami saya baru teringat bahwa dia mendapatkan undangan pernikahan dari adik kelas kami di kampus psikologi. Dan kebetulan pasangan ini keduanya kami kenal baik banget.

Pasangan sesama anak psikologi, cieee-cieeee-cieeee.

Lalu saya pun mulai menggodai suami saya untuk tidak usah menghadiri undangan pernikahan itu dan langsung skip ke planet kediaman orangtuanya saja langsung (baca:Bekasi) sehabis dari adik ibu saya, eh ternyata oh ternyata…

Suami saya bilang bahwa dia ingin mendatangi acara pernikahan itu juga. Well, okay.

Saya dan suami pun malam Sabtu itu sibuk merencanakan semua kegiatan dnegan presisi, karena ini akan memabwa anak-anak juga. Alhamdulillah semua sudah direncanakan, marilah kita silaturahim dengan keluarga dan menyempatkan memenuhi undangan pernikahan, begitu kata suami saya.

Siap, Captain, begitu kata saya semangat. Dalam berumah-tangga memanglah butuh diskusi sehat dan dialog saling memahami tetapi suami adalah sebenar-benarnya captain, sosok yang memutuskan keputusan akhir, melaksanakannya, membimbing dan mengayomi dan memeluki, oke kepanjangaaaan, Dey~

Hahaha.

Akhirnya hari Sabtu tiba.....

 

III

 

Sebuah hari yang biasanya saya dan keluarga agak bersantai di pagi hari menjadi sebuah tantangan… Yep, tantangan menyiapkan anak-anak sebelum berangkat silaturahim misalnya….

Well well tebak siapa yang sudah lama tidak bertemu dengan orang lain? Yep, anak-anak saya adalah jawabannya.

Ketika bertemu dengan keluarga tante saya, anak-anak saya mengkeret terdiam. Bahkan si kecil benar-benar terdiam tidak bergerak.

Adduhhh.

Kami, saya lebih tepatnya, lupa bahwa anak-anak kami ini nyaris semakin tidak kemana-mana dan tidak bertemu selain orangtuanya (dan neneknya)

Benar-benar sebuah tantangan. Alhamdulillah si kecil tidak tantrum, hanya tidak bergerak, benar-benar menundukkan wajah seolah ingin punya kekuatna untuk menyublim alias menghilang dari ruangan itu.

Pofff!

Alhamdulillahnya si kakak menikmati bertemu keluarga tante saya dan bahkan mendapatkan teman seumuran. Saya dan suami saya langsung bertatapan sambil mengedip penuh makna, ya Allah, anak-anak kami benar-benar kami kurung atas nama pandemi sehingga begitu bahagia saat bertemu teman seumurannya.

Sad :’(( so saddd, really really saddd.

Tapi sungguh sepadan, semua ikhtiat kami ini kami lakukan karena ingin berikhtiar sekuat-kuatnya melindungi. Bukan begitu, Dey? Yep, that’s so trueee.

Ketika bertemu dengan keluarga tante saya itupun saya sekeluarga tidak melepas masker sama sekali. Dan benar-benar mengingatkan anak-anak untuk tetap memakai masker mereka.

Oh oh oh.

Alhamdulillah satu gerbong berjalan sukses : bertemu keluarga adik dari ibu saya tercinta. Alhamdulillah. Kami pun segera menatap gerbong silaturahim selanjutnya: memenuhi undangan pernikahan adik kelas tersayang.

Ketika mempersiapkan untuk pergi (lagi) saya tersadar bahwa ketahanan fisik anak-anak berbeda dengan orang dewasa… Bagaimana bisa saya sampai terlupa? Saya menyarankan bagaimana kalau suami saja yang pergi....

 

IV

 

Saya dan anak-anak menunggu di rumah. Lalu nanti setelah suami pulang kami pergi bersama meluncur menuju planet Bekasi…

Suami saya menyetujuinya. Lagipula cuaca Sabtu pada hari itu begitu terik membara. Terik yang menyengat. Saya tidak yakin apakah anak-anak akan tidak rewel di lokasi resepsi pernikahan dengan masker terpasang dan cuaca seperti itu.

Hmm, baiklah. Suami saya pun pergi memenuhi undangan pernikahan itu. Tidak lupa saya menitipkan salam, karena keduanya adalah adik kelas di psikologi yang saya kenal baik.

Tiga jam kemudian suami saya pulang dalam keadaan bersyukur anak-anak tidak ikut dengannya. Mengapa? Karena jalanan bgitu padat, semua orang seolah berlomba keluar rumah. Karena habis payday sepertinya, tebak suami saya.

Kami pun mempersiapkan untuk pergi ke rumah orangtua suami saya….

Semua perbekalan siap, anak-anak kami mandikan (lagi), kami brifing (lagi) soal masker dan hal-hal lain. Saya juga berdoa semoga anak-anak saya tidak buang air besar di perjalanan.

Oh believe me, itu adalah sesuatu yang tidak kau inginkan terjadi di dalam perjalanan, huweee~

Singkat cerita kami berhasil mendarat di planet Bekasi tercinta…. 

 

V

Anak-anak begitu berbahagia bertemu granma granpa-nya. Kami pun bersiap tidur dengan perasaan bahagia. Saat itu saya baru menyadari sesuatu.

Bekasi sangat panas sekali.

I mean panas ngelekep gitu loh huhuhuhu. Qadarullah kebagian kamar yang non-AC, dan kipas sudah disediakan, tapi oh why Bekasi begitu panas sekali di malam itu sampai saya baru bisa tertidur pukul 12 tepat.

Tengg. Kalau Cinderella jam 12 teng langsung pulang, kalau saya baru bobok, wkwkwk. Tetapi oh tetapi anak-anak saya tiba-tiba terbangun pukul 2.

Yep, dua jam saja dari waktu saya baru bisa tertidur. Suami saya begitu inisiatif mengaak anak-anak saya mandi untuk meredakan haaw panas yang begitu ngelekep. Setelah itu pintu kami buka agar udara malam hari meredakan sejenak hawa panas dan tertidurlah anak-anak kami kembali.

Fyuh. Fyuh-fyuuhh.

Saya benar-benar tidak menyangka sekali Bekasi sepanas itu lho…. Ini bukan mendiskreditkan atau gimana ya. Ya Allah beneran nggak deh. Tapi saya seheran itu lho dengan hawa panas Bekasi. Huhu.

Kota saya Depok juga panas, oh really, tapi tidak sepanas ituuuu. Oh crap ini pastilah semata kemanjaan saja karena di rumah kami ber-AC. Huks-huks-huks

Alhamdulillah itu membuat saya bersyukur tentang keberadaan AC. Seringnya menganggap biasa saja, kan? Tapi ketika terlibat hawa panas Bekasi, pikiran saya langsung merindukan AC itu.

Huuu dasaarrrr

Alhamdulillah tapi tetap alhamdulillah sangat alhamdulillah bisa menginap di kediaman mertua saya ini. Total sejak Maret 2020 pandemi meletus baru dua kali bertemu. Satu kali mertua saya menginap di Depok rumah saya setelah rapid test dari bandara, kedua kalinya ya di bulan Maret ini saya menginap.

Memang sih tanpa rapid, tapi benar-benar memastikan sehat, tidak kemana-mana, dan bermasker selalu.

Sepulang dari Bekasi pun saya harap-harap khawatir mertua saya sakit atau kenapa-kenapa. Duh jangan sampai jangan sampai, begitu doa saya. Huhuhu.

Alhamdulillahnya tidak terjadi suatu apapun… alhamdulillah kami sehat..

Saya pun berniat sejauh mungkin memberi jarak pada kunjungan kami berikutnya dan sepasti mungkin memastikan semua orang dalam keadaan sehat.

Yep, se-ketat itu kami meskipun “hanya” ke Bekasi, tapi menurut saya di tengah pandemi begini semua harus ekstra berhati-hati…

Ketika kita merindukan sanak saudara, kita lebih wajib merindukan bisa bertemu mereka dalam kondisi sehat wal afiat. Makanya saya deg-degan juga ketika memutuskan untuk menginap. Benar-benar penuh pertimbangan A-Z, memastikan sehat wal afiat, tidak ada gejala atau kontak ke luar rumah sebelumnya.

Ya Allah begini-begini amat yah, huhuhu. Tapi tetap saja alhamdulillah.. Alhamdulillah orangtua dan mertua saya sehat wal afiat.

Itu adalah sebuah hal yang patut saya alhamdulillahi setiap saat banget sih, itulah mengapa sepulang dari Bekasi kami pun menyempatkan mengunjungi ayah saya

 

VI

 

Toh kediamannya terletak di antara Bekasi dan Depok sehingga otomatis kami pun akan melintasi kediamannya saat pulang

Dan itulah gerbong silaturahim kami yang terakhir : mengunjungi ayah saya tercinta

Oh, my inner child, sini aku peluuukk

:’)

Saya langsung memeluk sosok ayah saya saat bertemu dengannya. Para tetangga ayah saya melirik seolah kaget dan membaca adegan super jarang ini. Saya mengirimkan sinyal, “Yep I’m his daughter, honestly you can stare us as long as you want and I won’t fucking really care because I’m so happy to be here”

Hueeeee

Saya pun bercengkrama, lebih tepatnya menyimak kalimat demi kalimat dari ayah saya. Beliau tuh memang suka sekali bercerita….

Pada dasarnya dia menceritakan semua bacaan, tontonan, pikiran, dan dugaan dalam satu waktu bersamaan. Mata saya mengembun, ada kaca-kaca siap meluncur, saya begitu merindukannya sampai ketika berhadapan dengannya saya sudah siap menangis sekuat tenaga.

Tapi saya menenangkan inner child saya, puk-puk begitu saya menenangkannya….

Saya pun menyimak sosok ayah saya dalam menceritakan segala yang dia ketahui. Sementara itu suami saya meng-handle kedua anak kami yang sudah kelojotan salah tingkah rewel karena lelah kerta silaturahim ini tidak kunjung selesai dari kemarin.

Oh shit kata saya, saya masih ingin bercengkrama dengan ayah saya… Kalau bisa satu jam tidaklah cukup, saya ingin dua jam, saya ingin dua puluh tiga jam bersama ayah saya, mengabaikan semua kandang waktu, semua penunjuk waktu, saya ingin menghabiskan waktu bersama ayah saya selama mungkin

Lalu saat itulah saya tersadar

Saya tidak mungkin melakukannya.

Nope, saya tidak bisa melakukannya.

Saya harus kembali ke dunia saya. Saya pun merapihkan situasi hati saya yang berantakan, mengembalikan semua pusaran emosi ke tempatnya masing-masing. Lalu menganalisis kondisi kerewelan anak-anak saya.

Saya pun pamit kepada ayah saya, sambil memohon maaf baru sebentar harus pamit karena situasi dan kondisi anak-anak saya sudah tidak memungkinkan.

Ayah saya pun memaklumi, oh jangan memaklumi kata saya, bisakah sesekali dirinya tidak memaklumi siapapun lalu memperjuangkan anak-anaknya?

Crap, shit, kata saya, inner child saya berusaha mengambil alih ruang kendali otak. Saya langsung mengambil tas, membereskan kekacauan yang ditinggalkan anak-anak saya lalu pamit sebenar-benarnya pamit kepada ayah saya.

Ditunggu di Depok ya Pak, kata saya kepadanya. Saya peluk erat sosok tinggi berbadan besar itu dengan segenap cinta yang saya miliki.

Saya mencintainya. Saya ingin dia tau saya mencintainya. Saya ingin dia yakin saya mencintainya. Oh tapi mengapa waktu seolah tidak pernah cukup?

Mengapa waktu seolah tidak pernah memberikan kesempatan saya untuk menciptakan berbagai memori dengan ayah saya?

Saya langsung ingin memukuli diri saya di saat itu juga…..

Saya tau setiap perjumpaan dengan ayah saya akan memabwa kerentanan emosional, tapi sungguh saya seperti meminum air lautan saat berjumpa dengannya, tidak pernah puas, takkan puas selama-lamanya

Because you love him so bad, Dey, and that’s really really okay, nothing wrong with loving your father…

Maybe it’s wrong because he disappear from your life since you’re teenage. :’( nope, it is not wrong because you didn’t know the truest history….

Saya pun pulang ke rumah dengan perasaan campur-campur. Di satu sisi saya senang sekali kereta silaturahim sukses betul terlaksana.

Tetapi di sisi lain saya begitu jungkir-balik karena berjumpa dengan ayah saya. Seolah saya tidak cukup kata dan kalimat untuk mengungkapkan betapa saya ingin lebih lama dengannya.

Huks.

Huwaaaa

Saya pun langsung berubah clingy kepada suami saya. Saya memintanya memeluk saya erat-erat dan tolong jangan dilepaskan…

Karena kereta silaturahim ini melaju begitu lancar. Sangat-sangat lancar… Begitu lancarnya sampai ujungnya saya tidak sadar kereta ini melaju ke arah saya, menghancurkan saya dengan tidak bersisa.

 

 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Kereta Silaturahim"

Comment