Cerita Bersambung : Payung Hati Kinanta



“Kamu kenapa telat menyadari perasaanmu, sih?” Perempuan itu basah oleh air hujan, tapi suaranya terdengar jelas. Sangat jelas dan getir menghujam ego kelelakianku.

Maaf, aku terlambat. Keberanian ini akhirnya datang juga. Aku hanya bisa memaksakan sebuah senyuman untuknya.

“Setidaknya aku tidak telat-telat banget, kan?” Aku memiringkan kepala, berusaha melihat matanya. Ya. Setidaknya aku tahu kamu berada di sini. Kamu selalu ke gedung sekolah kita setiap hatimu terluka.

Aku tahu kau, lengkap dengan semua pilihan-pilihanmu, karena kaulah buku yang terbuka dan akulah pembaca pertamanya…

Perempuan itu mengusap wajahnya yang basah karena air hujan. Aku mengulurkan sesuatu.

“Pakailah ini. Ini payungku, aku…”

“Biasa hujan-hujanan.”

Perempuan itu tahu betul akan kelanjutan kalimatku. Aku tertawa renyah. Tentu saja perempuan itu tahu.

Tanpa kita sadari kita sudah bersama-sama selama lima belas tahun lalu lamanya…Hujan menjadi salah satu adegan tersering dalam perjalanan kita selama ini. Kau dengan sifat pelupamu dan aku dengan payung di tasku, kita pasangan serasi bahkan tanpa kita sadari…

Perempuan itu sudah tidak bersedih lagi. Jangan tanyakan aku bisa mengetahuinya hanya dengan sekejap. Aku sudah menjadi sandaran perempuan itu, sudah sedari lama.

“Jadi kapan aku bisa menikahimu?”

Kutanyakan langsung saja pertanyaan inti dari dialog sore ini. Perempuan itu agak menarik lengan kausku sambil menunjuk tempat berteduh lalu kami pun berdua berlari kecil ke arah deretan ruko dekat sekolah kami itu untuk berteduh.

“Kapan saja aku sebetulnya siap. Hanya bersikaplah kali ini tidak seperti sahabatku melainkan seperti laki-laki yang hendak melamar, bawalah keluarga besarmu menemui keluargaku. Oke?”

Nada bicara perempuan itu begitu yakin dan tidak ada keraguan sama sekali. Aku menoleh kepadanya. Ada senyuman matahari di wajah perempuan itu. Senyuman itu adalah senyuman yang paling aku sukai, senyuman yang mengisi hatiku sejak lama sekali….

***

Lima belas tahun yang lalu…

Aku turun dari angkot biru tua yang berhenti tepat di depan gedung sekolah. Beberapa anak berlari-lari turun dari kendaraan mereka masing-masing. Aku membayar ongkos kepada supir angkot lalu hendak berbalik menuju gerbang sekolah saat sesosok anak perempuan menubrukku keras.

“Ah. Maaf-maaf. Maaf, ya.”

Aku tersenyum simpul. Kulangkahkan kaki masuk ke bagian depan gedung sekolah. Hari ini hari pertama upacara bendera dan inilah waktu di mana kami anak kelas 1 harus menampilkan kedisiplinan hasil dari masa orientasi dua minggu lalu.

Setelah meletakkan tas di kelas, aku berjalan menuju lapangan tempat upacara bendera dilaksanakan. Sekolahku berundak-undak dengan lapangan upacara bendera terletak di bagian paling bawah. Unik memang, tapi aku sudah membayangkan undakan-undakan tangga ini akan sangat enak kugunakan untuk bermain gitar nantinya.

“Hooooy, sombong amat loo, Kiiinn!” Seorang anak lelaki sudah memelintir lenganku dengan kencang.

“Ampun, ampun, ampun, Jo”

Rizal, nama teman satu SMP-ku itu, kami biasa memanggilnya Jo seperti yang dia minta. Entah apa alasannya lebih menyukai dipanggil Jo daripada Rizal. Tapi sejak SMP dia memang bersikukuh ingin dipanggil Jo.

“Kelas 1 berapa sih lo, Kin? Gue 1-3 nih. Ada anak cewe bule yang cantik itu lhooo, Kiiin. Inget kan lo, Kin? Yang pas masa orientasi kemarin dia sempet pingsan tapi masih tetep cantik itu. Gila, gila, GILA BANGET SIH CANTIKNYA”

“Pikiran lo langsung gercep ye Jo, udah tau mana anak cewe bule cantik aja lo hari pertama gini!”

“Lah, iya dong, Kiiin. Masa iya lo mau menyia-nyiakan masa SMA ini, ayo dong Kin, gue bosen ah liat lo gini-gini aja. Men, sudahi rekor tanpa pacaran lo itu di sini. Masa SMA masa yang indah berbunga-bungan. Uhuyyyy!”

Jo berlari mendahuluiku sambil melambaikan tangan. Aku hanya bisa melotot kesal kepadanya. Tingkah Jo memang sudah ajaib sejak SMP. Sebagai seorang anak SMP, Jo memecahkan rekor untuk katagori tidak pernah awet dalam berpacaran. Prinsipnya adalah memanfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya.

Sesuatu yang tidak akan pernah aku mengerti. Setidaknya selama masa SMP aku sudah membuktikan : Kinanta tidak bisa lama-lama di sekolah. Aku harus cepat pulang ke rumah.

Jo menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan bermain basket atau futsal di lapangan sekolah. Dari sana anak-anak perempuan masuk ke dalam pindaian pencarian pacar tanpa hentinya itu.

Aku sudah sampai di tepi lapangan upacara. Papan penanda bertuliskan kelas terpasang rapih menandakan setiap anak harus berbaris sesuai kelasnya masing-masing.

Aku mencari-cari papan bertuliskan 1-2, kelasku. Kuperhatikan dengan cepat dan berbaris di barisan sebelah kiri. Setiap kelas berisi dua baris, barisan anak laki-laki di sebelah kiri dan barisan anak perempuan di sebelah kanan.

Upacara pun segera dimulai. Seorang kakak kelas yang kutebak anggota ekskul Paskibraka dari postur tubuhnya, menjadi pemimpin upacara. Kepala sekolah bertindak sebagai pembina upacara. Seluruh guru berjajar rapi di podium guru.

Sesi pembina upacara berjalan agak lama. Kepala sekolah menyambut hangat kelas 1 yang pertama kali merasakan upacara sebagai bagian resmi dari sekolah. Ya. Wajar saja. Inilah kali pertama kelas 1 memakai seragam SMA setelah dua minggu kemarin seragam kami belum tiba dari konveksi.

Kurasakan sosok anak perempuan di samping kananku sedikit limbung ke depan. Apa dia akan pingsan?

Sedetik kemudian tubuh anak perempuan itu merosot jatuh ke lapangan. Refleks aku berjongkok. Untung aku dapat menahan agar kepalanya tidak membentur kerasnya semen lapangan upacara.

Anak perempuan lain berteriak-teriak panik. Ada yang memanggil “PMR mana PMR!!” lalu ada juga yang berteriak, “Tanduu bawain tanduu cepetannn, ada yang pingsannn iniiii!”

Aku menjulurkan tanganku mengelilingi anak perempuan itu. Tubuhnya sangat dingin. Aku segera mengangkat tubuh anak perempuan itu dan membawanya berdiri.

Kudengar suara anak perempuan yang berseru “Eh! Digendong, dia digendong”

Astaga, kupikir mereka itu tidak pernah melihat lelaki menggendong anak perempuan apa? Aku di rumah dengan empat adik sudah kenyang harus menggendong mereka seperti ini bila mereka tidak mau mandi, misalnya.

Kuangkat anak perempuan itu, dan bertanya di mana lokasi UKS. Aku tidak pernah memperhatikan masa orientasi dengan terlalu fokus. Wajar saja. Aku harus membantu ibuku memasak nasi uduk sedari jam 2 pagi. Kantukku setiap masa orientasi sudah berlebihan karena harus tiba di sekolah pukul 5:30 pagi.

Lokasi UKS tepat di sisi lapangan upacara. Sebelum mencapai pintu UKS, seorang kakak kelas berteriak kepadaku, “INI PAKAI TANDU AJA! WOY, UDAH, TURUNIN DI SINI AJA.”

Oke oke tidak usah berteriak begitu kan bisa, kataku. Kuturunkan anak perempuan itu ke atas tandu yang membawanya ke dalam UKS. Sebelum tandu berlalu diangkat oleh anak ekskul PMR, aku memperhatikan wajah anak perempuan itu : pucat dan putih, seperti tidak ada darahnya.

Persis seperti wajah ibuku yang kelelahan setiap hari harus mencari uang dengan berjualan dan mengurus aku dan adik-adikku…. Tiba-tiba terdengar suara ibuku di benakku. “Kinanta anak baik, anak tampan persis seperti ayahnya. Kinanta kakak yang baik.”

Aku kembali ke lapangan tempatku berbaris seperti semula. Ibuku menyebutku dengan ungkapan kalimat begitu cuma membuatku semakin tinggi saja kebencianku kepada ayahku. Dia pergi begitu saja meninggalkan ibuku dengan kelima anaknya. Benar-benar begitu saja. Tanpa sepucuk pesan ataupun pemberitahuan.

Itu hari pertama di mana kita dua kali bertemu. Aku dan kamu sama-sama belum sadar, tapi perlahan kita akan menyadarinya.

Ada seseorang yang tercipta khusus di dunia ini untuk memayungimu, itulah aku…

-bersambung-

(1112 kata)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk " Cerita Bersambung : Payung Hati Kinanta"

Comment