Cerpen : Cinta yang Terhalang Jendela dan Tirai Putih

 


 

Kepada yang tercinta perempuanku di balik jendela, hari ini tepat dua puluh tahun lamanya aku mengagumi dan menyayangimu dari jauh…. Ya, sejak dahulu hingga detik ini aku telah memutuskan untuk mencintaimu sebesar-besarnya meskipun tak pernah sekalipun aku sanggup untuk menyentuhmu. 

Pada pagi hari di mana matahari beranjak terbit dari fajar, suasana masih sepi sekali tetapi hatiku selalu semarak untuk menanti kehadiranmu di sini, di waktu ini dan di tempat ini kembali kulihat wajah manismu di jendela itu. Sebuah jendela putih dengan tirai putih yang membingkainya, setia menjadi medium pertemuan kita selama ini. Jendela itu tegak berada pada salah satu dinding biru di rumahmu. Aku bahagia setiap melihat paras indahmu muncul di jendela itu.

Hari ini kulihat kau membuka tirai putih di jendelamu sebelum tengah hari. Apakah suamimu sudah pergi untuk bekerja? Apakah anak-anakmu tengah asyik bermain? Aku bertanya-tanya apa yang terjadi pada harimu, sebuah pertanyaan yang pecah tergulung angin sebab tak pernah berani kusampaikan kepadamu…. Wajah oval dengan rambut sepinggang yang terkuncir milikmu yang muncul di jendela itu adalah kebahagiaan harianku. Ah, aku ingin memberikanmu apapun yang bisa kuberikan untukmu, tapi menyapamu saja aku tidak pernah berani, sungguh cinta ini membuatku berputar di dalam dilema hatiku sendiri.

Rumahmu yang sekarang kau tempati adalah rumah milik orangtuamu. Dahulu tempat jendela putih itu berada adalah letak kamarmu saat masih kecil hingga remaja bahkan sampai sebelum menikah. Mengapa aku tahu itu, begitukah pertanyaanmu? Karena aku mencintaimu sejak dulu, sejak kita masih sama-sama kecil.

Aku menatap pertumbuhanmu dari sini, diam-diam, tanpa sempat mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya kepadamu. Apakah kau bahagia, apakah kau sedih, aku hanya bisa menebak-nebaknya dari luar jendela rumahmu.

Kini kau masih menempati rumah itu, bedanya sekarang kau tinggal bersama dengan suami dan anak-anakmu. Orangtuamu sudah meninggal dunia. Aku ingat saat tujuh tahun yang lalu ayahmu yang begitu kau cintai itu meninggal dunia. Kau sekuat-kuatnya memasang wajah setegar karang saat keluargamu satu per satu berdatangan ke rumah. Namun, pada malam hari setelah semua orang telah pulang dan rumahmu sepi dan jiwamu ingin berteriak saking sedihnya, kau membuka tirai putih itu, lalu menangis bersamaku melalui jendela ini.

Ya, aku menungguimu yang tengah menangis sesenggukan. Aku tak mampu berkata-kata. Hanya bisa mendengar isakmu yang membuat hatiku serasa tersayat-sayat.

Bukan hanya saat ayahmu meninggal dunia, tetapi setiap peristiwa penting kehidupanmu, aku selalu melihatmu dari sini. Tidak jauh darimu, tepat di sini, di balik jendela putih rumahmu, aku selalu hadir untukmu.

Saat dua tahun lalu ibumu meninggal dunia, aku kembali ingin mengusap lembut bulir air mata yang turun dari matamu. Tangisanmu pecah sambil aku menunduk dalam-dalam menatap tanah di bawah kakiku. Aku hanya bisa menungguimu menangis. Maafkan aku.

Aku ingin berlari memelukmu, mendekapmu ke dalam kehangatanku. Meraih wajah cantikmu lalu mengusir segala kesedihanmu dari sana.

Namun, maafkan aku. Aku hanya bisa memandangimu dari sini, dari balik jendela putih, tepat dari jalan raya di sebelah rumahmu.

Aku tahu kau begitu mencintai ayahmu, oleh karena itulah kau membawa setiap lelaki yang menjajaki hubungan romantis denganmu untuk menemui ayahmu.

Ya, dengan kecantikan seperti bidadari pada parasmu itu, aku tahu pada akhirnya waktu itu akan datang juga…. Waktu di mana aku melepasmu ke pelukan lelaki lain.

Perasaanku kacau-balau saat menatapmu di hari pernikahan. Saat itu sejujurnya aku ingin merebut kau dari sisi suamimu.

Hatiku berantakan saat melihat kau bersisian dengan suamimu di hari pernikahanmu. Ada gejolak tak tertahankan di dalam hatiku. Kepalaku serasa ingin meledak. Kakiku seolah ingin berlari lalu meninju suamimu keras-keras karena telah merebutmu dari sisiku.

Namun aku lagi-lagi hanya berdiri menatapmu dari sini, dari balik jendela putih dengan tirai putih itu. Kupikir pada akhirnya aku tidak mengapa menggagalkan rencana itu karena toh suamimu tampak seperti laki-laki baik.

Namun, kini aku menyesalinya.

Benar-benar menyesalinya.

Entah kapan pastinya suamimu yang pada awalnya tampan dan baik hati itu berubah menjadi bajingan yang kasar dan tidak beradab.

Suamimu kini begitu mudah berteriak di hadapanmu. Sudah lama rasanya tidak kulihat senyum bahagia terpancar dari wajahmu. Setiap tirai putih itu tersingkap, hatiku serasa mencelos karena berdebar menanti seperti apa wajahmu hari ini.

Penuh lebam lagi kah? Penuh air mata kah? Semakin tirus kah? Penuh tatapan hampa kah lagi? Atau ada sebersit senyuman yang sangat kudambakan kah? Haruskah aku merebutmu sekarang dari suamimu?

Selama dua puluh tahun aku masih mencintaimu dari sini. Dari balik tirai putih di jendela putih itu. Seperti jendela yang kokoh itu, cintaku kepadamu juga tidak pernah sama sekali berubah.

“Itu jendela kesukaan ayah, aku ingin terus memakainya!” begitu kudengar katamu saat suamimu menyarankan agar kau mengizinkannya mengganti jendela-jendela rumah kalian. Aku tahu suamimu mengalah dan merelakan satu jendela ini tidak diganti.

Pagi ini, ya pagi ini, tirai putih itu kau singkap lagi. Dan aku masih setiap di sini menantimu. Sepenuh hatiku menanti datangnya perempuanku.

Ah, kau tampak segar, tidak ada memar pada wajahmu. Kau juga merias sedikit wajahmu. Wajahmu bersinar indah seperti saat kita pertama kali bertemu saat kita masih kecil.

“Selamat pagi. Aku ingin mengucapkan sesuatu yang selama ini kutahan karena akan terdengar gila jika aku mengatakannya. Namun, aku tidak peduli lagi dengan anggapan orang lain. Hari ini aku akan melakukan apa-apa yang selama ini ingin aku lakukan. Pertama, aku ingin mengucapkan terima kasih kepadamu…. Terima kasih, aku tahu kau selalu berdiri di sana sejak kita masih kecil. Sulitkah itu? Melihatku setiap hari dari sana, sulitkah itu? Terima kasih ya karena sudah membersamaiku selama ini.”

Aku terdiam. Kaukah yang mengatakan itu, perempuanku? Kutatap sekali lagi ke arahmu. Senyummu mengembang sambil melambai kepadaku dari balik jendela putih itu.

“Aku tahu selama ini kau selalu setia di sini menemanimu. Terima kasih banyak!”

Ah.

Kau akhirnya mengetahui bahwa aku mencintaimu dengan setia dari sini, dari balik jendela putihnya, di jalan raya, tepat di sebelah rumahmu.

Karena akulah si pohon cemara yang ditanam ayahmu saat kau masih kecil. Dan besok aku akan dibawa oleh Dinas Pertamanan Kota untuk dipindahkan ke taman kota.

Burung-burung mungil nan lincah hinggap di rantingku. Mereka bernyanyi merdu melihat suasana pagi. Senyumanmu mengembang di bibir, maka akupun bersenandung syahdu untuk cintamu, cintaku dan cinta kita.

 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Cerpen : Cinta yang Terhalang Jendela dan Tirai Putih"

Comment