Aku percaya setiap orang membawa warisan di dalam kehidupan yang kita dapatkan dari orang tua. Ada yang membawa warisan berupa nama baik, mobil, rumah, uang, deposito, tanaman, hewan, angin, ada yang air, dan ada juga yang memiliki warisan berupa sebuah api.
Ya, api.
Aku termasuk golongan yang sangat langka. Aku mewarisi sebongkah api di dalam dadaku. Aku mendapatkannya dari kedua orang tuaku dan aku tahu orang tuaku mendapatkan apinya dari orang tuanya lagi, dan terus begitu secara turun-temurun.
Keluarga kami adalah keluarga api. Aku tidak sadar betapa berbahayanya memiliki api warisan sampai kulihat bagaimana keluargaku hancur di tangan api itu….
Aku menceritakan tentang api itu kepada suamiku, berusaha meyakinkannya mati-matian tentang keberadaan api itu. Namun, komentar dari suamiku selalu menyakitkan hatiku. Dia tidak pernah percaya kalau api itu benar-benar ada. Padahal api itu berkobar, pelan, menunggu saat yang tepat untuk meledak keluar dari dalam diriku.
Akan tetapi aku paham kondisi suamiku.
Dia tidak akan sempat mengurusi permasalahan api ini. Kehidupan kami sudah sulit. Seluruh waktu suamiku hanya terisi dengan kerja, kerja, dan kerja. Kondisi ekonomi kami masih sangat suram. Rumah yang kami tempati ini saja merupakan pemberian dari ibu suamiku. Ya, ibu mertuaku membagi dua rumahnya lalu memberikannya kepada kami untuk ditempati.
Aku sejujurnya mulai mengkhawatirkan keselamatan orang-orang di sekitarku karena keberadaan api ini.
Entah sudah berapa orang yang kuceritakan mengenai api warisanku, tidak ada satu pun yang mengerti ketakutanku. Semua menghakimiku dengan tatapan aneh, kamu hanya berkhayal, begitu kata semua orang yang aku ceritakan.
Padahal aku takut, padahal aku ingin menghapus api ini, padahal aku tidak ingin hidup bersama api….
Aku berniat untuk menguburkan api warisan ini selama-lamanya. Tidak boleh ada lagi api di dalam diriku yang berkobar tajam siap meledak kapan saja. Sudah cukup banyak peristiwa terdahulu yang mengerikan yang memberitahuku tentang betapa kejamnya api itu jika sudah membumbung keluar.
Aku sangat khawatir api ini akan membakar suamiku, putriku, dan orang lain jika tidak segera aku hilangkan.
Aku pernah melihat ibuku terbakar karena api ayahku. Pada suatu malam saat aku berusia 9 tahun, aku meringkuk ketakutan di dalam kamar. Di balik pintu terdengar suara benda-benda dibanting dengan keras ke lantai. Aku menutup telingaku dengan kedua tanganku. Api ayahku berkobar dengan sangat hebatnya pada malam itu. Sejak malam itu aku tahu aku akan mewarisi api serupa, api yang akan menghanguskan aku dan ibuku.
Suara gemeretak api yang berkobar membuat nyaliku ciut. Aku tahu dengan pasti, ibuku hangus pada malam itu.
Ayahku membanting pintu keras-keras setelah membakar ibu. Aku pun keluar dari kamar setelah suara api yang meretih perlahan padam. Aku melihat ada sisa-sisa puing dan abu di sekeliling rumahku pada malam itu. Di sudut pintu rumah, tapak-tapak api ayahku terlihat begitu jelas. Ia membawa api itu ke luar rumah. Orang-orang yang bertemu dengannya akan terbakar di jalan.
Aku sama sekali tidak ingin mengulangi kejadian itu. Tidak ada yang mau mengulangi tragedi yang pernah terjadi di dalam keluargamu.
Aku tidak mau mewarisi api ini kepada putriku. Semua ini harus selesai hanya sampai di sini saja, di diriku.
“Perempuan gila itu sudah aneh dari kecil,” kata ibu mertuaku kepada tetangga yang menanyakan tentang kondisiku. “Kamu terlalu banyak melamun mungkin, Sayang,” kata suamiku yang berusaha mengabaikan keinginanku untuk mengubur diri hidup-hidup.
Semua mengabaikan kisah api warisan yang berkobar dan siap melumatkan siapa saja itu. Aku tidak tahan lagi.
Aku merasa seperti mayat hidup yang kemana-mana membawa api. Tahukah kalian rasanya menjadi mayat hidup? Kalian tidur tetapi tidak mendapatkan kesegaran saat bangun. Mengapa? Karena pada dasarnya jiwa kalian sudah lama mati….
Aku mencoba mengingat kembali apakah pada malam hari di mana api ayahku berkobar dengan hebatnya, ia juga membakarku? Begitukah aku menjadi mayat hidup hari ini?
Yang aku tahu saat aku beranjak dewasa kusadari api itu berkelebat juga di rongga dadaku. Api yang sama dengan yang kulihat pada ayahku saat membanting benda-benda. Api yang sama yang kurasakan saat ibuku menertawakan pilihan-pilihan hidupku.
Aku melihatnya.
Api yang sama kini berada di dalam rongga dadaku.
Kecil, berwarna oranye dan memiliki lidah menjilat-jilat.
Aku mencari seribu cara untuk menghilangkan api itu. Aku mungkin bisa menjatuhkan diri dari gedung paling tinggi atau menenggelamkan diri. Bukankah lawan api adalah air?
Pagi ini aku meyakinkan suamiku sekali lagi tentang api itu sebelum ia berangkat bekerja. Aku ingin meminta bantuannya untuk menyetujui rencanaku untuk menghilangkan api itu.
Sebagai seorang satpam komplek perumahan, suamiku berangkat dari rumah pada pukul 6 pagi dan pulang pada pukul 6 sore. Sepanjang 12 jamitu aku hanya berdua dengan putri kami yang berusia lima tahun di rumah kami yang bersebelahan persis dengan rumah mertuaku.
Aku ingin kau memadamkan api ini, kataku kepada suamiku. Bagaimana caranya aku bisa memadamkan sesuatu yang tak kulihat, kata suamiku. Aku memegang tangan suamiku, sungguh-sungguh berharap dia serius membantuku kali ini. Suamiku menepis tanganku dengan lembut.
Akhirnya suamiku pergi bekerja. Ia melambaikan tangan sambil tersenyum dari atas motor bebeknya yang perlahan keluar dari halaman berbatu rumah kami. Ibu mertuaku sudah siap dengan celetukan serupa desisan ularnya di belakangku. “Kasihan anak gue si Rudi. Punya istri ngerepotin begini, sering banget nyusahinnya!”
Aku bisa merasakan getaran di dalam diriku. Api yang kuwarisi dari orang tuaku pelan-pelan telah membesar.
“Sebelum ketemu lo, niatnya si Rudi tuh gue jodohin sama sodara jauh gue. Sayang aja kepincut duluan sama lo, Mirna. Awalnya keluarga lo keliatan kaya tapi ternyata sama miskinnya. Dasar lo tukang tipu Mirna!”
Aku menahan sekuat tenaga agar api ini tidak melompat. Dengan sesopan mungkin, aku mengangguk takzim kepada ibu mertuaku dan hendak kembali masuk ke dalam rumahku.
“Bisanya cuman di rumah doang. Kaga bisa bantuin si Rudi nyari duit ya lo, Mirna? Rudi anak gue sampe jadi satpam komplek perumahan demi ngasih makan lo, Mirna. Bener-bener kaga ada bantu-bantunya lo mah beneran, Mirnaa” kata ibu mertuaku.
Sedetik kemudian aku sudah menerjang ibu mertuaku itu dengan tanganku yang terulur mencekik leher ibu mertuaku, leher itu akan patah pagi ini juga.
“Toloooong!! Tolooong!! Si Mirna mo ngebunuh gue, tolong! tolooonggg,” jerit ibu mertuaku. Aku pucat pasi. Segera kulepaskan cengkraman tanganku dari leher ibu mertuaku Astaga, apa yang tengah kulakukan?
“Dasar perempuan ga tau diuntung lo! Perempuan gila! Udah gila, eh sekarang sempet-sempetnya hamil lagi pula! Udah cuman cocok punya anak satu doang eh malah hamil lagi Sial bener si Rudi punya istri macem lo gini! Bener-bener sial si Rudi” kata ibu mertuaku
Anak perempuanku menghambur keluar dari rumahku sambil menangis. Wajahnya bingung. Kasihan, ia pasti ketakutan. Aku hendak meraihnya saat ibu mertuaku berkata kepadanya.
“Mira, Mira, sini, ayo ke sini Mira, sama nenek sini, Sayang,” kata ibu mertuaku kepada putriku. Aku masih mematung berusaha sekuat-kuatnya mengendalikan api di dalam diriku yang masih menggelegak, panas, bagaikan bahan bakar api neraka.
“Mira, ibu lo udah gila, Mira…. Ibu lo udah gila, Mir, lo jangan mau sama ibu lo, Miraaa, sama nenek aja ya?” ucap ibu mertuaku sambil merengkuh tubuh putriku ke dalam pelukannya.
Tidak sempet menyadarinya, apiku telah membumbung sangat tinggi. Ia menyambar langit-langit rumahku dengan cepat. Tidak ada yang dikasihani oleh sebuah api. Tingkap rumahku mulai terbakar. Api itu bukan berwarna oranye lagi sekarang, kini ia telah menjelma menjadi merah membara sekarang.
Aku menerjang tubuh ibu mertuaku dengan satu serudukan tajam. Aku bisa mencium bau hangus dari dalam tubuhku sendiri. Semua mengkerut menjadi abu tanpa ampun. Api ini memang tidak mengenal ampun. Ia membakar ke dalam dan juga ke luar dengan sama gaharnya.
Aku sudah meminta kalian membantuku menghilangkannya. Api ini kini lepas dari kendaliku, aku minta maaf, suamiku. Aku minta maaf, suamiku. Aku minta maaf…!
Kujambak keras rambut ibu mertuaku dengan kekuatan api yang menyala-nyala. Seluruh rambut berwarna putih miliknya itu berada di dalam kedua tanganku. Kubenturkan kepala itu ke lantai keramik putih. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, kubenturkan kepala tua itu berkali-kali. Aku tidak mendengar apa-apa lagi. Yang kudengar hanya ada suara denyar api yang membumbung tinggi hingga ke angkasa, mengenyahkan siapa saja yang mematahkan hatiku hingga jadi serpihan kecil.
Kalian sudah kuperingatkan. Kalian sudah kuperingatkan. Kalian sudah kuperingatkan….
Suamiku sayang, maafkan aku, ibumu tidak akan selamat pagi ini….
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen : API WARISAN"
Posting Komentar