Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun malam ini, entah itu anak buahku atau gadis-gadis penghibur di klub malamku ini…. Tidak satu pun.
Kuedarkan pandangan ke ruangan di bawahku. Sebuah meja panjang menopang perlengkapan DJ untuk menyediakan musik paling menghentak di malam ini. Di bawahnya ada puluhan orang yang bergoyang serempak di bawah bola-bola perak yang berkilat-kilat di atas kepala mereka. Lampu-lampu dengan sinar panjang menghantam ruangan dari berbagai sudut. Meja-meja dengan botol dan gelas berisi minuman keras ditenggak oleh orang-orang yang berteriak-teriak untuk saling berbicara di tengah dentuman suara musik.
Seseorang berdehem di belakangku. “Maaf, Bos. Anak buah kita di bandara baru saja mengabari bahwa Baracuda telah mengirim barang yang kita minta lewat terminal 1 malam ini,” katanya.
Aku menggoyang gelas martiniku sejenak. “Baguslah. Baracuda menepati janjinya. Kau boleh pulang malam ini, Bobby! Jam kerjamu hari ini kuliburkan” Tanganku memberi isyarat kepadanya dengan menunjuk arloji di tanganku.
Ya, biasanya lelaki tinggi besar yang kupanggil Bobby itu selalu baru pulang pagi hari setelah semua urusanku di klub ini selesai. Namun, malam ini berbeda. Aku hanya ingin menikmati keadaan dengan pikiranku sendiri. Atau dengan kenanganku lebih tepatnya….
Sebulan lalu, ya, tepat sebulan yang lalu di tempat ini, seorang gadis datang dengan baju yang terlalu formal untuk tempat semacam ini.
Red Night, begitu klub ini kuberi nama agar semua bisa merasakan gairah yang membara sepanjang berada di sini.
Begitu gadis itu masuk ke dalam lantai utama, dia langsung merebut perhatianku dengan rambut bob pendek dan wajah rupawannya.
Aku langsung melepaskan pelukan Irene, gadis seksi di sampingku.
Dari cara gadis itu berdiri terpaku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling, tebakanku dia bukan gadis yang biasa ada di tempat hiburan seperti ini. Aku berdiri dari sofa kulit berwarna merah, meletakkan gelas martiniku yang tinggal setengah dan memperhatikan gadis itu.
Dari lantai dua tempatku berdiri, seluruh area lantai utama Red Night jelas terakses oleh pandanganku
Membawa sebuah tas kantor, pakaian gadis itu benar-benar menandakan dia baru saja pulang dari kantor : sebuah jas biru tua dipadukan dengan kemeja putih. Celana panjang berwarna khaky membalut kaki jenjangnya. Kaki yang membuatku tidak bisa melepaskan pandanganku. Gadis itu membawa sebuah payung yang masih meneteskan air. Hujankah di luar?
Gadis itu memandang balkon lantai dua tempatku menatapnya. Di dalam matanya dapat kupastikan dia baru pertama kali datang ke klub malam seperti ini.
Aku sudah 13 tahun mendirikan tempat ini. ratusan orang datang dan pergi setiap malam untuk mencari hiburan dari sini. Aku tahu orang-orang mana yang datang ke sini untuk menghibur diri sendiri, menghibur teman, mencari teman one night stand atau sekedar mencariku untuk berbisnis.
Tebakanku gadis itu tidak masuk ke dalam kategori manapun dan kenyataannya tebakanku memang benar adanya….
Malam itu adalah awal mula di mana telaga kenangan antara aku dan gadis itu terbentuk, ya, di malam hari yang berhujan itulah kisah kami dimulai….
“Bos, ada seorang gadis yang ingin bertemu denganmu. Dia bilang dia seorang pengacara. Apa sebaiknya gadis itu kuusir saja, Bos?” Jimmy, tangan kananku yang paling setia, berkata di belakang punggungku. Aku tersenyum miring, senyum khas yang selalu membuat gentar rekan maupun lawan-lawan bisnisku. Pengacara? Menarik sekali.
“Segera bawa dia kepadaku, Jimmy!” kataku sambil tersenyum.
***
Gadis itu sudah berdiri di hadapanku. Postur tubuhnya yang tinggi membuatku berpikir bahwa dia akan sukses jika menjadi model.
Gadis itu menatapku dengan tatapan serius. Wajah gadis itu lebih cantik daripada gadis montok manapun yang pernah menjadi penghiburku.
“Selamat malam, apa benar anda yang bernama Jiwa pemilik klub ini?” kata gadis itu. Suaranya seperti kidung merdu gereja pada malam natal. Magis.
Aku memperhatikan gadis itu dari atas hingga bawah. Pikiran liarku membayangkan panasnya malam yang akan terbingkai saat gadis itu berada di dalam pelukan.
Namun sepertinya gadis itu mengetahui bahwa aku sedang memindainya keseluruhan tubuhnya jika tanpa sehelai benang pun.
Kedua alis gadis itu bertaut penuh kekesalan. Ekspresinya menyatakan bahwa ia ingin menelanku beserta gedung Red Night ini sekaligus.
“Jangan menatap saya dengan pandangan merendahkan seperti itu!” katanya dengan suara menggelegar. Aku merasakan gadis ini seperti seekor hyena yang tengah kelaparan. Dia haus darah dan penuh energi. Aku menyukai gadis ini.
Bahkan sedari pertemuan pertama, akulah yang lebih dulu menyukaimu….
“Ya, aku Jiwa, pemilik klub Red Night ini. Apa ada yang bisa kubantu malam ini, Nona?” kataku sesopan mungkin.
Gadis itu tampak tidak suka saat aku berusaha ramah kepadanya. “Aku butuh bicara denganmu, empat mata.”
Aku tidak bisa menahan kekagumanku. Bicara empat mata, denganku pada pertemuan pertama?
Siapa gadis ini sebenarnya? Aku biasanya akan dengan mudah menolak paksaan dari siapapun. Namun, mata hitam yang lembut milik gadis itu membuatku tertarik kepadanya. Tentu saja semua perempuan mengetahui apa arti disukai oleh seorang Jiwa. Perempuan-perempuan itu bahkan bergosip jika berhasil menghabiskan satu malam yang panas bersamaku.
“Empat mata? Well, kalau begitu mari kita ke kantorku, Nona. Di sini terlalu bising untuk apapun yang akan kau bicarakan empat mata itu,” kataku. Aku berdiri dan mempersilahkan gadis itu untuk berjalan ke arah tangga putar.
Suara musik dari meja panjang DJ mengalun berdentum mengiringi langkahku. Gadis itu mengikutiku di belakang. Aku tidak bisa menutupi kekagumanku kepada keberaniannya. Siapa sebenarnya dia, berani-beraninya memasuki kantor Jiwa pada malam hari pertama menginjakkan kaki ke klub malam Red Night? Gadis ini benar-benar adalah seekor hyena.
Tangga putar itu memiliki pegangan berwarna merah. Merah adalah warna kesukaanku di dunia ini. Saat kusentuh apapun yang berwarna merah, maka kenanganku akan mengarah kepada hari di mana aku meminta tolong orang-orang menyelamatkan ibuku yang berdarah-darah di lantai setelah dihajar oleh ayahku. Tidak ada yang menolong, atau lebih tepatnya tidak ada yang berani menolong. Ibuku dan darahnya yang menggenang di lantai rumah kami akan mengembara selamanya di dalam alam pikiran.
“Kunamai dirimu Jiwa untuk mengingatkanku bahwa setiap kali aku melihatmu akan kulihat jiwa yang tulus, murni, kuat dan tabah,” kata ibuku setiap membelai rambutku saat memelukku di waktu kecil. Aku lebih suka nama-nama umum seperti “Budi”, “Ahmad”, “Anton” atau nama lain. Aku memprotes penamaan bodoh itu karena teman-teman sepermainanku yang brengsek di SD negeri itu selalu mengolok-olokku dengan memanggilku “Jiwo” daripada “Jiwa”. Di dalam hatiku aku tahu alasanku yang sebenarnya memprotes penamaan ini : Jiwa adalah nama ayahku.
Ya, ibuku menamaiku dengan nama yang sama persis seperti nama ayahku.
Aku benci ayahku. Aku membencinya hingga ke dasar hatiku. Orang itu tidak lebih dari parasit yang menempel di dalam kehidupan ibuku.
Aku sadar ibuku menamaiku Jiwa semata-mata karena ibuku belum bisa menerima bahwa Jiwa-nya telah berubah menjadi lelaki gemuk yang suka memukul dan menendangnya.
Sejak hari di mana ibuku terdiam membisu, dingin dan tidak bergerak lagi di lantai yang digenangi darahnya, pada hari itulah aku benar-benar membenci namaku dengan segenap hatiku, sampai tiba-tiba hari di mana kau datang di dalam kehidupanku….
Kudorong pintu kayu berwarna merah darah itu. Kutekan saklar lampu pada dinding kanan. Lampu berwarna merah dengan sinar lembut menyinari jendela-jendela panjang di belakang sepasang meja dan kursi kerja. Aku sangat menyukai saat suasana cahaya keremangan menerangi benda-benda berwarna merah di ruangan kerjaku ini.
Kerja? Ingin rasanya aku menertawakan diriku sendiri. Aku seorang anak yang tidak ada seorang pun mau menolong ibunya yang sedang sekarat akibat dihantam suaminya itu kini telah memiliki sebuah ruangan kerja tempat dia berkuasa.
Ya, benar adanya aku bekerja dari balik meja itu. Aku mengendalikan aktivitas Red Night dan bisnis kokainku sambil menikmati whiski atau martini adalah rutinitasku.
Sebuah sofa panjang berwarna merah darah terdiam di sisi sebelah kiri ruangan. Biasanya para perempuan-perempuan yang diberikan sebagai hadiah oleh rekan-rekanku kulahap di atas sofa itu. Kejadian yang tidak selalu indah tapi selalu mudah untuk dilakukan. Perempuan-perempuan itu takluk hanya dengan menatap wajah klasikku.
Sebuah ketampanan yang terdiri dari alis hitam tebal, mata dengan tatapan setajam elang, hidung yang bangir dan sebuah bibir yang menekuk alami ke atas padasudut-sudutnya membingkai wajahku sempurna. Para perempuan di Red Night setiap malam bergosip tentang siapa yang beruntung menghabiskan malam sebelumnya bersamaku.
Gadis itu masih mematung di luar pintu.
“Kau tidak jadi masuk? Kau bilang ingin bicara empat mata denganku. Kita tidak mungkin bicara dengan latar suara musik di bawah sana, bukan? Di sinilah aku biasanya membicarakan hal-hal penting secara empat mata.”
Gadis itu melangkah mantap ke dalam ruanganku. Matanya menelisik ke seluruh ruangan. Perlahan dia berjalan ke rak buku yang menjulang tinggi di dinding sebelah kanan. Tatapannya terkunci pada deretan buku-buku yang tersimpan di balik kaca rak buku itu. Rak buku itu adalah kelemahanku, begitu menurut Jimmy si tangan kananku.
Jimmy mengkhawatirkan imejku yang akan jatuh jika orang mengetahui bahwa aku suka membaca buku. Hampir saja aku ingin menembak Jimmy saat dia mengutarakan kalimat itu. Untunglah aku segera tersadar bahwa Jimmy telah membersamaiku lebih dari satu dasawarsa lamanya. Dia tangan kananku yang paling setia. Jimmy tidak mungkin berkhianat.
Nyawa Jimmy lebih kusayang daripada nyawaku sendiri.
Ya, selama ini aku sedang mencari suluh jiwaku, alasan mengapa aku harus hidup lebih lama lagi sampai kau datang ke dalam kehidupanku malam itu….
“Kau suka baca buku ya? Tidak pernah terbayang bahwa seorang pemilik klub malam memiliki hobi membaca buku,” kata gadis pengacara itu.
Aku tertawa kencang. Gadis itu sungguh menarik minatku untuk menariknya ke dalam pelukanku detik ini juga. Sudah lama aku tidak bercumbu dengan gadis yang bertanya tentang hobi membacaku. Aku mendekati gadis itu. “Ya, aku memang hobi membaca tapi itu hanya menyenangkan untukku. Aku punya hobi lain yang bisa menyenangkan kita berdua, kau mau mencobanya?” bisikku.
Gadis itu melompat mundur. Wajahnya meradang. Tatapannya kasar. “HEY! AKU KEMARI BUKAN UNTUK TIDUR DENGANMU!! KAU BOLEH SAJA TAMPAN, TAPI TIDAK SEMUA GADIS INGIN TIDUR DENGANMU!”
“Oke, oke. Kalau begitu katakan apa yang ingin kau katakan kepadaku empat mata, Nona…ah aku belum tahu siapa namamu, siapa namamu dan apa kepentinganmu menemuiku” tanyaku sambil tertawa. Ini kali pertama seorang Jiwa diteriaki seorang gadis.
Aku menanti jawaban gadis pengacara itu sambil duduk di kursi kerjaku yang berbahan kulit berwarna merah darah pekat. Jam di dinding ruang kerjaku berdentang dua belas kali. Klub Red Night buka hingga pukul 4 pagi. Suara dentum musik yang menghentak dari lantai utama sama sekali tidak terdengar di ruanganku. Kupesan dinding berperedam suara spesial dari Italia saat membangun gedung Red Night, khusus hanya untuk dipasang di ruangan ini.
“Baiklah. Langsung saja ke intinya. Namaku Nina, Karenina Wijaya, aku adalah seorang pengacara. Saat ini aku tengah menangani kasus tewasnya Mira Anjani. Apa kau pernah dengar kasus itu?” tanya gadis itu.
“Ah, Mira. Kasus Mira Anjani. Aku pernah mendengarnya,” kataku.
“Keluarga Mira menunjukku sebagai pengacara dalam kasus tewasnya Mira. Mira terakhir terekam berada di dalam klub Red Night ini sebelum ia keluar lalu menghilang dan ditemukan tewas terbunuh,” kata gadis itu.
“Ah…seorang gadis? Ada banyak gadis yang setiap malam datang ke Red Night ini, Nona Karenina….”
“Dalam kasus ini, pengadilan memanggil karyawanmu sebagai saksi kunci yang bisa membantu memberikan titik terang dalam kasus ini tapi tidak ada satu orang pun dari karyawanmu yang datang. Aku datang kemari untuk membuatmu mengeluarkan ijin atau persetan apapun kau menyebutnya, yang membuat karyawanmu bisa datang ke pengadilan esok hari,” kata gadis itu.
Aku menikmati cara bicara gadis itu. Suaranya menyenangkan. Cara bicaranya juga terstruktur rapih.
Anehnya suara gadis itu dalam keterlibatannya dalam kasus Mira Anjani justru membuatku tergerak untuk membuat kasus kriminalitas baru.
Ya, rasanya aku ingin menculik gadis pengacara di hadapanku ini dan menikmati dunia bersamanya, sekarang juga.
Suaramu di ruang kerjaku malam itu bagaikan oase bagi keringnya kehidupanku….
Sejak memulai terjun di dunia hitam ini, aku tidak pernah suka aparat kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau apapun itu.
Mereka semua menyulitkan bisnisku.
Namun mereka dengan mudah dapat kusumpal dengan boks-boks kardus yang kuberikan secara rutin. Kuperintahkan Jimmy memberikan boks kardus berisi uang itu kepada satu per satu polisi di ring satu kepolisian ibukota.
Satu boks itu setara sepuluh kali gaji mereka. Jimmy berkata senyum mereka merekah bak menerima nyawa kedua setiap mendapatkan boks kardus itu.
“Aku tidak suka pengadilan. Aku tidak pernah mengizinkan karyawanku untuk menjadi saksi di dalam kasus apapun, termasuk kasus klienmu, Nona Karenina,” kataku percaya diri. Gadis itu masih berdiri. Tatapannya kini tajam menatapku.
“Berani-beraninya kau menentang pengadilan! Kau tidak boleh bertingkah seolah kau raja di bisnis ini! Aku tahu semua bisnis harammu! Aku tidak mau tahu tentang urusan kebencianmu terhadap pengadilan, ini tentang keadilan bagi keluarga klienku! Apa kau tahu Mira Anjani ditemukan tidak bernyawa di selokan setelah dua minggu pencarian? Apa hatimu tidak tersentuh mendengar kasus Mira Anjani? Keluarganya membutuhkan keadilan!” seru gadis itu.
Keadilan. Kata itu membuatku merinding. Kutatap gadis pengacara itu, ada amarah di dalam matanya. Jadi dia adalah seorang pejuang keadilan? Sungguh memuakkan. Tidak pernah ada keadilan di dunia ini.
Proses pencarian keadilan di dunia ini sejatinya bagaikan kau berusaha menjilat telingamu sendiri.
“Aku tidak mau tahu dan tidak pernah mau tahu tentang para pejuang keadilan, entah polisi, jaksa, atau pengacara sepertimu. Sampai kapanpun seluruh Red Night tidak akan terlibat dalam proses hukum kasus siapapun termasuk kasus Miramu. Semoga ini cukup menjelaskan bagimu, Nona Karenina…,” kataku.
“Astaga! Kau benar-benar tidak bermoral sama sekali. Padahal namamu Jiwa, tapi kau sama sekali tidak berjiwa. Aku berkali-kali mendapatkan klien yang berurusan dengan Red Night. Mulai dari penggusuran yang dilakukan oleh klub malammu atau pemerkosaan karyawanmu yang dilakukan oleh tamu-tamu brengsekmu. Semua kasus itu mengalami deadlock karena kau tidak pernah mengizinkan siapapun membuat orang dalam Red Night hadir ke pengadilan. Tidakkah itu berlebihan? Bukankah aku tidak mengusik bisnis haram narkoba yang selama ini kau geluti? Aku hanya menangani kasus Mira, perempuan itu tewas dan tempat terakhir sebelum dia ditemukan tewas adalah klub malam sialan ini. Tak bisakah kau mengerti itu sedikitpun, wahai tuan Jiwa? Kupikir namamu melambangkan bahwa masih ada secercah harapan di dalam jiwamu. Kau tahu, jiwa adalah nama paling unik yang pernah kudengar. Namun aku mencabut pikiran itu. JIWA ADALAH NAMA PALING BURUK YANG PERNAH ADA DI DUNIA INI!” Gadis itu berteriak sambil menggebrak meja.
Aku berdiri dari kursiku. Kusentuh leherku, ah, aku butuh segelas martini. Gadis ini membuat kesabaranku menipis.
“Kau tahu, baru ada satu perempuan yang berani berteriak kencang di hadapanku. Aku menjadi penasaran dengan alasanmu ingin menegakkan keadilan, sebuah kata yang tidak pernah ada di dalam kamus kehidupanku. Bagaimana rasanya menjadi pengacara?”
Aku berdiri dari kursi kerja hitam metalik dan melangkah menuju sofa empuk berwarna merah darah itu. Aku menepuk sofa perlahan untuk memberi gadis itu isyarat agar dia duduk. Gadis pengacara itu masih berdiri sembari menjawab pertanyaanku dengan kesal.
“Aku tidak perlu membeberkan alasanku menjadi pengacara di hadapanmu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa jika kau tidak mengizinkan karyawanmu menjadi saksi di persidangan Mira Anjani. Aku tidak akan tinggal diam. Aku tahu semua tingkah penyuapan busukmu untuk melindungi bisnismu selama ini, aku tidak akan tinggal diam kalau kau tidak membantu kasus Mira Anjani. Jangan main-main denganku, tuan Jiwa!“ kata gadis itu dengan yakin.
Aku berdiri dari sofaku menuju gadis itu sambil bertepuk tangan dengan antusias.
“Wow, wow. Apa kau yakin kau tidak salah mengambil profesi? Kupikir kau sangat cocok menjadi seorang atris ketimbang menjadi seorang pengacara. Apa kau tidak ingin mengambil satu atau dua proyek film? Aku punya kenalan seorang sutradara. Tentu dengan tubuh indah dan proporsionalmu itu kau tidak akan sulit bersaing di dunia entertainment,” kataku sambil membayangkan gadis pengacara itu dalam pakaian yang terbuka. Setelan kemeja kerja yang tengah dipakai gadis itu perlahan berubah di mataku menjadi pakaian dalam berenda berwarna hitam yang kerap dipakai para perempuan yang dihadiahkan kepadaku itu.
“KAU!” Tangan gadis itu terayun hendak menamparku dengan sempurna. Kutangkap pergelangan tangan mungil milik gadis pengacara itu. Tatapan kami bertemu. Aku mengamati wajah gadis itu. Bibir gadis itu tidak merah mencolok seperti para perempuan itu. Ada nuansa pink di bibir itu, sedikit tapi sempurna untuk membuat bibir begitu mempesona.
Gadis pengacara itu berusaha melepaskan tangannya. “Lepaskan aku!”
“Aku tidak pernah membiarkan perempuan menyentuh wajahku, Nona. Kalau kau ingin menyentuhku maka sentuhlah aku di titik tersensitif yang aku instruksikan kepadamu. Bagaimana?”
“Menjijikkan!” Gadis pengacara itu seolah ingin meledak dalam kemarahan. Aku tersenyum penuh kemenangan. Tidak ada seorang pun yang bisa menyakitiku. Aku hidup dengan topeng sempurna, Jiwa bos Red Night yang membawahi bisnis narkoba terbesar di ibukota. Tidak ada seorang pun yang mengetahui malam-malam di mana aku bergetar tak tertahankan ingin menarik pelatuk pistol di pelipisku sendiri.
“NGIIIIINGGGGGGGGG!!!!” Bel merah di dinding pada sebelah rak bukuku berdenging keras. Mataku membelalak. Bel itu tersambung dengan bagian security di depan klub malamku. Kutekan sebuah tombol di balik meja kerjaku, sedetik setelahnya sebuah layar muncul setelah lapisan atas meja terbuka.
Layar itu menampilkan tampilan CCTV di seluruh penjuru gedung Red Night. Pada layar itu tampak segerombol pria mengenakan setelan jas hitam dan penutup wajah yang juga berwarna hitam sedang mengacungkan senapan di lantai utama Red Night. Semua orang berlarian berusaha menyelamatkan diri sambil berteriak histeris. Mereka semakin histeris saat menyadari semua pintu sudah dijaga oleh para penyerang.
Emblem pada jas pria-pria penyerang itu mengingatkanku pada satu hal saja. Seeokor ikan yang menjadi lambang sebuah komplotan kompetitorku di bisnis narkoba ibukota : Baracuda.
Shit!
Bos Baracuda adalah seorang perempuan blasteran Indonesia-Polandia yang bernama Melly. Melly memiliki rambut yang berwarna merah gelap, seperti warna darah yang menggenang saat ibuku mati, warna kesukaanku. Aku dan Melly menjalin kerjasama bisnis haram ini dengan menyenangkan. Aku dan Melly beberapa kali berakhir tersengal-sengal dengan senyuman puas setelah menikmati satu sama lain di sofa ruang kerjaku ini. Tentu saja itu hubungan bisnis. Aku tidak pernah mencintai diriku sendiri, bagaimana bisa aku mencintai orang lain?
“Apa yang terjadi?” tanya gadis itu. Wajahnya terlihat cemas.
“Terjadi penyerangan. Salah satu rekan bisnisku tampaknya sedang tantrum malam hari ini. Kuantar kau menuju jalan keluar rahasiaku untuk keluar dari gedung ini. Ayo!” Kutarik gadis pengacara itu menuju rak buku. Kugeser rak buku itu perlahan, ada sebuah pintu di baliknya. Sebuah bunker, tempat menyelamatkan diri, sekaligus lift darurat langsung menuju area parkir di lantai basement gedung Red Night.
Aku menarik gadis pengacara itu ke dalam ruangan bunker itu. Kugeser rak buku kembali ke posisinya dan menutup pintu bunker. Ruangan 2 x 3 meter itu berdinding abu-abu dengan penerangan dari lampu putih di atasnya. Ada sebuah tempat tidur sederhana dengan sebuah kulkas kecil berdiri tepat di sampingnya. Inilah tempat aku menghabiskan malam-malam panjang tanpa pulang ke apartemenku. Tempat persembunyian bagi Jiwa yang sepi. Sebuah lift dengan tombol terkurung di dalam boks kaca berdiri di samping tempat tidur itu.
Jika aku bisa memutar kembali waktu ke malam itu, aku ingin kaulah yang selamat dan bukan diriku….
“Oke, dengarkan aku, kita akan turun menuju area parkiran dengan lift itu. Aku akan menyelamatkan kita berdua,” kataku. Gadis pengacara itu mengangguk. Ia tampak berusaha mencerna semua yang terjadi ini. Tiba-tiba terdengar suara pintu yang roboh dan bunyi rentetan tembakan.
Sial. Para penyerang Baracuda itu mulai memasuki ruangan kerjaku. Aku mengeluarkan pistol dari balik jas hitam dan mengokangnya dengan sempurna.
Aku menarik gadis pengacara itu ke belakang tubuhku. “Aku akan melindungimu. Tetaplah di belakangku dan jangan berkata apapun, oke?” kataku.
Aku mengarahkan laras pistolku ke arah pintu bunker yang tertutup. Suara derap langkah-langkah berat dan bunyi benda-benda yang dibanting menunjukkan mereka tengah mengobrak-abrik ruang kerjaku saat ini.
Aku mengeluarkan kunci mobilku. Aku berbalik menatap gadis pengacara itu. “Ini kunci mobilku, kau duluan pergilah ke area parkir dan selamatkan dirimu, oke? Password lift ini adalah 1965. Sekarang, pergilah!”
“Tidak! Katamu kau akan menyelamatkan kita dari sini. Kita adalah kita berdua. Aku akan di sini sampai semua ini selesai. Perbincangan kita juga belum selesai soal keadilan tadi. Aku tidak suka pergi sebelum sebuah perbicangan selesai!”
Gadis itu menatapku dengan kesal seolah-olah tidak ada sekelompok pria bersenjata tengah menuju ke ruangan ini.
Aku tidak tahu seperti apa jenis-jenis emosi. Kubuang jauh-jauh seluruh emosiku saat tidak ada satu pun tetangga maupun orang yang lewat depan rumahku yang iba pada tangisanku saat memohon seseorang menolong ibuku yang tengah sekarat di lantai rumah kami. Tapi saat ini aku bisa merasakan sesuatu tentang gadis pengacara ini.
Sekali lagi mata kami bertemu. Gadis itu menatapku dengan berani. “Apa kau yakin akan menungguku?” tanyaku kepadanya. Gadis itu mengangguk yakin.
“Baiklah. Aku akan menyelamatkan kita berdua. Tetap berada di belakangku, oke? Aku akan membereskan para cecunguk ini,” kataku sambil mengarahkan senjata pistolku ke arah pintu bunker yang digedor paksa.
Sedetik kemudian pintu bunker itu roboh. Asap dan debu mengepul bersamaan. Gadis pengacara itu terbatuk-batuk. Kurasakan tangannya menarik bagian belakang jasku saat batuknya semakin keras.
“Selamat malam, Jiwa. Apa aku mengganggu kencan malammu hari ini?” Melly berdiri di hadapanku dengan sekelompok pengawal di belakangnya.
“Apa yang kau mau, Melly? Katakan sekarang!”
Melly menatapku, bukan, ia menatap gadis pengacara di belakangku. Tatapan Melly sangat mengerikan. Ia bisa menjadi bos Baracuda bukan tanpa sebuah alasan spesifik. Tatapan matanya saja bisa membunuh, begitu yang kudengar dari Jimmy. Lawakan lawas kataku, sungguhan kata Jimmy.
“Aku ingin menyapa gadis di belakangmu, bolehkah Jiwa?”
“Apa? Untuk apa kau menyapa gadis ini? dia milikku, kau tidak ada urusannya dengan gadis ini, Melly!” Aku berteriak kepada Melly.
“Milikmu? Gadis itu milikmu, Jiwa? Tak tahukah kau aku gusar sejak kudengar dari alat penyadap yang kutempel di balik jas Jimmy bahwa kau mempersilahkan gadis pengacara itu memasuki ruang kerjamu.”
“Kau memasang alat penyadap di mana?”
“Oh, kau tidak tahu, Jiwa? Jimmy memang tangan kananmu sehari-hari tapi dia memiliki profesi sampingan yaitu menjadi rekan panas di ranjangku pada akhir pekan, menyenangkan rasanya punya dua pekerjaan seperti itu bukan, Jiwa? Tubuhku juga nampaknya mulai menyukai Jimmy. Setidaknya dia lebih hangat jika dibandingkan denganmu, Jiwa…” Melly merendahkan suaranya sambil memberikan tatapan bengis.
“Jadi apa maumu, Melly?”
“Aku hanya ingin membawa gadis itu. Aku tidak suka ada perempuan selain perempuan murahan yang dihadiahkan kepadamu tentunya, yang memasuki ruangan kerjamu. Kau tahu, Jiwa. Baracuda adalah ikan paling berbahaya yang pernah ada bukan karena sifat kejamnya melainkan karena sifat tidak berbaginya. Aku benci kalau ada perempuan lain yang kau persilahkan masuk ke ruang kerjamu, Jiwa.”
Aku masih memastikan pistolku mengarah tepat ke hadapan Melly. Melly pun mengokang senjata revolver seri terbaru yang dia miliki. Perempuan ini benar-benar harus kuhabisi sekarang juga.
Suara tembakan meletus di udara. Tubuhku terjerembab ke depan, ada seseorang yang mendorongku.
“KEPOLISIAN! JANGAN ADA YANG BERGERAK!!!”
Suara derap langkah polisi membuatku terhenyak, siapakah yang menghubungi polisi? Sesosok tubuh jatuh berdebum di belakangku. Aku menoleh ke belakang..
Gadis pengacara itu merebah dengan luka tembak di dadanya. Kemeja putih itu mulai tergenang oleh cairan darah yang pekat. Seorang polisi menghubungi tim paramedis melalui walkie-talkie. Sosok gadis itu menggelepar tergenang darahnya sendiri. Aku merasakan nafasku sesak, sesak sekali. Seolah bayangan ibuku kembali hadir di hadapanku.
Aku meraih tubuh gadis pengacara itu.
“Akulah yang menghubungi polisi…. Sebagai pengacara, kau harus terlatih mengirim pesan tanpa melihat layar ponsel…. “ Gadis itu terbatuk. Batuknya menyebabkan semburan darahnya semakin deras. Aku terpaku menatap wajah gadis pengacara itu.
“Mengapa kau menyelamatkanku?” Aku bertanya kepada gadis pengacara itu. Suaraku parau, kutahan air mata yang mendesak di pelupuk mataku.
Gadis pengacara itu tersenyum kepadaku.
“Agar kau sempat belajar apa itu hidup yang adil. Lagipula kau sudah berniat melindungiku. Kini aku yang melindungimu…. Bagaimana? Cukup adil, bukan?”
Gadis pengacara itu tersenyum untuk terakhir sebelum tubuhnya mengejang dan terdiam. Aku begitu ngeri membayangkan gadis ini tidak pernah bisa bangun lagi selamanya. Kengerian yang berulang kembali.
Aku memeluk tubuh gadis pengacara itu erat-erat. Darah gadis itu menempel ke seluruh pakaianku. Kupeluk gadis itu lebih erat saat tim paramedis memintaku melepaskannya. Air mataku bercampur dengan darah gadis itu... membentuk genangan darah di lantai ruangan bunkerku menjadi tidak pekat lagi.
Kurasa aku mencintai gadis pengacara ini….
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen : Suluh Jiwa Pada Suatu Malam di Red Night"
Posting Komentar