Tubuh anak kecil tujuh tahun yang berkulit legam itu mengilat tertimpa sinar matahari. Bugom terbaring di padang ilalang sambil menghadap langit yang berwarna biru cerah. Hatinya senang karena dia telah mendengar kabar bahwa hari ini akan ada orang dari luar desa yang berkunjung ke desanya.
Bayangkan saja, ini adalah kali seumur hidupnya Bugom mendengar bahwa akan ada tamu berkunjung ke desa mereka. Bugom merasakan hatinya begitu bersorak senang. Akhirnya impiannya terwujud. Ia akan bertemu dengan seseorang dari luar desa!
“Bugooommm! Ayo lekas pulang, Nak! Sudah saatnya membantu Ayah menguliti batang sagu!” Seorang perempuan melambaikan tangan ke arahnya. Bugom berdiri dan segera berlari ke arah ibunya itu.
Dalam hatinya Bugom menebak bahwa ibunya memanggilnya juga karena mengkhawatirkan ia yang bermain terlalu dekat dengan perbatasan terluar desa.
Tidak boleh ada satu pun Aro Ngibak, begitu penduduk desa Hatna Apupa menyebut diri mereka sendiri, yang meninggalkan desa ini, camkan itu baik-baik, demikian kata-kata ayahnya kepada Bugom.
Anak itu bersicepat menuju ibunya. Tidak apa-apa tidak pernah meninggalkan Hatna Apupa, hari ini orang dari luar yang akan berkunjung ke sini, begitu pikir Bugom.
Itu sudah lebih dari cukup. Bugom tersenyum.
***
Desa Hatna Apupa memang selalu tertutup dari orang luar desa. Secara turun-temurun penduduk ras Australomelanesid itu menghuni seceruk desa kecil di hutan lebat di pedalaman pulau berbentuk burung cendrawasih itu.
Bugom sering bertanya kepada ayahnya, apa alasan mereka tidak diperbolehkan keluar dari desanya.
Ayahnya menjawab bahwa semua orang di luar Hatna Apupa adalah orang jahat. Dewa burung cenderawasih telah membersihkan hati dan jiwa Aro Ngibak sehingga kita tidak perlu kemana-mana untuk meraih kebahagiaan, demikian kilah ayahnya. Bugom tidak pernah puas dengan jawaban itu.
Pada suatu hari Bugom mengajak Modas dan Sojo, dua orang kawan dekatnya untuk berpetualang hingga ke batas terluar desa. Ada tanah lapang yang diisi oleh ilalang tempat Bugom sering menghabiskan waktu rebahan menatap langit, lalu ada satu hutan gelap yang membentang. Itulah hutan terakhir.
Di sisi terluar hutan itulah ada dunia selain Hatna Apupa. Bugom mengajak kawannya untuk menembus hutan tersebut. Siapa tahu mereka beruntung bisa sampai ke sisi luar hutan, ke dunia yang belum mereka pernah injak sama sekali.
Bugom mengendap-endap pergi ketika ayahnya sedang pergi berburu dan ibunya tengah sibuk mengurus kedua adiknya.
Bugom berlari sangat cepat untuk bertemu dengan Modas dan Sojo di tanah lapang sebelum hutan terluar.
Seekor burung cenderawasih terbang melintasi langit dengan sayap cokelat yang diserta bulu ekor kuning-putihnya yang terjuntai indah. Bugom memekik senang melihat burung itu. Sambil menunjuk ke arah langit Bugom ingat perkataan ayahnya, burung cencerawasih adalah dewa kita sebagai seorang Aro Ngibak, Hatna Apupa aman dalam perlindungan sayap burung cenderawasih.
Bugom dan kedua orang kawannya itu segera masuk ke dalam hutan perbatasan itu.
Betapa kagetnya Bugom saat ada sesosok dengan tinggi tiga kali tinggi ayahnya menghadang mereka. Wajah sosok itu begitu putih persis hantu. Begitu mengerikannya sehingga Bugom langsung terkencing-kencing di celana saat sosok itu menatapnya.
Sosok itu memiliki mata berupa celah kecil yang berpendar dalam warna merah membara.
“RAKSASA! RAKSASA BIRUUUUU!”
Bugom dan kedua sahabatnya langsung lari tunggang langgang meninggalkan hutan terluar.
Sesampainya di Hatna Apupa, mereka langsung diminta menghadap kepada tetua Hatna Apupa.
Kalian tidak boleh pergi kemanapun, begitu kata Sil Praka, tetua Hatna Apupa.
Bugom benci dengan Hatna Apupa. Bugom ingin keluar dari Hatna Apupa. Dia begitu ingin melihat dunia luar.
Hari ini semuanya akan terbayar lunas. Seorang tamu akan datang ke Hatna Apupa. Seseorang dari luar desa akan membawa pencerahan dari dunia luar ke dalam Hatna Apupa.
***
Hujan turun dengan begitu derasnya. Bugom memeluk kedua kakinya di sudut rumahnya. Kedua adiknya sudah tertidur, padahal ini masih sore.
“Kapan tamu itu akan datang, Ayah?” Bugom bertanya kepada ayahnya yang sedang berdiri membersihkan busur dan panah di muka rumah mereka.
“Tamu itu sudah datang, Bugom. Mereka sedang bersama Sil Praka saat ini.” Demi mendengar kalimat ayahnya barusan, Bugom langsung melesat keluar dari rumahnya yang beratap ilalang dan jerami itu. Tidak dihiraukannya teriakan ayah dan ibunya memanggil-manggil namanya di belakang. Bugom terus menerjang hujan yang begitu deras mengguyur bumi Hatna Apupa.
Bugom menerabas kilatan petir dan tajamnya air hujan yang menderas turun. Hujan selalu membasahi desa ini nyaris sepanjang tahun.
Bugom tiba di depan rumah Sil Praka. Deretan kayu berjajar menjadi pagar rumah Sil Praka. Tumbuh-tumbuhan kompak menunduk-nunduk tersirami oleh air hujan.
Bugom mengendap-endap menempelkan telinga di dinding kayu rumah Sil Praka.
“Kalian tidak bisa begitu saja menetapkan harga seenaknya!” Suara Sil Praka melengking tajam.
“Sepuluh juta adalah harga yang pantas.” Sepertinya Sil Praka sedang bercakap-cakap dengan tamu dari luar desa itu dengan sangat serius.
“Tidak. Dua puluh juta itu sudah keputusan saya!”
“Sepuluh juta atau tidak sama sekali, bagaimana? Anda membutuhkan uang itu untuk membeli obat malaria bagi penduduk desa terpencil ini. Mau berapa penduduk lagi yang meninggal dunia karena nyamuk malaria yang tidak henti menyerang kalian?”
Terdengar keheningan yang lama. Bugom mendengar degup jantungnya berdetak sangat kencang. Otaknya tidak memahami apa itu malaria tapi nyamuk memang sudah menjadi sahabat bagi para penduduk desa. Minyak dari babi yang ibu oleskan saban malam pun tidak cukup untuk menghalau nyamuk-nyamuk itu….
“Baiklah, baiklah, sepuluh juta. Kalian butuh berapa?”
“Oke, sepuluh juta. Deal! Kami butuh sepuluh anak kecil dan kalian akan menerima seratus juta langsung saat ini juga. Bagaimana? Oke?”
“Oke.”
“Kami butuh tubuh anak-anak kecil itu untuk dikirim ke negeri jauh di seberang lautan. Kalian tahu? Di luar sekarang sedang mewabah virus korona. Mereka membutuhkan tubuh-tubuh anak desa ini yang murni tak tersentuh dunia luar untuk percobaan obat wabah itu.”
“Baiklah. Segera setelah hujan reda, aku akan memanggil sepuluh anak kecil ke hutan terluar. Tunggulah di batas luar desa dengan mobil kalian. Aku akan mengubah diriku menjadi raksasa biru yang selalu menakut-nakuti anak-anak yang berusaha keluar dari desa. Raksasa biru akan memakan anak-anak kecil itu, begitu aku akan bersandiwara.”
Tubuh Bugom mengejang. Ia seolah tidak menapak lagi di bumi. Ia segera berbalik menghadap ke arah rumah kawan-kawannya. Ia harus mengajak kawan-kawannya melarikan diri sekarang juga!
***
Belum ada tanggapan untuk "Cerpen : Hatna Apupa"
Posting Komentar