Kata orang perjalanan menemukan rumah yang tepat itu sudah seperti perjalanan mencari jodoh : gampang-gampang-susah. Kataku itu memang fakta yang sebenarnya, sama sekali tidak berlebihan sedikit pun. Setelah sepakat untuk membeli rumah di awal pernikahan bersama suamiku, Heru, satu tahun sudah lamanya untuk mencari-cari rumah idaman dengan harga terjangkau.
Aku dan suamiku telah menikah selama dua tahun lamanya. Sejauh ini kami belum dikaruniai anak. Aku pikir itu sebuah keuntungan karena kami jadi bisa menabung gaji kami berdua untuk DP pembelian rumah. Punya anak itu sangat money-consuming. Benar saja, sekarang aku berhasil mengumpulkan uang DP untuk membeli sebuah rumah.
Permasalahannya mencari rumah itu kadang-kadang lebih sulit daripada mencari jodoh. Sepertinya aku tidak pernah lagi menghabiskan akhir pekanku dengan kegiatan santai. Selalu saja akhir pekanku dan suamiku habis kami pakai memutari Jabodetabek untuk mengunjungi calon-calon rumah yang akan kami beli.
“Aku capekkk, Mas. Kita sudah non-stop mencari rumah selama satu tahun. Apakah kita tidak teruskan saja tinggal di apartemen seperti sekarang saja, Mas?”
Aku menghenyakkan diri ke sofa biru apartemen sambil melempar tas ke meja di depan kami. Rumah yang baru kami tengok tadi berada di pinggir kota Depok. Rumahnya bagus tapi perumahannya sudah lama sekali. Tidak ada tetangga yang seumuran dengan kami. Tadi hanya ada kakek-kakek dan nenek-nenek yang bersliweran dan saling bercengkrama.
Suaiku membuka kulkas dan mengambil sebotol air dingin.
“Sudah, minum dulu, nih. Kamu ngomong begitu karena lagi capek. Biasanya juga besok kamu yang akan bilang sudah menemukan rumah yang akan kita survey weekend selanjutnya. Iya, kan?”
“Arrrgh. Iya sih, Mas tau kan bahwa rumah ini adalah proyek kita yang sangat aku dambakan?”
“Iya, Mas tau kok. Kamu juga sudah berhemat dengan sangat luar biasa sampai kita berhasil mengumpulkan uang DP rumah dalam dua tahun pernikahan kita ini. kamu istri yang hebat, eh bukan-bukan, saangaaaattt hueebaaat! Hehehehe. Sudah ah, Mas mau mandi dan istirahat. Besok kan sudah hari Senin.”
Suamiku benar. Aku sudah sangat memimpikan tentang rumah ini sejak awal pernikahan. Aku rela memotong budget liburan selama dua tahun ini demi mengumpulan uang DP rumah. Aku juga rela mencari apartemen dekat kantor kami agar ongkos transport bisa kami tekan sekecil mungkin. Bukan itu saja, bahkan setiap hari aku selalu memasak agar aku dan suamiku dapat membawa bekal ke kantor masing-masing.
Huh. Aku menatap jendela apartemenku. Lalu lintas pusat kota Jakarta yang ramai meskipun Minggu malam seperti ini semakin membuatku ingin memiliki rumah. Sebuah rumah di mana jika aku menatap melalui jendela maka yang kulihat adalah taman kecil, pagar rumah dan rumah tetangga.
Hidup di apartemen ini jangankan melihat taman atau pagar, melihat tetangga saja sudah membuatku ingin mengadakan sebuah syukuran. Selama dua tahun tinggal di apartemen, aku hanya melihat satpam yang berjaga di setiap lantai apartemen. Tetangga? Lupakan itu. Aku tidak pernah melihat apakah tetangga di unit apartemen sebelahku ini seperti apa bentuknya. Atau jangan-jangan dia tidak berbentuk alias transparan. Hiiiy, memangnya hantu?
***
Aku meletakkan kotak kardus terakhir di ruang tamu rumah. Suamiku memberi uang tip kepada supir truk yang membawa barang-barang kami ke rumah ini. Ya. Akhirnya kami menemukannya juga. Aku akhirnya menemukan pelabuhan atas pencarian rumahku. Aku menemukan rumah idamanku….
“Keliatannya kamu happy banget nih, capek tapi happy.”
“Happy dong, Mas. Happy banget malahan. Akhirnya pencarian kita berakhir juga ya, Mas. Mulai sekarang kita punya rumah sendiri yang menapak di bumi. Bukan mengawang-awang seperti apartemen sempit kita kemarin itu.”
Suamiku hanya tersenyum sambil berlalu ke dapur. Rumah ini begitu sempurna. Aku berhasil menemukannya di sebuah situs penjualan rumah. Pengembang perumahan ini membuat rumah dengan desain yang berbeda-beda. Totalnya ada dua puluh empat rumah dan semua rumah ini dibentuk dengan unik.
Ada yang satu lantai dengan taman di tengah-tengah rumah. Ada yang dua lantai dengan taman di belakang rumah. Ada yang berkonsep minimalis dengan fasad berbentuk kotak dari depan. Ada juga yang berkonsep Eropa dengan kolom-kolom tinggi berwarna putih.
Aku langsung tertarik melihat konsep perumahan ini. Setelah survey ke lokasinya langsung, aku sangat menyukai rumah ini dan perumahan ini. Bayangkan saja, perumahan ini berisi pasangan muda-mudi seusiaku dan suamiku. Ada yang bekerja dan tidak bekerja. Ah, cocok sekali. Aku yang tipikal suka bersosialisasi sangat mendambakan punya tetangga yang seumuran.
Rumahku sendiri memiliki sebuah halaman di samping garasi. Aku sudah bersemangat untuk menanaminya berbagai tumbuhan. Tentu saja setelah semua urusan pindahan ini beres. Sekarang aku harus membuka kotak-kota kardus berisi perabotan dan peralatan rumah tangga lalu menatanya. Ah, aku bersiul-siul gembira. Pindahan memang melelahkan tapi hatiku sangat senang karena ahirnya aku menemukan rumah yang sangat sesuai dengan kriteriaku.
Aku ingin rumah yang memiliki tetangga seumuran denganku, itu sudah pasti. Namun, sebenarnya ada satu hal yang menjadi keinginanku terhadap sebuah rumah….
Aku sangat ingin memiliki rumah yang bebas dari banjir. Ya. Itulah keinginanku yang terbesar dari kriteria pencarian rumah selama satu tahun ini.
Ketika aku mengunjungi rumah ini aku langsung bertanya tentang masalah banjir kepada tidak hanya satu, melainkan lima orang tetangga samping kanan dan samping kiri calon rumahku. Wajar saja, kenanganku tentang banjir memang sungguh membekas sekali.
Rumah kedua orangtuaku memang berada di daerah banjir, tepatnya di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Sejak aku kecil aku sudah hafal rutinitas pada bulan Desember sampai Februari. Kedua orangtuaku akan mengajakku dan ketiga adik-adikku untuk menaikkan baju-baju kami ke lantai kedua. Jika hujan sudah mulai turun, ayahku akan menaikkan ijazah dan benda-benda berharga. Saat hujan turun semakin deras maka kami semua akan akan berkumpul di lantai dua.
Tidak usah dibayangkan lantai kedua rumahku seperti rumah para artis yang berdinding keramik dan berpendingin ruangan itu. Tidak. Tidak sama sekali. Lantai dua rumah kami hanya berlantai kayu yang dibangun swadaya oleh ayahku. Ayahku yang berprofesi sebagai supir angkot itu memang memiliki kemampuan pertukangan.
Bayangan air cokelat yang meninggi hingga batas atap rumah selalu sukses membuatku mengenyahkan semua kelelahan. Entah lelah bekerja demi menabung DP rumah. Ataupun lelah berkeliling Jabodetabek demi menemukan rumah idaman.
“Hey, kok melamun. Kalau kamu capek, aku pesankan makan siang sekarang aja, ya. Beres-beresnya setelah makan siang. Oke?”
Aku mengangguk kepada suamiku. Dia sudah kuceritakan tentang kisah banjir ini dari A sampai Z ketika kami dekat di kantor hingga menikah. Suamiku paham betul tentang kriteria rumahku yang segambreng tadi, tetnunya dengan nomor satu dan yang paling utama adalah : BEBAS BANJIR.
Ketika aku mensurvey rumah ini aku terpukau dengan perumahan ini yang bersih dan memiliki desain berbeda-beda. Namun, aku tidak melupakan kriteria utamaku. Kutanyakan kepada tetangga, lima rumah ke kanan dan lima rumah ke kiri di sebelah rumah yang kini menjadi rumahku tentang banjir atau tidaknya perumahan.
Mereka semua mengatakan bahwa perumahan ini bebas banjir sedari awal pembangunannya. Kami tahu kami sudah jatuh mencintai kepada rumah ini. Rumah ini bebas banjir. Itu sudah pasti.
***
Awan gelap menutupi langit. Aku meletakkan mangkuk berisi sup ayam dan bakwan jagung buatanku di atas meja makan. Hari Minggu seperti ini memang biasanya kuhabiskan dengan memasak di dapur.
“Mas, ayo makan dulu. Bakwan jagungnya masih krenyes-krenyes nih, Mas.” Maklum saja, bakwan jagung adalah makanan favorit suamiku.
Di luar hujan perlahan turun. Aku sedang menyendok nasi ke mulutku saat aku merasakan sesautu yang basah di kaki-kakiku. Kulongokkan kepala ke bawah. Ada air keluar dari sela-sela lantai rumahku dengan deras sekali. Perlahan tapi pasti air mulai membanjiri kaki-kaki meja makan. Aku hanya bisa berpandangan dengan suamiku.
Tiba-tiba pintu rumahku diketuk dari luar oleh seseorang. Aku menuju pintu disusul oleh suamiku. Kubuka pintu dan tampaklah sesosok laki-laki dengan rambut plontos dan kumis seperti kumis berang-berang.
“Bu Nia, ya? Masih ingat saya, kan?”
“Pak Broto ketua RT perumahan ini, kan?”
“Iya, Bu. Gimana bu, rumahnya banjir, ya?”
“I, iya, Pak….”
“Yasudah terima nasib saja ya, Bu. Kalau Ibu mau jual rumah Ibu, jangan lupa menyuap tetangga-tetangga sebelah Ibu untuk berbohong kepada calon pembeli yang akan mesurvey rumahnya ya, Bu. Persis seperti yang dilakukan oleh pemilik rumah ini sebelumnya.”
Aku tidak bisa mengucapkan apa-apa. Lelaki berkumis berang-berang itu lalu pamit untuk mengurus banjir di rumahnya sendiri katanya. Aku menatap suamiku, pasrah. Sudah ada genangan yang semakin meninggi di kaki-kaki kami.
1 Tanggapan untuk "Cerpen : Perjalanan Menemukan Rumah Idaman"
Aaahh sediiiiihhh.... :((
Posting Komentar