Kematian adalah hal yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Sejak dahulu kala, kematian adalah topik yang membuat manusia berpikir, merenung lalu menemukan makna kehidupan. Hal itu semakin lebih besar dampaknya apalagi jika yang mengalami kematian adalah sosok yang dekat dalam lingkaran dalam hubungan kita. Sempat mengenal, sempat bertemu, sempat satu sekolah, sampat satu pekerjaan, ataupun lama mengenal, lama bertemu, keluarga, pasangan, anak, semua kategori tersebut akan menyebabkan hantaman yang dahsyat saat salah satu atau banyak dari mereka mengalami kematian.
Bismillah.
Kutulis
tulisan ini untuk menyalurkan rasa dan pemikiran tentang seseorang yang kurasa
kematiannya menghempaskan perasaan bahagiaku terbesar di tahun ini.
Ini
tentang:
Su1c1de
2011
Selulus dari Psikologi UI, kuputuskan mengambil job-job freelance proyekan dari beberapa kakak kelas. Salah satunya survey PAUD nasional. Anak psikologi diminta menjadi surveyor katanya, oke siap kataku. Dua kota kusambangi. Bandung dan Balikpapan.
Saat di kota kembang, Bandung, kuputuskan menghubungi A’Adang.
Dia berbaik hati mengajakku dan Popi, teman surveyorku saat itu untuk belanja-belanja
tas di sebuah pusat tas murah Bandung. Keesokan harinya A’Adang mengantarkanku
dan Popi pulang ke Jakarta. Ya, dengan mobil kawan baiknya, A’Adang menyetir
300 kilo Bandung Jakarta lalu Depok untuk mengantarkan aku dan Popi pulang.
Siapa
sebenarnya dirimu A’Adang? Kupikir kita sudah saling mengenal saat itu. Penggambaran
hubungan kita selayaknya novel Pingkan buatan Maimon Herawati. Akulah Pingkan
dan kau adalah Uda Tom, pemuda Australia yang diangkat anak oleh sebuah
keluarga di kota Padang. Tom mengalami pertukaran pelajar dari Australia dengan
Indonesia dan ditempatkan di kota Padang. Bertahun-tahun setelah peristiwa
pertukaran pelajar selesai, Tom tetap dianggap anak oleh keluarga Pingkan.
Pingkan
menganggap Tom sebagai “uda”, kakak laki-laki dalam Bahasa Padang.
Seperti
aku, menganggapmu sebagai “Aa”, kakak laki-laki Bahasa Sunda setelah satu bulan
kamu menghabiskan waktu di Depok menginap di rumah kami jauh-jauh dari kotamu
Kuningan untuk belajar bimbingan belajar demi Pendidikan intensif menuju
seleksi PTN.
Aku
adalah Pingkan dan kamu adalah “abang ketemu gede”. Kuanggap begitu. Kupikir
begitu. Dan selamanya akan begitu.
:’)
2022
Pagi
hari 17 Februari 2022 kubuka ponsel di pagi hari dan disambut dengan pesan WA
ibuku di grup keluarga yang menyentak hatiku.
“A’Adang
meninggal dunia pagi ini”
Tidak
ada ucapan innalillahi yang keluar dari bibirku langsung, melainkan pertanyaan “kenapa?
Apa penyebabnya?” Diam membisu seribu bahasa. Ibuku diam. Kuputuskan untuk
menghampiri ibuku langsung di rumahnya dan menanyakan tentang kabar kematianmu.
Benarkah
kamu meninggal?
Kenapakah
kamu meninggal?
Ibuku
menjawab gugup “dugaannya seperti anaknya Nurul Arifin, yang kematiannya sangat
mendadak. Ya seperti itu. Kira-kira dugaannya seperti itu.” Dugaan? Kenapa
dugaan? Aku mencium ada bau-bau yang tidak sedap. Tapi ibuku bungkam.
Kuhabiskan
hari itu dengan tatapan nanar dan pikiran kosong.
Bagaimana
mungkin kamu meninggal dunia? Kamu hanya 3 tahun di atasku, kamu lulusan ITB,
pekerjaanmu baik-baik saja, dan walaupun kamu sehabis bercerai dengan istrimu,
aku tahu kamu baik-baik saja.
Tidak,
itu bukan pengetahuan, itu harapanku.
Dan
semestinya aku menanyakan itu kepadamu, setidaknya satu kali, agar aku tidak
menyesal seperti ini….
2021
Bulan
Desember 2021 tepatnya tanggal 21 Facebook menampilkan reminder hari
ulangtahunmu. Kupikir aku harus mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu. Aku
juga sebenarnya penasaran dengan kabar perceraianmu.
Kita
memang sudah tidak pernah lagi sering bertemu dan bertegursapa. Perjalanan
hidupku dan hidupmu sudah dipenuhi dengan peristiwa besar seperti menikah,
membina keluarga masing-masing dan aku hanya mendengar samar-samar kabarmu dari
ibuku yang masih beberapa kali kau sambangi.
Tapi
ini hari ulang tahunmu.
Dan
meskipun kita hanya satu bulan seatap, aku menganggapmu saudara. Kuputuskan
menghubungi bibiku yang menikahi pamanmu. “Bi, tolong sampaikan selamat ulang
tahun ke A’Adang ya” Kupikir bentuk ucapan selamat ulang tahun akan
menyemarakkan harimu.
Kutebak
harimu pasti muram, suram, dingin, setidaknya bumpy setelah perceraianmu.
Tebakanku
harusnya kukonfirmasi langsung. Harusnya kutanyakan langsung. Agar tiada sesal
tak berguna seperti ini…
2022
Pagi
hari 18 Februari, satu hari setelah kabar kematianmu. Ya, kamu benar sudah
meninggal dunia. Aku sakit, aku sedih dan rasanya masih percaya tidak percaya.
Tapi aku ingin menulis kebaikan-kebaikan hatimu.
Keramahanmu,
kepintaranmu, dan kesopananmu yang membuat semua orang nyaman berinteraksi dan
mengenal dirimu.
Kuambil
ponsel, kuketik namamu di mesin pencari Google, aku ingin mencari dimana
kuletakkan fotomu, apa pernah kumasukkan blog atau facebook? Kuketik namamu dan
namaku.
Artikel
pertama yang muncul : Gempar! Warga Cigadung Kuningan meninggal dunia karena bunuh
diri!
Kukedipkan
mata berkali-kali, berharap salah, kuklik berita dan benar itu kamu (dan
sedihnya benar ada kilasan jasadmu yang diam membeku). Ku berteriak kepada
suamiku agar memintaku dipeluk segera.
“Ada
apa?”
“Ada…ada
artikel tentang A’Adang..hiks huhuhuhu”
Kukonfirmasi
ke semua penjuru. Kepada ibuku, bibimu dan sepupumu. Satu yang menjawab dengan
cepat yaitu sepupumu.
“Ya,
Teh Dea, benar itu artikelnya…”
Ya
Allah……aku bukan kehabisan kata-kata, aku kehabisan pikiran untuk berpikir dan
menyerap semua ini.
Ya
Allah…
YA
ALLAAHHHHHHHHH
Kilasan
semua momen kebersamaan kembali teringat. Kenapa kamu sampai tega melakukan hal
itu? Kenapa, kenapa, dan kenapa, ribuan kenapa berterbangan di dalam kepalaku.
Ya
Allah..
Aku
sesak bukan kepalang. Berbagai perspektif hadir di dalam kepalaku….Sebagai
alumni psikologi, sebagai penyintas depresi, sebagai muslimah, dan tentu
sebagai sosok yang pernah menganggap kakak, aku benar-benar shock, shock yang
tak terkatakan oleh kata-kata
Perspektif Psikologis
Perspektif
psikologis muncul tentu karena kombinasi antara pengalamanku sebagai sarjana
psikologi dan juga pengalamanku sebagai penyintas depresi. Aku tahu rasanya
ingin dicintai, aku tau rasanya merasa dunia buntu, dan aku tahu rasanya merasa
dunia akan lebih baik tanpa kehadiranku di dalamnya.
Itukah
yang ada di kepalamu saat kamu melakukannya?
Itukah
yang ada di hatimu saat kamu akhirnya berani untuk melakukan tindakan irreversible
itu?
Dulu
aku mengenalmu sebagai sosok abang yang cerdas. Kamu masuk ITB, itu sudah lebih
dari cukup menggambarkan kepintaranmu. Tapi aku juga tahu bahwa ibumu meninggal
dunia dan peristiwa itu meninggalkan dampak yang begitu besar dalam
kehidupanmu.
Itukah
yang ada di kepalamu saat kamu melakukannya?
Kamu
ingin kembali Bersama dengan ibumu?
Aku
juga mendengar kabar perceraianmu dari istrimu. Tapi sampai kabar kematianmu
aku belum-belum juga mengontakmu setidaknya untuk bertanya kabar, dan biarkan
itu jadi penyesalanku yang terlalu dalam.
Itukah
yang ada di di kepalamu?
Kekalutanmu
karena kamu bercerai?
Apakah
kamu merasa gagal sebagai lelaki karena perceraian itu?
Pertanyaan
demi pertanyaan itu membuatku semakin sedih. Jauh semakin sedih karena aku tahu
ini semua takkan pernah ada jawabannya.
Kamu
tidak bisa kembali dari kematian untuk menjawab semua pertanyaan ini.
Dan
aku berandai-andai semakin jauh. Andai saja…kamu selamat. Lalu peristiwa ini
menjadi “percobaan bunuh diri yang gagal”, aku akan mengontakmu, menyapamu dan
menawarimu aneka jalur konseling dan pengobatan kejiwaan.
Aku
akan bercerita kepadamu tentang pengalamanku yang baby blues dan post
partum depression tapi bisa pulih kembali.
Aku
akan menyempatkan datang ke kotamu, Kuningan, lalu setidaknya siap menerima
kelakarmu tentangku. Ah, bahkan “kok badan kamu seperti gentong, De” kini
terdengar indah di telingaku. Sungguh indah mengingat kamu sudah tidak ada untuk
mengucapkan kalimat semacam itu lagi.
Huhuhuhu.
Hiks hiks.
Astaghfirulloh.
Perspektif Keislaman
Saat
artikel kematianmu itu dibaca oleh suamiku, dia termenung lama. “Neng tau kan dosa orang
yang bunuh diri? Dia akan terus menerus dibuat membunuh dirinya sendiri oleh
Allah di akhirat. Semenyedihkan itu memang”
Aku
terisak-isak.
Ya
Rasa
sakit ini, bukan semata-mata karena kepergianmu, tapi caramu untuk pergi
mengakhiri hidupmu. Kudengar kamu sempat dibawa dan kritis. Tapi nyawamu kemudian
berpulang kembali ke haribaannya. Percobaan bunuh dirimu sukses, dan aku
selamanya benci untuk kesuksesanmu di bidang satu ini.
I
hate your suicide…
Satu
hari, dua hari, kucari buku-buku keislaman untuk menawarkan rasa perih di
hatiku saat mengetahui peristiwa ini. Satu kalimat terpatri “Allah Maha Pengampun”
Ah
Ya,
kumintakan ampun banyak-banyak kepada Allah untukmu saja bagaimana? Semoga
dengan itu rahmat Allah turun atasmu dan kamu selamat di alam kubur dan di akhirat
kelak.
Kubaca
lagi dan lagi buku-buku keislaman. Satu kalimat lain terpatri “siapa yang
meninggal dengan membawa kebaikan meski hanya sebesar zarrah (biji sawi, kecil
sekali) maka rahmat Allah akan turun atasnya”
Ah,
ya, benar. Itu dia. Kamu meninggal dalam agama Islam. Meskipun caramu tidak
diridhoi oleh Allah, semoga keislamanmu akan menyelamatkanmu.
:’)
Terisak-isak
aku menabah-nabahkan hati. Buatku yang sangat mendalam menjaga perasaan
terhadap siapapun yang pernah hadir, sosokmu selalu jadi abang buatku sejak
tahun 2006 hingga 2011 itu. Semua perspektif ini adalah caraku mengelola
kesedihan.
Kamu
tidak akan bisa kembali. Dan kehidupan masih terus harus berjalan…
Perih
benar mengatakan hal itu tapi kenyataannya setiap memandang langit, menonton TV
dan membaca buku dua harian ini, aku masih ingat dengan keputusanmu mengakhiri
hidup.
I’m
not hate you
I
hate your suicide
Tapi
dalam perspektif keislaman, bukankah kalimat di atas berarti aku benci
takdir-Nya? Di hari itu, tanggal itu, jam itu, takdir kematianmu telah Allah berikan.
Hanya
saja caramu tergesa-gesa dalam menjemputnya atas inisiatif sendiri
(faghfirlahu..ampuni dia ya Rabb)
Saat
membenci suicidemu berarti aku membenci takdir Allah, aku berharap takdir Allah
salah dan mengembalikanmu ke dunia….
Padahal
takdir Allah tidak pernah salah.
Selalu
ada hikmah, hanya saja, hikmah untuk peristiwa kali ini mungkin baru tahunan
mendatang aku akan menemukannya.
Entahlah…
Pada akhirnya…
Pada
akhirnya…kamu tetap sudah meninggal dunia dengan cara suicide, dan kami-kami
ini yang hidup, begitu terpukul dan mengalami banyak penyesalan atas
kepergianmu dengan cara yang sedemikian itu.
Pada
akhirnya, aku ingin menulis sepucuk surat, yang pasti tidak akan pernah kamu
baca.
Dear
A’Adang
Apa
yang terjadi, A? Jika tidak ada yang bisa menjadi pelega dalam beban
kehidupanmu yang berat, kamu bisa selalu mencari psikolog, A. Aku belajar bahwa
psikologi bisa meringankan jiwa kita dalam menempuh kehidupan yang berat ini.
Dear
A’Adang
Apa
yang membuatmu panik hingga mengambil keputusan irreversible ini, A? Konflik dengan
seseorang kah kamu pada malam hari itu?
Aku
sedih, A
Aku
saja yang jauh begini hubungannya sangat sedih, apalagi keluargamu, mantan
istrimu, anakmu, dan teman-temanmu yang lainnya, A
Kamu
adalah sosok laki-laki cerdas, brilian, akademis, ramah, terampil, supel,
humoris, ah, tapi aku seperti juga orang lain, tak pernah benar-benar tahu apa
yang ada di dalam hatimu
Dear
A’Adang
Semoga
Allah mengampunimu, dan Allah memberikan rahmat kepadamu. Karena hanya karena
rahmat-Nya saja kita bisa berbahagia di dunia dan di akhirat
Mudah-mudahan
kita bisa berjumpa lagi di taman-taman syurga ya A? Aku akan mendoakan
pengampunan atasmu, A. Aku yakin Allah Maha Pengampun.
Semoga
Allah menyucikan segala dosa-dosamu ya, A
Kehidupan
ini memang pahit, kusetujui hal itu. Tapi menjalani kepahitan itu dan bersabar
atas takdir-Nya semoga bisa kulakukan sampai husnul khotimah menjemputku.
Semoga
kita ketemu lagi di syurga-Nya ya, A. Aku tak putus harapan meski kamu
mengakhir kehidupanmu, Allah Maha Pengampun, aku akan pintakan ampunan-Nya
untukmu. Kuyakin ada banyak orang yang serupa denganku.
Sampai
jumpa lagi, A’Adang
You
are loved, sayangnya aku tidak bisa mengatakannya langsung. Semoga tidak ada
lagi sosok sepertimu ya, A
Semoga
yang kehidupannya sedang buntu dan gelap, menemukan cahaya, entah dari kawan,
keluarga, ataupun tenaga professional seperti psikolog dan psikiater.
Sampai
jumpa lagi, A’Adang
Surely
you’re gonna be missed, truly deeply missed….
Depok,
19 Februari 2022
Ditulis
untuk menyalurkan rasa
Innalillahi
wa inna ilaihi rojiun
Telah
berpulang ke rahmatullah, Adang Setiawan, tanggal 17 Februari 2022 di Kuningan,
Jawa Barat. Allahummaghfirlahu
Allahumaghfirlahu
Allahumaghfirlahu
Ya
Allah ampunilah dia
Ya
Allah ampunilah dia
Ya
Allah ampunilah dia
Belum ada tanggapan untuk "Kesedihan Akibat Ditinggal Bunuh Diri"
Posting Komentar