Detoksifikasi Gawai dan Televisi pada Anak








Sekitar dua minggu-an yang lalu, suami saya mengajak saya menonton sebuah seminar daring bertema parenting. Saya meng-iya-kan tentu saja. Kapan lagi coba suami yang mengajak istri seminar parenting? 


Seminar itu sendiri bertema bagaimana meningkatkan ikatan keluarga di tengah pandemi yang membuat sebagian besar orang menghabiskan waktunya di rumah saja. Ini sangat related dengan keluarga kami. Suami saya sejak 16 Maret hingga sekarang bekerja dari rumah. Hal ini ditambah dengan sulung saya yang juga bersekolah dari rumah.


Semua seolah sering berujung pada kejadian yang chaotic. Akhirnya saya memilih solusi jangka pendek dengan memberikan gawai dan televisi kepada anak-anak.


Hal ini semakin parah saat tidak adanya komunikasi. Saya lebih sering merasa kewalahan tapi di sisi lain suami juga merasa lelah harus bekerja dengan tidak fokus karena rengekan anak-anak.


Setelah seminar parenting itu suami saya masih mengikuti grup parenting melalui WhatsApp. Di dalam grup tersebut setiap harinya akan dilatih mengenai komunikasi dan bedah kasuistik setiap keluarga yang bisa jadi sangat unik dan berbeda satu dengan yang lainnya.


Suami saya pun mengemukakan sebuah ide gila : detoksifikasi total gawai.


Sebelumnya kami sudah sekitar dua minggu-an tidak memiliki televisi. Hal ini dikarenakan si sulung jadi suka menonton sinetron di kanal Indosiar yang terkenal akan OST dari Rossa “Ku menangiiiiis”-nya itu.


Sejak si sulung berusia tujuh tahun kami menjadi sering menonton sinetron nirfaedah itu, suami saya pun mencabut kabel-kabel dan menyimpannya rapat-rapat. Akhirnya televisi di rumah kami berubah menjadi pajangan.


Hehehehe.


Hal ini juga tadinya menyulut emosi saya. Sejujurnya saya menemukan hiburan di dalam beberapa program televisi sebut saja serial “Criminal Minds”. Suami saya bersikukuh untuk menyimpan semua perkabelan televisi untuk memotong satu sumber input negatif bagi anak-anak.


Setelah seminar parenting itu selesai, saya dan suami berdiskusi mengenai program selanjutnya tentang aplikasi ilmu yang didapatkan dari seminar tersebut.


Adakah yang sering merasa tidak berhasil setelah mengikuti seminar parenting? Kalau saya sih, iya. Saya sering merasa tidak berhasil mengikuti segala A-Z seminar parenting. Namun tampaknya ini berbeda.


Kali ini yang mengikuti seminar dan WA grup parentingnya adalah suami saya. Ya, dan memang benar-benar kali ini berbeda.


:’)


Suami saya memberikan perspektif mengenai keselamatan jangka panjang keluarga yang harus diselamatkan. Ini berujung pada keputusan menyetop total pemberian gawai.


Apaaaa?


Saya sih langsung bilang, no, no, no. Bagaimanapun saya bukan tipe yang suka perubahan. Sulit sekali bagi saya menerima perubahan, sekecil apapun itu. Apalagi itu menyangkut pemberian gawai yang seringnya karena saya kehabisan ide untuk bermain bersama-sama anak.


Namun, suami saya sangat sabar dalam menyamakan frekuensi pikiran dengan saya. Malam demi malam kami habiskan dengan pola yang sama: suami saya memberikan pemahaman, saya yang berurai air mata menyanggah dan suami saya yang membetulkan kesalahan berpikir di dalam otak saya.


Huks! Kalau sudah begitu saya akan perlahan mengusap air mata saya di pipi dan menyimak penjelasan lembut suami saya ….


Semuanya masuk di akal, sih. Ini pasti karena keputusasaan yang sering menjadi sahabat saya kalau sudah bicara parenting. Suami saya menyadarkan saya kembali tentang tahap demi tahap menjadi orangtua yang baik.


Sebelum menjadi orangtua yang baik, setiap pasangan yang telah memiliki anak haruslah menerima terlebih dahulu peran orangtua yang telah mereka emban. Semudah itu? Tidak mudah, lho. Tahapan menerima ini bisa berlangsung cepat tapi ada juga yang menghabiskan waktu bertahun-tahun.


Akhirnya bermalam-malam dihabiskan oleh suami saya dan saya untuk berbicara dari hati ke hati soal tahap penerimaan ini. Saya terbuka tentang “beban” ketakutan saya bahwa teknik parenting apapun yang saya terapkan, lebih sering gagal daripada suksesnya.


Suami saya mengatakan mungkin itu karena saya langusng melompat menuju hal-hal yang sulit. Suami saya mengajak saya mengubah cara komunikasi dengan anak-anak, itu saja.


Saya pun dilatih oleh suami saya mengenai diksi, intonasi dan ekspresi berbicara kepada anak-anak. Ya, saya benar-benar dilatih kata per kata bagaimana seharusnya berbicara kepada anak-anak.


Hal ini miris jika mengingat saya sudah tujuh tahun menjadi ibu. Nah, kan, putus asa muncul lagi~ hmm, saya memang memiliki kecenderungan hal negatif itu (putus asa) maka harus sering diingatkan untuk bisa mengendalikan kecenderungan tersebut.


Saya pun meminta izin kepada suami tentang keikutsertaan yang minimalis dalam program parenting yang akan dia gulirkan ini. Suami saya tersenyum. Lagi-lagi ia dengan lembut menyibak kesalahan berpikir saya.


Saya selama ini selalu menganggap apapun kompetisi, termasuk proses pengasuhan anak alias parenting.


Suami saya mengatakan bahwa kami tidak sedang berkompetisi dengan siapapun. Ini murni menyelamatkan kami dari penyesalan yang lebih besar di masa depan.


Oke. Oke, kata saya. Saya akan mengikuti program parenting ini.


Suami saya pun maju ke depan terlebih dahulu mencontohkannya. Keesokan paginya suami saya tampil sangat segar dan tampan cuma untuk menyambut anak-anak bangun dari tidurnya.


Saya pun tersentuh. Ya, sial benar menjadi saya. Teori parenting mengenai grooming menghadapi anak-anak itu sebenarnya sudah lama berada di kepala saya. Namun, hanya terdiam begitu saja tanpa saya aplikasikan.


Saya pun mengikuti suami saya. Saya mengenakan pakaian terbaik, jilbab tercantik lalu menyambut anak-anak bangun dari tidurnya.


Anak-anak saya pun terkejut. Sambil mengucek mata mereka yang masih setengah mengantuk itu mereka berbisik, “Ibu mau pergi, ya?”


Hihihihi….


:’)


Suami saya juga mencontohkan untuk mengatakan keputusan menyetop total gawai beserta alasan kuatnya. Apakah anak-anak langsung menerima? Si sulung yang berusia tujuh tahun saja langsung berguling-guling tantrum.


Bagaimana dengan adiknya? Adiknya yang berusia tiga tahun pun mengikuti kakaknya yang menggelinjang menendang-nendang sembari berputar-putar di lantai.


Saya melirik resah kepada suami saya sambil melempar pandangan putus asa “Kan, sudah kubilang apa”. Namun, suami saya bersikukuh di hadapan anak-anak bahwa tidak ada pemberian gawai mulai hari ini. Sebagai gantinya akan ada orangtua yang siap bermain bersama mereka.


Wah … sejujurnya ya, saya merasa pada mulanya hal ini merupakan misi sangkuriang kepada dayang sumbi. Sangat-sangat mustahil. Namun, Allah menunjukkan kuasa-Nya.


Suami saya menyuntikkan semangat setiap malam kepada saya berupa diskusi-diskusi hangat tentang peran orangtua, hal-hal yang kami tukarkan, apa yang kami dapatkan, dan masa depan yang bebas dari penyesalan.


Kami menyadari bahwa kami menikah di usia cukup muda. Saat itu saya berusia 22 tahun dan suami berusia 25 tahun. Ada banyak hal yang masih ingin kami raih dan sepertinya itulah yang menjadi pemberat dalam kapal parenting kami.


Saya pun menjadi merenungkan kembali perjalanan kehidupan saya.


Ya, ada benarnya juga. Saya belum bisa menerima peran sebagai ibu dua anak dan masih ingin meraih beberapa hal yang menjadi ambisi saya pribadi. Hal itu tidak sepenuhnya buruk tapi di dalam kasus saya hal itu menjadi sangat buruk karena saya belum pernah benar-benar memfokuskan diri menjadi seorang ibu.


Akhirnya saya pun sepakat dengan suami saya. Inilah momentum. Inilah waktu yang tidak bisa kami sia-siakan.


Selamat tinggal gawai. Selamat tinggal televisi. Mari bermain bersama ayah dan ibu, anak-anak!


Saya pun berakrobat setiap harinya untuk menemani anak-anak bermain. Kedua anak saya adalah anak lelaki. Mereka tidak bermain dengan duduk sambil menyisir rambut boneka atau mewarnai sesuatu.


Tidak.


Mereka berlari, melompat, meraung, bermain tanah, bermain air, bermain udara, bermain layangan, bahkan bermain dekat got, ya, mereka bermain apa yang mereka bisa mainkan. Lalu saya pun mengikutsertakan diri ke dalam permainan itu.


Menurut suami saya, cara agar orangtua bisa fokus menemani anak bermain adalah dengan meyakini pentingnya bermain bagi anak-anak. Lagi-lagi saya tertohok. Teori itu juga sudah ada bertahun-tahun mengendap di dalam kepala saya namun tidak terpakai sama sekali.


Pada suatu hari di masa kuliah saya di zaman dahulu, saya pernah mengmabil mata kuliah pilihan bernama “Psikologi Bermain”. Wow, mata kuliah tersebut membahas aneka psikologis di balik permainan anak.


Tuh, kan, saya langsung mendadak sedih kalau menyadari ada banyak teori yang mengendap bersama debu-debu buku perkuliahan saya. Hiks!


Aih, untunglah suami saya selalu sigap menahan jika saya sudah limbung ingin jatuh ke pusaran putus asa tak bertepi itu. Dia akan menopang saya dengan kata-kata lembut yang menghantam otak illogical saya.


Ya, suami saya benar. Semua yang terjadi di masa lalu tidak bisa lagi diubah tapi saya bisa membuat perubahan untuk masa depan dimulai dari hari ini.


Saya pun menjadi kokoh berdiri menghadapi hari-hari detoksifikasi ini. Apakah mudah? Tidak. Anak-anak saya semakin lekat dengan gawai sejak pandemi ini. Hal ini diperparah saat saya mengikuti lomba menulis di bulan Juni lalu. Demi menghasilkan waktu luang, seringnya saya memberikan gawai kepada anak-anak.


Kini, saya siap berubah.


Suami saya mengajak si sulung membuat jadwal kegiatan harian. Si sulung yang menuliskan jadwalnya ini, lho. Terharu rasanya menyadari bahwa malam-malam kami di rumah kini lebih senyap tanpa ditemani televisi. Namun kesenyapan itu membuat kami pun bisa fokus menyusun rencana harian semacam ini.

Jadwal kegiatan harian sulung saya


Ya, program detoksifikasi ini pun bergulir perlahan….


Pada hari Senin kemarin baru 7 hari atau satu minggu program ini berjalan. Suami saya menyelamati saya dengan mengatakan, “Sudah satu minggu, selamat ya, kita!”


Hehehehe.


Ungkapan selamat itu terasa tulus dan sangat mendalam karena suami saya pun tidak berpangku tangan dalam program ini. Dia menemani anak-anak setelah Maghrib tiba. Bisa dikatakan saya sudah sangat terkapar kelelahan jika sudah Maghrib.


Suami saya pun mengajak anak-anak kami sholat lalu mengajari mengaji. Ah…. Suara mereka saat belajar mengaji sangat indah terdengar di telinga saya. Ada perasaan syukur menelusup di sela-sela hati saya, “Alhamdulillah, sosok yang mengajari mengaji anak-anak adalah ayahnya”


Lagi-lagi ini salah satu hikmah dari program detoksifikasi ini. Sejak tidak ada gawai dan televisi, kami memang menjadi lebih repot tapi kami berkali lipat menjadi lebih dekat dengan anak-anak.


Anak-anak saya pun kini berinisiatif membaca buku. Ya! Membaca buku! Hal ajaib yang saya nanti-nantikan kapan terjadinya kepada dua anak lelaki saya. Alhamdulillah terjadi juga. Terimakasih banyak ya Allah.


Ya, sejak tidak ada gawai dan televisi bagi mereka, anak-anak saya menjadi kreatif dalam mencari penghiburan sendiri, termasuk membacai buku-buku anak. Apakah membaca sendiri? Tentu belum. Si sulung saya yang berusia tujuh tahun saja masih terbata-bata, apalagi adiknya.


Saya dan suami pun turun tangan membacakan buku-buku itu untuk mereka.


Sungguh kegiatan sederhana yang jamak di keluarga lain namun membuat saya mengharu-biru saking tidak percayanya terjadi juga di keluarga saya. Huhuhuhu.


Kini saat sarapan pagi yang dicari anak-anak saya bukanlah Disney Junior lagi melainkan buku-buku anak yang bertebaran di rumah kami. Saya pun membacakan mereka buku sambil sarapan pagi. Ya ampun, kelewat indah.


Sungguh kelewat indah momen membaca buku ini. Hiks. Saya beserta suami memang tipikal pecinta buku. Kami sangat mencintai buku. Kami ingin anak-anak kami pun serupa dengan kami. Bertahun-tahun berusaha membacakan buku selalu kalah dengan keindahan dan kecepatan gawai.


Ya ampun, saya terus menggumamkan “ya ampun” di dalam hati. Ya ampun, ternyata cara menjadikan anak suka membaca adalah menjauhkannya dari distraksi gawai dan televisi!


Akhirnya di sinilah saya, pukul dua pagi mengetik tulisan ini di laptop semata-mata karena pukul delapan malam tadi saya sudah tumbang kelelahan. Ya, ketiadaan gawai dan televisi ini memang melelahkan.


Lelah karena saya mau tidak mau mengajak anak bermain seharian. Namun, memang ada kepuasan yang tidak bisa terkatakan di dalam hati saya. Ada kelelahan yang sama di diri suami saya.


Bayangkan saja sejak pukul sembilan pagi bekerja dari rumah, tanpa henti, hanya jeda sholat dan makan. Eh, ketika Maghrib tiba sudah ditodong dua anak lelakinya untuk membacakan setumpuk buku.


Duh, inginnya sih langsung membenamkan diri di bantal-bantal berlayar ke pulau kapuk, ya. Namun ternyata saya yang lebih egois. Hehehe. Saya terlebih dahulu tertidur lalu bangun pukul satu pagi untuk kegiatan menulis harian seperti ini.


Ah.


Hubungan antara anak-anak saya pun menjadi lebih erat dan lebih tulus lagi semenjak ketiadaan gawai dan televisi ini. Seolah-olah mereka mulai menemukan asyiknya memiliki saudara.


Ya, mereka memang masih bertengkar. Tapi tidak sebanyak dulu dan tidak sehebat dulu. Seringkali dulu di pagi hari pukul 6 pagi saja rumah kami sudah berubah menjadi medan peperangan.


Anak-anak saya menjadi sensitif karena paparan gawai. Kini, satu minggu lepas dari gawai, mereka lebih banyak tertawa, lebih banyak bertanya, dan lebih banyak banyak berinteraksi satu sama lain.


:’)


Ya ampun, kalau begitu semua kelelahan terbayarkan rasanya. Lelah menemani bermain ke empat taman yang ada di perumahan sungguh-sungguh terbayarkan….


Ya, saya beruntung menempati rumah di perumahan yang memiliki empat taman. Ada taman bunga, taman dengan permainan anak-anak, taman futsal dan taman depan masjid. Sungguh banyak pilihan untuk berlari, bermain tanah, bermain layangan, bermain bola, namakan sajalah apapun itu permainan anak laki-laki.


Hahahaha.


Bagaimana dengan BDR atau Belajar Dari Rumah? Ya, sulung saya yang kelas dua SD mengikuti pelajarannya dari rumah. Syukurlah pelajarannya hanya satu jam materi ditambah setengah jam murojaah hafalan Al-Qur'an.


Saya mulanya akan menyiapkan terlebih dahulu laptop saya ini untuk tatap muka daringnya bersama gurunya. Lalu saat sesi belajar daring dimulai saya bertanya, “Kakak mau ditemani atau tidak?”, yang langsung dijawab gelengan kepala.

Sulung dan ibunya


Baiklaaah.


Saya pun “bertukar” tugas. Saat saya menyiapkan laptop, suami saya memegang si adik tiga tahun. Saya melihat mereka menyiram tanaman di halaman depan. Saya pun memberi isyarat penukaran tugas. Kini, suami saya bisa bekerja dan saya menemani si adik bermain. Saya pun duduk di halaman menemani anak kecil berusia tiga tahun yang saat ditanya sedang apa dia akan menjawab sedang menyiram “Semut dan rumput-rumput”


Ah.


Semua ini indah dan semua ini terasa benar….


Jikalau ada kelelahan mengiris-ngiris tubuh di ujung hari dan mimpi-mimpi yang terkuburkan untuk sementara waktu, rasa-rasanyanya itu sepadan dengan hal yang kami dapatkan.









#2099 kata

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Detoksifikasi Gawai dan Televisi pada Anak"

Comment