Dua hari yang lalu saya membaca sebuah cuitan di dunia Twitter tentang fess (kependekan dari confess) seseorang yang mencari teman yang memiliki kesamaan dengan dirinya, yaitu sama-sama memiliki perasaan risih karena ayahnya kerap memanggilnya dengan sebutan “Sayang” di chat maupun di telepon.
Hmm….
Hmm….
Sedetik setelah membaca fess itu saya kok mendadak ingin runtuh ke dalam inti bumi yang paling terdalam sambil teriak super kencang di dalam sana untuk mengeluarkan energi kesedihan saya...
Ya, rasanya saya sedih banget alias kaga ngerti lagi, cuy! Mengapa kok bisa-bisanya ada yang risih saat berada di posisi anak yang ayahnya memangilnya dengan sebutan “Sayang” sih?
KENAPPPAAAAAA
Wakakakak >,<
WAKAKAKAKAHUHUHUHUHUHUTAWATAWAPADAHALNANGEEESSSSSSSS
:’((((
Setelah menenangkan diri saya (sedikit), dapat saya pahami (sedikit sih) mungkin pengirim fess ini adalah ABG perempuan yang baru puber yaa……
Hmmm
Mungkin dia risih mendapati ayahnya memanggilnya “Sayang” karena dia nanti (atau sudah) diejek oleh teman-temannya yang iri tidak memiliki ayah penyayang nan ekspresif seperti ayahnya itu…
Atau mungkin dia memiliki pacar dan pacarnya itu satu sekolah (okay you’re too detail dey LOL) sehingga kalau ayahnya menelpon lalu memanggilnya “Sayang” maka teman-temannya akan menyangka bahwa orang yang menelpon adalah pacarnya alih-alih ayahnya..
Ya, ya, ya.
YAAAAA
Itu semua mungkin saja terjadi.
YAAAAA
Mungkin saja yang terjadi adalah sebenarnya sebuah kejadian di mana kamu meratapi nasibmu sendiri ya, Dey.
Nasib yang berbeda jauh soal ayah-ayahan ini..
Ngoahahahaha
:’)))
Adapun hamba, seseorang bernama Dea Adhicita, di usia 31 tahun ini masih ajegile acakadul jumpalitan mengasuh inner-child diri sendiri akibat kehilangan sosok ayah di usia remaa sejak perpisahan kedua orangtua yang tak dapat hamba mengerti meskipun kini sering berusaha memandangnya dengan perspektif usia dewasa….
Sangat sering menggunakan perspektif kedewasaan, tapi tetap tak sepenuhnya dapat hamba telan bulat-bulat.
Tak, tak dapat hamba mengerti.
Tak-tak tak mau hamba mengerti.
Mungkin karena selalu ada sisi inner-child yang memberontak menuntut “hak” dicintai, dan tidak ditinggalkan dalam hati hamba ya guys?
Ih pait pait pait. Berasa kaga bersyukur banget ye mpokkk jadinye wakakakakak.
WAKAKAKAKAKHUHUHUHUNANGESSSSLAGEEE
:’((
Tapi tapi tapi alhamdulillah saya dapat menenangkan diri kok… Saat mendadak hati gelisah ketika melihat cuitan tersebut saya segera menarik nafas, berusaha menyadari emosi apa yang popped-up di kepala saya, lalu berusaha mendudukan cuitan fess ayah yang memanggil sayang putrinya itu sebagai sesuatu yang jauh, sangat jauuuh dari kehidupan saya.
Yap. Yap.Yap
Begitulah cara Dea menjadi logis di atas pengalaman pribadi kehidupannya…dengan menjauhkan fenomena yang membuat hatinya scattered, torn, dengan memandang fenomena itu dari jauh…
Sangat-jauh.
Begitu-jauh.
……
Lalu saya dapat berempati sih kepada pemilik fess in… Mungkin dia sedang malu, risih untuk sementara, mungkin panggilan sayang dari ayahnya itu telah membuatnya malu di hadapan teman-temannya,
Hmmm, baiklah, sungguh dapat dipahami..
Sungguh-sungguh dapat dipahami sekali…
Saya paham betul betapa menjadi anak perempuan itu apalagi di masa puber, sungguh terdiri dari gejolak penerimaan dari teman-teman yang besar sekali.
Hmmm. Terbayang sih..
Atau bisa juga sebetulnya pengirim fess ini sedang humblebrag. Apa tuuuh. Itu tuuuh. Itu looooh.
Humblebrag, pura-pura mengeluh padahal kebalikannya yang terjadi : dia sebetulnya sedang membanggakan kejadian tersebut… Dia sebetulnya sedang membanggakan ayahnya yang begitu juaranya, juara satu di seluruh dunia perayahan.
Sebab siapa lagi coba juara satu dunia perayahan selain ayah yang memanggil anaknya dengan sebutan “Sayang”?
Sebab dipanggil ayahnya tanpa embel-embel “Sayang” tebakan saya sih pasti sudah terasa menyenangkan, ya……
Sebab ada sosok ayah saja tanpa si ayah memanggil kita dengan sebutan apa-apa pun, tebakan saya sih pasti juga sudah terasa menyenangkan ya…….
Sebab sebab sebabbb
Sebab sebenarnya saat ini kamu sedang meneropong ke dalam hatimu sendiri ya, Dey…
Hatimu yang trauma sebab ayahmu pergi meninggalkan kehidupanmu…
Shit, shit, shit
SHIT IS FUCKED UP, GUYSSS
I’M SORRY FOR MY LANGUANGE
HUUUUUUUUU
:’)
Malam hari setelah menemukan cuitan fess sumber kegalauan tersebut saya pun membuka kembali salah satu buku favorit saya yang berjudul : PERTOLONGAN PERTAMA PADA LUKA-LUKA EMOSIONAL ANDA.
Well, tebak apa yang langsung saya rasakan sangat cocok dengan perasaan saya : bab trauma & kehilangan….
Saya begitu merasakan amarah, luka hati yang menggroak lebar, terbuka lagi, menganga menunggu saya terjun ke dalam nanah-nanah kenangan yang memerihkan itu
HUHUHUHUHU
HUHUHUHUHU
Rasanya sebal. Yap, sangat-sangat sebal sekali
Sebal, kenapa sih di usia 31 tahun ini hantu masa lalu saya masih saja sama : tentang hubungan perayahan, tentang sosok keayahan, tentang karakteristik seorang ayah, dan semua keayahan-keayahan lain…
Meh.
>,<
Because inside your heart, deep down there you really know what it feels, Dey… to lost and can’t see your Dad….
Bukan karena meninggal dunia
Tetapi karena perpisahan.
Suck. So fucking suck...
Karena sosoknya masih hidup, masih bernafas, masih berjalan, masih baik-baik saja, tapi dirinya tidak dapat menjalani kehidupan bersama saya karena satu dan banyak hal…
Yakin satu dan banyak hal Dey mau ditulisnya begitu, hmm, Dey?
Yakiiiiin
:D
KARENA SETELAH USIA SEGINI, SEMUA PERPISAHAN ITU SUNGGUH TIDAK BISA DIMASUKKAN KE DALAM SATU KATA “PERCERAIAN”
No. No. No.
Perpisahan ataupun perceraian sungguh kata yang meminimalisir sebuah gerbong pengalaman emosional yang masih saya rasakan bahkan di belasan tahun setelah kejadian itu.
No. Noooooo.
Tidak sesederhana itu…
Tidak bisa disederhanakan seperti itu…
Mari kita menyebutnya dengan satu dan banyak hal saja…
Karena setelah saya telaah lagi, perpisahan kedua orangtua bukanlah satu-satunya faktor penyebab ketiadaan sosok ayah saya di dalam kehidupan saya…
Ada faktor-faktor lain…
Contohnya kekurangmampuan ayah saya untuk menghandle perasaan cinta… Yep, sadly, ayah saya seseorang yang tidak begitu memiliki kemampuan mencintai, bahkan dirinya sendiri.
SAD. SAD. SAD. SAAADDD
Hal ini saya temukan setelah diskusi-diskusi saya dengan ayah saya pada tahun-tahun terakhir (setahun terakhir) di mana saya mulai berjumpa secara reguler dengan ayah saya dan sering mengobrol dengannya..
Bagaimanapun saya tidak bisa menyalahkannya dengan kekurangmampuan dalam mencintai. Tidak, tidak, tidak, sungguh saya tidak bisa menyalahkannya..
:’((
Meskipun karena penemuan fakta itu telah membuat saya menangis tiga hari tiga malam sesenggukan di hadapan suami saya, bertanya kepada suami saya, apa sebenarnya salah saya, mengapa ayah kandung saya tidak mampu memilih saya, tidak mampu memprioritaskan saya, tidak mampu mencintai saya?
Semua pertanyaan yang lalu dijawab oleh suami saya dengan kalimat sederhana tetapi mampu membawa rasionalitas saya :
“Ayahmu bukan tidak mencintaimu (saja). Dia bahkan tidak mencintai dirinya sendiri. Forgive him, at least try to forgive him for not having the ability to loving someone even it his own self….”
WKWKWKHUHUHUHUHUHU WKWKWKWKHUHUHUHU WKWKWKWKHUHUHUHUHUUUUUUUUU~
Saya ingat betul perasaan saya setelah menangis tiga hari tiga malam itu..
Saya siap untuk menerima ayah saya apa adanya.
Ya, apa adanya.
Lengkap dengan kepribadiannya yang sangat free-soul, pecinta kebebasan, lengkap dengan ketidakmampuannya untuk mencintai bahkan dirinya sendiri, lengkap dengan kelemahan dan kelebihannya.
Lengkap…
Keseluruhannya..
Akan saya peluk erat-erat…
Seperti yang saya lakukan setiap saya bertemu dengan sosoknya.. (saya memeluknya eratt sekaliii)
Saya tetap mencintainya, sedemikian dalam dan sedemikian besar..karena dialah ayah kandung saya.
Sesedikit apapun, tetap masih ada kenangan saat keluarga kami masih utuh, saat ayah saya masih tinggal seatap dengan saya…
Ya.
Tetap masih ada kenangan itu di sudut-sudut rumah jiwa saya, diam membatu…
Seolah-olah kenangan itu siap dirubuhkan ke dasar penghapusan kenangan, tersedot tak bisa kembali lagi..
Tapi saya paham saya tidak akan bisa menghapus kenangan tersebut.
Saya memilih selalu mengingatnya, meskipun dengan resiko berdarah secara emosional setiap mengingatnya kembali
:’)
Tidak,
Tidak akan pernah terlupakan sedikit kenangan itu...
Lalu dengan sebuah fess (confess) di akun alay Twitter tentang seorang ABG yang mengeluhkan ayahnya itu merubuhkan hatimu, Dey?
Iya begitukah Dey?
Itu meruntuhkan semua upaya menata rumah jiwamu setelah selalu rusak, rubuh, runyam, oleh inner-child dirimu sendiri yang berlarian meminta perhatian, meminta permakluman dan meminta kompensasi atas tahun-tahun yang hilang tanpa ayahmu.
No, Dey
Don’t, Dey
Alhamdulillah saya berhasil menarik nafas beberapa kali setelah membaca fess pada Twitter itu dan bisa menata hati saat memutuskan untuk meng-quote-tweet cuitan tersebut dengan komentar simpel:
“Setelah tenang kini dapat saya pahami mungkin pengirim fess ini sedang mengalami puber ya, makanya risih saat mendapati ayahnya memanggilnya dengan sebutan “Sayang”, hmm baiklah (emoticon senyum)”
Saya menekan tombol tweet dan melayanglah respon saya tersebut ke dunia maya…melayang-layang di alam Twitter yang lalu membawa saya pada kesimpulan lain tentang ayah-ayahan ini:
Selama-lamanya saya harus siap kalau ada konten-konten sensitif seputar ayah baik, hangat, lovely, caring, atau kombinasi semua trait positif tersebut,
Ya..
Saya harus siap..
Sebab bisa jadi hati saya akan merengek lagi, mengerut lagi, mengecil dalam kubangan kesedihan tak bertepi…
Tapi jangan khawatir..
Kita semua tahu bahwa Allah takkan pernah meninggalkan hamba-Nya.. Diberinya ujian sesuai kadar kapasitas hamba-hamba-Nya.
Takkan salah, takkan berlebihan, takkan ove kapastias.
You can handle this, Dey
You’re not giving up soon, not later, not anytime
You’re so strong, Dey, and I love you so much..yes, both of you, my self and my fathlerless inner-child, I LOVE YOUUUUU
😉
Belum ada tanggapan untuk "DIPANGGIL SAYANG OLEH AYAH"
Posting Komentar