Lelaki yang Mencintai Hujan

 


Rumput di bawah kakiku terasa masih basah karena hujan tadi malam. Taman di pagi hari seperti ini masih sepi kecuali satu lelaki yang duduk di bangku taman. Wajah tampannya terpejam sambil menengadah menatap langit. Aku menghampirinya untuk bertanya, “Apa kau di sini sejak tadi malam?”, lalu dia mengangguk pelan.

Lelaki itu terkenal oleh tabiatnya yang begitu mencintai hujan. Yang kumaksud dengan mencintai adalah sebenar-benar cinta. Dia akan duduk di bangku taman tanpa payung di bawah rinai hujan. Entah hujan rintik-rintik atau hujan deras, lelaki berwajah teduh itu selalu duduk di bangku taman.

Aku duduk di sebelah lelaki itu. Kuhirup udara segar pagi hari selepas hujan malam tadi. Paru-paruku seolah berteriak gembira karena udara yang sangat bersih.

Aku membawa sebuah buku sketsa dan sebatang pinsil. Tangan kananku mulai menggurat garis demi garis, bayang demi bayang pada sehelai kertas putih kosong. Lelaki itu tersenyum menatapku.

“Kau akan melukis apa hari ini?”, ujarnya sambil menatap sketsaku. Tentu saja dirimu, ujarku kepadanya. Seperti hari-hari sebelumnya. Seperti minggu-minggu sebelumnya. Aku hanya akan menggambar lelaki yang mencintai hujan. Lelaki itu tersenyum. Senyuman yang paling aku sukai di dunia ini adalah senyuman lelaki itu, lelaki yang mencintai hujan….

***

Ruangan itu tidak sempit sebetulnya hanya saja berbagai patung dan lukisan membuat ruangan itu seolah menjadi ramai dan hingar bingar. Aku tidak pernah suka memasuki ruangan itu. Namun, konon itu adalah kewajibanku untuk datang ke sana dua kali dalam satu minggu.

Lelaki di dalam ruangan itu selalu mengorek kenangan terpahitku di dalam hidup. Seperti biasa kupasanng wajah paling jahat lalu terdiam tidak menjawab pertanyaan apapun. Bagaimana bisa mereka menyebut ini sebuah terapi?

Aku hanya ingin di taman. Berdua bersama lelaki itu. Terdiam di bawah rinai hujan sambil mengosongkan pikiran kami berdua.

Ah, andai bisa. Itu akan indah sekali. Aku menguap menyimak lelaki tua berkacamata di hadapanku. Dia tersenyum. Kamu sudah mengantuk ya, dia bertanya kepadaku. Aku langsung mengangguk pelan. Aku pun dipersilahkan kembali ke ruanganku.

Tidak apa-apa, kataku kepada lelaki yang mencintai hujan. Aku berpapasan dengannya di depan ruangan itu saat aku keluar dari sana. Lelaki yang mencintai hujan itu tampak gundah karena akan masuk ke ruangan tersebut. Aku tersenyum kepadanya. Tidak apa-apa, kataku. Lembut, lelaki hujan itu mengangguk. Selembut hujan yang dia cintai.

***

Siang hari ini hujan turun dengan derasnya. Pertama hanya berbentuk rinai-rinai tipis, tapi aku sudah berlari menyongsongnya sepenuh hati. Kucari sosok lelaki itu di taman. Ah, betul saja. Dia sudah duduk di taman dengan mata terpejam. Ia tengah menikmati kecintaannya. Ia adalah lelaki pencinta hujan.

Aku merentangkan tangan, ikut bahagia memeluk hujan yang deras mengguyur bumi. Lelaki itu menggamit tanganku. Kami berlari menyongsong hujan. Lelaki itu mencintai hujan dan kini aku pun mencintai hujan sepertinya.

Aku membiarkan hujan membasahi seluruh pakaianku. Lelaki itu tidak kalah basahnya dariku. Kami dua orang dewasa yang berdiri di bawah guyuran hujan.

Lelaki itu tampak menengadah membiarkan wajahnya tersapu air hujan. Ah, dia menangis. Ya. Lelaki itu menangis di tengah hujan. Aku melihat pemandangan itu dengan hati seolah teriris pilu. Lelaki itu merentangkan tangan dan menangis sepuasnya di bawah hujan.

Air mataku mengalir di pipi. Kenapa kamu menangis, kata lelaki itu. Aku menangis karena kamu menangis, kataku. Kami menangis bersama-sama di bawah hujan…. Semoga hujan menghapus air mata kami….

***

 

Sudah tiga hari ini aku tidak melihat lelaki itu di taman. Bolak-balik kutanyakan kepada orang yang lalu-lalang apakah mereka melihat lelaki itu, nihil, tidak ada yang melihatnya. Kemana lelaki itu? Jantungku berdegup kencang. Aku tidak pernah kehilangan dia seperti ini.

Tidak. Jangan pergi. Aku berlari masuk ke dalam ruangan dan bertanya kepada siapa saja yang kutemui apakah mereka melihat lelaki itu. Mereka semua menggeleng perlahan. Kuseret langkahku menuju ruangan yang penuh dengan lukisan dan ornamen. Aku perlu menemukan lelakiku.

Kubuka pintu ruangan itu dengan kasar. Lelaki tua berkacamata di dalamnya tersenyum kepadaku. “Senandung? Ada yang bisa dokter bantu?”, ujar lelaki itu. Aku bertanya tentang lelaki itu, lelakiku yang mencintai hujan, kemana dia pergi, apa dia yang membawanya pergi, kemana dia membawa lelakiku itu pergi. Kalimat demi kalimat berubah menjadi tangisan. Aku melolong ketakutan. Aku takut tidak bisa melihat lelaki itu lagi. Oh Tuhan, di mana dia?

Lalu sepasang tangan menangkap tubuhku yang terjatuh ke lantai.

***

Kubuka mataku perlahan. Ah, aku berada di dalam ruangan ini lagi. Ruangan penyiksaan, kataku. Ruangan tempat aku terikat oleh ikatan sampai mereka mengatakan aku sudah terkontrol kembali. Sayup-sayup kudengar langkah suara kaki yang membuka pintu lalu berjalan ke arahku. Kupejamkan mataku kembali. Aku tidak mau membuka mata kecuali untuk lelaki yang mencintai hujan itu saja.

“Senandung, apa kau sudah bangun? Bukankah kau ingin tahu kemana lelaki itu pergi? Ayo ikut denganku, ada sesuatu yang ingin kubicarakan”, ujar dokter tua berkacamata itu sambil membukakan ikatanku.

Di luar awan hitam mulai berarak di langit. Ah, sebentar lagi hujan akan turun dan aku mulai merindukan lelaki itu melebihi aku merindukan apapun.

Dokter tua itu mengajakku ke taman tempat di mana aku terbiasa bertemu dengan lelaki itu.

“Senandung, lelaki itu sudah keluar dari RSJ ini tiga hari yang lalu. Syukurlah terapi hujan yang dia lakukan berhasil…. Ibunya bunuh diri saat usianya 8 tahun. Ketika itu hari tengah hujan besar. Kakaknya juga bunuh diri saat lelaki itu berusia 15 tahun dan lelaki itu menemukan jasad kakaknya juga saat hujan terjadi….”

Aku terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa.

“Kini lelaki itu sudah keluar dari tempat ini, Senandung. Kuharap itu membuatmu sedikit bersemangat menghadapi terapi denganku agar bisa lekas keluar dari sini…. Oh iya, lelaki itu menitipkan surat ini untukmu.”

Dokter itu beranjak pergi, meninggalkanku sendirian. Aku terpaku menatap udara kosong di hadapanku. Lelaki itu tidak ada. Dia tidak ada lagi di tempat ini. Dia sudah pergi dari sini. Hatiku seperti diremas hingga terasa sakit sekali.

Perlahan kubuka surat itu. Isinya selembar kertas bergambar sketsa wajah lelaki itu. Ah, ya, aku pernah melukis, lebih tepatnya sering melukis wajah lelaki itu di sini, di bangku taman ini.

Kutatap sketsa wajah lelaki itu. Di balik sketsa itu tertulis sepucuk surat.

‘Dear Senandung, kutulis surat ini saat keputusan dokter tentang kondisi terakhirku yang memperbolehkanku untuk keluar dari tempat ini telah kudengar. Dear Senandung, kalau boleh aku mengatakan sesuatu kepadamu maka hal itu adalah terima kasih banyak…. Ya, terima kasih, Senandung, terima kasih sudah menemaniku menikmati hujan demi hujan, gerimis demi gerimis, menangis bersamaku, dan tertawa bersamaku di bawah hujan. Aku ingin mengatakan bahwa itu sangat berarti sekali. Dear Senandung, terima kasih banyak, karena telah memberi warna hujan baru di dalam hatiku…. Hujan kini berwarna cinta, Senandung. Sebab hujan akan mengingatkanku kepadamu.’

Air mataku sudah dari tadi membasahi pipi. Kerongkonganku tercekat. Aku diam dengan perasaan bergemuruh. Aku ingin mengatakan kepada lelaki itu bahwa dialah lelaki pertama yang berani kuajak bicara dan kutatap matanya setelah sepuluh tahun peristiwa perkosaan mengerikan itu terjadi kepadaku.

Suara rintik hujan mulai terdengar perlahan di atasku. Lembut, mengalun merdu. Aku tersedu sambil memeluk surat itu dengan keperihan teramat sangat dalam.

#1131kata

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Lelaki yang Mencintai Hujan"

Comment