My World Is Always You

Aku tidak tahu kapan jatuh cinta kepada perempuan ini. Sepertinya sekitar lima belas tahun lalu, aku tidak begitu yakin. Aku bertemu saatnya ketika kami sama-sama duduk di bangku SMA. Kami memang berkuliah di tempat yang berbeda. Namun wajah ceria perempuan di hadapanku ini tidak pernah bisa kulupakan.

Tidak juga oleh pernikahannya. Tidak. Aku masih mengingat setiap hal tentang perempuan ini dengan begitu sempurna.

Kesukaannya, ketidaksukaannya, hal terbaik di dalam kepribadiannya, hal yang tidak dia ketahui ada di dalam kepribadiannya, ya, aku bahkan mengetahui semua hal itu dengan sangat presisi

“Nah, kan bengong lagi. Jadi, gimana ide tentang prolog dan epilog itu? Bagus?” Suara perempuan ini begitu renyah, selalu terdengar renyah di telingaku. Tapi hari ini suara itu sungguh menggelitik hatiku yang terdalam.

Aku bisa merasakan keputusasaan dari suara perempuan itu ketika aku menelponnya sebulan yang lalu. Kutanyakan kepadanya apa kabar dia, dia menjawab klise : baik.

Tapi perempuan itu bagaikan sebuah buku yang terbuka bagiku, mudah bagiku untuk membacanya. 

Tidak, aku bukan lelaki jahat yang menguntit perempuan yang telah menjadi istri orang. Tidak. Aku hanya memiliki firasat tentangnya dan dari waktu ke waktu firasatku tentangnya nyaris selalu benar.

Perempuan itu akhirnya bercerita tentang keputusasaannya akibat penolakan naskah novelnya. Profesiku sebagai editor langsung mengambil alih akal sehatku. Kupastikan kepada perempuan itu bahwa novelnya akan kuterbitkan dengan sedikit atau banyak perbaikan di sana-sini.

Perempuan itu lalu tiba di hadapanku, di kantorku pada hari ini.

“Ya, kupikir bagus. Untuk sebuah novel semacam ini prolog dan epilog dapat mengikat makna lebih mendalam, oh ya, tentang 9 bab di dalam novelmu ini sebetulnya tidak terlalu panjang, kok. Hebat juga kau bisa memotong dari 30 bab menjadi 9 bab.”

Perempuan itu memperlihatkan tawanya. Aku rasa perempuan ini sebetulnya separuh bidadari. Di dalam tawanya itu kurasakan keindahan yang tidak bisa kujabarkan lebih lanjut lagi. Penyakit GERD yang sejak pagi tadi kambuh kurasakan mereda saat perempuan ini tiba di kantorku.

Ah, lima belas tahun tidak pernah melenyapkan perempuan ini dari kamar hatiku. Tidak sedikit pun.

“Sebetulnya sulit memotong dari 30 bab menjadi 9 bab, tapi aku sangat senang bisa menerbitkan novel perdanaku. Hal itu tentu jadi motivasi terbesar dari sikap tegaku dalam memotong-motong bab di dalam novel ini” Perempuan itu menjelaskan sambil menyeruput teh dari cangkir di hadapannya.

Aku ingin waktu dapat berhenti di detik ini juga. Detik saat perempuan itu menyeruput teh-nya. Wajah ayu perempuan itu saat meniup permukaan teh sungguh membuat otakku tidak beres. Untungnya otakku masih memiliki cadangan kecerdasan untuk melanjutkan meeting dengannya ini lagi.

“Oke, kalau begitu kita meeting lagi minggu depan, ya, bagaimana? Setuju kan untuk meeting lagi? Setidaknya satu kali lagi untuk penentuan lay out dan ilustrasi novelmu.” Kutekan nada suaraku senormal mungkin. Aku bisa gila jika tidak bisa bertemu dia lagi minggu depan. Perempuan ini susah payah kudapatkan kembali.

Tolong, kumohon setujuilah meeting minggu depan, meskipun sebetulnya semua hal itu bisa diselesaikan via daring saja. Dia tidak perlu repot-repot datang lagi ke kantor penerbitan ini minggu depan.

Perempuan itu tampak berpikir. Aku menyukai wajahnya saat berpikir. Dia selalu tampak cantik bagiku. Dia adalah perempuan paling kucintai setidaknya sejauh ini sampai usiaku mencapai 30 tahun, aku selalu mencintai perempuan itu.

Itu adalah hal yang dapat kujamin kebenarannya.

“Oke! Meeting minggu depan, di sini lagi, kan? Bisa, bisa, aku bisa kok!” Perempuan itu melempar tawa surgawinya itu lagi. Hatiku seolah terbang ke angkasa tapi aku harus bersikap biasa saja.

Aku hanyalah sahabatnya sejak SMA. Tidak ada kisah kasih terangkai di antara kami. Perempuan itu adalah perempuan yang baik hati, cerdas, lembut tapi berasal dari keluarga yang tidak utuh. Ayahnya pergi meninggalkan mereka sejak perempuan itu duduk di bangku taman kanak-kanak.

Perempuan itu lembut, terlalu lembut hatinya. Menurutnya itu efek ketiadaan sosok ayah. Menurutku itu karena dia titisan bidadari, makanya dia selalu lembut kepada siapapun kecuali kepada dirinya sendiri.

Sering kutegur perempuan itu agar tidak lembut kepada orang lain tapi melupakan dirinya sendiri. Lalu respon perempuan itu pasti sama, dia berdecak kagum tentang bagaimana aku bisa mengetahui hal-hal yang terluput dari pengamatannya sendiri.

Ah.

Aku selalu memiliki rasa cinta yang besar untukmu duhai perempuan. Kubiarkan kalimat itu mengerak di dasar hatiku bertahun-tahun. Tak terkatakan. Tak pernah sekalipun kukatakan.

Bahkan di bulan-bulan menjelang pernikahan perempuan itu, kubiarkan kalimat itu tetap berada di kedalaman hatiku. Aku menyadarinya. Aku memiliki firasat bahwa perempuan itu akan segera melabuhkan hati.

Kurasakan perempuan itu “menanti” pergerakanku, apakah aku akan melamarnya ataukah tidak. Aku tidak bisa. Masa percobaanku sebagai editor baru waktu itu belumlah memiliki penghasilan yang cukup.

“Oke, meeting minggu depan lagi ya! Jangan telat lagi tapi ya!” Kataku sambil mengolok-olok dengan menunjuk ke arah jam tangan.

Aku sebetulnya mengetahui alasan mengapa dia terlambat. Dia harus menyiapkan putranya untuk ke sini. Dia sudah memberitahuku sebelumnya.

Ya, dia membawa putra menggemaskannya untuk ikut meeting denganku. Anak lelaki yang tampan dengan mata cokelat muda dan kulit putih. Aku bisa merasakan rasa cintaku yang juga besar saat menatap putranya.

Aku mencintaimu sebesar aku mencintai ibumu duhai anak kecil..

Selama dua jam ini putra perempuan itu cukup mudah diajak agar kondusif. Untuk ukuran anak usia tiga tahun, aku cukup terkesan juga dengan betapa kooperatifnya anak kecil itu.

Perempuan itu memasukkan aneka perlengkapan putranya ke dalam tas. Mulai dari mainan, buku-buku, kotak makan, serta botol minum. Tanganku terulur ikut membereskan tapi dia menampiknya, halus.

“Hey, di sini kau menjadi bosku, kan. Bos tidak perlu ikut membereskan, tenang saja lah.” Perempuan itu ada benarnya juga. Aku bukan sahabatnya setidaknya saat ini di dalam ruangan ini, kami harus bersikap profesional. Di dalam meeting ini, di dalam ruangan ini, aku adalah bosnya. Aku adalah editor dan dia penulis.

Perempuan itu telah siap dengan tas di bahu dan putranya yang nyaman di dalam gendongan di depan tubuhnya. Aku menawarkan untuk mengantarnya pulang ke rumah tapi perempuan itu menolak. Dia melambaikan tangan lalu berlalu dari ruangan meeting.

Ah, lambaian tangan.

Aku masih mengingatnya. Dia melambaikan tangan juga saat terakhir kali bertemu denganku di toko buku, seminggu sebelum pernikahannya. Di hari itu dia tidak mengatakan apa-apa tentang rencana pernikahannya.

Kami berbincang seperti biasa sambil berkeliling toko buku, sebuah rutinitas persahabatan yang selalu kulakukan dengan perempuan itu setiap kami memiliki waktu luang.

Keesokan harinya aku mendapatkan undangan pernikahannya melalui pos surat. Hatiku hancur berkeping-keping. Aku menangis tersedu-sedu di dalam kamarku. Pada malam harinya aku ingin menelpon dia, tapi kuurungkan niatku.

Perempuan itu telah melabuhkan hati dan pelabuhannya adalah lelaki lain, bukan aku.

Kuikuti perempuan itu keluar dari ruangan meeting, lurus menuju lift. Di lorong panjang menuju lift, perempuan itu sekali lagi berterimakasih kepadaku. Katanya dia berterimakasih kepadaku karena akhirnya dia akan menerbitkan novel ini melalui aku. Perempuan itu juga menyebut aku selalu percaya kepadanya bahwa dia bisa menjadi penulis sejak kami duduk di bangku SMA.

Aku merasakan dorongan untuk menahan perempuan itu. Aku ingin memeluk perempuan itu erat-erat. Tidak pernah melepaskannya, selama-lamanya.

Aku merasakan dorongan untuk berkata jujur bahwa aku selalu memimpikan perempuan itu dan itulah sumber firasat setiap aku khawatir terhadap kabarnya.

Aku ingin mengatakan bahwa perempuan itu tidak pernah pergi dari hatiku, tidak lima belas tahun lalu tidak juga hari ini.

Aku ingin perempuan tahu betapa aku selalu mengingatnya dan menyayanginya meskipun kami sudah lama putus kontak.

Perempuan itu tersenyum, aku merasa tercekat menatap senyumannya itu. Dengan nanar kukatakan kepadanya bahwa dia tidak perlu berterimakasih kepadaku. Semua ini sudah seharusnya dilakukan olehku sebagai sahabat. Perempuan ini mengangguk dan mengatakan bahwa dia sangat senang bisa bertemu denganku lagi pada hari ini.

Aku terpana.

Sangat senang?

Apakah perempuan itu mengajakku merebut dirinya dari suaminya? Apakah maksudnya aku diperbolekan membawanya ke rumahku saat ini juga? Detik ini juga?

Itukah yang dia maksud dengan sangat senang?

Tentu saja tidak. Pernikahan perempuan itu baik, sangat baik. Suaminya begitu mencintai permepuan itu. Bahkan nama suaminya juga lah yang perempuan itu gunakan untuk tokoh utama laki-laki di dalam novelnya. Tentu saja.

Aku cuma seorang sahabat lamanya. Perempuan itu sudah memiliki keluarga kecil yang saling melengkapi.

Perempuan itu mengatakan bahwa taksi online yang dia pesan sudah sampai di lobi bawah. Sekali lagi perempuan itu melambai sebelum masuk ke dalam lift. Saat pintu lift yang dilapisi kaca itu menutup, dapat kurasakan tarikan rasa kesedihan yang begitu membetot di dalam jiwaku.

Aku harus merasakan kepedihan ini selama satu minggu lagi sampai aku bisa bertemu lagi dengan perempuan itu.

Aku berjalan kembali menuju kubikelku lagi.  Di dalam kubikelku kutatap kalender meja untuk melingkari tanggal meetingku selanjutnya dengan perempuan itu. Tiba-tiba ponselku berdering. Kuangkat panggilan itu, suara seorang perempuan terdengar manis di telingaku. Ah, aku terlupa. Siang ini istriku mengajakku makan siang, baiklah, aku akan memenuhi semua permintaan dari perempuan yang menjadi ibu dari anak-anakku itu. Semuanya.

Tapi tidak untuk menjadikannya perempuan yang paling aku cintai di dalam kehidupan.

Tidak untuk yang satu itu.

#1368kata

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk " My World Is Always You"

lendyagasshi mengatakan...

Cinta dua hati?
Aah...kamu bisa banget Dey...membawaku terhanyut.

Comment