Cerita Bersambung : Payung Hati Kinanta (bagian dua)

 



Mungkin saja hujan ini tidak mau berhenti karena aku yang memintanya. Ya, aku diam-diam berdua berteduh denganmu di ruko dekat gedung sekolah kita dulu itu. Air dari langit yang seolah terjun dengan derasnya menghalangi pandangan mataku namun aku tidak pernah gagal melirikmu dengan anak mataku.

“Kin….” Suaramu memecah keheningan di antara kita. Aku menoleh. Apa, apa yang hendak kau katakan? Apakah kau akan mengubah kalimatmu yang tadi mengizinkanku untuk melamarmu?

“Hmmm?”

“Kin, kenapa kamu tau aku akan ke sini?”

“Oh. Itu…. Ini kan tempat setiap hatimu gundah gulana. Tidak pernah sekalipun kamu tidak kesini setiap hatimu diliputi masalah, termasuk hari ini. Iya, kan?”

“Kin….”

“Hmmm?”

“Kok dia tega ya, Kin. Maksudku membatalkan pernikahan di mana seluruh undangan sudah tersebar. Aku sendiri baru sadar aku belum memberitahu seluruh keluarga besarku, Kin…. Aku harus memberitahu mereka. Iya, kan, Kin?”

Perempuan ini selalu dan akan selalu membutuhkanku bahkan untuk hal-hal sepenting membatalkan pernikahannya.

Aku tersenyum. “Ya, Ray. Kamu harus memberitahu keluarga besarmu. Kamu pikir bagaimana caranya aku bisa melamarmu kalau kau belum memberitahu keluarga besarmu kalau pernikahanmu dengan Arya dibatalkan?”

“Betul juga. Ah. Aku baru sadar bahwa ini sudah ketiga kalinya aku menceritakana kegagalan pernikahanku ke kamu, Kin. Aku level kebodohannya sudah tahap minus mungkin ya, Kin, bisa gagal menikah sampai tiga kali begini, iya, kan? Ha-ha-ha“ ujar perempuan ini sambil tertawa sedih.

“Aku minta maaf karena kamu harus melewati tiga kali kegagalan itu, Ray. I’m really really sorry. It should not happen if I gather my courage earlier…,” keluhku.

“No. it’s okay, Kin…. Mungkin aku juga salah karena tidak pernah memberitahu seorang Kinanta bahwa sesungguhnya pria yang aku tunggu selama ini adalah dirinya. Betul, kan?”

Kami saling tersenyum dengan mata dipenuhi cahaya kebahagiaan.

Aku menyandarkan punggung ke tembok ruko dan menatap air hujan yang masih derasnya turun dari langit. Perempuan di sampingku ini selalu menceritakan episode kehidupannya dengan sempurna kepadaku. Kali ini akhir ceritanya akan berbeda. Aku akan menggenapi kisah kita, Raya.

“Kin! Hujannya sudah berhenti, Kin!”

“Ah, iya benar juga. Kamu mau aku antarkan pulang ke rumahmu? Mobilku kuparkir agak ke sebelah sana. Tapi karena hujan sudah berhenti rasanya tidak apa kalau kita berjalan ke sana, kan?”

“Gimana kalau kita makan dulu, Kin? Inget dong ada bakso favorit di depan sekolah kita?”

Adegan selanjutnya sudah dapat kutebak. Aku mengikuti perempuan itu menuju kedai bakso di depan gadung sekolah kami. Aroma bakso menguar begitu aku memasuki sebuah rumah yang disulap menjadi kedai bakso tersebut. Kedai bakso itu begitu terkenal untuk anak SMA Teladan, sekolahku dahulu itu.

Meja-meja dilengkapi dengan saus, kecap, dan tempat sendok-garpu di atasnya, melambai-lambai menanti kengan meloncat dari atasnya.

Benar juga. Di hari pertama setelah adegan pingsannya Raya di lapangan upacara pagi itu, sorenya kami juga bertemu dan makan di sini. Di kedai bakso ini….

***

Lima Belas Tahun Yang Lalu….

Upacara bendera akhirnya selesai juga. Anak-anak berangsung-angsur kembali ke kelas masing-masing, pelajaran pertama sudah menanti. Aku merasa sekian banyak mata menatapku baik terang-terangan maupun diam-diam saat kulangkahkan kaki menuju kelas 1-2 yang berada nyaris di ujung deretan kelas 1.

Pelajaran pertama, biologi, berjalan dengan lancar. Aku cukup menyimak penjelasan guru biologi yang seorang perempuan berjilbab dan berkacamata itu. Pelajaran selanjutnya juga berjalan lancar. SMA Teladan memang terkenal dengan kualitas guru-gurunya yang sangat mumpuni. Tidak salah aku memperjuangkan untuk masuk ke sini dengan jalur beasiswa.

Setelah pelajaran terakhir selesai, kumasukkan seluruh buku dan peralatan tulisku ke dalam tas. Aku ingin pulang tepat waktu, seperti hari-hari di SMP maka seperti itu juga hari-hari di SMA Teladan ini akan aku habiskan.

Saat akan keluar dari kelas, seorang kakak kelas terlihat masuk dan menempel selembar kertas di papan pengumuman kelas.

UNDANGAN TERBUKA UNTUK SELURUH KELAS 1. PARADE EKSKUL. HARI : SABTU, TANGGAL : 20 JULI 2005, TEMPAT : LAPANGAN TELADAN.

Eksul. Pandanganku terpaku pada satu kata tersebut. Ekskul. Keinginanku untuk aktif ekskul sudah lama sekali terkubur. Aku tidak bisa lama-lama di sekolah. Adik-adikku menunggu di rumah. Terdengar tidak keren sama sekali.

Untung saja aku memiliki gitar kesayanganku, Edo. Ya, kunamai gitar cokelat muda dengan nama Edo. Si Edo kubawa besok ke sekolah, ah. Seperti ketika di SMP, bermain gitar saat istirahat bisa mengusir rasa lapar karena aku tidak punya uang untuk membeli jajanan di kantin.

“KIN!!” Jo sudah muncul di sampingku dan berteriak sekencang-kencangnya.  Astaga, telingaku bisa rusak kalau setiap bertemu denganku si Jo ini berteriak seperti ini.

“Apaan, Jo?”

“Gila gila gila. Tindakan lo tadi pagi heroik bener sih, Kiiin. Kenapa gue ga kepikiran yak buat nolongin cewe-cewe yang pingsan tiap upacara bendera. Kan bakalan makin banyak tuh mangsa pacar idaman gue. Ya kan, Kin?”

“Nggak lah, heroik dari Hongkong. Ada juga tulang gue mo patah pas ngangkat tu cewe. Gendut juga dia tuh, Jo. Ha-ha-ha.”

“Heh! Tutup mulut lo, Kinantaaa. Buat cewe haram hukumnya dibilang gendut. Udah sekarang kita makan bakso dulu yuk, Kin. Gue traktir deh, traktiiiiir.”

Tawaran yang sangat menarik. Istirahat tadi aku tidak makan apa-apa. Tidak, bukan karena ketiadaan uang jajan. Ibu tentu saja mengorek-ngorek dompet demi memberiku uang jajan di hari pertama memakan seragam SMA. Ibu. Selalu memaksa.

Tentu saja uang itu lebih baik aku simpan untuk kuberikan kembali kepada Ibu. Hmm, sekarang baru jam jam 12 lewat 15 menit. Kalau aku makan bakso terlebih dulu, kupikir tidak mengapa.

“Okay, Jo. Let’s go makan baksooo!”

Aku dan Jo alias Rizal pun keluar dari kelas, berbaur dengan puluhan anak-anak yang sudah keluar dari kelas mereka dari tadi. Kedai bakso itu terletak di depan gedung SMA Teladan. Persis. Benar-benar di depannya persis.

Jo mengajakku ke dalam kedai yang ramai oleh anak-anak SMA Teladan yang duduk di meja-meja melingkar yang sudah ditata lengkap dengan aneka saus, kecap, dan tempat sendok dan garpu di atasnya.

Aku memberikan pandangan ‘Jo, penuh ini. mo duduk di mana kita’ kepada Jo. Jo hanya menggeretku ke bagian dalam kedai bakso itu. Wow, luas juga ternyata. Di bagian dalam ada lagi semacam perpanjangan deretan meja-meja melingkar untuk menampung derasnya pengunjung. Apalagi ini jam makan siang. Pasti anak SMA Teladan membanjiri tempat ini setiap siang.

Ketika Jo menemukan sebuah meja yang kosong di sudut ruangan bercat kuning tersebut, sebuah suara memanggilku dari belakang.

“Maaf!”

“Eh?”

“Maaf, apa kamu yang tadi menolongku di lapangan upacara tadi pagi? Aku Raya. Sori kalau mengganggu, aku cuma mau bilang makasih. Maaf kalau merepotkanmu tadi pagi”

Sesosok anak perempuan berdiri di hadapanku. Aku ingat tadi melihat wajahnya yang pucat pasi. Wajah oval nan putih itu masih pucat tapi tidak separah tadi. Rambut cokelat sebahunya tergerai begitu saja. Anak perempuan itu ditemani oleh teman-temannya yang cekikikan sambil sikut-menyikut. Aneh sekali mereka.

“Oh yang tadi. Iya, gapapa kok. Ga merepotkan sama sekali. Gimana, sudah baikan? Sudah tidak lemas lagi sekarang?”

“Iya, tadi pagi aku skip sarapan di rumah, jadi lemes banget pas upacara. Sekali lagi maaf dan makasih ya. Oh iya, boleh kenalan kah? Tadi aku sudah menyebutkan namaku. Raya, namaku Raya. Kelas 1-5”

“Kinan. Kinanta. Kelas 1-2.”

Anak perempuan itu kemudian tersenyum kepadaku. Ah, senyum itu. Sebuah senyum yang lebih cerah dari senyum siapapun. Kurasa aku sangat terpana kepada senyum itu. Begitu terpananya karena beberapa detik setelah itu Jo yang menyikutku sambil berbisik tajam, “Kiin, woelah, kiiiin! Malah bengong.”

Aku tersadar buru-buru lalu menyadari anak perempuan itu masih berada di hadapanku. Aku memperhatikan mata anak perempuan itu. Tadi pagi mata itu tertutup saat dia pingsan di lapangan upacara. Aku baru menyadari kalau mata anak perempuan ini indah sekali. Matanya berwarna cokelat muda. Aku merasakan getaran tidak biasa di seluruh tubuhku saat ini. Apakah ini yang sering disebut-sebut si Jo dengan istilah ‘jatuh cinta’? Sial. Aku tidak mau dan tidak boleh jatuh cinta. Seperti waktuku banyak saja untuk jatuh cinta.

Bahkan aku jatuh mencintaimu saat melihat senyum dan matamu. Belum hatimu. Belum seluruh hari-hari kita. Belum ketulusanmu, baru senyum dan matamu….

Anak perempuan itu lalu berterimakasih sekali lagi dan kembali ke mejanya. Ternyata dia dan teman-temannya juga pengunjung kedai bakso ini. Aku kembali duduk dan mengobrol dengan Jo. Setelah pesanan bakso kami berdua datang, Jo bercerita bahwa pelajaran hari pertama di sekolah manapun selalu menyenangkan karena hari-hari selanjutnya pasti akan tidak menyenangkan. Aku hanya bisa nyengir mendengan ocehan anak lelaki di sampingku ini. Setelah bakso dan kuah-kuahnya tandas di mangkuk, aku langsung pamit kepada Jo. Jo hanya geleng-geleng kepala.

“Masih pulang cepet untuk ngurus adek-adek lo, Kin?”

Aku hanya tersenyum sambil melambaikan tangan kepada Jo.

***

-Bersambung-

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Cerita Bersambung : Payung Hati Kinanta (bagian dua)"

Comment