Saya ini orang dengan pemikiran yang rumit, cuma Dea yang mampu memahami jalan pikiran saya. Saya tidak tahu jika harus menjalani hidup tanpa Dea
Pernah pada suatu ketika, saya ditanya oleh Dea, “Aa,
kenapa sih mau nikah sama neng?”. Ini pertanyaan kekinian yang jawabannya
sudah saya siapkan sejak dulu, “Karena Aa mencari calon Ibu terbaik untuk
anak-anak”. Jawaban ini bukan tanpa sebab, dengan assesment
sederhana (ceilah :P), saya coba mencari tahu karakter Dea sebagai calon istri
ketika dulu sebelum menikah. Saya melihat adanya potensi Dea menjadi seorang
ibu yang baik.
Doa pun dijabah. Kami memiliki seorang anak yang kini
berumur 3,5 tahun, Ksatria namanya. Sejak dari masa kandungan hingga kini Ksatria berumur 3,5 tahun merupakan masa yang tidak mudah bagi kami. Saya tidak tahu
bagaimana keluarga muda lainnya dalam melahirkan dan membesarkan anaknya, namun
bagi kami tidak mudah. Butuh kedewasaan, strategi dan kelapangan hati dalam
melewatinya. Dalam satu tahun terakhir, terdapat variabel lain yang menambah
beban membesarkan anak yaitu penyelesaian tesis S2 dan kehebohan agenda-agenda
Shafa Community. Sumber masalah utama dalam membesarkan anak adalah nilai standar,
dengan memiliki nilai standar maka kita akan memiliki acuan. Masalah timbul
ketika kita tidak mampu atau tidak memiliki kesempatan untuk memenuhi nilai
standar tersebut. Andai saja kita tidak memiliki nilai standar, maka
membesarkan anak bisa seperti membesarkan anak kambing, tinggal dikasih makan
dan dikasih obat kalau sakit. Udah cukup segitu aja. Hehehe
Saya pernah izin untuk tidak masuk kerja karena sakit. Pada
saat itu saya bisa menyaksikan bagaimana Dea harus menjalani kesehariannya dari
pagi hingga malam. Menjadi seorang ibu tidaklah mudah karena waktu istirahat =
waktu anak tidur. Selama anak masih melek, maka selama itu pula ibu bekerja.
Tidak ada jeda ngopi-ngopi siang, tidak ada jeda ngerumpi, bahkan kadang buat
sholat saja tidak bisa. Dari situ saya bisa memahami mengapa terkadang targetan
kami untuk perkembangan anak, tidak semua bisa dicapai. Kondisi di lapangan
tidak seindah text book psikologi perkembangan atau pendidikan anak usia
dini. Butuh ada penyesuaian konteks, dan ibu adalah orang yang paling tahu
penyesuaian yang terbaik yang seperti apa. Saya menganggap Ksatria, anak kami,
merupakan anak yang beruntung karena bisa mendapatkan kasih sayang yang bisa
dikatakan sempurna dari ibu dan ayah yang secara kebetulan adalah lulusan
Psikologi UI.
Menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak, kendalinya
lebih banyak dimiliki ibu dibandingkan Ayah. Setidaknya terdapat 3 nabi dan
Rasul yang dibesarkan dengan minim pengasuhan Ayah yaitu Ibrahim, Isa dan
Muhammad Shalallahu alaihi wassalam. Ini adalah pesan dari Ilahi bahwa Ibu
memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, bahkan untuk
sekelas nabi dan rasul. Dan ini menandakan pula bahwa peran Ibu bukan peran
sembarangan. Saya bukan tipe orang yang suka membenturkan ibu bekerja dan ibu
rumah tangga, tapi saya selalu menyampaikan bahwa setiap peran yang dipilih
harus dengan perencanaan, strategi, dan pencegahan masalahnya, baik ketika
menjadi ibu rumah tangga, maupun ibu bekerja. Misalnya, ketika menjadi ibu
bekerja, maka pastikan hak-hak anak (dan suami) terpenuhi dan bisa menjaga adab
ketika berinteraksi saat bekerja. Begitupula ketika menjadi ibu rumah tangga,
sebisa mungkin tetap menjaga hubungan dengan dunia luar, bagaimana pun caranya
dan tetap up to date dengan kondisi kekinian. Dan luar biasanya, Dea
adalah ibu rumah tangga yang bekerja. Suatu peran idaman para ibu-ibu masa
kini. Canggih kan? Hehehe
Di tanggal ini, 16 November 2016, merupakan hari kelahiran
Dea. Tiada kata yang ingin saya ucapkan selain t e r i m a k a s i h. Dengan turbulensi satu tahun
terakhir, Dea telah mengantarkan saya untuk mendapat gelar Magister Psikologi
Terapan dari Universitas Indonesia. Tidak hanya itu, Dea juga saat ini sedang
mengandung adeknya Ksatria (Horeee). Saya juga meminta maaf karena seringkali
mengajak masuk Dea ke dalam pusaran dunia saya yang kadang penuh dengan
kejutan. (Btw, terima kasih – minta maaf ini klise banget yak. Hehehe)
Saya ini orang dengan pemikiran yang rumit, cuma Dea yang
mampu memahami jalan pikiran saya. Saya tidak tahu jika harus menjalani hidup
tanpa Dea. Pernah suatu waktu, saya ada tugas dinas ke Bali. Sehari sebelum
keberangkatan, Dea dan Ksatria pergi ke Kuningan Jawa Barat. Dalam pikiran saya
ketika itu, “Alhamdulillah, bisa persiapan dengan lebih tenang tanpa
tangisan Ksatria”. Tapi yang terjadi sebaliknya, saat sampai rumah dan
tidak ada tangisan serta sambutan, mendadak saya merasa hampa (dan galau juga
sih). Saya inginnya tetap ada Dea dan Ksatria, tapi tetap dalam kondisi tenang
persiapannya. Ini pertanda saya memiliki pikiran yang rumit kan? Haha
Perjalanan pernikahan masih panjang, mungkin setengahnya
saja belum terlewati. Ikatan pasangan teruji saat melewati krisis.
Mudah-mudahan, di 16 November 2017, terdapat kisah-kisah yang menggembirakan
yang bisa menghiasi blog ini, seputar kelahiran adeknya Ksatria ataupun kisah
lainnya. Krisis akan menjadikan kita naik kelas dalam mengarungi bahtera rumah
tangga. Dan seperti yang kita ketahui bersama, masalah bukan pada krisisnya tapi
bagaimana cara kita mempersepsikan krisis dan menyikapinya. Jika salah
mempersepsi maka riak-riak kecil sudah kita anggap krisis atau sebaliknya. Yang
pasti, baik krisis ataupun riak-riak kecil, saya cuma mau menjalaninya dengan
istri ku tercinta : Dea Adhicita. J
Selamat ulang tahun neng Dea!
Belum ada tanggapan untuk "16 November 2016"
Posting Komentar