16 November 2016

Saya ini orang dengan pemikiran yang rumit, cuma Dea yang mampu memahami jalan pikiran saya. Saya tidak tahu jika harus menjalani hidup tanpa Dea

Pernah pada suatu ketika, saya ditanya oleh Dea, “Aa, kenapa sih mau nikah sama neng?”. Ini pertanyaan kekinian yang jawabannya sudah saya siapkan sejak dulu, “Karena Aa mencari calon Ibu terbaik untuk anak-anak”. Jawaban ini bukan tanpa sebab, dengan assesment sederhana (ceilah :P), saya coba mencari tahu karakter Dea sebagai calon istri ketika dulu sebelum menikah. Saya melihat adanya potensi Dea menjadi seorang ibu yang baik.

Doa pun dijabah. Kami memiliki seorang anak yang kini berumur 3,5 tahun, Ksatria namanya. Sejak dari masa kandungan hingga kini Ksatria berumur 3,5 tahun merupakan masa yang tidak mudah bagi kami. Saya tidak tahu bagaimana keluarga muda lainnya dalam melahirkan dan membesarkan anaknya, namun bagi kami tidak mudah. Butuh kedewasaan, strategi dan kelapangan hati dalam melewatinya. Dalam satu tahun terakhir, terdapat variabel lain yang menambah beban membesarkan anak yaitu penyelesaian tesis S2 dan kehebohan agenda-agenda Shafa Community. Sumber masalah utama dalam membesarkan anak adalah nilai standar, dengan memiliki nilai standar maka kita akan memiliki acuan. Masalah timbul ketika kita tidak mampu atau tidak memiliki kesempatan untuk memenuhi nilai standar tersebut. Andai saja kita tidak memiliki nilai standar, maka membesarkan anak bisa seperti membesarkan anak kambing, tinggal dikasih makan dan dikasih obat kalau sakit. Udah cukup segitu aja. Hehehe

Saya pernah izin untuk tidak masuk kerja karena sakit. Pada saat itu saya bisa menyaksikan bagaimana Dea harus menjalani kesehariannya dari pagi hingga malam. Menjadi seorang ibu tidaklah mudah karena waktu istirahat = waktu anak tidur. Selama anak masih melek, maka selama itu pula ibu bekerja. Tidak ada jeda ngopi-ngopi siang, tidak ada jeda ngerumpi, bahkan kadang buat sholat saja tidak bisa. Dari situ saya bisa memahami mengapa terkadang targetan kami untuk perkembangan anak, tidak semua bisa dicapai. Kondisi di lapangan tidak seindah text book psikologi perkembangan atau pendidikan anak usia dini. Butuh ada penyesuaian konteks, dan ibu adalah orang yang paling tahu penyesuaian yang terbaik yang seperti apa. Saya menganggap Ksatria, anak kami, merupakan anak yang beruntung karena bisa mendapatkan kasih sayang yang bisa dikatakan sempurna dari ibu dan ayah yang secara kebetulan adalah lulusan Psikologi UI.

Menjadikan rumah sebagai madrasah bagi anak, kendalinya lebih banyak dimiliki ibu dibandingkan Ayah. Setidaknya terdapat 3 nabi dan Rasul yang dibesarkan dengan minim pengasuhan Ayah yaitu Ibrahim, Isa dan Muhammad Shalallahu alaihi wassalam. Ini adalah pesan dari Ilahi bahwa Ibu memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, bahkan untuk sekelas nabi dan rasul. Dan ini menandakan pula bahwa peran Ibu bukan peran sembarangan. Saya bukan tipe orang yang suka membenturkan ibu bekerja dan ibu rumah tangga, tapi saya selalu menyampaikan bahwa setiap peran yang dipilih harus dengan perencanaan, strategi, dan pencegahan masalahnya, baik ketika menjadi ibu rumah tangga, maupun ibu bekerja. Misalnya, ketika menjadi ibu bekerja, maka pastikan hak-hak anak (dan suami) terpenuhi dan bisa menjaga adab ketika berinteraksi saat bekerja. Begitupula ketika menjadi ibu rumah tangga, sebisa mungkin tetap menjaga hubungan dengan dunia luar, bagaimana pun caranya dan tetap up to date dengan kondisi kekinian. Dan luar biasanya, Dea adalah ibu rumah tangga yang bekerja. Suatu peran idaman para ibu-ibu masa kini. Canggih kan? Hehehe

Di tanggal ini, 16 November 2016, merupakan hari kelahiran Dea. Tiada kata yang ingin saya ucapkan selain t e r i m a  k a s i h. Dengan turbulensi satu tahun terakhir, Dea telah mengantarkan saya untuk mendapat gelar Magister Psikologi Terapan dari Universitas Indonesia. Tidak hanya itu, Dea juga saat ini sedang mengandung adeknya Ksatria (Horeee). Saya juga meminta maaf karena seringkali mengajak masuk Dea ke dalam pusaran dunia saya yang kadang penuh dengan kejutan. (Btw, terima kasih – minta maaf ini klise banget yak. Hehehe)

Saya ini orang dengan pemikiran yang rumit, cuma Dea yang mampu memahami jalan pikiran saya. Saya tidak tahu jika harus menjalani hidup tanpa Dea. Pernah suatu waktu, saya ada tugas dinas ke Bali. Sehari sebelum keberangkatan, Dea dan Ksatria pergi ke Kuningan Jawa Barat. Dalam pikiran saya ketika itu, “Alhamdulillah, bisa persiapan dengan lebih tenang tanpa tangisan Ksatria”. Tapi yang terjadi sebaliknya, saat sampai rumah dan tidak ada tangisan serta sambutan, mendadak saya merasa hampa (dan galau juga sih). Saya inginnya tetap ada Dea dan Ksatria, tapi tetap dalam kondisi tenang persiapannya. Ini pertanda saya memiliki pikiran yang rumit kan? Haha

Perjalanan pernikahan masih panjang, mungkin setengahnya saja belum terlewati. Ikatan pasangan teruji saat melewati krisis. Mudah-mudahan, di 16 November 2017, terdapat kisah-kisah yang menggembirakan yang bisa menghiasi blog ini, seputar kelahiran adeknya Ksatria ataupun kisah lainnya. Krisis akan menjadikan kita naik kelas dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Dan seperti yang kita ketahui bersama, masalah bukan pada krisisnya tapi bagaimana cara kita mempersepsikan krisis dan menyikapinya. Jika salah mempersepsi maka riak-riak kecil sudah kita anggap krisis atau sebaliknya. Yang pasti, baik krisis ataupun riak-riak kecil, saya cuma mau menjalaninya dengan istri ku tercinta : Dea Adhicita. J

Selamat ulang tahun neng Dea!


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "16 November 2016"

Comment