Lia
melipat mukenanya dan meletakkannya lagi di rak mukena. Dia merasa sedikit lega
setelah berdoa panjang tadi. Bagaimanapun kedatangan Iqbaal cukup membuat
hatinya gamang. Jilbab yang terbalut di kepalanya tampak sedikit berantakan.
Lia menuju cermin untuk merapihkannya.
Ah, bayangan Iqbaal masih menari di pelupuk mata Lia. Lia merasakan sesuatu di hatinya yang tidak biasa. Bagaimanapun mereka pernah berbagi kenangan semasa di SMA dahulu. Kenangan-kenangan itu berlarian di kepala Lia. Ah, Lia. Kenangan memang tidak akan pernah terhapus, Lia. Mereka selamanya berada di dalam kepala dan hatimu. Kamu cukup menerimanya sebagai sebuah takdir terbaik dari Allah, kan?
Ah, bayangan Iqbaal masih menari di pelupuk mata Lia. Lia merasakan sesuatu di hatinya yang tidak biasa. Bagaimanapun mereka pernah berbagi kenangan semasa di SMA dahulu. Kenangan-kenangan itu berlarian di kepala Lia. Ah, Lia. Kenangan memang tidak akan pernah terhapus, Lia. Mereka selamanya berada di dalam kepala dan hatimu. Kamu cukup menerimanya sebagai sebuah takdir terbaik dari Allah, kan?
Lia
keluar dari mushalla itu, ada tempat duduk-duduk menghadap danau di teras mushalla
tersebut. Lia duduk menatap danau yang tenang. Kelas kuliah siang menguap dari
kepala Lia. Dia terlempar kembali ke masa-masa SMA.
Empat
tahun yang Lalu
SMA
Teladan adalah sekolah paling favorit di Kota Depok. Lia sangat menginginkan
masuk ke sana sebab kakak-kakaknya juga telah berhasil masuk ke sana. Kini dia berdiri
di depan gedung bernuansa kecokelatan itu. Hari ini adalah hari pertamanya
resmi menjadi bagian sekolah yang merupakan impiannya sejak lama. Alhamdulillaah.
Lia tak henti-hentinya bersyukur. Pendaftaran siswa baru sudah usai, Lia
diterima dengan resmi di SMA Teladan.
Lia
melangkahkan kakinya ke dalam pelataran parkir SMA Teladan.Tadi dia dihubungi oleh
pihak sekolah bahwa hari ini adalah hari perdana masa orientasi siswa baru. Lia
tentu saja sangat bersemangat untuk menghadiri rangkaian acaranya.
SMA Teladan dikenal sangat baik dalam pelaksanaan masa orientasi siswa baru. Lia sudah mendengar dari kakak-kakaknya yang alumnus sekolah ini bahwa tidak ada perploncoan semacam kuncir rambut tujuh warna ataupun tas yang terbuat dari karung.
SMA Teladan dikenal sangat baik dalam pelaksanaan masa orientasi siswa baru. Lia sudah mendengar dari kakak-kakaknya yang alumnus sekolah ini bahwa tidak ada perploncoan semacam kuncir rambut tujuh warna ataupun tas yang terbuat dari karung.
Lia
bergabung bersama sekitar seratusan siswa baru lainnya berdiri berbaris di
lapangan SMA Teladan. Sekolah ini dikenal sebagai sekolah dengan lapangan yang
besar, cukup besar hingga bisa dijadikan lapangan sepak bola. Lia menatap
sekelilingnya, wajah-wajah siswa baru sama bersemangat dengan dirinya.
“Hey!”
Suara seorang gadis, mencolek bahu Lia. “Kenalan dong”, gadis itu tersenyum
kepada Lia.
“Hai,
aku Lia, Nurlia Paramita.” Lia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan
gadis manis itu.
“Gue
Raya, Raya Adalia.” Raya menjabat erat tangan Lia. Mereka saling bertukar
cerita seputar sekolah sebelumnya. Unik sekali mereka sama-sama hanya sendirian
dari masing-masing SMP.
Raya
dan Lia dengan cepat menjadi sahabat. Mereka menghabiskan waktu berduaan
menjelajah stand-stand ekstrakurikuler. Mereka juga tertakdirkan untuk sekelas
bersama. Raya menyukai antusiasme Lia. Lia menyukai ketulusan Raya.
Keesokan
harinya Raya sudah menanti Lia di depan kelas.
“Li!”
Raya memanggil Lia kencang-kencang. Setengah berlari Raya menghampiri Lia yang
baru tiba dari arah pagar sekolah.
“Ray,
kenapa? Agenda hari ini apaan deh? Gue ga terlambat kan?” Lia masuk dan
meletakkan tasnya di kursi sebelah kursi Raya.
“Ngga,
ngga telaaat. Tapi lo nyaris ketinggalan acara penting. Ayoo ke lapangan. Ayo,
ayo, ayoooo.” Raya memegang bahu Lia, membelokkannya ke arah lapangan lalu
mendorong punggung Lia menuruni undakan menuju lapangan.
Lapangan
SMA Teladan terkenal sangat luas hingga saking luasnya bisa digunakan untuk
bermain sepak bola. Kelas-kelas membentang di setiap sisi lapangan. Ada pendopo
di utara lapangan, biasa digunakan untuk tempat pembina upacara setiap hari
Senin.
Di
pendopo sudah berkumpul siswa baru berkerumun. Ternyata ada lomba bagi siswa
baru. Raya dan Lia berkumpul bersama siswa baru melihat pengumuman di spanduk
besar itu. Raya tersenyum lebar kepada Lia.
“Ikutan
gih, Li!” Raya menunjuk ke arah tulisan di spanduk itu. Ada berbagai lomba, SMA
Teladan memang kreatif dalam menciptakan atmosfir positif dalam menyambut siswa
baru. Alih-alih perploncoan, berbagai lomba digelar untuk menyatukan kekompakan
sekaligus memberikan pengalaman pertama yang positif bagi siswa baru itu.
Lia
melihat tulisan pada spanduk besar itu. Ada lomba menggambar anime. Ah, Lia
tidak suka anime dan produk-produk kreatifitas dari negeri Sakura itu. Tapi dia
memang suka melukis dan menggambar.
Lia
teringat ayah dan ibunya adalah orang yang selalu mendukung anak-anaknya untuk
menggemari kesukaan masing-masing. Mba Aina suka memasak. Mba Isti suka sekali
olahraga. Mba Mirna suka akan hal-hal terkait pertamanan dan tumbuhan. Mereka
semua dibebaskan menggemari apa yang mereka suka.
“Okey,
sip, gue mau ikutan ah! Lo juga dong, Ray. Kita biar barengan. Lo mo lomba apa
Ray?”, tanya Lia kepada Raya. Lomba ini memang wajib diikuti bagi siswa baru.
Mereka harus memilih satu atau dua lomba untuk diikuti.
“Lomba
joget lah, masa gue kelewatan sih lomba super menarik gitu Li, gue mah pasti
menang soal joget-jogetan.” Raya menirukan jogetan yang hanya meliuk-liukkan
jempolnya saja. Lia menggeleng-geleng keheranan. Sahabat barunya ini memang
super unik.
Lia
dan Raya pun berpisah untuk mengikuti perlombaannya masing-masing. Lia menuju
perpustakaan dan Raya tetap di pendopo sekolah.
***
Lia
tenggelam dalam gambar yang sedang dibuatnya itu. Sekitar dua puluh orang siswa
baru mengikuti perlombaan menggambar di Perpustakaan itu. Lia mencoba
menggambar orang-orang yang tengah menggambar. Dia tepikir ide unik itu setelah
panitia membebaskan untuk menggambar apa saja setelah dia menawar bahwa Lia
tidak bisa menggambar anime.
Lia
menggenggam pensil di tangan kanannya begitu intens. Matanya bolak-balik
memandang sketsa yagn hampir di hadapannya lalu kembali ke objek gambarnya.
Seorang lelaki memandangnya dari sudut perpustakaan.
“Bal,
Bal, jangan lupa ditanyain yak itu hasil penilaian renang sama Pak Darto ya.
Gue ke kelas dulu.” Ami, teman sekelas Iqbaal itu berlalu dari perpustakaan.
Iqbaal
Rahmadi memang seorang ketua kelas yang sering dimintai tolong oleh guru untuk
merekap hasil penilaian mereka. Di masa awal tahun ajaran baru ini Pak Darto
memang tergolong bergerak sangat cepat, dia sudah meminta anak-anak berenang
dan mengambil nilainya. Tentu saja itu bertujuan agar anak-anak segera fokus
setelah liburan panjang.
Iqbaal
merapihkan kertas penilaian renang yang ada di hadapannya. Dia sempat terkesiap
melihat deretan siswa baru yang tengah lomba menggambar di hall Perpustakaan
itu. Siapa ya nama anak yang duduk paling pojok itu. Ah, Iqbaal buru-buru
keluar Perpustakaan. Pak Darto sudah menunggunya.
Lia
menatap lagi sketsa di hadapannya. Ah, tampaknya sudah bagus. Dia puas dengan
hasil menggambarnya kali ini. Lia segera berdiri dari duduknya untuk
mengumpulkan hasil gambarnya kepada kakak panitia.
Bersamaan
dia bangkit dari meja Perpustakaan dan menuju kakak panitia, tidak sengaja Lia
menubruk seorang anak laki-laki yang membawa setumpuk kertas.
“Brukk!”
Lia menubruk tidak sengaja dan kertas itu berhamburan di lantai. Aduh, gawat
amat sih kamu, Lia. Lia berjongkok dan segera meminta maaf kepada anak
laki-laki itu. Sepertinya dia senior karena semua siswa baru diminta mengenakan
seragam putih-putih.
“Oh,
biar saya yang bereskan.” Laki-laki itu berjongkok membereskan tumpukan kertas
kembali menjadi rapih. Dia menatap Lia dan bertanya, “Lagi lomba ya? Ditunggu
tuh”.
Lia
pun tersadar bahwa sejak tadi dia memandangi kakak senior itu. Aih, Lia, matamu perlu
ditatar lebih lanjut deh sepertinya, Lia merutuk kesal. Lia segera menyerahkan
sketsa di hadapannya. Semoga menang, lumayan kan baru masuk tapi udah menang
lomba, hehe.
***
Lia
sudah sampai di rumah sejak jam 2 siang tadi tapi dia masih mengobrak-abrik tas
sekolahnya. Kemana ya sapu tangan biru kepunyaannya? Biasanya setelah dia pakai
dia kembalikan ke tas. Lia mengulangi sekali lagi mengacak-acak tasnya,
berharap sapu tangannya masih di sana.
Lia
selalu mengantongi sapu tangan setiap dia pergi kemanapun. Entah sudah berapa
orang yang menanyakannya untuk apa sapu tangan itu. Lia hanya ingat sejak kecil
dia selalu mengantongi sapu tangan itu.
Ibu
Lia yang membordir nama anak-anaknya pada sapu tangan. Lia membawanya
kemana-mana agar dia selalu bersemangat. Ah, Lia kamu ceroboh sekali. Sapu
tangan kesayangan itu terjatuh entah di mana tadi.
Nihil.
Lia mencoba mengingat-ingat kemana saja tadi dia selama di sekolah. Terlalu
banyak tempat yang dia singgahi. Besok dia akan melihat lagi kemana sapu tangannya
jatuh. Ah, ga usah lah. Sapu tangannya masih banyak. Lia merapihkan tasnya
kembali.
***
Iqbaal
menatap sapu tangan yang terjatuh itu, sepertinya punya siswi kelas 1 tadi yang
bertabrakan dengannya di Perpustakaan. Sapu tangan berwarna birun terbordir rapih
sebuah nama : Nurlia.
Ooh,
jadi namanya Nurlia, Iqbaal menggumam pelan. Besok dia akan mencari di daftar
nama kelas 1, tentu ada siswi yang bernama Nurlia. Iqbaal meletakkan sapu
tangan itu di dalam tasnya.
***
Bel
tanda pulang sekolah berbunyi. Pintu kelas terbuka secara serempak. Semua
berlarian senang karena sudah saatnya pulang. Iqbaal menuju kelas 1-4, kelas
anak itu, anak pemilik sapu tangan itu.
Kelas
1-4 terletak di ujung blok jajaran kelas 1. Sebelahnya adalah kantin yang
selalu ramai. Iqbaal duduk di kantin sambil menatap ke kelas 1-4. Saat satu per
satu penghuni kelas itu keluar, Iqbaal melihat satu wajah yang kemarin itu. Ya,
itu dia.
“Nurlia!”
Iqbaal memanggil Lia dengan yakin.
Lia
terkesiap, siapa ya yang memanggilnya. Lia menoleh ke arah kantin. Sesosok
kakak senior tersenyum kepadanya. Ya ampun! Dia kakak senior yang kemarin di
Perpustakaan itu. Lia menghampirinya.
“Kamu
menjatuhkan sapu tangan kemarin, saya simpan dan ini saya kembalikan ya” Kakak
senior itu melambaikan sehelai sapu tangan biru. Lia
kehabisan kata-kata. Duh, teledor sekali sih kamu, Lia.
“Oh,
makasih ya Kak. Hmmm. Mohon maaf kalau merepotkan, sekali lagi makasih.” Lia mengulurkan
tangan mengambil sapu tangan itu.
Iqbaal
tersenyum sambil berucap, “It’s okay, sapu tangan ga berat kok. Oiya, kamu
kelas 1-4 ya? Dulu saya juga kelas 1-4.”
Lia
mengangguk, “Iya kak, saya kelas 1-4”
“Oke,
saya cuma mau mengembalikan sapu tangan.” Kakak senior berlalu dari hadapan Lia.
Lia masih mematung menatapnya. Ih, kok dia ganteng sih. Lia buru-buru menoyor
kepalanya sendiri. Jangan alay, Liaaa! Lia kembali ke dalam kelasnya.
Iqbaal
menoleh ke kelas 1-4 sambil tersenyum tipis. Gadis itu memiliki sketsa yang
sangat indah. Kemarin saat di Perpustakaan Iqbaal telah menatap hasil lukisan
gadis itu. Iqbaal membayangkan apa saja yang bisa dilukis dengan indah oleh
gadis itu ya? Iqbaal menuju Perpustakaan, sepertinya dia jadi ingin melukis di
sana.
***
Dan disinilah sekarang Lia sedang mencoba menghembuskan nafasnya keras-keras dari mulutnya mengusir kegundahan yang melanda setiap dia mengenang perjumpaan pertama dengan Iqbaal. Bagaimana dia
tidak merasa bimbang, Iqbaal jauh-jauh terbang dari Jepang tadi hanya untuk
bertemu dan menanyakan pernikahannya.
Lia
membayangkan apa yang ada di benak Iqbaal saat kembali ke Jepang saat ini. Apa
dia marah, apakah dia sedih? Lalu bagaimana dengan kamu sendiri Lia? Apa yang
kamu harapkan kalau kamu mengetahui perasaan Iqbaal?
Lia
melemparkan pandangan ke danau yang membentang luas di belakang mushalla
kampusnya. Perkuliahan sudah mulai dari tadi dan Lia sama sekali tidak
berselera untuk masuk.
Sambil
menatap danau yang tenang, Lia menata kembali perasaannya. Ada wajah-wajah
orang tuanya yang selalu Lia ingat saat resah menghantui rencana pernikahannya.
Ayah dan Ibunya sangat berbahagia Lia akan menikah dengan Adam, putra sahabat
ibunya. Sudah sepantasnya Lia tidak merusak kebahagiaan itu.
Lagipula
Adam lelaki baik, Lia berusaha meyakinkan diri. Bayangan Iqbaal yang beranjak
dari kursi taman tadi masih berlarian di pikiran Lia. Sepertinya ini ujian dari
Allah untukmu, Lia.
Seindah-indahnya
masa lalu, itu semua hanyalah kenangan. Lia baru akan bangkit dari teras
mushalla saat sebuah suara memanggilnya.
“Jadi
kamu di sini bolos masuk kelas, hah?” Adam menatap Lia dengan pandangan dingin.
(bersambung)
2 Tanggapan untuk "Senarai Part 11"
Aww awww mengenang masa maluuuu heheheh
Love it... cepet lanjutin ya dey 😘😅
Posting Komentar