Senarai Part 11



Lia melipat mukenanya dan meletakkannya lagi di rak mukena. Dia merasa sedikit lega setelah berdoa panjang tadi. Bagaimanapun kedatangan Iqbaal cukup membuat hatinya gamang. Jilbab yang terbalut di kepalanya tampak sedikit berantakan. Lia menuju cermin untuk merapihkannya. 


Ah, bayangan Iqbaal masih menari di pelupuk mata Lia. Lia merasakan sesuatu di hatinya yang tidak biasa. Bagaimanapun mereka pernah berbagi kenangan semasa di SMA dahulu. Kenangan-kenangan itu berlarian di kepala Lia. Ah, Lia. Kenangan memang tidak akan pernah terhapus, Lia. Mereka selamanya berada di dalam kepala dan hatimu. Kamu cukup menerimanya sebagai sebuah takdir terbaik dari Allah, kan?


Lia keluar dari mushalla itu, ada tempat duduk-duduk menghadap danau di teras mushalla tersebut. Lia duduk menatap danau yang tenang. Kelas kuliah siang menguap dari kepala Lia. Dia terlempar kembali ke masa-masa SMA.


Empat tahun yang Lalu


SMA Teladan adalah sekolah paling favorit di Kota Depok. Lia sangat menginginkan masuk ke sana sebab kakak-kakaknya juga telah berhasil masuk ke sana. Kini dia berdiri di depan gedung bernuansa kecokelatan itu. Hari ini adalah hari pertamanya resmi menjadi bagian sekolah yang merupakan impiannya sejak lama. Alhamdulillaah. Lia tak henti-hentinya bersyukur. Pendaftaran siswa baru sudah usai, Lia diterima dengan resmi di SMA Teladan.


Lia melangkahkan kakinya ke dalam pelataran parkir SMA Teladan.Tadi dia dihubungi oleh pihak sekolah bahwa hari ini adalah hari perdana masa orientasi siswa baru. Lia tentu saja sangat bersemangat untuk menghadiri rangkaian acaranya. 


SMA Teladan dikenal sangat baik dalam pelaksanaan masa orientasi siswa baru. Lia sudah mendengar dari kakak-kakaknya yang alumnus sekolah ini bahwa tidak ada perploncoan semacam kuncir rambut tujuh warna ataupun tas yang terbuat dari karung.


Lia bergabung bersama sekitar seratusan siswa baru lainnya berdiri berbaris di lapangan SMA Teladan. Sekolah ini dikenal sebagai sekolah dengan lapangan yang besar, cukup besar hingga bisa dijadikan lapangan sepak bola. Lia menatap sekelilingnya, wajah-wajah siswa baru sama bersemangat dengan dirinya.


“Hey!” Suara seorang gadis, mencolek bahu Lia. “Kenalan dong”, gadis itu tersenyum kepada Lia.


“Hai, aku Lia, Nurlia Paramita.” Lia mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan gadis manis itu.


“Gue Raya, Raya Adalia.” Raya menjabat erat tangan Lia. Mereka saling bertukar cerita seputar sekolah sebelumnya. Unik sekali mereka sama-sama hanya sendirian dari masing-masing SMP.


Raya dan Lia dengan cepat menjadi sahabat. Mereka menghabiskan waktu berduaan menjelajah stand-stand ekstrakurikuler. Mereka juga tertakdirkan untuk sekelas bersama. Raya menyukai antusiasme Lia. Lia menyukai ketulusan Raya.


Keesokan harinya Raya sudah menanti Lia di depan kelas.


“Li!” Raya memanggil Lia kencang-kencang. Setengah berlari Raya menghampiri Lia yang baru tiba dari arah pagar sekolah.


“Ray, kenapa? Agenda hari ini apaan deh? Gue ga terlambat kan?” Lia masuk dan meletakkan tasnya di kursi sebelah kursi Raya.


“Ngga, ngga telaaat. Tapi lo nyaris ketinggalan acara penting. Ayoo ke lapangan. Ayo, ayo, ayoooo.” Raya memegang bahu Lia, membelokkannya ke arah lapangan lalu mendorong punggung Lia menuruni undakan menuju lapangan.


Lapangan SMA Teladan terkenal sangat luas hingga saking luasnya bisa digunakan untuk bermain sepak bola. Kelas-kelas membentang di setiap sisi lapangan. Ada pendopo di utara lapangan, biasa digunakan untuk tempat pembina upacara setiap hari Senin.


Di pendopo sudah berkumpul siswa baru berkerumun. Ternyata ada lomba bagi siswa baru. Raya dan Lia berkumpul bersama siswa baru melihat pengumuman di spanduk besar itu. Raya tersenyum lebar kepada Lia.


“Ikutan gih, Li!” Raya menunjuk ke arah tulisan di spanduk itu. Ada berbagai lomba, SMA Teladan memang kreatif dalam menciptakan atmosfir positif dalam menyambut siswa baru. Alih-alih perploncoan, berbagai lomba digelar untuk menyatukan kekompakan sekaligus memberikan pengalaman pertama yang positif bagi siswa baru itu.


Lia melihat tulisan pada spanduk besar itu. Ada lomba menggambar anime. Ah, Lia tidak suka anime dan produk-produk kreatifitas dari negeri Sakura itu. Tapi dia memang suka melukis dan menggambar.


Lia teringat ayah dan ibunya adalah orang yang selalu mendukung anak-anaknya untuk menggemari kesukaan masing-masing. Mba Aina suka memasak. Mba Isti suka sekali olahraga. Mba Mirna suka akan hal-hal terkait pertamanan dan tumbuhan. Mereka semua dibebaskan menggemari apa yang mereka suka.


“Okey, sip, gue mau ikutan ah! Lo juga dong, Ray. Kita biar barengan. Lo mo lomba apa Ray?”, tanya Lia kepada Raya. Lomba ini memang wajib diikuti bagi siswa baru. Mereka harus memilih satu atau dua lomba untuk diikuti.


“Lomba joget lah, masa gue kelewatan sih lomba super menarik gitu Li, gue mah pasti menang soal joget-jogetan.” Raya menirukan jogetan yang hanya meliuk-liukkan jempolnya saja. Lia menggeleng-geleng keheranan. Sahabat barunya ini memang super unik.


Lia dan Raya pun berpisah untuk mengikuti perlombaannya masing-masing. Lia menuju perpustakaan dan Raya tetap di pendopo sekolah.


***


Lia tenggelam dalam gambar yang sedang dibuatnya itu. Sekitar dua puluh orang siswa baru mengikuti perlombaan menggambar di Perpustakaan itu. Lia mencoba menggambar orang-orang yang tengah menggambar. Dia tepikir ide unik itu setelah panitia membebaskan untuk menggambar apa saja setelah dia menawar bahwa Lia tidak bisa menggambar anime.


Lia menggenggam pensil di tangan kanannya begitu intens. Matanya bolak-balik memandang sketsa yagn hampir di hadapannya lalu kembali ke objek gambarnya. Seorang lelaki memandangnya dari sudut perpustakaan.


“Bal, Bal, jangan lupa ditanyain yak itu hasil penilaian renang sama Pak Darto ya. Gue ke kelas dulu.” Ami, teman sekelas Iqbaal itu berlalu dari perpustakaan.


Iqbaal Rahmadi memang seorang ketua kelas yang sering dimintai tolong oleh guru untuk merekap hasil penilaian mereka. Di masa awal tahun ajaran baru ini Pak Darto memang tergolong bergerak sangat cepat, dia sudah meminta anak-anak berenang dan mengambil nilainya. Tentu saja itu bertujuan agar anak-anak segera fokus setelah liburan panjang.


Iqbaal merapihkan kertas penilaian renang yang ada di hadapannya. Dia sempat terkesiap melihat deretan siswa baru yang tengah lomba menggambar di hall Perpustakaan itu. Siapa ya nama anak yang duduk paling pojok itu. Ah, Iqbaal buru-buru keluar Perpustakaan. Pak Darto sudah menunggunya.


Lia menatap lagi sketsa di hadapannya. Ah, tampaknya sudah bagus. Dia puas dengan hasil menggambarnya kali ini. Lia segera berdiri dari duduknya untuk mengumpulkan hasil gambarnya kepada kakak panitia.


Bersamaan dia bangkit dari meja Perpustakaan dan menuju kakak panitia, tidak sengaja Lia menubruk seorang anak laki-laki yang membawa setumpuk kertas.


“Brukk!” Lia menubruk tidak sengaja dan kertas itu berhamburan di lantai. Aduh, gawat amat sih kamu, Lia. Lia berjongkok dan segera meminta maaf kepada anak laki-laki itu. Sepertinya dia senior karena semua siswa baru diminta mengenakan seragam putih-putih.


“Oh, biar saya yang bereskan.” Laki-laki itu berjongkok membereskan tumpukan kertas kembali menjadi rapih. Dia menatap Lia dan bertanya, “Lagi lomba ya? Ditunggu tuh”.


Lia pun tersadar bahwa sejak tadi dia memandangi kakak senior itu. Aih, Lia, matamu perlu ditatar lebih lanjut deh sepertinya, Lia merutuk kesal. Lia segera menyerahkan sketsa di hadapannya. Semoga menang, lumayan kan baru masuk tapi udah menang lomba, hehe.


***


Lia sudah sampai di rumah sejak jam 2 siang tadi tapi dia masih mengobrak-abrik tas sekolahnya. Kemana ya sapu tangan biru kepunyaannya? Biasanya setelah dia pakai dia kembalikan ke tas. Lia mengulangi sekali lagi mengacak-acak tasnya, berharap sapu tangannya masih di sana.


Lia selalu mengantongi sapu tangan setiap dia pergi kemanapun. Entah sudah berapa orang yang menanyakannya untuk apa sapu tangan itu. Lia hanya ingat sejak kecil dia selalu mengantongi sapu tangan itu.


Ibu Lia yang membordir nama anak-anaknya pada sapu tangan. Lia membawanya kemana-mana agar dia selalu bersemangat. Ah, Lia kamu ceroboh sekali. Sapu tangan kesayangan itu terjatuh entah di mana tadi.


Nihil. Lia mencoba mengingat-ingat kemana saja tadi dia selama di sekolah. Terlalu banyak tempat yang dia singgahi. Besok dia akan melihat lagi kemana sapu tangannya jatuh. Ah, ga usah lah. Sapu tangannya masih banyak. Lia merapihkan tasnya kembali.


***


Iqbaal menatap sapu tangan yang terjatuh itu, sepertinya punya siswi kelas 1 tadi yang bertabrakan dengannya di Perpustakaan. Sapu tangan berwarna birun terbordir rapih sebuah nama : Nurlia.


Ooh, jadi namanya Nurlia, Iqbaal menggumam pelan. Besok dia akan mencari di daftar nama kelas 1, tentu ada siswi yang bernama Nurlia. Iqbaal meletakkan sapu tangan itu di dalam tasnya.


***


Bel tanda pulang sekolah berbunyi. Pintu kelas terbuka secara serempak. Semua berlarian senang karena sudah saatnya pulang. Iqbaal menuju kelas 1-4, kelas anak itu, anak pemilik sapu tangan itu.


Kelas 1-4 terletak di ujung blok jajaran kelas 1. Sebelahnya adalah kantin yang selalu ramai. Iqbaal duduk di kantin sambil menatap ke kelas 1-4. Saat satu per satu penghuni kelas itu keluar, Iqbaal melihat satu wajah yang kemarin itu. Ya, itu dia.


“Nurlia!” Iqbaal memanggil Lia dengan yakin.


Lia terkesiap, siapa ya yang memanggilnya. Lia menoleh ke arah kantin. Sesosok kakak senior tersenyum kepadanya. Ya ampun! Dia kakak senior yang kemarin di Perpustakaan itu. Lia menghampirinya.


“Kamu menjatuhkan sapu tangan kemarin, saya simpan dan ini saya kembalikan ya” Kakak senior itu melambaikan sehelai sapu tangan biru. Lia kehabisan kata-kata. Duh, teledor sekali sih kamu, Lia.


“Oh, makasih ya Kak. Hmmm. Mohon maaf kalau merepotkan, sekali lagi makasih.” Lia mengulurkan tangan mengambil sapu tangan itu.


Iqbaal tersenyum sambil berucap, “It’s okay, sapu tangan ga berat kok. Oiya, kamu kelas 1-4 ya? Dulu saya juga kelas 1-4.”


Lia mengangguk, “Iya kak, saya kelas 1-4”


“Oke, saya cuma mau mengembalikan sapu tangan.” Kakak senior berlalu dari hadapan Lia. Lia masih mematung menatapnya. Ih, kok dia ganteng sih. Lia buru-buru menoyor kepalanya sendiri. Jangan alay, Liaaa! Lia kembali ke dalam kelasnya.


Iqbaal menoleh ke kelas 1-4 sambil tersenyum tipis. Gadis itu memiliki sketsa yang sangat indah. Kemarin saat di Perpustakaan Iqbaal telah menatap hasil lukisan gadis itu. Iqbaal membayangkan apa saja yang bisa dilukis dengan indah oleh gadis itu ya? Iqbaal menuju Perpustakaan, sepertinya dia jadi ingin melukis di sana.


***


Dan disinilah sekarang Lia sedang mencoba menghembuskan nafasnya keras-keras dari mulutnya mengusir kegundahan yang melanda setiap dia mengenang perjumpaan pertama dengan Iqbaal. Bagaimana dia tidak merasa bimbang, Iqbaal jauh-jauh terbang dari Jepang tadi hanya untuk bertemu dan menanyakan pernikahannya.


Lia membayangkan apa yang ada di benak Iqbaal saat kembali ke Jepang saat ini. Apa dia marah, apakah dia sedih? Lalu bagaimana dengan kamu sendiri Lia? Apa yang kamu harapkan kalau kamu mengetahui perasaan Iqbaal?


Lia melemparkan pandangan ke danau yang membentang luas di belakang mushalla kampusnya. Perkuliahan sudah mulai dari tadi dan Lia sama sekali tidak berselera untuk masuk.


Sambil menatap danau yang tenang, Lia menata kembali perasaannya. Ada wajah-wajah orang tuanya yang selalu Lia ingat saat resah menghantui rencana pernikahannya. Ayah dan Ibunya sangat berbahagia Lia akan menikah dengan Adam, putra sahabat ibunya. Sudah sepantasnya Lia tidak merusak kebahagiaan itu.


Lagipula Adam lelaki baik, Lia berusaha meyakinkan diri. Bayangan Iqbaal yang beranjak dari kursi taman tadi masih berlarian di pikiran Lia. Sepertinya ini ujian dari Allah untukmu, Lia.


Seindah-indahnya masa lalu, itu semua hanyalah kenangan. Lia baru akan bangkit dari teras mushalla saat sebuah suara memanggilnya.
“Jadi kamu di sini bolos masuk kelas, hah?” Adam menatap Lia dengan pandangan dingin.


(bersambung)


Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Senarai Part 11"

Nissa mengatakan...

Aww awww mengenang masa maluuuu heheheh

Farah mengatakan...

Love it... cepet lanjutin ya dey 😘😅

Comment