Transgender Islam, dan Peran Kita Sebagai Orangtua



Hari ini saya akan menuliskan opini saya berdasarkan sebuah utas yang saya baca tadi malam. Utas tersebut ditulis oleh seorang transgender Indonesia di Twitter. Tulisan ini murni opini saya, belum divalidasi dengan penelitian psikologis terbaru mengenai kaum transgender, ya.

Tulisan ini murni menuangkan keresahan saja, ya. Mohon dimaklumi dan dibaca dengan bijak sebagai opini saya pribadi.

Jadi ceritanya tadi malam saya membaca sebuah thread yang bersliweran di linimasa Twitter saya yang membahas tentang orangtua. Pada beberapa hari ini, linimasa Twitter memang sedang menyoroti mengenai “toxic parent”. Toxic parent didefinisikan kurang lebih sebagai orangtua yang memberikan luka psikologis ataupun luka fisik selama masa kecil kita.

Nah, transgender ini membuat utas yang mengisahkan beberapa hal. Ia mengawalinya dengan menceritakan masa kecilnya sebagai anak perempuan. Ayahnya kerap memukulinya jika ia melewatkan jam pelajaran mengaji. Ia pun sering membolos untuk bermain bersama teman-temannya hingga Maghrib.

Menurutnya, ibunya tidak sering berbicara dengannya karena ia diasuh oleh sosok yang dia sebut “mba Santri”. Saya terjemahkan bahwa sosok ini diasuh di lingkungan pesantren di mana orangtuanya nampaknya adalah pemilik pesantren itu lalu dia diasuh oleh peserta didik pesantren. Hal ini mengingat bahwa peserta didik di pesantren disebut dengan sebutan “Santri”. 

Transgender ini pun mengatakan bahwa sejak dia lantang mengungkapkannya tentang identitas barunya, ia malah merasakan terjadinya perubahan baik di dalam komunikasi dan hubungannya dengan orangtuanya. Contohnya ibunya yang menjadi sering bertanya tentang bagaimana rasanya menjadi transgender, begitu pula dengan ayahnya.

Sosok transgender ini berubah dari perempuan berjilbab di masa kecil dan remaja menjadi laki-laki di masa dewasa sekarang. Bahkan ia kini rutin menunaikan ibadah sebagai lelaki muslim, misalnya saja sholat Jum’at di masjid.

Wah ….

Saya membaca utas itu sambil diserbu berbagai pikiran sambil berkaca-kaca, lho. Dalam artian ada banyak sekali makna tersirat yang menjadi refleksi bagi diri saya pribadi di dalam utas itu.

Kebetulan sekali saya dan suami saya sedang dan masih memulai program detoksifikasi gawai dan TV untuk kedua putra kami. Yap, kini tidak ada pemberian gawai dan TV kepada mereka selama 24 jam 7 hari dalam seminggu.

Hal ini kontras dengan kondisi kami sebelumnya yang melonggarkan gawai dan TV karena ketiadaan peraturan, juga karena self-lockdown di awal pandemi. Kini saya dan suami mengadakan perombakan total. Total dalam artian benar-benar mengubah segala-galanya.

Kami meniadakan kabel TV sehingga TV tidak bisa menyalakan lagi. Kami juga meniadakan gawai secara total baik itu bagi si sulung maupun si adik. Kami pun membuat jadwal kegiatan bersama si sulung (dia yang menuliskannya) untuk mengajarkannya kedisiplinan dan hidup yang produktif.

Konsekuensi dari ketiadaan gawai dan TV ini apa sih? Banyak sekali sih.

Terutama sekali adalah hadinya sebuah pencerahan besar bagi saya dan suami tentang peran kami sebagai orangtua. Sejatinya menurut kami pribadi, kami telah membuang banyak sekali waktu berharga anak-anka kami atas nama mengejar mimpi dan ambisi pribadi.

Kini saya dan suami menomorsatukan anak-anak dibandingkan hal-hal lain di dalam kehidupan kami. Kami bermain bersama mereka. Kami larut ke dalam dunia mereka. Kami menyamakan tingkat ketinggian mata setiap berbicara kepada mereka.

Ajaib. Sejak hari Senin program ini bergulir, kedua putra saya menjadi berubah! Mereka kini memiliki kestabilan emosi yang sebelumnya sangat chaotic sekali, lebih tepatnya sangat sering tantrum. Begitupula dengan saya pribadi. Saya merasakan “kepuasan batin” dan meraih “inner peace” saat saya fokus membersamai anak-anak saya secara total.

Lalu, apa hubungannya dengan utas dari transgender tadi, Dey?

Seujujurnya saya menjadikan hal itu sebagai motivasi internal untuk saya melanjutkan program detoks gawai dan TV ini. Ya, harus saya akui, saya sangat lelah dalam menemani anak (dua anak lelaki coba bayangkan) beraktivitas tanpa jeda gawai dan TV.

Namun, saya sudah dipahamkan oleh suami mengenai investasi, nope, bukan investasi dunia, melainkan investasi akhirat.

Saya dan suami menikah dalam usia cukup muda (saya 22 tahun dan suami 25 tahun). Selama tujuh tahun ke belakang menjadi orangtua kami sadari betul ada ego anak muda yang masih bergejolak di dalam diri kami yang belum siap peran sebagai orangtua.

Huft. Sungguh huft yang mendalam ….

Saat saya membaca utas dari transgender tadi, hati saya serasa dicubit. Saya juga pernah melakukan hal itu. Saya pernah menghukum anak saya karena tidak mau mengaji atau sholat.

Saya juga tidak sering berinteraksi dengan anak-anak saya. Bisa dibilang meskipun saya ibu rumah tangga sejak anak pertama lahir tahun 2013 lalu, namun hanya fisik saya saja yang ada di rumah.

Hati saya melanglangbuana ke mana saja sesuka pikiran saya menyuruhnya.

:’(

Akhirnya kedua anak saya pun sering saya titipkan kepada ibu saya dan kepada asisten rumah tangga saya.

Kini baru 6 hari program detoks gawai dan TV ini bergulir tapi saya sudah mulai menginsyafi kesalahan-kesalahan saya. Suami saya pun sering membuka ruang diskusi. Saya terbuka kepadanya tentang semua ketakutan dan kekhawatiran-kekhawatiran saya.

Dia dengan sabar mendengarkan, menyimak, lalu membimbing saya menemukan cahaya itu. Cahaya di dalam jiwa saya yang membisikkan kalimat pengharapan bahwa kehidupan saya sebagai ibu belum berakhir….

Masih bisa diperbaiki, mari kita perbaiki, itu adalah dua hal yang diungkapkan oleh suami saya dengan lembut dan dengan sangat mengayomi.

Tidak terhitung berapa kali saya marah sambil berderai-derai air mata menganggap suami saya tidak memahami saya. Namun, faktanya berkebalikan, suami saya justru ingin menyelamatkan saya dari penyesalan lebih besar di masa depan.

Penyesalan saat anak-anak tumbuh besar tanpa sempat merasakan ketulusan kasih sayang ibunya. Penyesalan saat anak-anak tumbuh besar tanpa sempat merasakan kehadiran ibunya dalam hari-hari mereka secara fokus, total dan penuh curahan kasih sayang.

Maka, momen di mana saya membaca utas dari transgender tadi adalah momen di mana saya mendapatkan suntikan motivasi. Motivasi untuk menjadi ibu rumah tangga yang bukan hanya fisiknya hadir di rumah, tapi hati, jiwa, dan pikirannya juga ada di rumah.

Motivasi untuk berbahagia dalam menemani anak-anak bereksplorasi semua jenis permainan dalam menghapus bayang-bayang gawai dan TV.

Motivasi untuk mengikhlaskan hal-hal yang tidak bisa saya raih karena kefokusan saya ini kepada anak-anak saya.

Ah, tapi dipikir-pikir lagi, ternyata dengan fokus kepada anak-anak saya seharian justru menjadikan mereka lebih terjadwal waktu tidur. Anak-anak saya pun sukses tidur pukul 19:30 WIB sejak program detoks ini bergulir.

Setelah anak-anak tertidur saya pun bisa menulis dan meneruskan mimpi-mimpi saya yang salah satu dari mimpi itu adalah menjadi penulis.

Alhamdulillah, terimakasih ya Allah

:’)

Momen di mana saya membaca utas transgender tadi adalah momen di mana saya mendapatkan kekuatan, ya, kekuatan dari masa depan.

Saya seolah mendapat pesan dari masa depan tentang kedua anak lelaki saya yang bercerita tentang ibunya yang menemani mereka bermain sepeda, bermain tanah, bermain air, yang begitu sabar menjawab-jawabi pertanyaan, yang mempersilahkan mereka menangis saat merasakan kesedihan, yang memberikan mereka jeda saat meerka tantrum.

Saya sungguh ingin mereka tumbuh menjadi lelaki baik, dengan keimanan lurus yang memiliki masa kanak-kanak terpuaskan baik oleh kasih sayang ibunya maupun kasih sayang ayahnya.

Huhuhu.

Sungguh alhamdulillah, sebenar-benar alhamdulillah saya bisa menemukan titik balik di usia tujuh tahun perjalanan menjadi seorang ibu ini….

Suami saya selalu menguatkan bahwa semua perbaikan ini belum terlambat sama sekali. Akhirnya kini saya dan suami kembali merasakan jatuh cinta.

Ya, kami jatuh cinta kembali kepada masing-masing saat kami fokus dan tulus menjadi orangtua bagi kedua putra kami.

Di malam hari saat kedua putra kami telah lelap dalam tidurnya, saya dan suami saya akan mengevaluasi hari yang sudah berlalu sambil berlatih untuk hari yang akan datang.

Seserius itu, Dey? Ya, seserius ini program detoks gawai dan TV ini kami jalankan.

Saya merasa sangat bersyukur, alhamdulillahirrabbil’alamin, suami saya bisa bekerja dari rumah sehingga bisa berbagi peran mendidik anak-anak.

Jadi kamu mau bilang apa, Dey, lewat utas transgender tadi itu?

Saya mau bilang bahwa masa kecil seseorang benar-benar berpengaruh dan berdampak besar pada kehidupan dewasa seseorang termasuk dalam cara dia mempersepsi seksualitasnya.

Saya sedih sekali, jujur saya sampai menitikkan air mata saat membaca utas dari transgender itu. Rasanya ada bagian hati yang perih sekali membayangkan bahwa dulunya dia adalah seorang anak perempuan manis yang haus perhatian, kasih sayang, juga haus orangtua yang memahami kebutuhannya untuk bereksplorasi sebelum mengajarkan peribadahan.

Sungguh, hal ibadah ini juga merupakan menjadi perhatian saya dan suami saya mengingat anak pertama saya telah berusia 7 tahun. Di dalam ajaran agama Islam, anak-anak yang telah berusia 7 tahun wajib diajak sholat. Namun, baru di usia 10 tahun, orangtua boleh menghukum mereka dengan hukuman yang tidak mempermalukan wibawa mereka jika mereka tidak sholat.

Jadi ada rentang waktu tiga tahun dari usia 7 hingga 10 tahun untuk orangtua setiap adzan berkumandang untuk mengajak anak sholat.

Alhamdulillah suami saya bekerja dari rumah full selama satu minggu. Kami juga telah membuat jadwal bersama si sulung (dia yang menuliskan, kami yang berdiskusi mengenai poin per poin jadwalnya). Hal ini menyebabkan relatif mudah untuk mengingatkan waktu sholat kepadanya.

Apakah dia sudah sholat dengan benar? Tentu tidaaakk. Hehehehe. Si sulung saya itu aktif, ekspresif, suka sekali bergerak bahkan di dalam sholatnya.

Setelah sholat selesai dilaksanakan, suami saya akan mengelus pundak anak sulung saya itu sembari berbisik, “Lain kali saat sholat, Ksatria hanya boleh mengikuti gerakan Ayah sebagai imam ya. Tidak boleh bergerak yang lain-lain”.

Apakah didengar oleh si sulung? Saya yakin didengar karena diucapkan dengan nada dua oktaf yang lembut, tulus, dan dengan pretensi anak memahami.

Jikapun pada sholat selanjutnya anak masih bergerak (bahkan bernyanyi) di kala sholatnya, tugas kita sebagai orangtua adalah mengulangi tindakan tadi : mengelus pundaknya, berkata dengan pelan sambil mengingatkan mereka untuk bergerak sesuai gerakan sholat saja.

Ah ….

Masih panjang perjalanan saya dalam peranan sebagai orangtua. Namun rasanya baru lima hari ini saya menginsyafi peran tersebut.

Semoga Allah menguatkan hati-hati kita sebagai orangtua, ya.

Semoga Allah melembutkan jiwa-jiwa kita dalam membimbing anak-anak kita, ya.

Semoga Allah mengampuni tahun-tahun ke belakang yang telah terlalui saat kita mengabaikan peran kita sebagai seorang ibu atau seorang ayah, ya.

Agar tidak ada lagi hati anak perempuan manis berkerudung di masa kecil yang retak lalu tumbuh untuk mempercayai dirinya adalah berjiwa lelaki sehingga dia justru melakukan ibadah-ibadah lelaki bukannya melakukan ibadah sebagai seorang perempuan muslimah….





#1619kata



Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Transgender Islam, dan Peran Kita Sebagai Orangtua"

45Zahra mengatakan...

Mataku cirambay mbaaak... Peluk jauh.. Semoga Allah kuatkan. Semoga Allah istiqomahkan yaaa

Asri M Lestari mengatakan...

Aku dulu fokus banget sama anak. Namun sekitar satu tahun terakhir ini malah kerasa jauh. Gak lagi menikmati kebersamaan kami. Sempat beberapa hari yang lalu aku bertanya sama diri sendiri knp. Tapi masih belum tahu pasti jawabannya.

*eh aku malah curcol

Comment