Dicari : Pengurus Masjid Ramah Anak





Pada hari-hari belakangan ini, saya sedang bergerilya mencari tempat bermain demi menjauhkan anak-anak saya dari gawai dan televisi dalam program detoksifikasi mereka. Maklum saja, saya mengakui bahwa saya ini tipe ibu yang tidak atau belum cukup kreatif. Itu, lho, ada kan, ibu-ibu yang bisa dan pandai membuat mainan dari kardus atau kertas atau benda-benda di rumah.


Saya sangat bersyukur di tempat perumahan saya yang kini saya tinggali ada 4 taman tersedia untuk menampung hasrat bermain kedua putera saya. Ada taman depan masjid, taman perosotan, taman pojok, dan taman depan.


Penamaan di atas dari saya saja, ya. Taman-taman tersebut belum memiliki nama resmi. Saya menamakannya dari posisinya di dalam komplek saja. Hihihihi.


Namun, di awal-awal saya lebih sering membawa ke taman halaman masjid.


Di sinilah semua ini bermula: masjid. Ya, masjid perumahan tempat saya tinggal kini merupakan masjid tempat saya dan suami melaksanakan pernikahan. Kok bisa? Iya, rumah ibu saya kan hanya 600 meter di luar perumahan ini. Jadi kisahnya dahulu ibu saya tiba-tiba mendapat ilham saja untuk melangsungkan pernikahan putrinya di masjid komplek perumahan ini.


Padahal ibu saya bukanlah penghuni komplek ini tapi alhamdulillah ibu saya diizinkan menyelenggarakan pernikahan saya di masjid ini.


Fast forward, kini saya menghuni komplek perumahan ini. Sejak pertama, masjid komplek menjadi tempat favorit saya karena kenangan manis hari H pernikahan saya. Pssst, pernikahan saya sederhana sekali, lho. Akad nikah lalu makan-makan. Tidak ada pelaminan tapi kebahagiaan meluber tumpah-ruah.


Ciehhhh


>,<


Nah, karena alasan sentimental itulah saya menjadi suka sekali mengajak kedua putra saya bermain di taman depan masjid komplek ini. Ada sebuah tempat duduk dari bebatuan dan jalur yang bisa digunakan anak-anak bersepeda bolak-balik.


Apa daya anak kedua saya lebih tertarik untuk menjejakkan kakinya di dalam masjid. Saya pun menemaninya ke dalam masjid. Di dalam masjid, anak saya senang sekali berlari dengan kecepatan super cepat, bolak-balik, sambil tersenyum sumringah.


Duh, itu rasanya seperti kebahagiaan yang tidak bisa ditukarkan dengan apapun, lho.


Ya, benar-benar kebahagiaan….


Sampai suatu hari seorang marbot alias penjaga masjid menghampiri saya dan berkata, “Ibu, tidak ada orang komplek sini yang bermain setiap hari ke masjid ini seperti Ibu dan kedua putra Ibu. Besok-besok jangan ke sini lagi, ya!”


Saya ingat betul rasanya hati saya sesak. Bagi saya itu sebuah tindakan di mana saya dipermalukan tingkat tinggi. Katakanlah saya lebay atau sensitif, tapi begitulah yang saya rasakan.


Saya hanya mengangguk singkat lalu langsung memboyong pulang anak saya. Sesampainya di rumah saya mengatur nafas lalu menceritakan kejadian tersebut kepada suami saya.


Suami saya memberi kalimat penghiburan dan penguatan sambil tersenyum menenangkan saya. Sudah saya duga memang selalu tepat bercerita secara tenang kepada dia. Huft.


Oh iya, mau tahu tidak apa yang membuat saya merasa dipermalukan? Apa memang saya super sensitif bagaikan tes kehamilan?


Saya tidak tahu pasti.


Saya hanya mengetahui bahwa anak-anak saya mencintai bermain di masjid dan menurut saya itu tidaklah mengapa. Mengapa? Yang pertama saya tidak pernah mengajak anak saya bermain di waktu jam orang sholat. Yang kedua anak saya yang 3 tahun memakai popok sekali pakai demi menghindari dia BAK atau BAB di masjid. Yang ketiga anak-anak saya tidak makan dan minum di dalam masjid.


JADI DI MANA SEBENARNYA LETAK MASALAHNYA WAHAI BAPAK MARBOT MASJID???


Saya jadi merepet panjang kepada suami saya tentang betapa kesalnya saya tentang sikap bapak marbot masjid tersebut.


Menurut saya adalah tugas dia untuk membersihkan masjid, entah ada anak saya ataupun tidak ada anak-anak saya.


Menurut saya lagi anak-anak saya tidak mengotori masjid. Sumpah ya, saya selalu mengawasi mereka menempeli mereka di belakang, tidak ada sampah yang mereka hasilkan. Mereka hanya berlari-lari, kok!


Huhuhuhu.


Saya patah hati sebenarnya. Namun saya mencoba berada di posisi marbot itu. Mungkin dia tidak mengetahui bahwa anak-anak saya tidak mengotori masjid. Mungkin dia telralu khawatir masjid akan kotor oleh setitik debu dari kaki anak saya yang berlari-lari.


Huft, sudahlah….


Oh iya, lalu bagaimana pandangan Islam sendiri mengenai penggunaan masjid? Apakah boleh masjid digunakan bermain oleh anak-anak?


Di dalam Islam penyelenggaran sholat yang utama adalah di dalam masjid. Untuk melaksanakan sholat terdapat syarat di mana tempatnya harus suci, baik dari kotoran yang bersifat umum maupun yang bersifat najis (ini bukan bahasa Indonesia, ini najis bahasa Arab, sila digoogling untuk definisinya).


Nah, saya sendiri membaca kisah-kisah Rasulullah beserta sahabatnya yang berdiskusi di masjid, bertemu di masjid, dan hal-hal lain di dalam masjid. Jadi, bermain bersama anak-anak juga boleh? Tidak pernah disebutkan tapi hemat saya selama tidak dalam waktu sholat dan tidak mengotori, tidaklah apa-apa.


Sedemikian kesal saya hingga keesokan harinya saya jauh-jauh sejauh-jauhnya dari taman masjid. Saya dan anak-anak bermain di taman yang lain di komplek ini. Huhuhu.


Saya pernah membaca artikel tentang mendekatkan anak-anak dan masjid. Dalam beberapa aspek saya menyetujuinya dan beberapa aspek lain saya tidak setuju. Contohnya dalam mengajak anak beribadah ke masjid.


Menurut hemat saya mengajak anak ke masjid dibatasi oleh keinginan orang lain untuk khusyuk. Hal ini yang menyebabkan saat sebelum pandemi saya tahu diri dan tidak pernah sholat tarawih di masjid membawa anak.


Namun berlari-lari di dalam masjid di luar waktu sholat menurut saya masih dalam kategori yang dimaafkan. Mengapa bapak marbot harus sekejam itu kata-katanya, sih? Huks.


Ah, ayolah, Bu Dea, jangan terlalu sensitif.


Iya.


Saya pun memberitahukan kepada anak saya yang kedua, Sena, yang paling suka lari-lari di masjid, bahwa dia tidak dapat lagi melakukan hal itu. Saya katakan bahwa bapak marbot mengkhawatirkan kita mengotori masjidnya.


Alhamdulillahnya Sena menemukan taman perosotan menjadi his new favourite sekarang. Ah, syukurlah.


:’)


Jadi, saya sangat mendambakan sekali hadirnya pengurus masjid alias marbot yang ramah kepada anak-anak. Setidaknya mampu menegur dan menasihati anak-anak atau orangtua dengan kelimat yang lembut lagi baik dan bijaksana.


Tidak, saya tidak berangan-angan muluk, kok, untuk memiliki sebuah masjid yang memiliki tempat bermain di belakang tempat sholatnya.


Tidak.


Saya sangat bersyukur komplek perumahan ini memiliki empat taman. Itu sudah lebih dari cukup bagi anak-anak saya menjelajah, bermain, dan melupakan dua makhluk bernama gawai dan televisi.


Saya hanya memohon kepada Allah semoga kelak lahir pengurus-pengurus masjid yang memiliki pengetahuan parenting sehingga memiliki pendekatan yang lembut kepada anak-anak.


Bukan, ini bukan keinginan muluk-muluk.


Ini sebuah doa.


Aaamiin. Alllahumma aaamiiin





#1003kata


sumber gambar: Unsplash.com

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Dicari : Pengurus Masjid Ramah Anak"

45Zahra mengatakan...

Mak deeey, aku pun pernah baper sebaper bapernya sama marbot mesjid. Untung bukan marbot mesjid komplek.

Sampai nulis dan dikirim ke media. Hiks hiks..

Pdhal Rasul juga kan bawa Hasan Husaen ya ke masjid. Tapi, ya sudahlah, semoga para marbot mesjid diberi hidayah dan berubah jd ramah anak.

Comment