Suami
Hujan menderas di luar ruko yang kutempati. Jalanan sepi, tidak ada satu motor ataupun mobil yang melintas. Aku menghirup pelan kopi panas yang kubuat sendiri. Tidak ada pelanggan yang datang ke rentalku di hari hujan seperti sekarang. Ah, di hari-hari biasa saja pelangganku sudah semakin sepi, apalagi hari hujan seperti ini.
Kunyalakan sebatang rokok favoritku. Kuhirup sepenuh perasaan batang rokok itu sambil memikirkan keluargaku nun jauh di sana. Sedang apa istriku, sedang apa anak sulungku dan sedang apa si bungsu, adalah tiga hal yang menari-nari di dalam benakku. Dadaku sedikit sesak. Wajar saja, aku merokok sejak remaja dan kini usiaku nyaris 60 tahun.
Kutatap layar komputer di hadapanku. Layarnya masih menyayangkan siaran sinetron komedi dari sebuah saluran TV nasional. Hiburan yang murah-meriah, kataku di dalam hati.
Tidak terasa sudah 15 tahun sejak aku berpisah dengan istriku dan membuka rental ini. Tidak terasa? Ah, aku akan mengutuk diri sendiri jika aku benar-benar tidak merasa karena sebenarnya semua sangat terasa.
Suara deras hujan terdengar riuh di atas atap rentalku. Membawaku berkelana dalam tahun-tahun pergolakan rumah tanggaku.
Kutatap layar ponselku. Apakah yang kuharapkan hadir? Sebuah telpon dari istriku? Sebuah pesan singkat dari sulungku? Atau sebuah foto terbaru cucu-cucu dari bungsuku?
Kupejamkan mata dan menikmati suasana hujan yang sangat lebat. Hatiku merintih meneriakkan kerinduan.
Ada bongkahan penyesalan atas kesalahan-kesalahan di masa laluku tapi aku tidak pernah melupakan anak-anak dan istriku. Ah, lihat, aku bahkan tidak bisa menyebut perempuan itu sebagai mantan istri….
Istri
Suara desisan kompor yang tengah merebus air panas di hadapanku membuyarkan lamunanku. Cepat-cepat kuangkat air dan menyeduh secangkir teh. Hujan di luar masih sangat deras. Hari ini aku dijanjikan oleh si bungsu untuk datang menginap bersama anak dan suaminya. Syukurlah….
Ya, kini aku sebatangkara tinggal di rumahku sendiri. Sudah 15 tahun berlalu sejak suamiku pergi meninggalkan aku dan anakku. Kini anak-anakku sudah dewasa. Mereka sudah menikah dan memiliki keluarga kecil yang bahagia.
Aku? Bagaimana denganku? Aku hanya ingin menikmati masa pensiun dengan tenang. Jauh dari hiruk-pikuk problematika hidup. Tahun depan usiaku 60 tahun. Ah, tanganku menyentuh rambutku yang sudah memutih. Aku ingat suamiku jika aku sedang mengingat usia. Ulang tahun kami hanya berbeda satu minggu saja.
Sejujurnya aku paling risih mengingat lelaki itu. Kenangan tentangnya lebih banyak yang menyakiti hatiku. Dia sudah pergi dari kehidupan kami tapi suasana seperti hujan ini selalu berhasil menyeretku kepada kubangan kenangan manis kami berdua….
Jakarta, 1980
Pohon akasia di halalam kos-kosanku adalah tempat favorit kami bertemu. Kami. Aku dan lelaki kekasihku itu.
Pohon ini begitu rimbun dengan bunga-bunganya yang bermekaran, menambah asri pemandangan kos-kosan sederhanaku ini. Aku berdiri di bawah pohon akasia dekat pagar kos-kosan menanti kedatangan lelaki itu.
Lelaki itu kembali memenuhi janjinya mendatangiku malam ini. Sosok tubuhnya yang tinggi terbalut kemeja dengan lengan tergulung dan celana cokelat berjalan menghampiriku dengan sebuah senyum terlukis di bibir.
Ah, padahal kos-kosannya hanya berjarak tiga rumah saja tapi lihatlah, dia begitu tampan dan perlente untuk menemui aku kekasihnya ini. Wajahku menunduk dalam senyum malu-malu. Kacamata besar yang membingkai wajahku melorot saking aku menunduk dalam-dalam demi menghindari wajah tampannya.
“Kita mau kemana malam ini, Ti? Kamu sudah lama menungguku, ya? Maaf aku terlambat ya….”
Suara lelaki itu lembut terdengar di telingaku. Aku menunduk malu-malu sambil mengatakan keinginanku malam bakso malam hari ini. Sepuluh menit kemudian kami sudah bercengkrama di kedai bakso tepat di depan jalan penuh kos-kosan di bilangan Ragunan ini.
“Ada yang mau Akang Hendra katakan kepada kamu malam ini, Tia.”
Jantungku berdebar-debar, aduh, apa yang mau dikatakan oleh lelaki ini, ya? Apakah dia mau putus dariku? Aku tahu sih aku berwajah jelek, tapi sungguh baru dia lelaki yang mau menjalin cinta denganku selama 19 tahun usiaku ini.
“Ada apa, Kang? Akang Hendra mau bilang sesuatu ke aku?”
Lelaki itu mengangguk mantap. Aku menunggu dengan cemas. Tolong jangan terlalu kasar jika mau mengakhiri hubungan ini. Kumohon!
“Hmmm. Itu …ah, aku bingung mengatakannya. Hmm, aku ingin….”
Lelaki itu tampak grogi. Aku menabah-nabahkan hati. Bagaimanapun aku harus siap jika dia mengakhiri hubungan kami di tempat ini. Toh ini kali pertama aku menjalin cinta. Aku yang jelek, sudah sangat bersyukur sekali bisa menjadi kekasihnya.
“Bagaimana kalau kita menikah, Tia? Kita berdua sama-sama anak rantau di ibukota ini. Kita tidak punya keluarga di sini. Kita pun saling membutuhkan. Bagaimana kalau aku melamarmu lalu kita menikah di kampung halamanmu, Tia?”
Aku terkesiap. Tak mampu berkata-kata, tiba-tiba saja air mata mengalir di pipiku. Aku mengangguk tanpa ragu. Ia lelaki pertama yang menjadi kekasihku, tentu saja aku mau menjadi istrinya. Ah, aku selalu memimpikan momen menjadi istri dari seorang lelaki. Akhirnya momen itu datang! Aku tidak jelek wahai ibu dan nenekku! Aku lakuuuuu menjadi istri oraaanggg~
Suami
Hujan sudah berhenti beberapa saat yang lalu. Aku terbangun dengan wajah bengong. Rupanya aku tertidur saat menonton. Salahkan umurku yang sudah nyaris 60 tahun. Hujan sedikit saja sudah membuatku terbuai lalu tertidur pulas.
Kurebahkan tubuhku di kasur tipis di sudut rental. Aku ingin melanjutkan tidurku saat tiba-tiba ponselku bergetar. Sebuah pesan dari bungsuku.
“Bapak, apa kabar? Semoga sehat-sehat ya, Pak. Ini foto terbaru cucu-cucu Bapak, Tegar dan Limas.”
Hatiku serasa mencair menatap foto kedua anak lelaki berambut keriting yang menggemaskan. Layar ponselku tiba-tiba basah oleh air mata. Ah, buru-buru kuhapus air mata yang menetes. Laki-laki dilarang menangis! Itu kalimat ayahku yang ditanamkan kepadaku sambil menyabetkan ikat pinggangnya kepadaku saat aku kecil dahulu.
Ah, aku bersyukur anak dan cucu-cucuku baik dan sehat-sehat saja di sana. Sebetulnya aku teramat sangat merindukan mereka. Rindu yang membuncah-buncah. Rindu yang tiada tara. Apa daya aku tidak punya kendaraan untuk pergi ke sana. Usaha rental ini hanya cukup menghidupi kebutuhan makanku sehari-hari. Sangat sulit bagiku untuk menabung memiliki motor.
Kuhela nafas panjang sambil menatap jam di dinding. Sebentar lagi adzan Maghrib, ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi mungil di belakang rukoku. Aku ingin mandi sebelum menunaikan sholat Maghrib, pikirku.
Istri
Malam beranjak merangkak selepas hujan di sore tadi. Aku melipat mukenaku dan meletakkannya di atas tempat tidur. Rumahku masih sepi dan sunyi. Si bungsu baru mengabari bahwa dia tidak jadi menginap di rumahku. Anak-anaknya sudah terlelap karena habis bermain air hujan katanya. Hmm, baiklah.
Aku membuka lemari cokelat di sudut kamarku. Lemari itu merupakan pemberian ibuku di hari pernikahanku. Di bagian paling atas lemari itu kusimpan setumpuk dokumen dan berkas-berkas penting. Kupikir inilah saat yang tepat untuk membereskannya. Mereka sudah sangat berdebu dan tidak tertata.
Sebuah map plastik tebal berwarna hijau penuh dengan kertas menyembul membuatku tertawa. Ah, sudah lama aku tidak membereskan aneka berkas-berkas ini.
Kubuka map plastik itu dengan perlahan. Ada rapor anak-anakku, si sulung yang mandiri sejak kecil dan si bungsu yang selalu cerewet dan ekspresif. Kusentuh foto anakku di halaman depan rapor itu. Ada kaca-kaca mendadak mengembun di mataku mengenang perjalananku sebagai seorang ibu tunggal dalam menyekolahkan mereka.
Satu demi satu map kubersihkan dari debu dan kotoran. Kurapihkan semua dokumen penting di dalam map, satu per satu, perlahan-perlahan.
Tiba-tiba pandanganku terantuk pada satu dokumen kumal dan usang : buku nikah. Buku nikahku dan suamiku.
Tanganku meraba membuka buku nikah tersebut. Di dalamnya terpasang fotoku dan lelaki itu. Kami pada waktu itu berusia 22 tahun.
Aku membaca data pada buku nikah itu. Tempat pernikahan, tanggal pernikahan, tanda tanganku dan tanda tangan lelaki itu.
Aku membayangkan sedang apa dia sekarang. Sendirian di ruko rentalnya. Sendirian berteman sepi, tanpa seorang keluarga pun yang menemani. Kutatap lekat wajah lelaki itu di buku nikah itu. Dia tampan, selalu tampan menurutku pribadi.
“Maah! MAMAH! SURPRISE! AKU JADI MAH MENGINAP DI SINI!!”
Suara si bungsu terdengar heboh membuka pagar rumahku. Ah, anak perempuan bungsuku itu memang suka mengagetkanku.
Kututup buku nikah itu dan mengembalikannya ke dalam map plastik. Sampai hari ini tidak ada akta perceraian antara aku dan lelaki itu.
Semuanya mengambang dengan indah di alam raya…. Kubiarkan semuanya lepas satu per satu…. Benarkah?
Bukankah itu tanda kau masih menyimpan asa dia akan kembali ke sisimu?
Map plastik diam membeku memeluk buku nikahku. Aku tersenyum penuh makna.
#1301kata
Belum ada tanggapan untuk "Kebekuan Cinta Kita (Sebuah Cerpen) "
Posting Komentar