Saya tidak tahu mengapa Bapak selalu melarang saya memasuki hutan di depan rumah kami itu. Ya, ada sebuah hutan di depan rumah kami. Hutan itu membentang begitu luas namun masih bisa saya kelilingi dengan berjalan kaki. Saya amat menyukai berjalan kaki mengelilingi hutan itu dari sisi ke sisi. Hutan itu dipagari oleh pemeirntah kota tempat saya tinggal karena hutan itu adalah hutan lindung cagar kota.
Beberapa teman saya sejak kecil sudah pernah memasuki hutan tersebut. Mereka bercerita bahwa mereka menemukan aneka hewan mulai dari biawak, ular, bahkan salah satu teman saya, Ria, pernah cerita bahwa dia pernah melihat babi hutan di dalam hutan itu.
Saya sering merajuk kepada Bapak saya untuk diizinkan memasuki hutan tersebut. Namun, Bapak bersikeras melarang saya memasuki hutan tersebut. Saya diolok-olok oleh teman saya bahwa saya adalah putri yang dilarang masuk hutan.
Sakit betul sebetulnya hati saya mendengar hal itu. Bukan apa-apa.
Pasalnya rumah saya dan hutan tersebut hanya dibatasi oleh jalan raya kecil. Hutan itu begitu dekat.
Hampir setiap pagi, siang, dan sore hari, saya bisa menatap hutan itu melambai-lambai di balik jalan raya. Saya selalu ingin menginjakkan kaki tapi Bapak selalu melarang saya.
Bapak bilang, hutan itu adalah hutan larangan. Selama-lamanya saya tidak diperbolehakn menginjakkan kaki di sana. Bapak mengatakan bahwa di dalamnya ada penyakit untuk saya. Penyakit itu bisa melumat tubuh saya habis seketika. Mirisnya saya hanya bisa manut terhadap apa yang Bapak katakan.
Saya manut karena saya begitu mencintai Bapak. Dialah keluarga saya satu-satunya setelah Ibu meninggal saat saya berusia 10 tahun.
Hutan itu begitu rimbun oleh pohon-pohon besar. Saya sering mendengar suara hewan dari dalam hutan itu. Sepertinya betul kata teman-teman saya, di dalam hutan itu ada banyak jenis aneka hewan.
Hutan itu selalu memberikan nuansa magis bagi siapapun yang menatapnya. Aneh, karena hutan itu bersebelahan persis dengan jalan raya. Jalan raya itu selalu ramai oleh kendaraan yang lalu lalang. Meskipun begitu udara di sekitar rumah saya tetap sejuk karena adanya hutan itu.
Di usia saya yang menginjak 19 tahun sekarang ini, saya telah menjadi seorang mahasiswi jurusan Biologi perguruan tinggi negeri di kota saya. Saya merasa berhak memasuki hutan itu seorang diri. Saya akan menggunakan alasan tugas kuliah mengumpulkan aneka specimen akar tumbuhan untuk masuk ke hutan tersebut.
Pada malam hari setelah makan malam, saya mengajak Bapak mengobrol di teras depan. Kami duduk dengan sekuteng dan penganan kecil di atas meja. Kami menghadap jalan raya depan rumah kami. Saya sejujurnya menatap hutan itu lebih daripada menatap jalan raya.
“Pak, Sinta ingin minta izin masuk ke hutan itu, Pak.” Saya merasakan detak jantung saya menjadi berdebar lebih keras. Saya khawatir Bapak menolak keinginan saya. Ya, itu begitu jelas di dalam hati saya.
“Tidak!” Wajah Bapak merah padam, seolah-olah ada orang yang menghina dan memakinya langsung. Saya mencoba tetap tenang. Walaupun Bapak selalu menolak keinginan saya tapi alasan saya pada malam ini sangat jelas.
“Saya perlu masuk ke sana untuk tugas kuliah, Pak.” Suara saya terdengar mantap dan tegas. Wajah Bapak perlahan tampak melunak. Sinar mata Bapak tidak bisa saya tebak apa maksudnya. Ada kesedihan, kekhawatiran tapi lebih banyaknya ada kegetiran.
“Sinta, carilah hutan lain. Bukankah di kampusmu ada hutan? Kamu selalu ke hutan kampus setiap mengerjakan tugas, kan? Bapak mengizinkan kamu menginjakkan kaki di hutan manapun asalkan bukan di hutan itu, Sinta. Hutan di depan rumah kita itu bukan untukmu, Sinta….” Tangan Bapak perlahan terulur menggenggam tanganku. Aku bisa merasakan kehangatan dan kejujuran Bapak.
Bapak tidak pernah sekalipun mencegah apapun untuk saya lakukan meskipun saya anak perempuannya satu-satunya. Betul sekali. Bapak mengizinkan saya memasuki hutan manapun selama itu bukan hutan di depan rumah kami.
“Baiklah, Pak. Saya mengerti kekhawatiran Bapak. Saya tidak akan masuk ke hutan itu, Pak. Tidak hari kemarin, hari ini ataupun hari esok.” Bapak bangkit dari duduknya lalu memeluk saya.
***
Tubuh saya mengejang. Saya tidak percaya dengan apa yang saya lihat di hadapan saya. Nafas saya memburu, tersengal-sengal, rapat oleh hawa aneh yang mendadak menyelimuti. Saya ingin kembali ke rumah, ke kamar saya lebih tepatnya. Saya sangat menyesal sampai ke sini, ke dalam hutan larangan di depan rumah saya.
Sebuah rumah berdiri kokoh di hadapan saya saat ini. Ya, ada rumah berdiri di dalam hutan larangan. Rumah itu memiliki jendela yang diterangi oleh sinar lampu temaram dari dalam kamar. Saya menengok jam tangan di lengan sebelah kiri saya, pukul 2 pagi.
Saya tidak tahu apakah saya harus kembali ke rumah ataukan meneruskan langkah saya menuju rumah itu. Saya mematikan headlamp lalu berjongkok mengamati rumah itu. Ada firasat di dalam hati saya untuk diam di sini sejenak.
Pintu depan rumah itu terbuka perlahan, sesosok perempuan keluar menggandeng anak perempuannya. Mereka tampak sebaya. Anak perempuan itu bertinggi sama dengan ibunya.
Perempuan itu dan anak perempuannya menghirup udara dini hari lambat-lambat. Mata mereka sendu menatap rembulan di atas langit. Saat mereka tersenyum dan saling berpelukan, saya menjadi bingung. Mengapa mereka di sana dan saya di sini?
Wajah perempuan itu sama persis dengan wajah ibu saya! Wajah anak perempuan itu sama dengan wajah saya!
Perlahan saya merasakan ada sinar menembus tubuh saya. Seperti sedikit demi sedikit tubuh saya menjadi transparan oleh sinar itu. Saya menatap kaki saya. Saya bisa merasakan kaki saya perlahan menghilang. Lalu dilanjutkan menuju lutut saya yang perlahan menghilang.Saya ingin bergerak dan berteriak tapi seluruh tubuh saya membeku.
Sayup-sayup saya mendengar suara yang sangat saya kenali betul.
“Sinta, sudah Bapak bilang, kan? Jangan pernah memasuki hutan larangan. Harus ada yang pergi. Dua makhluk identik tidak bisa bertahan di alam ini. Salah satunya harus pergi atau keseimbangan dunia ini akan rusak. Ibumu juga dulu nakal. Ibumu melanggar aturan ini. Dia pun menghilang lenyap setelah melihat mereka. Kini giliranmu yang harus lenyap, Sinta.”
Saya merasakan tubuh saya perlahan terasa ringan, lalu lenyap tak berbekas. Saya berharap saya lekas terbangun dari mimpi buruk ini.
TOLONG!
***
Catatan:
Headlamp : Lampu senter yang dipakai di kepala, dapat digunakan untuk pendakian gunung atau kegiatan eksplorasi alam.
1 Tanggapan untuk "Hutan Larangan"
ditunggu lanjutan ceritanya
Posting Komentar