Mama
Cermin di meja riasku memantulkan dengan sempurna bayanganku si perempuan tua yang harap-harap cemas pada sore hari ini. Aku telah mandi dan berpakaian rapih, siap menyambut kepulangan Rio, putraku satu-satunya. Suamiku juga sudah kuminta pulang cepat dari kantornya.
Malam ini adalah malam yang spesial untuk Rio karena aku akan memperkenalkannya dengan putri sahabatku yang cantik nan jelita, Raya. Ya, aku akan menjodohkan Rio dengan Raya. Anakku itu sudah berusia 23 tahun. Dia sudah lulus kuliah setahun yang lalu. Saat ini dia sedang asyik-asyiknya menggarap aneka proyek bersama teman-temannya di jurusan kuliahnya : ilmu komputer.
Sejak sebelum skripsinya selesai dulu, sudah pernah kutanyakan kepadanya tentang calon menantu yang kunanti-nantikan.
“Ayo dong, Rio. Masa Mama ga boleh tau sih siapa yang sedang kamu pacari.”
“Ma, Rio serius ga punya pacar. Tenang aja, Ma, Rio lagi serius mempersiapkan sidang skripsi. Nanti kalau saatnya tiba, Rio juga akan bawa pacar ke Mama.”
Duh, aku kebat-kebit di dalam hati sebetulnya. Bukan apa-apa, pergaulan bebas anak laki-laki jaman sekarang itu bukan cuma terhadap lawan jenisnya saja tapi juga dengan sesama jenis. Hiiy!
Makanya aku akhirnya turun tangan juga mencari tahu ke sahabat-sahabatnya Rio tentang siapa yang tengah dipacari Rio. Ketika Rio membawa mereka ke rumah untuk mengerjakan proyek programming dari salah satu anak perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini, diam-diam aku mewawancarai mereka satu per satu.
“Kamu betulan ga tau, Tam, siapa yang sedang dipacari Rio? Tante sudah tanya ke Rio tapi Rio-nya tidak terbuka gitu, lhoo, Tam. Capek kan Tante tuh jadinya sama itu anak. Ckckck. Jadi siapa Tam perempuan yang lagi deket sama Rio di kampus?”
“Nggak ada, Tante. Rio itu anaknya lurus, Tante. Dia ga neko-neko dengan pacaran gitu-gitu. Pasti dia akan kasih tau Tante kok kalau dia sudah ketemu dengan jodohnya….”
Ah, si Tama itu, pasti deh membela Rio. Mereka sudah bersahabat sejak SMA soalnya, kan.
Huh, suamiku apalagi. Tenang-tenang saja melihat anak semata-wayangnya belum menggandeng perempuan manapun. Berulang kali aku utarakan niat untuk menjodohkan Rio tapi respon yang kuterima hanya anggukan, senyum samar-samar dan kalimat pendek : “Terserah Mama saja, ya….” Ah, dasar suamiku. Gemess deh!
Rio
Kereta komuter Jakarta-Bekasi penuh sesak oleh penumpang. Wajar saja, ini sore hari, ini jamnya para pekerja pulang ke rumah mereka di Bekasi. Aku memperhatikan dengan cermat setiap plang stasiun. Satu stasiun lagi dan aku sudah sampai ke tujuanku.
Ya, ini dia stasiun tujuanku. Stasiun Bekasi. Dengan susah payah aku berhasil keluar dari kereta dan menghirup udara bebas. Fyuh.
Perjuangan sekali sebetulnya buatku untuk mendadak pulang begini. Motorku sedang berada di bengkel setelah terserempet mobil sehabis dipinjam sahabatku si Tama. Aku sudah menawarkan ke Mama untuk pulang besok setelah motorku selesai diperbaiki di bengkel.
Tidak kusangka respon Mama begitu menakutkan. Suara tujuh oktaf Mama menggelegar melalui ponselku tadi pagi :
“PULANG SEKARANG POKOKNYA. MALAM INI ADA SESEORANG YANG MAU MAMA KENALKAN KE KAMU! PULANG, YA, RIO! OKE YA, RIO!”
Aku berjalan keluar stasiun untuk memesan ojek online. Sepuluh menit kemudian aku sudah berada di atas ojek menuju rumahku untuk memenuhi permintaan Mama.
Entah siapa yang akan Mama kenalkan. Pikiranku datar saja sebetulnya. Kalau Mama mengenalkan gadis untuk dijodohkan, aku akan menolaknya. Simpel saja, aku sudah punya gadis yang kusukai.
Tiba-tiba senyumku mengembang. Sudah gila memang aku ini. Daya pikat cinta melemahkan syaraf-syarafku. Aku selalu otomatis tersenyum jika mengingat gadis yang kusukai itu.
Arina namanya. Gadis cantik itu pertama kali kutemui di undakan perpustakaan kampus saat aku mengerjakan proyek bersama si Tama ketika semester empat dulu dan sejak hari itu bayangannya tidak pernah keluar dari otakku.
Aku masih ingat betul pertemuan pertama dengannya. Aku yang tengah menunggu Tama di undakan perpustakaan pusat akan membuka ponsel untuk melihat apakah Tama mengirim pesan singkat saat seorang gadis cantik duduk tidak jauh dariku.
Bukannya membuka laptop ataupun buku, gadis itu mengeluarkan sebuah biola. Ya, biola! Aku tertegun melihat pemandangan itu.
Sedetik kemudian dia mulai memainkan biolanya itu dengan indah. Alunan musik indah dari biola itu seolah membius aku begitu saja hingga Tama datang membuyarkan lamunanku.
Aku pun segera bertanya kepada Tama apakah dia kenal perempuan itu. Tama menggeleng. Aku menatap gadis itu tidak berkedip. Mungkin aku sudah terkena panah asmara tapi dia memang sungguh-sungguh cantik sekali.
Rambut gadis itu berwarna cokelat muda, berkilau indah. Kubayangkan betapa wangi rambut itu dari dekat. Kutebak rambut itu asli, bukan hasil cat dari perempuan yang ingin menjadi kebule-bulean.
Rambut indah itu tergerai lalu tertiup angin dari danau.
Luar biasa pemandangan yang sangat cantik! Aku pun merasa harus mengejarnya untuk melakukan pendekatan lalu penjajakan asmara.
Sayangnya aku harus segera mengerjakan proyek pemrogramanku bersama Tama di dalam perpustakaan. Aku pun meninggalkan gadis cantik di undakan itu bersama semilir angin danau.
Minggu demi minggu aku tidak kesampaian meminta nama dan nomor ponsel si gadis cantik itu. Entah karena kesibukan atau kebodohan, aku belum punya keberanian untuk menyapa gadis itu.
Hanya pertemuan demi pertemuan setiap Senin sore di undakan perpustakaan kampus lah yang menyatukan kami….
Aku yang duduk jauh dari gadis itu, mengamati setiap gerakannya yang bermain biola menghadap ke arah danau. Rambut cokelat indahnya yang terurai indah membuatku harus cepat-cepat mengusir pikiran sensual tentang betapa harum rambut itu jika kucium dan kubelai.
Hingga pada suatu hari, aku ingat betul, hari Senin selesai aku sidang, aku harap-harap cemas menanti gadis itu di undakan perpustakaan. Ya, sudah kuputuskan untuk berkenalan dengannya hari ini. Hari ini adalah hari yang sempurna untuk mengajaknya berkenalan. Aku sudah bertekad ingin berkenalan dengan gadis itu saat aku berhasil menyelesaikan sidang.
Kugulung lengan kemeja putihku lalu duduk menanti gadis itu. Kutatap pemandangan indah danau di hadapanku. Danau yang begitu tenang ini adalah lokasi favorit para mahasiswa untuk bersantai sejenak dari perkuliahan.
Satu jam berlalu dan gadis cantik itu belum datang-datang juga. Apakah hari ini dia tidak datang ke sini?
Kulemparkan pandanganku ke arah mahasiswa-mahasiswa yang berbincang seru tentang tugas di undakan sebelahku. Di hadapanku terdapat sebuah pohon akasia tua yang batangnya sangat besar dan daunnya sangat rimbun. Perpaduan angin dari danau dan sejuknya pohon akasia, membuat jantungku seolah dipompa harapan bahwa gadis cantik itu akan datang juga.
Ah, akhirnya, itu dia!
Sesosok gadis berjalan perlahan menuju undakan lalu duduk setelah meletakkan tas biolanya. Rambut cokelatnya, mata indahnya, bibir mungil merah mudanya, semua begitu indah terlihat bagiku…. Aku berjalan ke arahnya. Sambil mengatur penampilanku, aku mempersiapkan kalimat perkenalan untuk meluncur dari bibirku.
“Err, mohon maaf jika saya mengganggu sebelumnya, tapi apakah boleh saya berkenalan? Saya Rio Baskara, kita satu angkatan tetapi beda fakultas.”
Gadis itu menoleh kepadaku. Ya Tuhan, gadis ini cantik sekali. Kecantikan yang luar biasa. Kecantikan yang menjadikanku ingin untuk merebut paksa dia dari orangtuanya sekarang juga. Kecantikan yang seperti bukan dari Bumi. Kupikir aku berhadapan dengan bidadari. Refleks aku menundukkan pandanganku. Arina terlalu cantik untuk kutatap lama-lama.
Sebuah suara indah menjawab, “Hai, namaku Arina. Arina Smith. Lama sekali kau rupanya” Ah, apa? Apa yang baru saja dia katakan kepadaku? Lama? Apanya yang lama?
Ah, persetan dengan apa yang dia katakan, aku tidak begitu peduli. Aku hanya sangat senang akhirnya bisa berkenalan dengan Arina. Tangan Arina terulur ke arahku. Kugenggam tangan itu sebagai tanda perkenalan. Kulihat pada wajah cantiknya tersungging sebuah senyuman. Senyum yang ramah dan hangat.
“Bang! Bang! Udah nyampe, nih! Woelah malah ngelamun dah ah.” Tepukan abang ojek online menyadarkanku. Ah, sial. Rupanya aku melamun hingga tanpa sadar sudah sampai di depan rumahku. Kuserahkan helm kepada abang ojek itu lalu membayarnya sambil tidak lupa meminta maaf kepadanya.
Sebuah pagar putih membingkai rumah berwarna abu-abu di deretan perumahan lawas Kota Bekasi. Rumahku.
Kulangkahkan kaki ke dalamnya. Perempuan kesayanganku menyambutku penuh gegap gempita.
“Ya Allah, Riooo. Mama sudah nungguin dari lama nihhhh. Kenapa sih ga minta jemput aja, pakai naik kereta segala. Ayo, ayo, masuk cepetaaan, Riooooo.”
Mama
Akhirnya anakku sampai juga ke rumah. Langsung saja kusuruh ia mandi lalu memakai pakaian terbaiknya. Tidak lupa kuminta Bi Inem, pembantu kami, untuk menyiapkan hidangan untuk makan malam spesial malam ini.
Nah, itu dia. Anakku si Rio itu sungguh sangat tampan jika sudah memakai setelan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga ke siku. Sungguh mengingatkanku pada suamiku saat muda.
Aih.
“Nah, kamu sudah siap kan, Rio?”
“Siap apanya, Ma? Mama minta Rio pulang ya Rio pulang. Mama minta Rio makan malam dengan setelan seperti orang mau diinterview kerja ya Rio manut. Oke kan, Ma?”
“Nah, bagus. Mama selalu tau anak semata-wayang Mama tidak akan pernah mengecewakan Mama. Jadi begini, Rio, malam ini, Mama akan memperkenalkan kamu dengan Raya, dia itu putri sahabat Mama. Dia cantik, sangat cantik sekali. Kamu pasti akan suka dengan dia, Rio. Sebetulnya, Mama ingin melihat kamu segera menikah, Rio. Jadi cobalah jajaki dulu kemungkinan hubungan asmara dengan Raya dari acara malam ini. Bagaimana?”
Rio menghela nafas. Berat, peluangku sepertinya berat. Firasatku sepertinya benar. Rio tidak akan mau dijodohkan. Senurut-nurutnya anakku itu, soal percintaannya sebaiknya aku menjauh saja.
“Ma…” Rio memandangku tepat ke kedua mataku. Sepasang mata indah anak lelakiku yang tampan. Anak lelakiku satu-satunya. Pandangannya seolah mengebor sangat dalam, langsung ke pusat jiwaku. Aku sudah tahu jenis pandangan semacam ini.
Iya, iya, Rio. Maafkan Mama. Mama sudah melewati garis demarkasi urusan anak-orangtua yang pernah kamu jelaskan waktu itu kepada Mama. Iya, begitu kan, Rio.
“Rio makan malam tanpa pretensi apa-apa saja, boleh ya, Ma? Rio akan berkenalan dengan siapapun yang Mama mau Rio kenal, tapi Rio tidak mau menjajaki kemungkinan hubungan dengan perempuan manapun.”
“Kenapa? Apa kamu sudah memiliki perempuan yang kamu sukai, Rio?” Aku memburu anakku dengan pertanyaan. Aku sudah kadung memberitahu rencanaku jadi sebaiknya Rio jujur kepada ibunya ini sekarang.
Rio hanya tersenyum.
“Ma, Rio akan memperkenalkan dia ke Mama kalau memang perempuan itu sudah siap diajak berkenalan dengan Mama. Sejauh ini hubungan Rio dengannya belum sampai kesana, Ma. Doakan Rio saja, Ma. Oke?”
Ah, kenapa sih anakku ini. Dia begitu sabar sedangkan aku begitu tidak sabar melihat wajah calon menantuku. Aku begitu penasaran sedangkan Rio begitu cool dalam menutupi kekasihnya. Siapa sih kekasihnya, secantik apa dia, Mama penasaran, Rio!
Rio
Mama adalah perempuan paling kucintai di dalam hidup ini. Sebagai anak satu-satunya, aku sangat dekat dengan Papa dan Mama. Namun, kedekatanku memiliki aura yang berbeda dengan Mama. Kepada Mama, aku selalu ingin melindungi dan menjaganya dari setiap ketakutan, kekhawatiran dan kesedihan.
Aku tahu rencana demi rencana Mama di belakangku unutk menjodohkanku dengan putri dari sahabatnya itu. Aku sebenarnya tidak ingin Mama sedih jika aku menolak tapi aku juga ingin Mama tahu bahwa aku sudah memiliki gadis idaman yang kutemukan.
Arina. Nama itu berputar-putar menderu di dalam hatiku. Seolah ada palu besar yang memaku nama itu ke sekeliling hatiku. Kemanapun aku melihat di dalam hatiku, maka aku hanya akan melihat nama Arina.
Arina yang cantik dan pandai bermain biola.
Setelah pertemuan perkenalan pertama itu kami tetap berkomunikasi melalui pesan singkat ataupun media sosial. Arina mengabariku saat dirinya sidang skripsi. Sayang aku sedang ada agenda pitching proyekku sehingga tidak bisa menghadiri sidang skripsinya.
Arina dan aku selalu bertemu di hari Senin sore di undakan perpustakaan yang menghadap ke arah danau itu. Arina adalah seorang pendengar yang baik. Dia mendengarkan setiap cerita dan kisahku. Dunia kami mungkin berbeda. Psikologi-musik dan ilmu komputer-bisnis. Namun, Arina bersedia berbagi dunianya denganku.
Aku pun selalu terpukau saat dia menutup pertemuan kami dengan persembahan alunan biolanya yang indah, meliuk-liuk mengiris relung sanubariku, seolah aku ingin hadir paling depan saat Arina terluka, juga hadir paling awal saat Arina membutuhkan sandaran.
Ah, tidak
ada kata-kata yang terlontar dari bibirku. Aku terdiam dan melayang bersama nada-nada indah dari gesekan biola Arina di sore
hari Senin yang indah itu.
Mama
Aku sudah mengecek satu kali lagi semua lauk-pauk yang terhidang di atas meja makan. Bi Inem sudah menyiapkan semuanya seperti yang aku rencanakan. Termasuk kudapan dan penganan kecil. Ah, syukurlah.
Sebentar lagi Rista sahabatku dan Raya putrinya akan tiba di rumahku. Aku, suamiku dan anakku, Rio, sudah siap menyambut mereka di teras depan. Rio tidak mengeluh saat kuminta tetap menyambut mereka dengan hangat meskipun dia tidak akan melakukan penjajakan romansa dengan Raya. Toh tidak ada salahnya makan malam dengan sahabat ibunya, ujarku meyakinkan.
Sebuah mobil sedan hitam berhenti di depan rumahku. Rio menatapku sambil bertanya, “Itu mobil mereka, Ma?”
“Sepertinya iya, Rio.” Aku menyentuh pelan rambut sebahuku yang sudah mulai memutih. Tatanan rambut simpel seperti ini semoga tidak begitu memperlihatkan usiaku yang sudah 52 tahun.
Suamiku seolah tahu kekikukan istrinya, ia menggenggam jemariku sambil berbisik, “Kamu cantik, Sayang. Selalu cantik. Akan selalu begitu di mataku, Sayang. Sudah tenang saja. Ayo, kita sambut mereka.”
Dua sosok perempuan turun dari mobil dan berjalan menuju rumah kami. Mereka membuka pagar dan kulihat Rista sahabatku mengucapkan namaku sambil memekik gembira, “SARI! AKHIRNYAA!” Lalu kami pun menghambur untuk berpelukan.
Ah, Rista yang bersuamikan pelaut Australia itu sudah lama putus kontak denganku. Padahal kami begitu dekat saat duduk di bangku SMA dahulu.
Hingga beberapa tahun yang lalu kami dipertemukan dalam acara reuni sekolah kami yang ke-25 tahun. Aku pun bersyukur bisa bertemu kembali dengan Rista.
Rista menggamit putri cantiknya, Raya, ke hadapanku. “Perkenalkan ini putriku, Raya, Sar. Ya ampun ini putramu yang namanya Rio ya, aduh dia tampan sekali….”
“Ah, kamu bisa saja, Ris! Anakmu juga begitu cantik, sungguh seperti ibunya waktu masih muda!”
Suamiku memberi lirikan kode untuk melanjutkan di dalam rumah saja. Aku pun segera mempersilahkan Rista dan putrinya, Raya, untuk masuk ke dalam.
“Ayo, ayo, silahkan masuk, Ris. Raya, ayo, masuk, anggap saja rumah sendiri.”
Aku menggandeng tangan Rista lalu berjalan memasuki ruang tamu. Tanpa kusadari ada Rio yang masih tegak mematung di teras.
Rio berdiri di hadapan Raya. Mereka saling memandang tanpa berkedip. Aku menoleh kepada Rista, apakah dia tahu apa yang terjadi. Rista hanya mengedip kepadaku. Sebaiknya kita masuk dan mempersilahkan mereka berbincang sebentar, begitu bisik Rista kepadaku.
Raya / Arina
Aku tersenyum kepada Rio yang berdiri di hadapanku. Wajah tergugunya begitu menggemaskan. Aku membuka suara, “Hey, kok bengong?”
“Ka, ka, kamu, namamu Raya? Apa ada yang kulewatkan? Semua media sosialmu bernama Arina Smith. Kamu Arina Smith, iya kan?”
Aku tersenyum penuh arti sambil berujar, “Namaku Arina Tsuraya Smith, Rio. Semua nama media sosialku memang Arina Smith. Raya adalah nama yang sengaja kusembunyikan saat aku sedang membuat kau jatuh cinta kepadaku.”
Wajah Rio masih bingung tapi mulai merekah dengan kebahagiaan saat aku menyebutkan kata-kata “cinta”.
Rencanaku berjalan sempurna. Sejak aku berumur 17 tahun dan duduk di level 12 saat masih tinggal di Australia, ibuku sudah memberitahu soal rencana perjodohan ini. Aku akan dijodohkan dengan seorang putra sahabatnya yang seusia denganku. Ibuku yang seorang pengacara sangat percaya dengan intuisi tajamnya tentang sahabat baiknya ini. Keluarga baik dan orang baik-baik, tidak mungkin salah menjodohkan dia denganku, begitu ujar ibuku.
Kami pun menganalisis kemungkinan gagal dan suksesnya rencana perjodohan ini.
Menurut ibuku, seorang lelaki hanya akan menerima bulat-bulat sebuah rencana perjodohan jika dia seorang gay.
Kemungkinan besar Rio tidak akan mau dijodohkan denganku meskipun aku cantik, begitu kata ibuku.
Maka aku menyarankan untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku.
Ya, aku pun membuat sebuah rencana besar itu.
Aku pindah ke Indonesia lalu berjuang masuk universitas yang sama denganmu lalu duduk setiap Senin sore di undakan perpustakaan, sebuah tempat perbatasan fakultasmu dan fakultasku lalu mengeluarkan biola lalu memainkannya di hadapanmu.
Sangat penuh risiko. Ya, aku tahu betul rencanaku ini sangat penuh risiko….
Bisa saja kau memiliki cinta pertama. Bisa saja kau tidak tertarik kepada lantunan biola. Bisa saja bisa saja, begitu banyak bisa saja.
Namun, aku, Arina akan tetap pada rencanaku semula.
Aku hanya akan mau dijodohkan denganmu hanya jika kau sudah jatuh cinta kepadaku. Aku memberi batas empat tahun selama kita berkuliah untuk menjalankan rencanaku ini. Jika kau tidak jatuh cinta kepadaku selama empat tahunku bermain biola setiap Senin sore, aku akan meminta ibuku untuk membatalkan rencana perjodohan ini.
Kini, lihatlah kau yang ada di hadapanku, seorang lelaki yang tersenyum malu-malu bahagia menatapku dengan tatapan penuh cinta sekaligus rasa tidak percaya.
Aku menggenggam erat tanganmu.
“Rio Baskara, ayo kita masuk ke dalam. Kita akan makan malam dalam rangka dijodohkan oleh orangtua kita, apakah kau lupa?”
Udara malam hari terasa hangat dan semerbak oleh kebahagiaan saat Rio memelukku erat. Lama sekali.
“Arina. Arina. Arina. Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan tapi aku sangat bersyukur perempuan yang akan dijodohkan denganku ternyata adalah dirimu”
Aku merasakan kehangatan dari lelaki ini. Tulus dan putih, aku membalas pelukannya.
Hari-hari kami sudah terisi cinta kemarin-kemarin. Perjodohan ini hanya memberi legalitas hubungan kami ke depannya saja.
Ah, selamat datang, kebahagiaan!
Kami datang!
#2627kata
Belum ada tanggapan untuk "Menjodohkan Rio"
Posting Komentar