Kalau ada yang bertanya kepada kami sekeluarga tentang hobi ibuku maka jawaban yang kami hasilkan pastilah berbeda-beda. Ibuku memang makhluk paling menarik sekaligus rumit di dalam keluarga kami. Sebagai anak perempuan pertama, aku mencoba memahami yang dia lakukan tapi selalu gagal. Kepribadian ibuku begitu hangat, cerah, ceria, bahkan kecerahannya melebihi sinar matahari. Berbanding terbalik dengan kepribadianku yang lebih suka menyendiri sambil membaca buku. Jika boleh berada di dalam kamar seumur hidup, maka itulah yang akan kulakukan.
Ibuku adalah tipe orang yang begitu hangat, terbuka, sangat-sangat terbuka terhadap semua pengaruh. Aku tidak suka melihatnya begitu bersemangat nyaris untuk semua hal. Ya, nyaris semua hal.
Ibuku menyenangi begitu banyak hal-hal. Mereka begitu beraneka ragam dan … kadang-kadang tidak terhubung antara satu dengan yang lainnya.
Pada suatu hari yang panas, aku baru saja pulang dari kampus. Saat aku masuk ke dalam rumah, adik-adikku sedang merubungi ibu yang sedang mencoba sepeda statis barunya. Aku bertanya kepada ibu bukankah dia baru saja membeli yoga mat bulan lalu, kenapa membeli sepeda statis sekarang? Ibu hanya melambai santai sambil mengatakan bahwa ini akan membuat program dietnya berjalan sukses.
Oke, baiklah, aku berlalu pergi sebelum aku diminta mencoba sepeda statis itu.
Ibuku memang suka mencoba hal-hal yang berbeda. Kadang-kadang dia keranjingan olahraga, kadang-kadang dia keranjingan memasak. Pernah di hari yang bersamaan dia membuat smoothies sayuran sekaligus memanggang kue brownies.
Ibuku setiap hari selalu aktif melakukan banyak hal. Kadang-kadang, terlalu banyak hal, sampai orang serumah kebingungan. Aku pernah protes kepada ayahku, kenapa dia mendukung saja tingkah polah ibuku yang seperti itu. Ayahku hanya membelai rambutku sambil berkata, “Nanti kamu juga mengerti.”
***
Bulan ini ibuku sedang keranjingan membeli tanaman hias di dalam pot. Setelah mulai menyukai tanaman hias, ibuku langsung mengajak ayahku berkeliling mencari philodendron dan delfawood. Kupikir tadinya nama-nama itu adalah nama-nama asrama baru di Hogwarts, sekolah sihir Harry Potter, buku kesukaanku.
Ternyata nama-nama itu adalah nama tanaman hias yang sibuk dikejar-kejar oleh ibuku ke seantero penjual tanaman hias.
Adik-adikku asyik-asyik saja ikut di mobil berkeliling bersama ayah dan ibuku mencari kedua tanaman itu. Sesampainya mereka di rumah, aku menghela nafas saat mereka mengatakan inilah tanaman yang mereka cari-cari itu. Ya ampun, tanaman philodendron itu hanya memiliki dua lembar daun saja!
Tiga bulan lalu, ibuku asyik mengikuti klub bersepeda di komplek perumahan kami. Setiap hari Minggu, kami di rumah terbangun oleh suara ibu yang menyiapkan sarapan. Aku segera bangun karena mengira hari sudah siang, tapi ternyata jam masih menunjukkan pukul 4 pagi. Ketika kutanyakan, mengapa ibu menyiapkan sarapan pagi-pagi betul, jawabannya adalah karena ibu ingin bersepeda dengan klub sepedanya.
Aku sebetulnya mencoba mengingat-ingat sejak kapan ibuku begitu mudah tertarik arus trend suatu barang atau suatu kegiatan. Sejak aku kecil, ibuku memang selalu tertarik terhadap aneka kegiatan dan benda-benda. Ada saja yang dia lakukan di rumah sehingga nyaris tidak pernah kami melihat ibu leyeh-leyeh selonjoran.
Ibuku pandai memasak, pintar merajut, gesit membuat prakarya, juga lemah gemulai dalam olah tubuh. Aku ingat betul sejak aku kecil, aku dan kedua adik perempuanku selalu dibuatkan pakaian dan boneka oleh ibu. Ayah bercerita bahwa sejak dari kandungan, ibu telahmenyiapkan boneka jahitannya sendiri untukku.
Kedua adik perempuanku sangat menikmati aneka ragam aktivitas ibu. Maklum, rumah kami jadi tidak pernah kehabisan kue, benda seni, alat olahraga, atau bahkan mainan. Ibuku bahkan pernah keranjingan tamiya! Adik-adikku berjingkrak kegirangan saat sepulang sekolah menemukan ibu memamerkan tamiya-nya.
Di usiaku yang kini beruia 21 tahun, tingkah polah ibu sebetulnya sudah mulai mengusik ketenanganku. Bagaimana tidak, aku lelah dengan antusiasme ibu yang berpindah-pindah dari satu benda ke benda lain, dari satu kegiatan ke kegiatan lain.
Gudang di rumah kami sudah penuh sesak oleh aneka benda –bekas- hobi ibu. Anehnya ayahku tidak pernah senewen seperti aku. Ayah hanya mengangguk-angguk gembira ketika melihat ibuku asyik melakukan aneka hobinya itu.
Dari mulai olahraga, memasak, merajut, sampai tanaman hias. Ibuku seperti anak kecil yang terperangkap di dalam tubuh permpuan dewasa.
Kadang-kadang aku malu memiliki seorang ibu seperti ibuku.
***
Di tengah masa pandemi ini, aku makin malas melihat ibuku. Kini kesukaannya adalah hal-hal berbau obat-obatan tradisional. Ibuku meyakinkan kami untuk meminum madu, minyak zaitun, dan aneka jamu buatan ibuku sendiri setiap pagi.
Di atas meja makan setiap pagi kini sudah tersedia jamu empon-empon buatan ibuku. Jamu yang terdiri dari jahe, lengkuas, kunci, temulawak dan kunyit itu dipercaya sebagai obat penangkal virus COVID-19. Ibuku menyuruh kami sekeluarga untuk meminumnya. Sambil menuangkan jamu empon-empon itu ke gelas-gelas kami, ibuku mengulang cerita tentang khasiat jamu empon-empon, juga tentang kewajiban kami meminum minyak kelapa, minyak zaitun, habatusauda, dan juga memakan telur rebus.
Semua itu dimaksudkan unutk menjaga stamina tubuh kami, kata ibuku yang sibuk menyiapkan segalanya di atas meja makan. Ayahku hanya tersenyum simpul. Sambil menyeruput jamu empon-emponnya, ayah menanyakan jadwal belajar daring kepada kedua adikku.
Aku menatap aneka jamu di atas meja makan dengan kepala berdenyut.Kedua adikku heboh berebut siapa yang lebih dulu menggunakan komputer ayah untuk belajar daring. Ayahku mengatakan salah satu dari mereka dapat memakai ponsel ayah. Ibuku masih sibuk menyiapkan piring-piring berisi aneka makanan minuman yang harus kami minum.
Aku masih bersabar meminumnya setiap pagi tapi hari ini perasaannku tak tertahankan lagi. Aku benar-benar muak dengan ibuku.
“Mira ga mau minum jamu ini, Bu!” bentakku kepada ibuku. Semua sontak menatap ke arahku. Ibuku berhenti menyiapkan gelas-gelas jamu. Ayah dan kedua adikku terdiam. “Mira bosan dengan semua ini, Bu! Kenapa Ibu tidak bisa bersikap dewasa sedikit, sih, Bu? Ibu terlalu cepat termakan informasi yang Ibu baru dapatkan, tau ga sih! Ibu juga selalu membuang-buang uang ayah dengan membeli benda-benda secara impulsif. Tolong bersikap dewasalah sedikit, Bu!” Aku membombardir ibuku dengan kemarahan yang meluap-luap. Ibuku berkaca-kaca. Ayahku hendak mengatakan sesuatu, tapi sebelum ia sempat berkata, kuletakkan gelas berisi jamu empon-empon buatan ibuku itu ke atas meja makan, lalu berlari ke dalam kamarku. Kubanting pintu kamarku dengan sekuat tenaga. Air mata mengalir di pipiku, perlahan. Tidak bisakah ibuku menjadi ibu yang biasa-biasa saja? Tidak bisakah ibuku menjadi perempuan yang memiliki satu hobi saja? Tidka bisakah ibuku menyaring informasi yang dia dapatkan agar tidak dia telan bulat-bulat?
Kepalaku terasa pusing sekali. Sebetulnya ada tiga jadwal perkuliahan daring pada hari ini. Itu saja sudah membuatku pusing, sekarang ditambah dengan kejadian pagi hari ini, ah, aku ingin bolos kuliah saja rasanya. Ah, aku tahu! Aku akan mematikan video dan tidur saat kuliah daring dimulai. Kuhempaskan tubuh ke atas kasurku, aku sangat benci hari ini!
***
“Mir? Ayah mau bicara sama kamu, Mir. Mira, buka pintunya, Nak.” Suara ayahku terdengar di balik pintu kamar. Kutengok layar ponselku, sudah berapa jam aku menangis sambil tertidur, sih?
Kubukakan pintu kamar. Ayahku masuk membawakanku segelas susu hangat. “Kamu tidak makan siang dan makan malam. Ayo diminum dulu susu ini. Ibumu tadi menyiapkan makan malam untukmu di meja makan.”
“…”
“Kenapa kamu tadi, Mir? Hmm? Ayah perlu tau mengapa kamu melakukan tindakan tadi kepada ibumu.”
“Mira ga suka dari dulu terhadap kebiasaan ibu bergonta-ganti hobi. Ibu tuh mirip wanita spons, wanita yang menyerap semua informasi. Lalu menelannya bulat-bulat. Memangnya uang ayah tidak habis untuk semua hobi anehnya itu?”
Ayahku menyimakku sambil tersenyum pelan. Ada pendar duka di mata ayah saat itu juga, aku jadi penasaran apa alasannya.
“Mira, mungkin sudah saatnya kamu tentang sebuah rahasia tentang ibumu….”
“Rahasia? Rahasia apa maksud ayah?”
“Apa kau pernah dengar tentang proses kelahiranmu yang begitu dramatis?”
“Pernah. Mira lahir lalu ibu terkena stroke, iya, kan?”
“Iya, tapi apa Mira tau apa dampak stroke itu terhadap ibumu?”
“Dampak? Maksud Ayah, Ibu masih memiliki risiko stroke berulang?”
“Bukan itu, Sayang. Ibumu memang mengalami stroke saat melahirkanmu. Hal itu menyebabkan dia harus dirawat selama satu bulan sementara kau pulang tiga hari sejak hari kelahiranmu. Ibumu mengalami operasi otak, Mira. Hal itu menyebabkan perubahan banyak aspek kepribadian, begitu penjelasan dokter waktu itu. Ayah mengira tidak akan begitu banyak yang berubah. Namun dokter mengatakan bahwa ayah harus bersiap hingga yang terburuk, yaitu ibu menjadi marah, benci kepada ayah, atau bahkan tidak ingat kepada ayah.”
Ayah berhenti sejenak. Tatapannya menerawang lembut. Aku hafal betul wajah ayah yang seperti ini. ini wajah ayah setiap aku memprotes keanehan ibu yang berbelanja dan melakukan begitu banyak hal secara acak setiap harinya.
“Ibumu selamat dalam operasi otak itu, Mira. Itu merupakan keajaiban terbesar dalam kehidupan ayah. Itu merupakan anugerah terbesar buat keluarga kita, Mira. Namun efek operasi itu menyebabkan ibumu sulit fokus dan berkonsentrasi.” Ayah mendesah pelan, seperti ada kesedihan tipis membayangi di pelupuk mata ayah.
“Ibumu menjadi begitu mudah berganti pusat perhatian. Rentang rasa suka ibumu menjadi begitu pendek. Ibumu juga menjadi sulit memfilter informasi. Dengan kata lain, ya, Mira, seperti katamu, ibumu memang berubah menjadi wanita spons yang siap menyerap apapun di sekitarnya” Ayah tertawa, aku diam saja.
“Buat ayah tidak masalah uang ayah habis menjelma menjadi barang-barang di gudang rumah kita. Selama ibumu masih ada, hidup, utuh, membersamai kita, itu tidaklah seberapa. Buat ayah tidak masalah ibumu bergonta-ganti hobi sepanjang hidupnya. Selama ibumu masih bernafas, tersenyum, dan mengingat ayah dan kalian, itu sudah lebih dari cukup….”
Aku tidak bisa berkata apa-apa.
“Mira Sayang, mungkin seumur hidupnya ibumu akan mengalami kesulitan menyaring dan memfokuskan perhatiannya kepada satu hal…. Mungkin seumur hidup sisa usia ibumu, ia akan berjuta-juta kali bergonta-ganti hobi secara acak dan membuat kita semua kewalahan…. Namun, itu sungguh bukan apa-apa, sungguh itu semua bukanlah apa-apa dibanding ketakutan ayah saat berada di ruang tunggu rumah sakit saat itu, Nak. Kita semua pernah merasa sangat ketakutan di dalam kehidupan kita. Rasa takut yang begitu melumpuhkan. Rasa takut yang begitu besarnya hingga kita kesulitan bernafas. Bagi ayah rasa takut itu hadir saat ayah menunggui ibumu melewati operasi otak itu, Nak. Risikonya begitu banyak, begitu mengerikan, begitu mencekam. Semua ini, semua kekacauan karena ‘wanita spons’ ini, bukanlah apa-apa buat ayah jika dibanding skenario terburuk dari operasi otak : ketiadaan ibumu di sisi ayah, Mira….”
Aku memeluk ayahku yang tersedu-sedu. Hatiku seolah dipotong menjadi serpihan-serpihan kecil. Sungguh brengsek tiada tara sekali aku ini. Kini aku tidak punya keberanian aku untuk menatap ibuku. Semua yang ia lalui, seluruh penyebab operasi otak itu, juga salah satunya karena perjuangannya dalam melahirkan aku, anak pertamanya.
Terdengar sebuah suara lembut dari ibuku….
“Mira? Kamu belum tidur, kan? Ah, kalian sedang ngobrol apa? Ibu sudah menyiapkan makan malam untuk kamu. Ibu membuat sendiri spaghetti dengan mesin yang baru Ibu beli dari Tante Lita kemarin. Besok Ibu juga mau ikut kursus membuat mie dengan menggunakan mesin itu. Ah, pasti hasilnya sangat enak. Menurut Tante Lita ibu cocok menjadi model bagi iklan mesin pembuat mi itu. Ibu bahkan diajak untuk datang ke kantor pemasarannya! Sekarang kamu makan dulu ke bawah. Kamu pasti lapar kan, Mira?”
Ibuku berdiri di ambang pintu kamarku, lengkap dengan senyumannya yang secerah matahari.
Tidak apa-apa, Ibu. Tidak apa-apa menjadi wanita spons. Tidak, tidak apa-apa. Langsung kupeluk ibuku erat-erat
Engkaulah wanita spons paling kucintai di dalam kehidupanku, Ibu!
#1738kata
Belum ada tanggapan untuk "Wanita Spons"
Posting Komentar