Saat tulisan ini ditulis pandemi di Indonesia sudah berjalan sejauh lima bulan. Hallo, semuanya! Saya tidak tahu apakah saat tulisan ini sampai kepada kalian, pandemi ini sudah berakhir ataukah belum.
Semoga saja sudah. Semoga saja iya.
Namun, jauh di lubuk hati saya yang terdalam, saya menyadari betapa pandemi ini bagaikan sebuah portal bagi hidup saya. Ya, sebuah portal yang menghubungkan saya ke dunia yang begitu … berbeda dari dunia saya yang sebelumya!
Sebelumnya perkenalkan terlebih dahulu, nama saya Dea, saya ibu beranak dua yang tinggal di Kota Depok, Jawa Barat. Saya ingat betul kasus pertama pandemic virus korona di Indonesia ini bermula dari kota saya.
Saat itu saya ingat betul kegemparan yang terasa di masyarakat Indonesia. Dua orang pasien pertama virus korona bermukim di kota saya. Hati saya mendadak kebat-kebit. Bagaimanapun saya mengalami kekhawatiran. Saya pun mencari masker untuk dipakai oleh anak dan suami saya keesokan harinya.
Hari demi hari pun berlalu. Pandemi virus korona semakin melebar dan meluas di Indonesia. Kebijakan PSBB dari pemerinta kota tidak begitu berhasil dalam menekan angka penyebaran virus. Sekolah-sekolah diliburkan secara serentak. Semua melakukan aktivitas dari rumah, begitu kata siaran pers resmi dari pemerintah.
Sekolah anak saya pun ikut diliburkan. Padahal ia baru saja menginjak kelas 1 SD di mana menurut saya kelas 1 SD adalah sebuah masa permulaan dan masa adaptasi bagi anak yang memulai sejarah panjang persekolahannya.
Ah, saya terpuruk betul awal-awal pandemi ini. Betul-betul terpuruk.
Tidak, Alhamdulillah, kami tidak terpapar virus tersebut (begitu pula keluarga besar kami). Namun adaptasi gila-gilaan menggoncang seluruh sendi kehidupan kami. Bayangkan saya yang tadinya hanya bertemu di sore atau malam hari, kini kami harus bertemu sepanjang hari!
Belum lagi saat masa awal melakukan karantina mandiri sekuat-kuatnya bertahan di dalam rumah sendiri, tidak pergi kemana-mana, ya ampun…. Rasanya sungguh-sungguh berat bagi saya pribadi untuk menjalani hidup seperti itu.
Suami saya pun harus bekerja dari rumah. Sepintas terlihat indah ya, bekerja dari rumah. Hakikatnya padahal memindahkan bara api perkantoran ke dalam rumah. Saya harus berakrobat memastikan suami tidak terganggu oleh tingkah-polah kedua putra kami selama ia bekerja.
Sayangnya tidak semudah itu…. Saya pun mengambil jalan termudah : memberikan gawai dan koneksi internet kepada anak-anak. Rumah rapih, suami bisa bekerja dengan tenang dan saya pun bisa beristirahat sejenak.
Namun, ternyata hal itu membawa bencana melebihi pandemi korona. Anak saya yang barus berusia 3 tahun mulai kecanduan gawai. Begitupun dengan kakaknya yang berusia 7 tahun. Ya Allah!
Saya ingin sekali mengubah semua kondisi ini cepat-cepat tapi mau bagaimana lagi? Kondisi pandemi di Indonesia justru semakin buruk dan bertambah buruk. Sekolah diperpanjang lagi melakukan pembelajaran dari rumah.
Sungguh dua minggu awal pandemi adalah masa-masa paling stressful di dalam hidup saya. Hingga pada suatu hari suami saya mengajak kami mengikuti seminar online parenting yang berjudul “Membina Hubungan Keluarga di Tengah Pandemi”
Saya cukup skeptis pada awalnya. Ah, bagaimana mungkin sebuah seminar bisa mengubah hidup kami. Sudahlah, pikir saya, keluarga kami memang akan begini (gonjang-ganjing) selama pandemi ini masih ada.
Namun, seminar parenting itu sangat teknis sekali. Suami saya cocok dengan bahasa kongkrit yang diberikan oleh pemateri seminar tersebut. Saya pun ditantang oleh suami untuk menjauhkan anak-anak dari gawai dan koneksi internet. Serius?
Huft, saya menolak cepat-cepat ide konyol itu.
Suami saya perlahan menjelaskan lalu saya pun merasa bisa melakukannya. Keesokan harinya saya bertekad untuk menemani kedua anak saya menjauhi aneka gawai (TV. HP) plus koneksi internetnya. Kami bermain di taman perumahan, bermain air, bermain bola, mencari bunga, memasak, dll.
Hari demi hari berlalu penuh kelelahan tapi kelelahan itu sungguh sepadan dengan perubahan yang kami lihat pada anak-anak kami. Si sulung yang pada awalnya tidak mampu mendengarkan apapun perkataan kami mulai melunak. Ia kini mampu berdiskusi setelah kami menerapkan teknik-teknik komunikasi yang diajarkan seminar itu.
Begitu pula dengan adiknya yang berusia 3 tahun. Ia kini sudah tidak memiliki screen-time alias waktu bermain HP lagi. Perubahannya sungguh jelas terasa sekali. Saya pun terharu, saya tidak menyangka bisa melakukan ini semua.
Apa yang kami korbankan untuk mencapai ini semua? Sejujurnya banyak. Saya mengorbankan waktu dan tenaga untuk seharian membersamai anak-anak dalam bermain dan belajar. Suami saya mengorbankan jam kerjanya (ia mengajukan part time dari full time, lengkap dengan pengurangan salary).
Namun tebak apa yang terjadi? Semua ini tidak apa-apa karena saya merasakan hikmah yang begitu besar….
Saya merasakan kedekatan batin yang lebih lekat antara saya dengan suami sejak kami memutuskan bekerja sama bersatu padu. Saya merasakan kebenaran makna “pandemi adalah sebuah portal”. Ya, nyatanya memang benar begitu adanya.
Berkat pandemi ini saya melintasi rintangan yang tidak pernah saya bayangkan bisa saya lewati sebelumnya (penggunaan HP & TV berlebihan kepada anak). Berkat pandemi ini juga suami saya menjadi menempuh jalur part time dengan salary yang tidak jauh berbeda saat ia bekerja full time.
Sungguh sebuah pengalaman yang luar biasa…..
Hal ini mengingat betapa terpuruknya saya ketika awal-awal pandemi. Ah, saya ingat betul setiap hari kalimat saya waktu itu adalah “kapan pandemi ini selesai” sambil berurai air mata. Ya, saya begitu ingin menyerah pada keadaan.
Hingga tulisan ini ditulis pandemi belum berakhir (setidaknya belum berakhir di Indonesia). Saya masih kesusahan menjadi “guru” bagi anak saya yang melakukan BDR alias Belajar Dari Rumah. Saya juga masih sering mengeluh kepada suami melihat sikap dan penangana pemerintah pusat terhadap pandemi ini (hello, Pak Jokowi), tapi saya sadar saya telah meresapi makna baru atas pandemi ini.
Ya. Sebuah makna hadir di tengah-tengah kekalutan dan kekhawatiran pandemi ini. Makna yang membuat saya menjadi semakin yakin mengenai kebenaran Al-Qur’an sebab di dalam salah satu ayat Al-Qur’an berbunyi, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu baik bagimu….”
Ah, betapa bencinya saya dengan pandemi ini pada dua minggu pertamanya. Sungguh-sungguh membenci mengapa kasus pertama harus berasal dari kota yang sama dengan saya. Sungguh-sungguh membenci respon salah pejabat pemerintah pusat. Benci, benci dan benci.
Namun, kini kebencian itu bertransformasi menjadi sebuah pemaknaan yang baru, khususnya bagi diri saya pribadi.
Ya, pandemi ini menyulitkan. Ya, pandemi ini menyusahkan. Ya, pandemi ini merenggut nyawa banyak sekali orang.
Namun pandemi ini juga membawa saya semakin dekat dengan suami saya. Pandemi ini membawa saya bekerja sama dengan suami saya. Setelah 9 tahun pernikahan, kini kami seperti memperbaharui kembali janji pernikahan kami….
Pandemi ini juga yang membuat saya meresapi hari-hari baru sebagai seorang ibu rumah tangga. Sudah satu bulan lebih anak-anak tidak pernah menyentuh TV dan HP lagi. Ada rasa syukur yang tidak bisa dilukiskan di dalam hati saya terdalam.
Ya Allah, ternyata saya bisa kok mendidik anak tanpa bantuan TV & HP….
Hingga pada akhirnya kini saya melihat pandemi ini tidak hanya sebagai suatu wabah penyakit menular saja. Ia kini menjelma menjadi portal saya. Gerbang saya berpindah menjadi pribadi yang lebih baik. Gerbang keluarga saya berpindah menjadi keluarga yang lebih kompak dalam kebaikan. Gerbang masyarakat berpindah menjadi masyarakat yang peduli pada kesehatan.
Ah.
Tentu saja doa saya yang paling utama adalah agar pandemi ini lekas berlalu tapi mari kita kembali memaknainya dengan lebih baik lagi. Portal pandemi, nyata adanya….
Alhamdulillah…..
-Depok, 14 Agustus 2020. Ditulis untuk naskah antologi buku berjudul “Hikmah di balik Musibah” dari komunitas menulis NUBAR (Nulis Bareng)-
1160 kata
Belum ada tanggapan untuk "Portal Pandemi"
Posting Komentar