Malam, mama.
Malam hari adalah saat yang saya tunggu. Saya terbiasa untuk menceritakan pengalaman satu hari itu kepada mama. Ya, mama saya memang seorang wanita karir. Dia baru ada di rumah saat malam merangkak turun. Tapi, kami selalu terlibat topik pembicaraan seru tiap malamnya.
Apapun bisa kami bicarakan. Saya menceritakan kuliah, teman-teman, hingga bagusnya buku yang saya baca. Ya, saya menceritakan semuanya. Kerinduan saya. Kebahagiaan saya. Kesedihan saya. Saya menceritakan segalanya.
Mama saya adalah seorang perempuan yang hebat. Dia memposisikan dirinya sebagai teman yang mendengarkan dengan setia.
Saya selalu menceritakan setiap peristiwa yang saya lalui. Dan mamah saya selalu punya sesuatu untuk membalasnya. Entah nasehat, pujian atau kami hanya menertawakan kelucuan yang terjadi.
Malam-malam saya selalu mengalir dengan bercerita kepada mama.
Teman-teman saya adalah teman mama.
Begitu seringnya saya menceritakan teman-teman saya hingga apabila mama bertemu dengan salah satu dari mereka, mama akan spontan menyapa mereka dan tentu saja mereka akan kebingungan, mengapa ada nenek-nenek yang tau nama mereka,,hehhhe.
Soal usia, saya rasa memang mama belumlah tua untuk mengerti dunia remaja. Mama lahir tahun 1961. Kami beda 28 tahun. Tapi kalau kami berjalan bersama pastilah mama akan disangka sebagi kakak perempuan saya, bukan mama saya.
Mama adalah sosok tegar yang menjiwai hidup saya. Dia membesarkan saya dan teteh sendirian dengan sepenuh cinta di tengah kesulitan-kesulitan yang menghimpit.
Mama selalu mengerti apa yang sedang saya rasakan. Saya tak perlu mengeluh, mama pasti tau jika saya sedang gundah. Kemudian mama pasti bilang:
“Dey,,masalah-masalah dalam hati ibarat baju-baju kotor dalam lemari. Mereka harus dikeluarkan. Cerita dong,,,”
saya mengagumi mama sepenuh hati. Mama adalah pahlawan. Mama adalah jiwa.
Cerita-cerita kami sudah bermalam-malam dan saya tak pernah bosan untuk bercerita pada mama.
Mama adalah pohon kebijaksanaan bagi saya. Saya sangat bersyukur memiliki mama yang sudah tarbiyah. Saya rasa inilah nikmat terbesar itu. Saya dan mama adalah orang-orang yang tergabung dalam dakwah. Akhwat.
Saya selalu terbantu dengan doa-doa mama. Setiap kali saya terbangun tidur, mama pasti sedang khusyu’ memanjatkan doa dalam qiyamul lail nya.
Saya selalu merasa pasti, mama adalah pelita bagi hidup saya. Dia tak pernah henti untuk mendukung saya dalam setiap pengembangan karakter yang saya lakukan. Entah itu menjadi penulis puisi, mengikuti lomba, sampai terjun di dakwah sekolah.
Mama adalah seorang yang berhati besar dalam mendidik anak-anaknya. Dia selalu mengedepankan kebebasan. Jangan heran kalau menemukan kami sedang berdebat tentang sesuatu, mama hampir tak pernah memaksakan pendapatnya. Padahal dia memiliki hak untuk itu, toh dia adalah mama.
Saya selalu bebas memilih. Entah itu sekolah, jurusan, kegiatan-kegiatan, atau apapun juga. Mama tak pernah curiga karena saya tak pernah punya rahasia.
Sampai masalah jatuh cinta. Mama adalah orang yang paling tau tentang hati saya. Bagaimana saya menggila terkena virus cinta itu. Menangis tiap malam sejadi-jadinya (yang kami sebut sebagai terapi penyembuhan). Saya harus menahan diri, itu yang selalu mama katakan. Perempuan yang baik adalah perempuan yang menahan diri. Saya ingin seperti itu, ma.
Saat saya menggelepar tersakiti oleh teman-teman saya, mama selalu ada.
Mama adalah sosok yang terbangun saat saya menjerit keras di tengah malam. Saya memang memiliki katarsis dengan menjerit keras di tengah malam apabila saya sedang berada dalam masalah yang besar.
Mama adalah mama. Yang namanya selalu ada dalam denyar hidup yang bergulir. Yang hatinya memayungi saya dari sedih serta duka. Yang hidupnya adalah goresan peluh dalam mendidik dua anak sendirian.
Mama adalah cinta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 Tanggapan untuk " "
subhanallah.. indah banget de tulisanmu ini...
lama ditunggu soal request yang ini, ternyata emang deep bgt..
Posting Komentar