Dilan Ku Tahun 2005


Dilan KuTahun 2005

Semesta bekerja dengan sangat baik, selalu. Setelah menuliskan status panjang tentang Dilan di Facebook, sebuah sore aku menemukan buku berdebu. Tadinya aku mencari selembar kertas untuk menulis to-do-list, tak kusangka malah menemukan manuskrip bersejarah.

Aku menemukan kumpulan tulisan tanganku tentang SMS. Ya, semua kutulis sampai titik ke koma. Sampai ke antar spasi. Kutulis semua SMS itu dengan pengirim dan waktu pengirimannya.

….

Sungguh, Dey. Sungguh-sungguh mengharukan…

Lalu disinilah aku, terlempar ke masa lalu dan menemukan bahwa aku memiliki Dilan.
Ya, Dilan. Sosok yang kini sedang menjadi demam dimana-mana. Sejujurnya aku tak menonton filmnya di bioskop. Tapi semua ingatan tentang sosok Dilan masih sempurna dalam ingatan..

Dilan.

Dia Dilan-ku.

Tahun 2005 hingga tahun 2007, itu yang terdokumentasi lewat SMS-SMS itu.
Bahwa aku kini sudah menikah dengan bukan Dilan, menjadikanku mirip Milea, kan? Ah, suamiku tau tentang Dilan ini.

Dan dia selalu tak khawatir, sebab semua masa lalu akan menjadi kenangan yang patut kita syukuri. Pelan tapi pasti kita syukuri sembari terlupakan oleh kenangan-kenangan baru

….

….

….

So, hallo Dilan

Ya, Dia yang namanya menghiasi SMS-SMS ku pada tahun 2005 awalnya.

Hallo Dilan-ku yang pandai bermain gitar dan selalu tau bahwa dirinya tampan. Dia tidak romantis. Dia lebih ke arah tipe lelaki dengan kata yang sederhana. Dia tidak tau bahkan caranya puitis.

Salah satu SMS dari Dilan-ku berbunyi :

“Eh De, di sini di tempat ku tinggal ibu-ibu menyanyikan lagu ini kalau meninabobokan anak lhoo : Dung-indung kepalaa linduung. Ujan di udik, di sini mendung..”

:’)

Such a tremendeously simple message

Udah, gitu doang. Hihihi. Aku tak menulis apa balasan SMS dariku waktu itu.

Dia, Dilan-ku. Tidak pernah naik motor ke sekolah seperti Dilan yang itu. Dia terkenal sebagai anak kereta, maksudnya anak-anak yang ke sekolah menggunakan kereta api.

Teman-teman pernah berseloroh ingin membelokkan rel kereta api langsung ke depan sekolah kami demi membantunya tak terlambat lagi.

Dia bukan saja baik tetapi juga bertanggung jawab. Dia menjadi panitia berbagai acara dan terlibat beberapa ekstrakurikuler.

Dia, Dilan-ku, adalah tipe lelaki lembut yang perasa. Sering sekali dia menyatakan perasaan-perasaannya..

Lebih lembut dari laki-laki seumurnya. Dia juga suka berpikir kritis. Dia bahkan tidak menerima mengapa lelaki harus tidak boleh mengenakan warna pink. 

Oh, Dilan..

:’)

Dia. Dilan-ku yang berbeda-beda kusimpan namanya di memori ponsel ku. Kadang-kadang “Bya”, kadang-kadang “Gashee”, kadang-kadang “Pipip”.

Semua nirarti alias tidak ada arti. Atau aku yang sekarang lupa apa arti itu semua

Dia. Dilan yang mewarnai masa SMA. Manis, semanis rindu pertama. Bukan cinta, Dey? Bukan, itu rindu.

Cinta adalah pertemuan fisik dan jiwa. Rindu adalah keinginan jiwa, bisa sebelum sahnya fisik bertemu.

Maka Dilan adalah rindu-rindu masa remaja yang bergelombang.. Tak henti mewarnai dengan beragam warna.

Sebentar-sebentar mengecek ponsel apakah ada SMS. Sebentar-sebentar janji bertemu yang padahal tak bertemu juga tak apa..

Apakah Dilan membonceng ku motor? Tidak. Kami pergi ke toko buku sebatas itu. Hamdallah. 

Masih dilindungi dari nafsu remaja lain yang terkadang atas nama rindu jadi mengekspresikan dengan tindakan fisik yang dilarang agama.

Dilan-ku..

Kabarmu tak perlu kutau sekarang.. Pernikahanmu kuhadiri seperti pernikahanku kau hadiri. Lalu perlahan tetapi pasti kenangan SMA itu terlupakan. Sedikit demi sedikit..Semua terhapus..

Dahulu aku mengingatmu setiap melewati toko buku itu, kini hamdallah ku bisa dewasa saat menyadari bahwa dirimu adalah masa lalu yang kusyukuri tetapi tak jadi pengganggu masa kini ku.

Dilan,

Dia rajin membaca blog ini.. Itulah mengapa dia menanyakan ada apa saat tulisan-tulisanku galau tak bertujuan selepas melahirkan anak pertama

Aku baby blues, Dilan. Tak mungkin katamu, aku orang yang relijius. Ah, terima kasih atas doanya, Dilan.

Dilan-ku yang ini kini hidup berbahagia menghirup aroma cinta setiap hari bersama istri dan anak lelakinya.

Selamanya dia ada dalam catatan SMA ku. Selamanya dia adalah syukurku kepada Allah atas warna meriah jiwaku semasa muda

:’)

Dia. Dilan.

Dia adalah lelaki baik yang bertanggung jawab. Kepada istrinya tentu saja, hihihi.

Remaja yang pertama merasakan rindu. Itulah aku jaman dahulu. Dilan beberapa kali merajut cinta bernama pacaran sebelum bertemu aku tapi bersama aku tak pernah kami menamakan hubungan ini.

Nameless and not timeless.

Nameless yang semoga bentuk perlindungan Allah dari terusnya nafsu melaju tak tentu arah.

Ah, dipikir-pikir tentu akulah yang pertama merindukannya. Dilan-ku ini lelaki populer di angkatan sekolah kami. Wajar kalau aku yang pertama menyimpan sebongkah rindu

Dilan, yang kini hidup sekota denganku

Hamdallah kita tak pernah bertemu ya. Hamdallah, Dilan. 

Dulu aku bingung saat melihat namamu melintas di media sosial. Tetapi kali ini aku melihatmu dengan dewasa. Dengan lebih bijaksana.

Bahwa kamu Dilan, terima kasih banyak. Semoga kita bisa memandang semua yang sudah terjadi sebagai anugerah dari Allah lalu menjalani hidup yang kini dengan sebaik-baiknya.

Thank you, Dilan!

:’)


Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Dilan Ku Tahun 2005"

Comment