GEMPA BUMI DI LOMBOK DAN TIPISNYA KEIMANAN KITA




Ya, sebuah pergerakan lempeng bumi maha dahsyat menyebabkan pulau Lombok berguncang. 

Gempa ini terhitung besar dengan bilangan 7 pada skala Richter. Sekedar mengingatkan, gempa bumi yang memicu tsunami Aceh pada tahun 2004 silam berada pada bilangan 9 pada skala Richter.

GEMPA SEBAGAI BUKTI KEKUASAAN ALLAH

Apa sebenarnya esensi dari sebuah peristiwa alam? Benarkah ini merupakan sebuah musibah? Benarkah ini ada kaitannya dengan perpolitikan nasional? Sejauh mana kita boleh mengambil tafsir atas kejadian musibah ini?

Dalam sejarah nabawiyah tercatat sebuah kisah saat Rasulullah bersedih ditinggal wafat oleh anak lelakinya, Ibrahim.

Ibrahim yang merupakan anak lelaki Rasulullah dan Maria Al-Qibtiyah pergi menghadap Rahmatullah dalam usia yang sangat-sangat muda.

Ketika itu bertepatan terjadilah peristiwa gerhana. Para sahabat Rasulullah menafsirkannya sebagai penyebab meninggalnya  putra Rasulullah tersebut.

Rasulullah menegur para sahabatnya. Sambil terpekur di sisi makam Ibrahim yang telah selesai dikebumikan, Rasulullah menegaskan sebuah kalimat terkenal :

“Matahari, bulan, bintang, dan seisi alam raya adalah kekuasaan mutlak Allah. Tiada hubungannya dengan satu kejadian tertentu.”

Hal ini sangat menarik untuk dicermati. Rasulullah mengajarkan sebuah prinsip penting dalam memandang alam raya.

Bahwa setiap peristiwa alam, entah itu gerhana, gempa, tsunami, sesungguhnya adalah bukti kekuasaan Allah. Tiada sangkut paut dengan satu atau dua kejadian khusus di dalam kehidupan manusia.

TIADA AZAB UNTUK UMMAT RASULULLAH

Kemudian saya jadi teringat sebuah peristiwa longsor di perbukitan di Jawa Tengah. Peristiwa alam tersebut ditengarai akibat dosa berjamaah penduduk desa di bukit itu.

Mereka disinyalir melakukan dosa yang juga dilakukan oleh ummat Nabi Luth Alaihissalam. Lalu, benarkah demikian?

Saya pernah mendengar sebuah ceramah yang berisi berita penting tentang ummat Rasulullah.
Rasulullah ternyata mendoakan ummatnya agar terhindar dari azab-azab ummat sebelumnya. Itulah mengapa sebesar-besarnya peristiwa alam di jaman ini, tidak pernah ada yang sebesar azab yang menimpa ummat sebelumnya.

Allah menangguhkan azab untuk kita semua berkat doa Rasulullah. Apa konsekuensi dari kalimat ini?

Pertama, semua peristiwa alam atau musibah apapun, hendaknya tidak kita hubungkan dengan dosa untuk dicap sebagai azab yang menimpa wilayah tersebut.

Rasulullah mengajarkan kita untuk berharap. Rasulullah tidak pernah mengajarkan kita untuk berputus asa, misalnya dengan mendoakan turun azab untuk sebuah daerah yang memiliki dosa berjamaah.

Contoh harapan paling indah dari Rasulullah adalah saat peristiwa Thoif.

Di kota Thoif, dakwah Rasulullah dihinakan. Rasulullah dilempari oleh batu sampai sejauh tiga mil keluar dari kota Thoif.

Malaikat penunggu gunung menghampiri Rasulullah yang tengah memulihkan diri akibat berdarah-darah disambiti batu oleh penduduk kota Thoif.

“Wahai Rasulullah, seandainya engkau bersedia, akan aku timpakan gunung ini ke kota Thoif tersebab kedurhakaan mereka atas risalah yang engkau bawa.”

Apa jawaban Rasulullah?

Mungkin jika kita yang di posisi beliau, sambil menahan nyeri dari segenap luka berdarah yang mengucur, kita akan menyahut :

“Ya! Timpakan saja gunung kepada mereka! Mereka kaum yang tidak tahu diuntung!”

Untungnya Rasulullah tidak sepicik kita, sambil memulihkan luka-lukanya, beliau bersabda :

“Jangan! Sesungguhnya aku berharap akan lahir dari keturunan mereka orang-orang yang menegakkan agama ini.”

Sebuah kalimat penuh cinta yang sangat-sangat tulus meluncur dari lisan Muhammad Rasulullah. 

Sebuah kalimat pengharapan yang menendang jauh-jauh peluang diazabnya penduduk kota Thoif.

Sebuah kalimat, yang darinya kita berkaca.

Sudahkah kita menjadi ummat Rasulullah yang penuh harap?

Sudahkah kita menjadi ummat Rasulullah yang tidak terburu-buru menjatuhkan keinginan azab?

Kedua, konsekuensi dari kalimat “Azab ditangguhkan bagi ummat Rasulullah” adalah bahwa kita hendaknya berpartisipasi aktif. Bukan hanya berharap.

Kita diminta aktif terlibat melakukan perbaikan di masyarakat. Bukan mengutuk, lalu malah mendoakan azab.

Tidak, jangan seperti itu.

Rasulullah menginginkan kita terjun melakukan perbaikan amal-amal nyata di masyarakat. Untuk itulah saya pribadi tidak setuju pemikiran Imam Samudera.

Imam Samudera adalah terdakwa bom di Bali yang menganggap bahwa Bali pantas dibom karena tempat yang penuh dengan dosa berjamaah.

Tidak!

Tidak ada tempat yang tidak bisa ditumbuhkan harapan. Seperti kota Thoif, saya yakin jika Rasulullah masih hidup pun hingga saat ini, beliau akan mendoakan pulau Bali untuk melahirkan generasi pejuang Islam di masa depan.

GEMPA LOMBOK DAN KEMISKINAN KITA UNTUK BERSIMPATI

Lalu setelah kita memahami cara pandang terhadap sebuah bencana alam, apa yang seharusnya kita lakukan?

Apa yang harus kita lakukan adalah sebuah kalimat yang sesungguhnya menunjukkan tipisnya keimanan kita.

Sebuah teguran bagi kita semua. Betapa jauh kita dari sahabat Rasulullah yang ketika sungai mengering pun mereka buru-buru shalat taubat.

Astaghfirulloh. Iya, betul. Hal pertama yang harus kita lakukan adalah bertaubat, istighfar atas segala dosa-dosa kita.

Bencana alam apapun itu adalah bukti kekuasaan Allah yang tak terbantahkan lagi. Apa yang membuat kita masih berani melawan perintah-Nya? Apa yang masih membuat kita masih nyaman melaksanakan maksiat?

Astaghfirulloh. Astaghfirulloh.

Sejatinya mu’min itu adalah satu tubuh, jika satu anggota tubuh terluka, maka anggota tubuh yang lain akan ikut merasakan.

Oleh karenanya langkah yang wajib kita lakukan tentu menggalang bantuan untuk saudara-saudara kita yang terdampak gempa bumi ini.

Apa yang bisa kita lakukan, maka lakukanlah atas dasar keimanan, atas dasar persaudaraan Islami. Lombok utara sebagai pusat gempa adalah sebuah daerah dengan mayoritas penduduk beragama Islam.

Lalu, sebuah kesinisan menyeruak. Apakah jika musibah menimpa teman-teman kita dari Nasrani maka kita tidak wajib membantunya?

Jika Rasulullah beranggapan demikian, maka negeri-negeri Nasrani sudah hangus binasa sejak dahulu kala.

Tetapi Rasulullah selalu mengajarkan kita untuk berhubungan baik dengan semua orang dari agama manapun.

Wa bil khusus untuk Nasrani, saya jadi teringat sebuah kisah yang menghangatkan hati.

Konon Rasulullah pernah ditanya keberpihakannya atas perang yang tengah terjadi antara pasukan Romawi dan Persia oleh para sahabatnya.

Rasulullah bersabda bahwa dia memiliki harapan agar kaum Romawi yang menang karena mereka adalah saudara jauh umat Islam.

Ya, mereka adalah kaum nabi Isa yang terpelanting jauh dari prinsip dasar tauhid. Mereka adalah saudara kita yang menolak kebenaran hadirnya Rasulullah sebagai penyempurna risalah mereka.

Ah, maafkan saya yang jadi kemana-mana pembahasannya.

Mari kita kembali ke Lombok, sebuah pulau yang indah, yang kini menjadi perhatian dunia karena gempa yang menimpanya.

Sesulit-sulitnya kita untuk berdonasi, minimal kirimkanlah doa. Doa agar mereka yang terdampak bencana ini dikuatkan oleh Allah.

Doa agar mereka yang kehilangan harta bendanya disabarkan oleh Allah. Sungguh, doa adalah senjata orang-orang beriman.

Siapa yang menyepelekan doa maka dia menyepelekan Allah.

Maka, kini saatnya kita menjangkau yang kita bisa. Kerahkan dana, waktu, dan doa bagi saudara-saudara kita di sana yang terdampak bencana gempa bumi.

Yakinkan diri kita sendiri bahwa bencana gempa bumi ini adalah momentum kita untuk belajar taubat. Memperbanyak istighfar.

Melihat deretan maksiat kita, menyesalinya, dan bertekad sungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya.

Semoga kita menjadi bagian dari umat Rasulullah yang saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran.

Amiin. Amiin. Amiin. Ya Robbal’Alamin.



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "GEMPA BUMI DI LOMBOK DAN TIPISNYA KEIMANAN KITA"

Comment