SELEMBAR IJAZAH DAN STATUS IBU RUMAH TANGGA



Hari-hari ini para mahasiswa baru UI sudah memulai rangkaian acara penerimaan di kampus. Mulai dari registrasi, latihan paduan suara, sampai orientasi belajar mahasiswa atau OBM. Hal-hal semacam ini membawa saya nostalgia tentang masa perkuliahan dahulu kala. Lebih tepatnya lagi saya ingin bernostalgia sambil melihat ijazah saya. Selembar kertas penanda bahwa saya adalah lulusan kampus Universitas Indonesia.

Oiya, di mana ya ijazah saya? Saya baru menyadari bahwa hari-hari saya sebagai ibu menjadikan saya tidak terlalu perhatian tentang ijazah saya. Satu, sebagai seorang ibu, saya tidak membutuhkan ijazah saat proses penerimaannya. Dua, ini sih alasan saja yang sebetulnya kebiasaan saya lupa meletakkan barang sudah sampai pada taraf akut. Hehehe.

Jadi, dimanakah ijazah saya berada? Hamdallah ijazah saya ada! Hore! Sempat terlupa di mana tempatnya akhirnya saya menemukan ijazah saya saat membantu ibu saya mencari berkas kelengkapan pensiunnya. Fyuh.

Akhirnya ketemu juga dirimu, wahai ijazahku.

:’)

Sempat berdebu dan terlupa, sejujurnya ada banyak pikiran melesat di otak saat melihat ijazah saya itu. Selembar kertas semi tebal dengan tanda tangan rektor UI di sana. Di baliknya ada foto saya sebagai pemilik sah ijazah tersebut.

Ah, waktu.

Sebelas tahun sejak pertama saya menjejakkan kaki di UI. Ijazah ini adalah perlambang banyak hal dimulai sejak saat itu.

Diawali dari keteguhan hati. Ya, pada masanya saya sangat teguh akan pendirian memilih jurusan Psikologi di UI. Saat teman-teman berpikir mencoba semua jalur, atau beberapa jalur penerimaan universitas lain, saya bergeming.

I WANNA UI SO BAD. PLEASE!

Tentu saja sikap ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari sikap ini membuat saya jauh dari kebingungan. Saat jadwal bergulir, formulir berdatangan, saya sama sekali tidak bingung menentukan pilihan. Saya cuma ingin UI. Itu saja sudah cukup.

Walaupun sempat membawa pulang formulir UNDIP dan UNBRAW ke rumah. Tapi setelah berdiskusi lagi, ibu saya meyakinkan untuk mengembalikan formulir-formulir tersebut. Yap, keesokan harinya saya mengembalikan ke guru BK sambil meminta maaf tidak bisa mengikuti seleksi di universitas tadi.

Kekurangan dari sikap teguh memilih jurusan ini adalah it’s kinda like an obsession to me. Kita harus berhati-hati saat memiliki suatu tujuan yang sangat kuat di depan mata kita. Apakah kita sudah menuhankannya? Apakah kita sudah menjadikannya sesuatu yang kita harapkan melebihi harapan kepada Allah?

So pada titik itu saya melakukan simulasi jika saya gagal diterima di UI. Saya meminta saran kepada ibu saya apa langkah yang harus saya lakukan. Dan jawabannya adalah ikut lembaga kajian/hafalan Al-Qur’an sambil melanjutkan bimbel menuju ujian tahun berikutnya.

:”)

Saya jadi tenang pada saat itu. Tidak ada lagi kekhawatiran. Bismillah, lolos ga lolos saya sudah siap masuk UI. EH, Hihihihi. Ya, kira-kira gitu sikap saya pada saat itu. Saya menyiapkan pilihan saat tidak lolos tapi seluruh mindset saya bersiap dan berupaya untuk lolos.

Ah, ijazah.

Selembar kertas sepertimu bisa membawaku kembali ke masa lalu. Seperti masa-masa di mana pengumuman itu tiba juga :

Saya diterima di Psikologi UI! WAAAAA! Perasaan saya waktu itu sangat-sangat gembira. Saya masih ingaat keesokan harinya saat bangun tidur saya tersenyum padahal saya belum ingat itu hari apa. Masih setengah tidur gituloh. Tapi alam bawah sadar saya membawa saya pada kebahagiaan detik itu juga.

I’m really really happy.

Lalu semester demi semester. Kuliah demi kuliah yang sejujurnya sangat menyenangkan saat pemaparan teori tetapi kadang saya terkapar saat pengerjaan tugas. Huft. Saya tidak mau menyalahkan siapa-siapa.

Aaak. Masih terbayang keseruan tugas dan perkuliahan dulu. Membuat saya terharu saat menatap kembali ijazah saya. I’ve made it. I’ve passed it. Walau dengan berjibun tugas, organisasi, amanah dakwah, tapi bisa lulus tepat waktu 4 tahun itu sebuah kesyukuran.

Murni untuk membahagiakan orang tua saya yang udah kesana-kemari memperjuangkan anaknya bisa kulian di UI. 

ALHAMDULILLAH.

Ah, ijazah. Jadi apa manfaatnya kamu bagi status seorang ibu yang kini disandang oleh seorang dea? Saya sempat bertanya-tanya.

Apakah benar seorang ibu rumah tangga tidak memiliki benefit apa-apa dari ijazahnya? Tidak. Justru seorang ibu rumah tangga memiliki banyak benefit dari ijazahnya itu.

Saat dirimu lelah menghadapi anak-anak, pandangilah ijazahmu, Bu. Itu bukti ketegaranmu.

Saaat dirimu tidak nyaman menghadapi pandangan orang-orang, pandangilah ijazahmu, Bu. Itu bukti kecerdasanmu.

Saat dunia seolah sedang tidak adil kepadamu, pandangilah ijazahmu, Bu. Itu bukti Allah memberimu nikmat berkuliah.

Saat hati terasa sedih, galau, gundah, pandang sekali lagi ijazahmu, Bu. Bukan untuk menye-menye nostalgia, tetapi untuk merangkum satu kalimat ketundukan :


Ya Allah, Engkau selalu baik. Semua takdir-Mu itu baik. Ijazah ini adalah lambang dari banyak hal baik dari dalam diriku. Jadikan aku seorang ibu yang bertahan dalam kesyukuran ya Allah… Jadikan aku seorang ibu yang bertahan pada prasangka-prasangka baik…


:’)


Ijazah,
Thank you so much for reminds me about how strong, brave and smart I am.

:’)

Ya Allah,

Alhamdulillahirabbil’alamin


Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "SELEMBAR IJAZAH DAN STATUS IBU RUMAH TANGGA"

Fajrie mengatakan...

Nice post ded, katanya puncak ketakwaan addalah disaat kita bisa tetap terus bersyukur pada Allah atas apapun yg terjadi, ibaratnya dah cinta mati jadi apapun yang Dia lakukan bener dan buat kebaikan kita. Semangat terus dedd!

dea alias dey mengatakan...

SETUJUUU JRUUUNG!!! :)

Comment