Malam hari merayap pelan mengantarkan manusia-manusia di bawah langit untuk beristirahat. Ya, sejenak merebahkan tubuh demi menjemput secuil kesegaran agar besok ketika matahari menyapa mereka bisa pura-pura siap menghadapi kenyataan.
Begitu pula dengan Utara, harusnya dia beristirahat. Tapi
ketidaktenangan-nya beberapa pekan belakangan ini harus dituntaskan malam ini juga.
Utara membuka perlahan, dilihatnya sosok sang istri, Marina,
berjingkat perlahan keluar kamar tidur mereka. Utara mengerti, inilah saatnya.
Inilah saat di mana Marina menelpon seseorang dengan telepon
genggam miliknya lalu menangis menceritakan semuanya. Semua yang terjadi di
hari itu, semua perasaan yang bergejolak di hatinya. Lalu mengusap air matanya
dan kembali lagi ke kamar tidur untuk tertidur dua atau tiga jam sebelum anak-anak mereka menyerbu kamar orangtuanya.
Utara bukan laki-laki pencemburu.
Dia hanya tidak suka
istrinya berbagi kisah kesehariannya dengan selain dirinya. Cemburu kah ini
namanya? Kalau iya kalau begitu Utara tidak mengapa mendapat cap lelaki
pencemburu.
“Haloo? Iya ini aku, Marina. Aku ingin bercerita episode
kehidupanku di hari ini…. Semua yang terjadi akan kuceritakan sekarang….
Kuharap kamu mau mendengarkannya sampai selesai. Aku berterimakasih banyak
kepadamu karena mau mendengarkan aku. I’m
forever grateful for this.”
Utara menunggu Marina menyebut nama sosok di ujung telepon
itu. Dia tidak yakin apakah Marina pernah menangis sepuas itu saat bercerita
sesuatu kepadanya. Pernikahan mereka memang baru berjalan 9 tahun. Tapi selama
9 tahun ini Utara yakin sekali bahwa Marina selalu bercerita apapun kepadanya.
Kini semua berubah.
Hampir setiap malam Marina bangun di tengah malam, keluar
kamar lalu berbicara dengan seseorang melalui telepon genggamnya.
Utara mendekatkan telinganya pada pintu kamar tidur mereka
yang berbentuk pintu geser itu. Salah
satu keunggulan pintu geser selain menghemat ruangan, dia tidak kedap suara.
Ya. Utara berniat menguping pembicaraan istrinya pada malam ini.
“Hari ini..hmm, hari ini..bagaimana aku mengatakannya ya?
Keinginan aneh-aneh itu sudah tidak sehebat kemarin-kemarin lagi. Entah karena
aku menurunkan ekspektasi terhadap anak-anak ataupun karena aku sudah cukup
tidur. Tapi kurasa aku membaik sepuluh persen pada hari ini.”
Utara merasa senyuman Marina di ujung kalimat itu. Utara
sangat mencintai istrinya. Dia rela melakukan apapun demi kenyamanan istrinya.
Meskipun itu slit, jika itu keinginan Marina maka Utara akan melakukannya.
Semua demi Marina.
Marina yang dia cintai dalam-dalam.
Sedalam palung Marina. Dulu Utara sering mengatakan candaan itu
kepada istrinya. Dulu. Iya, dahulu. Saat Marina masih sering tersenyum.
“Aku tidak merasakan numb seperti hari kemarin. Sejujurnya
iya aku masih merasakan kehampaan yang sulit kudefinisikan. Tapi kupikir dengan
tidak adanya niatan self-harm itu sudah cukup lumayan…iya, kan, lumayan? Aku
malah jadi bertanya begini ya, payah….”
Utara bersandar pada pintu kamar sembari merenung saat
mendengar kalimat dari Marina itu. Dia tahu masa lalu Marina. Dia sangat-sangat
tahu kondisi keluarga Marina. Dia pikir cintanya yang sedemikian besar cukup
untuk membuat Marina hanya bercerita kondisi depresinya kepadanya.
Hanya kepadanya seorang.
Ternyata, tidak.
Kini Marina menceritakannya juga kepada sosok di ujung
telepon itu.
Untuk apa? Utara tidak pernah melarang Marina. Utara hanya
khawatir orang-orang yang dijadikan subjek bercerita tentang depresinya tidak
membuat Marina lebih lega.
Utara mencintai Marina dan dia hanya ingin emastikan Marinya
selalu aman dan yaman, meskipun dalam kondisi depresi…
“Tapi…. Meskipun situasi hari ini membaik, aku ingin
mengakui sesuatu. Sesuatu yang sangat penting. Aku…masih ingin melakukan
sesuatu, sesuatu yang tidak fatal, tapi mungkin melanggar adat-istiadat dan
kebiasaan sebagai seorang ibu dan istri…”
Ada jeda setelah itu.
Marina mulai menangis.
Setiap Marina menangis, hanya satu yang diinginkan Utara : mencium pipi dan bibirnya. Semua untuk menghapus air mata di wajah cantiknya itu. Dan juga karena Utara sejujurnya tidak pernah tahan melihat Marina menangis.
Tidak tahan karena ia juga ingin menangis detik itu juga...
“Kamu kenapa selalu
mengusap air mataku sihhh setiap aku menangis, Raaaaa. Huhuhuhu…Huhuhuhu”
“Di dalam kehidupanku
aku hanya punya dua perempuan, Mar. Ibuku dan kamu. Saat ibuku menangis aku
hanya ingin menghantam siapa saja yang telah membuatnya menangis. Tapi kalau kamu
yang menangis. Geez. Aku sendiri ingin ikut menangis bersamamu, Mar.”
Ya. Di dalam kehidupan seorang Utara, hanya ada dua
perempuan.
Yang pertama selalu membuatnya gagah berani, yaitu ibunya.
Yang kedua selalu membuatnya memeluk merentangkan tangan, ikut
menangis, dan mencium pipi dan bibirnya, yaitu Marina, perempuan yang dinikahinya sembilan tahun lalu. Hanya dia. Hanya istrinya.
“Aku, aku..ingin pergi..pergi sejauh-jauhnya..dari Utara,
dari rumah ini, dari anak-anak, dari kehidupanku..bisakah kamu membantu?”
Hati Utara terasa tertikam oleh sebilah belati. Selingkuhkah
Marina darinya?
“Ah, kurasa saat kamu mendengar ini semuanya sudah membaik,
iya, kan? Benar begitu, kan? Semuanya sudah membaik? Aku yakin begitu….dan aku
yakin saat kamu mendengar ini kamu sudah memahami segala yang terjadi dimasa
kecilmu, duhai Taruna-ku tersayang…Ibu mencintai kamu, selalu mencintai kamu,
meskipun kabut di kepala Ibu sering menghalangi Ibu untuk menikmati kehidupan,
Ibu sangat mencintai kamu, Nak…”
Taruna? Anak sulung mereka? Jadi kepada dia-kah selama ini
Marina menceritakan kisah kesehariannya? Merekam untuk Taruna di masa depan?
“Maafkan Ibu hanya bisa menceritakan kisah ini secara kilas
balik seperti ini, Taruna… Ibu berusaha setiap harinya menjadi Ibu yang lebih
baik dan lebih baik lagi. Tapi ini semua Ibu dokumentasikan melalui rekaman
agar suatu hari nanti kamu mengetahui Ibu lebih mendalam lagi…. Tentang semua
kejadian yang terjadi ketika kamu kecil, itu pasti ada alasannya, Taruna…”
Utara memejamkan mata, kini hatinya benar-benar terasa
teriris-iris. Ada kalanya Marina memang tidak mampu mengendalikan gejolak emosi
yang mendalam di hatinya.
Selain jarang tersenyum, Marina juga kerap detach dari anak-anak mereka. Tidak ada
menyakiti. Hanya seorang Ibu yang berjarak. Utara memahaminya, berusaha
sebaik-baik memahaminya.
“Maafkan Ibu, Taruna… Maaf, Ibu jarang tersenyum. Maaf Ibu
tidak ceria seperti Ibu yang lain. Maaf juga kalau Ibu sering kehilangan
motivasi bemain dengan kamu, Ibu meminta maaf, sangat-sangat maaf…. Ibu janji,
Ibu akan berusaha untuk pulih. Ibu akan melawan suara-suara di kepala Ibu yang
menyuruh Ibu pergi dari rumah ini karena tidak layak menjadi Ibu…”
Utara menengadah, menatap langit-langit kamar tidur mereka. Ada
bayangan Marina di kepala Utara, nyaris setiap hari Utara mengingatkan betapa
cantik dan betapa berharganya Marina.
Setidaknya begitulah Marina bagi seorang Utara. Cantik,
berharga, dan tanpanya maka kehidupan seorang Utara tidak akan pernah lagi bisa
berjalan.
“Ibu tidak ingin pergi dari sini. Dari kalian, dari kamu,
dari ayahmu dan adikmu. Tidak… Ibu ingin bertahan, satu hari demi satu hari. Meski
berat, setidaknya Ibu terus mencoba, iya, kan?”
Utara memutuskan untuk kembali ke tempat tidur mereka.
Ditariknya selimut dan dicobanya memejamkan mata. Pagi-pagi sekali besok dia
ingin mempersiapkan sesuatu untuk Marina istrinya.
-KEESOKAN HARINYA –
Marina mengangkat bak berisi cucian yang telah siap dijemur
menuju halaman depan rumah mereka. Dia berniat untuk menjemur sebelum mahatari
siang sebagus ini terusir oleh awan mendung. Di teras rumah, Marina melirik
sepasang sepatu miliknya.
Sepatu itu tampak sangat bersih, terlalu bersih. Kemarin
sepatu itu kotor akibat anak-anak memainkan tanah sampai ke rak sepatu mereka.
“Ra, sepatuku…”
“Ya, Mar? Sepatumu kenapa? Bersih, kan? Sudah dicuci oleh
secret admirer kamu alias akuu…”
Utara berbisik di telinga Marina. Sepenuh hati, segenap
cintanya akan dia kerahkan demi membuat Marina bertahan sehari lagi melawan
depresinya.
“Ra..kamu kenapa tiba-tiba nyuciin sepatu aku ya ampunn”
“Gapapa Mar, aku kepinign aja, ala-ala prince yang
memakaikan sepatu kaca ke princess-nya tapi ini bedanya bukan memakaikan tapi
mencucikan, hehehe. Sekarang sepatu tuan putri Marina sudah siap dipakai, tapi
kalau mau jalan, harus sama aku, pangeran siap mengantar tuan puteri kemanapun
tuan puteri hendak pergi”
“Araaa ya ampuuun”
Utara memeluk istrinya erat-erat.
Satu pagi lagi, Mar. Satu hari lagi.
Dan aku akan berada di sisimu, seperti ini, sedekat ini,
agar kamu yakin selalu ada yang membutuhkanmu, jangan pergi dariku, selamanya
jangan pernah pergi meninggalkanku, Marina….
Belum ada tanggapan untuk "From Utara With Love (Cerita pendek)"
Posting Komentar