Sekolah itu
berdiri di pinggir jalan yang hiruk pikuk kendaraan. Kamu mengibaskan tangan,
berusaha mengusir debu-debu jalanan yang mampir ke depan hidungmu.
Agak
bersicepat, kamu masuk ke dalam bangunan sekolah itu untuk menuju ke deretan
kelas 2.
Ada banyak
anak-anak yang riang gembira meuju pagar. Ini pukul 2 siang, kamu mengerti
bahwa anak usia SMA menganggap jam pulang sekolah adalah kenikmatan surgawi
yang tidak ada lawannya.
Kamu sama
sekali tidak marah saat ada segerombolan anak nyaris menghantam tubuhmu saking
mereka berlari dengan cepatnya.
“Ups, sorry,
sorry, sorry ya Tante,” ujar anak itu sambil kembali berlari menuju pagar
sekolah.
Kamu
tersenyum simpul. Kamu melanjutkan pencarianmu menuju deretan gedung kelas 2.
Di depan
kelas 2-6 kamu berhenti lalu menata perasaanmu. Terdengar riuh-rendah anak-anak
dari dalam kelas.
“Wooy, siapa
neh yang piket hari ini?”
“Si
Rajikun!!”
“Jangan
bolos piket lagi lo hey Rajiiiii!”
“Nggilani
emang tu anak satu, sekolah bolos, piket juga bolos, dasar ga ada otakkkkk”
“Siaaaal,
siapa yang matahin sapu nehh, gue jadi ga bisa nyapu gimana iniiii?”
Sesosok anak
laki-laki keluar dari kelas, tampak tidak terganggu perdebatan heboh di
kelasnya, ia berjalan menyandang tas sekolahnya. Mengenakan baju kemeja putih lengan
pendek dan celana abu-abu khas SMA, dari belakang kamu belum bisa melihat
wajahnya.
Namun, kamu
refleks memegang dadamu saat anak laki-laki itu muncul. Seolah ada denyut yang
berbeda yang menghantam hatimu. Hatimu terasa sakit namun sekaligus juga
bahagia di dalam satu waktu.
That’s him.
Ada perasaan
kuat yang mengikuti hubungan kita, di dimensi waktu manapun kita berada,
pikirmu. Dalam diam kamu mengikuti anak itu. Berjalan menurun undakan tangga,
berbelok ke kiri menuju rungan memanjang bertuliskan ‘perpustakaan’, anak
laki-laki itu membuka sepatunya dan meletakkan tasnya di ubin putih pelataran
yang dibatasi pagar kayu kecil.
Kamu
berbelok ke kanan dan menuju kelas tepat di seberangnya. Duduk di bangku di
depan kelas, kamu menatap anak laki-laki itu.
“Jangan tinggalkan aku, kumohonn…”
“Maafkan aku, aku tidak pergi
meninggalkanmu, aku membebaskanmu..hiduplah dengan bahagia, lebih bahagia
daripada saat bersamaku, berjanjilah, Laura!”
“Tidak, tidak, tidak, jangan pernah
berpikir aku akan berbahagia daripada saat bersamamu. Tidak!”
“Laura, aku sudah menandatangani
surat penolakan intervensi medis itu. Hadapilah ini dengan keberanianmu yang
selalu membuatku terpukau itu, ajalku telah tiba, Laura…”
Kamu
menghela nafas. Kamu benci dia mengatakan keberanianmu adalah hal yang membuatmu
terpukau.
Tapi di
sinilah kamu, membuktikan sekali lagi keberanian lebih seringnya mengantarkanmu
pada hal-hal absurd.
Kamu menatap
anak laki-laki itu. Wajahnya kini terlihat jelas, duduk bersila sambil
bersandar di tiang pelataran perpustakaan, anak laki-laki itu tampak khusyuk
membaca sebuah buku. Dasar si kutu buku, pikirmu.
Wajah anak
laki-laki itu persis seperti yang kamu lihat di album foto. Terasa
membahagiakan melihat versi mudamu seperti ini, Rik, bisikmu dalam hati.
“Aku akan memanggil dokter dan
membatalkan perjanjian bodohmu itu dengan pengacaraku, kita sudah sepakat,
Erik! Kita akan berjuang sampai habis-habisan melawan kankermu ini!”
“Laura, hadapilah dengan gagah
berani…. Aku sudah tiba di ujung kisahku. Dan aku tidak mau membebanimu.”
“Shit! Kamu pikir siapa bisa membuat
keputusan segila itu tanpa meminta saranku, Eriik? Aku istrimu! Istrimu,
ERIK!!”
Ada air mata
membayang di kelopak matamu. Pandanganmu tak bergeser dari anak lelaki itu. Dia
masih membaca buku sambil bersandar di pelataran perpustakaan.
Model
rambutnya yang belah tengah membuatmu ingin terbahak-bahak detik itu juga. Tapi kamu berpikir dengan jujur bahwa seperti apapun gaya rambutnya, Erik selalu membuatmu terpesona, luruh dalam hangat tatapannya.
“Apa kamu benar-benar yakin kamu akan
melakukan ini, Laura?”
“Sangat yakin. Seratus persen yakin.
Kirim aku ke masa lalu sekarang juga”
“Tapi kamu bisa mengalami perpecahan
dimensi dan gagal kembali ke dimensi masa ini, Laura. Apa kamu mengerti
besarnya resiko proses dari mesin waktu ini? Kamu bisa tewas, LAURA!”
“Bagus, kan? Aku bisa menyusul Erik,
toh sudah tidak tersisa apa-apa lagi bagiku di sini begitu Erik meninggal dunia….”
“Ada anak-anakmu, kamu harus
mengingat mereka juga, Laura! Oh for god’s sake, please, Laura”
“Mereka akan aman bersama orang tua
Erik, toh sudah dari lama mereka ingin mengasuh cucu-cucunya.”
“Jangan bilang kamu melakukan ini
karena putus asa, please, Laura, pertimbangkan sekali lagi masak-masak. Proses
dimensi waktu ini bisa jadi perjalanan satu tiket, dan aku tidak mau kehilanganmu.”
“Tom, kumohon, please? Kamu tidak
tahu seperti apa mimpi-mimpi burukku merenggutku dari kenyataan semenjak Erik
meninggal, bukan? Kumohon, Tom…sebagai sahabat Erik dan juga sahabatku, kumohon…”
Kamu membuka mata dan anak laki-laki itu hilang dari pandanganmu. Tas dan bukunya tergeletak, masih ada, di pelataran perpustakaan.
Kamu berdiri dan mencari
sosok anak laki-laki itu. Apakah dia pergi menuju lapangan? Bukankah Erik
cerita bahwa dia juga menyukai olahraga futsal saat masih muda?
Kamu berdiri
untuk menuju ke lapangan, ah, di mana lapangannya, kamu hendak bertanya ke
salah atu anak yang lalu lalang saat anak laki-laki itu berdiri di sana, tepta
di hadapanmu.
Kedua mata
anak laki-laki itu menatapmu dalam-dalam.
“Maaf,
apakah saya mengenal Tante?”
Suara itu,
suara Erik, dan kamu merasa ingin memeluknya saat itu juga. Tapi apalah yang
akan dipikirkan anak itu saat ada tante-tante 37 tahun memeluk remaja 17 tahun.
“Err, tidak.
Kamu tidak mengenal saya.”
Kamu
memutuskan lebih baik berbohong, sekarang dan seterusnya. Pengecut, dulu kamu
pikir hanya kamu yang tahu fakta bahwa kamu pengecut. Namun kini Erik juga
tahu, setidaknya versi masa mudanya di dimensi waktu ini.
“Oh, begitu.
Karena saya melihat Tante duduk dari tadi menatap saya sambil berkaca-kaca. Saya
pikir saya mengingatkan Tante pada siapa, anak Tante mungkin, kalau begitu
boleh saya bertanya kenapa Tante menatap saya? Apa Tante tersesat dan hendak
menuju sebuah ruangan di sekolah ini?”
“Tidak, saya
tidak tersesat. Maaf, maafkan saya yang telah menatap kamu. Kamu hanya
mengingatkan saya pada anak saya. Iya, begitu.”
“Sudah saya
duga. Anak Tante usia berapa sekarang?”
“Empat belas,
ya dia berusia empat belas tahun. Matamu dan rambutmu mirip dengannya. Saya
sedang mencari-cari calon SMA terbaik untuknya makanya saya ke sini ”
Kali ini
kamu tidak berbohong. Rega putra sulung kalian memang berusia 14 tahun. Dengan
senyum yang sama, setiap hari menatap Rega setelah kepergian Erik berarti satu
penderitaan baru untukmu.
Anak laki-laki
itu mengangguk dan pamit hendak kembali ke perpustakaan. Tidak lupa dia menitip
salam untuk anakmu.
Kamu menggigit
bibir bawahmu keras, ada setitik darah terasa, itu kebiasaanmu jika menahan
luapan emosi yang bergejolak di dadamu.
Langit cerah
terasa menertawakan penderitaanmu di siang hari itu. Kamu berbalik berjalan
menjauhi anak laki-laki itu.
Setengah mati
kamu berlari dengan cepat untuk keluar dari gedung sekolah itu. Di saat yang
bersamaan ada sebuah mobil melaju dengan kencang menghantam tubuhmu. Terpelanting ke
udara kamu memejamkan mata.
Kamu tidak
tahu akan begini akhir kehidupanmu…di dimensi waktu yang berbeda, sehabis
bercakap-cakap dengan versi muda suamimu, kamu menghantam aspal jalan raya
dengan sangat-sangat keras.
Belum ada tanggapan untuk "SOUL-CRASH (Cerita pendek)"
Posting Komentar