MARINA
Dear diary…
Apa yang bisa kukatakan kali ini? Aku runtuh dalam kubangan
kesedihan. Aku tahu adalah sebuah kesalahan membuka kotak masuk pesan pada
ponsel suamiku. Pada situasi seperti ini, itu sama sekali tidak membantu.
Dear diary…
Malam hari ini kuputuskan aku akan sejenak menepi dari dunia
yang hiruk-pikuk di kala pandemi ini. Sekadar untuk meresapi bahwa aku tidak
kuat-kuat amat ternyata. Apakah seorang ibu harus selalu kuat? Karena kalau iya
maka aku akan mengundurkan diri detik ini juga sebagai ibu.
Dear diary…
Kotak masuk pesan pada ponsel suamiku tidak menunjukkan
apapun selain pesan ibundanya bahwa dia masih mengingat jelas detik-detik di
saat aku melahirkan Taruna, putera pertamaku. Kalimatnya sendiri tidak
menghakimi, hany amemaparkan fakta. Namun mampu membuatku diam membisu lalu
seolah terjatuh ke dalam lorong hitam tak berdasar.
Dear diary…
Aku sudah meminta maaf kepada suamiku atas semua
kesalahanku. Ajaibnya dia tahu bahwa aku telah membaca kotak masuk ponselnya. Suamiku
malah mencium kening dan bibirku!
Dear diary…
Aku tidak membalas pelukan suamiku. Dia berbisik bahwa semua
bisa diperbaiki, termasuk post-partum depression yang telah aku alami.
Dear diary…
Apakah ini saatnya aku mengakui bahwa untukku tidak ada
cinta sejati? Dan aku harus mengembalikan suamiku kepada ibunya? Seolah-olah
suamimu adalah benda, Mar…. Oh, Tuhan, aku lelah sebenarnya, tapi telah kutulis
kalimat penyemangat di dinding dapur “Marina, I’m proud of you for still being
here”. Dan aku tahu aku akan baik-baik saja jika melakukan ini sedikit-sedikit.
Satu jam demi satu jam.
Dear diary…
Yang kumaksudkan adalah hidup. Kehidupan. Aku akan baik-baik
saja dan masih bisa melakukan semua ini jika kulakukan sedikit demi sedikit. Kupikir
begitu. Dan aku rasa sedemikian keras aku mencoba, Tuhan pun akan sedemikian
keras membantuku.
Dear diary...
Kupikir aku gila jika merasa ada banyak yang mendoakan kehidupanku. Tapi aku berterimakasih siapapun itu yang mendoakanku. Saat ini mungkin doa itu yang membuatku bertahan...
***
MADA
Bolehkah aku menghampirinya? Bolehkah aku mengatakan sesuatu yang akan kusesali nantinya?
Menatap sosok perempuan itu berjongkok dan
menangis di depan rumahnya sendiri membuatku ingin melakukan semua itu.
Tuhan, bolehkah aku titipkan dia sekali lagi kepada-Mu? Kumohon
jadikan suaminya baik-baik saja dalam menjaganya. Kumohon jadikan jiwanya tabah
menghadapi apapun beban yang menimpanya.
Aku pernah berdoa seperti itu.
Berkali-kaliSekali. Saat perempuan ini menikahi
lelaki pujaan hatinya. Dan tampaknya mereka masih kompak dan berbahagia.
Aku tahu ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada
perempuan ini. Tanggal kedatanganku ke home-base hanya satu kali dalam enam
bulan.
Dan setiap tanggal itu aku akan menghampiri rumah perempuan
itu. Sekadar menatap pagarnya sudah mampu membuatku kuat menghadapi 6 bulan
badai pekerjaan di kota teluk tersibuk di pulau kedua di negeri ini.
Tapi aku tidak kuat menatapnya menangis dari jauh seperti
ini.
Aku merasa tulangku dilolosi satu per satu.
Tidak pernah kuat.
Tidak akan pernah kuat.
Tidak bisa kuat.
Jika melihatmu langsung seperti ini, Mar...
Itulah alasanku mendukungnya menikah. Meski aku tahu
kamu, Marina, pernah menyimpan asa untuk berharap menerima lamaranku.
Oh, Mar, kita telah bersahabat sedemikian lama, masihkah kau
menyangsikan bahwa aku mencintaimu?
Mungkin akulah laki-laki pertama di dalam kehidupanmu yang
mencintaimu sebesar ini, di luar suamimu tentunya.
Tapi aku telah yakin aku menitipkanmu di tangan yang benar.
Suamimu lebih pantas menikahimu.
Tapi jangan salahkan aku jika belum bisa melupakanmu, Mar....
Gila.Ini benar-benar gila.
Kueratkan jaket dan kutarik nafas
panjang. Aku harus berbalik memunggungimu, dan juga rumahmu, sebelum aku melakukan
hal-hal bodoh.
Seperti menghampirimu, rumahmu, menelponmu,
tidak-tidak-tidak. Aku bahkan berhasil tidak menghubungi lebih dulu selama 9
tahun pernikahanmu ini.
“Mada apa kabar?”
Satu kalimat seperti itu cukup membuat satu tahunku
bercahaya dengan sempurna. Ya, Mar. Satu percakapan pendek, dua atau tiga kali di satu tahun selama sembilan tahun ini sudah
cukup membuatku yakin kamu baik-baik saja di sini.
Dan tampaknya memang suamimu dan kamu baik-baik saja.
Aku tidak yakin aku memahami saat kamu bercerita tentang
depresimu. Semoga aku salah, tapi kamu akan kuat melawan apapun, termasuk
depresi, Marina.
Aku mencintaimu, dan akan terus mencintaimu.
Aku tidak yakin kapan kamu akan mengetahui hal ini.
Tapi, lelaki sepertiku akan mencintaimu dari jauh.
Selalu begitu. Sudah sembilan tahun ini begitu.
Mar, aku pulang dulu. Mungkin nanti saat kamu menyapaku di chatting aku bisa pura-pura tidak tahu seperti biasanya.
Dan bersikap seperti Mada
sahabat sejati sejak SMA seperti biasanya.
Dengan bertanya seperti ini contohnya "Mar, fisik mental lu gimana?Aman?"
Tidak menanyakan kenapa kamu menangis pada malam ini
contohnya.
Marina, aku akan menjagamu, benar-benar selalu menjagamu dengan mendoakanmu.
Kupikir ini
terakhir kali aku menatap rumahmu dari kejauhan. Ini tidak sehat untukku, yang
hanya penggemar diam-diammu.
Terlalu dekat hingga mampu menatapmu saat menangis ternyata
sangat-sangat menyiksaku, Marina.
Belum ada tanggapan untuk " SOUL-BOND (Cerita pendek)"
Posting Komentar