“Yang ini aja deh.” Narin mengulurkan selembar jilbab ke pangkuan
Aryan. Aryan berhenti membalik-balik majalah di hadapannya.
“Okeh, ini bagus kok, Rin. Cantik warnanya. Aku atau kamu yang
ke kasir?”, tanya Aryan sambil mengembalikan majalah ke meja samping mereka.
“Aku aja. Tunggu yah.” Narin pun berjalan menuju meja kasir di
gerai busana muslimah tersebut.
Seorang perempuan muda, kasir gerai busana muslimaha tersebut,
menerima jilbab yang diulurkan oleh Narin.
“Sama semuanya jadi berapa, Mba, totalnya? Di sini bisa pake
debit kan yah.” Narin mengeluarkan kartu debit dari dompetnya.
“Totalnya jadi tiga ratus enam puluh tujuh ribu rupiah, kak.” Narin
pun memberikan kartu debit kepada mba-mba kasir tersebut.
Setelah selesai bertransaksi, Narin merasakan ada sentuhan
tangan yang lembut pada bahunya.
“Yuk, pulang?” Aryan berjalan sambil merangkul Narin. Mereka pun
berjalan keluar dan menuju parkiran mobil.
***
Sebulan tepat sudah
mereka pindah ke kota Depok ini. Bagi Narin, inilah kali pertama dia pindah
keluar dari kota kesayangannnya, Jogjakarta.
Tapi inilah juga Narin yang memenuhi surat wasiat Romo.
Huft. Narin selalu tahu bahwa Romo-nya adalah sosok yang penuh
rencana visioner.
Sejak Narin kecil, Romo sudah mempersiapkan saran-saran dan
langkah-langkah untuk kuliah Narin kelak.
Begitupun saat didiagnosis kanker otak stadium akhir. Romo bukannya
melemah semangat tetapi justru mempersiapkan segalanya untuk kehidupan Narin
setelah dia tiada.
Romo.. Tiba-tiba Narin merasakan kerinduan yang menyesakkan di
dadanya.
Walaupun sudah setengah tahun sejak wafatnya Romo, Narin
seolah masih bisa merasakan kehangatan sosok ayahnya itu.
Romo yang seorang arsitek. Romo yang selalu bisa diandalkan.
Romo yang sangat mencintai Ibu yang telah mendahului wafat meninggalkan mereka
berdua .
Romo… Narin pun menerima surat wasiat yang telah dipersiapkan
Romo dengan begitu rapihnya.
“Narinda putriku sayang.. Bidadari Romo yang sangat Romo
cintai, saat kamu membaca surat ini mungkin Romo sudah tiada. Tapi kamu jangan
bersedih, Romo selalu ingin melindungi kamu. Apapun keadaannya, Romo selalu
ingin ada yang menjagamu…..
Narinda putriku tercinta… Romo minta maaf kalau keputusan Romo
ini sangat-sangat egois di matamu. Romo ingin ada seseorang yang menjadi sosok
di sisimu saat Romo sudah tiada…
Narin, Romo telah menikahkanmu dengan seseorang. Aryanda
Kanaka. Adakah kamu masih mengingatnya? Dia putra sepupu Romo. Aryan adalah
jawaban dari doa-doa Romo, Narin..
Narin, Romo telah menikahkanmu secara agama. Urusan hukum
negara akan diurus oleh Aryan begitu dia berada di sisimu. Ah, Romo rasa kini dia
sudah ada di sisimu sekarang. Benar kan?
Narin, Romo mencintaimu. Romo ingin kamu mendoakan Romo meskipun
tahun-tahun berlalu. Doamu adalah pelita Romo di alam ini”
***
Narin menoleh seketika saat tangan Aryan yang hangat menyentuh
bahunya. Mereka masih berhenti di tengah-tengah kemacetan kota Depok. Narin buru-buru
mengusap air mata yang hendak mengalir. Pasti daritadi Aryan bingung kenapa dia
hanya diam saja.
“Oh, iya, kenapa, Yan?” Narin tersenyum kepada Aryan yang
masih menyentuh bahunya.
Aryan tiba-tiba melepaskan sabuk pengaman Narin.
“Sini, aku ingin memeluk kamu tiba-tiba”, ujar Aryan sambil
menarik Narin ke dalam pelukannya.
Narin terperangah seketika. Tetapi pelukan hanget Aryan
membuat airmatanya tak kuasa dibendungnya.
“Kamu ingat Romo ya?” Aryan melepaskan pelukannya dan menatapnya lembut.
“Iya….”
Sambil satu tangan kembali memegang kemudi mobil, Aryan
menggenggam tangan Narin.
“Kita jalan-jalan dulu yuk sebelum balik ke apartemen. Gimana?”
“Eh?” Narin membenarkan sabuk pengamannya lagi. Bukankah apartemen
mereka sudah berada di depan mereka.
“Kamu mau kemana? Mall? Nonton bioskop?”
Aryan sedikit membelokkan kemudi mobil ke arah kanan menjauhi
jalur kiri, jalur masuk ke apartemen mereka.
“Aku ngikut aja Yan, lagi bosen juga ke Mall nih.” Narin menatap
sosok Aryan di sampingnya.
“Okeh, kamu ngikut aja okeh? Duduk yang tenang ya Nyonya
Aryanda. Saya siap mengantarkan anda ke sebuah tempat yang benar-benar,
sungguh-sungguh, sangat-sangat, ah menakjubkan!”
Narin tersenyum lebar sambil melirik Aryan. Mereka dalam tahap
penjajakan, begitu Aryan memulai obrolan pertama sesaat setelah Narin membaca
surat wasiat Romo.
Aryan tidak pernah memaksa Narin mengesahkan pernikahan mereka
di hadapan hukum negara. Narin mengingat kembali kalimat Aryan waktu itu.
“Andaikan pun kita membatalkan pernikahan ini sekarang, tidak
akan merugikan siapapun, Narin. Aku hanya datang karena memenuhi janjiku kepada
ayahmu. Kamu pasti butuh waktu untuk menerima semua ini. Aku ada di Jogjakarta
dalam waktu yang tak terbatas. Kamu bisa mengambil waktu untuk berpikir dan
memberitahuku apa sikapmu terhadap pernikahan ini.”
Narin hanya bisa terpaku menatap sosok lelaki di hadapannya. Mengapa
semua bisa begini jadinya. Sepupu jauh yang Narin kira hanya datang ke Jogjakarta
untuk plesir ternyata membawa rahasia terbesar Romo untuknya.
Narin menunduk dalam-dalam.
“Iya, Aryan. Maafkan aku, aku butuh waktu untuk mencerna semua
ini. Aku akan mengabari kamu secepatnya. Bolehkah kamu tinggalkan alamat
hotelmu agar aku tau harus mencarimu kemana?”
Aryan tersenyum sambil mengangguk.
“Oke”
Begitulah pertemuan mereka setelah Aryan memberitahu wasiat
Romo yang terakhir kepada Narin.
Hari-hari selanjutnya dihabiskan Narin untuk berdiam diri di
kamarnya. Mbok Darmi pengurus rumah tangga Narin hanya bisa iba melihat
majikannya yang tinggal sebatang kara di rumah itu.
“Cah ayu, makan dulu hayuk. Simbok sudah buatkan ayam goreng
lengkuas kesukaan cah ayu lho iki..”
“Iya, mbok. Nanti Narin makan yah. Makasih ya mbok Darmi”
Hari ke-14 sejak pertemuan. Narin menemui Aryan di lobi hotelnya.
Narin mempersiapkan kata demi kata di kepalanya.
Sesekali Narin membetulkan posisi duduknya di sofa lobi hotel
tersebut.
“Kamu ga ingin kita cari tempat yang lain, Narin?”
“It’s oke, Yan. Aku gapapa di sini saja kita ngobrolnya.”
Aryan pun mengangguk. Narin menghela nafas panjang, ini keputusan
paling besar dalam kehidupannya.
Biasanya ada Romo yang membantunya dalam keputusan-keputusan semacam
ini.
Romo akan membimbing Narin, mengajaknya berdiskusi dan memberi
saran-saran. Romo tidak pernah memaksa. Tetapi Romo selalu memberi jalan.
Selalu memberi jalan..
Tiba-tiba Narin tersentak. Ah! Itu juga yang dilakukan Romo
sekarang sebenarnya, memberi hatinya sebuah jalan.
Seperti yang sudah-sudah, Romo memberinya jalan yang sudah dipastikan keselamatannya oleh Romo.
Narin masih terdiam. Aryan masih menunggu sepatah kata keluar
dari bibir Narin.
“Narin?” Aryan akhirnya yang memecah kebekuan di antara
mereka.
Narin menunduk memandangi sepasang sepatunya. Ada badai besar
di hatinya sekarang.
Awalnya dia ingin memberitahukan secara singkat kepada Aryan
bahwa dia tidak bisa menikah dengan orang yang begitu ia kenal dekat sebagai
seorang saudara jauh.
Benarkah itu alasannya? Karena mereka bersaudara jauh?
Tidak. Sebetulnya Narin ketakutan. Takut dengan apa yang akan
terjadi di depannya.
Takut kepada sosok Aryan yang tiba-tiba akan menjadi suaminya.
Takut akan dirinya sendiri.
Takut.
Takut.
Narin merasa ketakutan karena Romo tidak ada di sisinya lagi
sekarang. Tiba-tiba Narin merasakan sesak di dadanya kembali menghebat.
Sejak Romo meninggal, Narin sering merasakan gejala seperti
ini saat dia merasa cemas akan sesuatu.
Di hadapan Narin, Aryan masih menanti Narin berbicara. Narin kehabisan
kata-kata. Buatnya semuanya menjadi kelu tetapi sekaligus menjadi jelas.
“Apa yang akan kamu lakukan kalau kita meresmikan pernikahan
ini, Aryan?”
Narin akhirnya mengeluarkan kalimat pertanyaan alih-alih pernyataan.
Huh, semua terasa terlalu berat bagi gadis 22 tahun itu.
“Pertanyaan menarik.” Aryan memperbaiki posisi duduknya, dia mengusap
dagunya dengan jari jemarinya sambil berpikir keras.
Narin memperhatikan sosok Aryan. Dia jauh-jauh dari datang
dari Washington DC untuk memenuhi wasiat Romo? Narin tiba-tiba saja merasa
lelaki ini memiliki ketulusan yang memancar.
“Kalau Narin ada rencana apa selanjutnya? Aku sebetulnya sudah
membereskan semua urusan di DC. Aku berencana membuka bisnisku kembali dan
menghubungkannya dengan kolegaku di DC. Kebetulan bisnisku dulu adalah retail business,
dan melihat potensi Indonesia yang sangat besar, aku sangat tertarik untuk menjajaki
beberapa peluang. Eh, jadi ini Narin keputusannya gimana? Apakah Narin sudah
membuat sebuah keputusan atau belum?”
Narin tergagap begitu namanya disebut oleh Aryan. Seolah kedapatan
melihat sesuatu yang terlarang, Narin langsung menunduk dalam-dalam.
Dari tadi sejatinya dia memperhatikan Aryan dengan begitu saksama.
Lelaki itu punya suara yang menarik untuk didengar. Tidak begitu berat tetapi
hangat terdengar di telinga Narin.
“Eh, keputusan yah. Sebetulnya aku tidak tau pasti apa maksud
Romo dengan semua ini. Tapi sedikit berbagi cerita, Yan.. Dari dulu aku dan
Romo hidup berdua saja. Ibuku sudah meninggal saat aku berumur 2 tahun. Sejak
saat itu Romo selalu memberiku jalan kehidupan agar aku bisa menapakinya dengan
nyaman. . . . . “
Kalimat Narin terhenti sejenak.
“. . . dan mungkin kamu
adalah jalan yang disediakan Romo juga. Meskipun aku tidak tau apakah sulit
mengubah citramu di benakku. Kamu saudara jauhku. Lalu menjadi suamiku.”
Aryan tersenyum tipis. Ada kaca-kaca terlihat di bening mata
Aryan. “Aku sulit mengungkapkan perasaanku sesunggunya, Rin. Tapi semoga kamu
tau bahwa aku tidak pernah seyakin ini dalam mengambil keputusan. Mungkinkah
ini akibat doa-doa Romomu? Aku harap kita bisa memulai penjajakan kita mulai
saat ini, Narin.”
Aryan mengulurkan tangannya. Narin meraih tangan itu dan menjabatnya
erat.
“Sebetulnya aku diperbolehkan memeluk kamu. Tapi sepertinya
itu akan mengagetkanmu.” Kalimat Aryan barusan membuat Narin nyaris tersedak.
Apa? Memeluknya?
“Nah, Narin, aku berjanji pada ayahmu untuk menjagamu. Akan aku
tepati janjiku itu. Kamu juga harus membantuku ya dalam menepatinya?”
Hati Narin tiba-tiba terasa gerimis. Laki-laki di hadapannya
kini menjelma menjadi suaminya.
***
-bersambung-
Belum ada tanggapan untuk "Narin & Aryan (Episode : Hati Yang Telah Dipilihkan Jalannya)"
Posting Komentar