Cerpen : Rembulan Untuk Jiwa

 


Aku tidak percaya bisa bertemu kembali dengan lelaki itu. Di sini seharusnya hanya ada aku yang lelah setelah berhari-hari tidak pulang ke rumah akibat operasi besar-besaran penangkapan buronan pembunuhan mutilasi yang meresahkan warga ibukota.

Di sebuah gang tempat lukisan-lukisan dari luar negeri pada galeri seni ini dipajang, aku malah bertemu dengan lelaki yang satu bulan terakhir ini menjadi wajah dari mimpi burukku.

Mimpi buruk yang penuh dengan amarah dan kerinduan…..

“Apa kabar dirimu, Bulan?” katanya.

Aku terpana. Lama kucerna kalimat pertanyaan sederhana itu. Sederhana namun sejatinya sangat rumit bagiku dan bagi lelaki itu.

Bagaimana aku akan menjawabnya akan menentukan seperti apa nasibku sepulang dari galeri ini.

Lelaki yang berdiri di sampingku ini bos kartel narkoba ibu kota. Kuyakin anak buahnya sudah dia sebar ke seantero galeri ini.

Bagaimana aku menjawab pertanyaannya bisa menentukan hidup-matiku.

Aku mengambil jeda. Tak kujawab pertanyaan lelaki itu langsung begitu saja.

Kubiarkan kalimat itu menggantung sejenak di antara aku dan dia.

Seolah kuingin kalimat itu menguap seperti kuingin kesialanku menguap dari kehidupanku….

Kesialan memang seperti tidak putus-putus menerjang kehidupanku ini….

Saat kecil aku sering ditendang oleh Bapakku yang polisi kalau dia sedang tersulut amarahnya.

Tadi malam satu tendangan menghampiri punggungku saat timku tengah menggeledah kamar apartemen. Di sanalah sepasang buronan pelaku mutilasi yang meresahkan warga ibukota  bersembunyi.

Oh, jangan lupa, aku “ditendang” dari unit khusus narkoba karena gagal menangkap lelaki di sampingku ini.

Bertanya kabarku?

Sebuah senyum sinis tersungging di bibirku.

Kesinisan itu bercampur keperihan. Ada makhluk serupa bayi meringkuk di dalam hatiku.

Dia menggeliat saat lelaki ini muncul di pelupuk mataku.

Dia adalah kerinduan.

Hal yang baru sekali bagi perempuan tanpa emosi sepertiku.

Jika seorang perempuan menjadi seorang polisi maka perempuan itu akan bernasib sial, sangat-sangat sial seumur hidupnya, Rembulan, kalimat itu dibisikkan ibu ke telingaku saat aku menyatakan telah mendaftar ke akademi kepolisan.

Merasakan rindu kepada lelaki ini juga adalah kesialan, kan, Ibu?

Ibu tidak pernah merestui keputusanku menjadi seorang polisi.

Kuyakin benar sikap ibuku itu disebabkan kebencian mahabesar dirinya kepada bapakku yang sangat kasar. Belum lagi fakta menyakitkan bahwa bapak yang berselingkuh dengan rekan polisi perempuannya itu akhirnya meninggalkan aku dan ibuku sampai sekarat untuk perempuan itu.

Sepertinya kalimat ibuku itu benar adanya. Perempuan yang menjadi polisi akan dirundung kesialan seumur hidupnya….

Sebetulnya seumur hidup aku berjuang agar kalimat itu salah.

“Kabarku baik. Ya, baik-baik saja,” kataku. Kulirik lelaki itu sekilas dengan anak mataku. Dia mengenakan sebuah kaus berwarna hitam dipadukan dengan jaket khaki, celana jins dan disertai dengan sebuah topi hitam.

Oh, tentu saja topi. Dia kini buronan. Aku bisa segera dipromosikan apabila aku meraih telepon genggamku sekarang dan melaporkan keberadaannya di sini kepada pimpinanku.

Kami berdua berdiri mematung di hadapan deretan lukisan-lukisan.

Galeri seni ini masih sepi karena ini adalah hari perdana pameran lukisan.

Tadi malam setelah selesai penggerebekan tersangka mutilasi, Roy kawan satu timku menjamin disinilah tempat di seantero ibukota di mana paling cocok untukku menghabiskan waktu untuk termenung. Ya, aku ingin mengistirahatkan sejenak jiwaku dengan termenung.

Aku ingin diam menatap lukisan. Aku ingin duduk di hadapan lukisan bermenit-menit bahkan berjam-jam lamanya.

Atasanku hanya manggut-manggut sambil bergumam tidak jelas saat aku minta izin sebentar kepadanya.

Bukan cuti tentunya. Tidak ada istilah cuti bagi kami para polisi ini. Bukan juga shift karena shift hanya ada bagi kami setiap dua tahun sekali untuk sebuah hari raya.

“Kamu sendirian ke sini, Bulan?” katanya.

Apa maksud dari kalimatnya barusan, hmm? Dia menyangka aku membawa tim-ku seperti pada malam hari saat dia melarikan diri dari kepungan kami dengan mata dan hati yang terluka?

“Ya. Aku sendirian ke sini. Refreshing sebentar. Jam 3 sore aku harus kembali lagi ke kantor,” kataku.

Kurasakan wajah tampan itu tersenyum saat kukatakan waktu kapan aku harus kembali ke kantor. Kutengok arloji di pergelangan tangan kananku. Masih jam 11. Kini aku tidak bisa menggunakan alasan harus buru-buru kembali ke kantor bukan, Jiwa?

“Kamu mau berdiri terus di sini, Bulan?” katanya.

“Eh,” kataku. Aneh nan canggung. Aku sangat berani saat bertemu dengan penjahat paling kejam di negara ini asalkan tidak bertemu dengan lelaki ini.

Dia menunjuk kursi panjang berwarna hitam yang disediakan oleh pengelola galeri seni ini di tengah gang panjang ini. Seolah ada kekuatan kasat mata, aku mengikutinya ke kursi itu lalu duduk bersebelahan dengannya.

Bahu kami sedikit bersentuhan, kurasakan bayi kerinduan menggeliat di dasar hatiku.

“Kamu tidak seharusnya di sini, Jiwa,” kataku. Aku ingin dia selamat. Jika keselamatannya berarti menjauh dariku maka biarkan dia sejauh mungkin dariku, bisik hatiku.

“Aku senang akhirnya kamu memanggil namaku, Bulan. Kenapa aku di sini, aku pun tidak tahu, percayakah kamu, Bulan?” katanya. Aku tidak tahan juga, kutatap wajah lelaki itu. Mata hitamnya, alis tebalnya, hidung mancungnya dan bibir itu… ah, bibir itu. Tiba-tiba hatiku meletup dalam keinginan memeluknya yang teramat dalam.

“Kamu harus pergi dari sini sekarang juga, Jiwa. Kamu harus pergi dari negara ini kalau perlu, Jiwa. Tidak ada tempat yang aman di sini. Kamu bisa saja tertangkap kapan saja,” kataku.

“Tertangkap? Seperti yang kamu dan timmu lakukan malam hari itu, Bulan?” tanyanya. Getir. Perih. Aku bisa merasakan luka di kalimatnya….

***

Satu Bulan yang Lalu….

Ujung pelabuhan Tanjung Priuk itu diisi oleh berragam container dari penjuru dunia. Tapi ada satu sisi yang kosong, persis menghadap Teluk Jakarta. Angin malam yang menghantam keras membuatku merapatkan jaket dan topi yang kupakai mala mini.

Semoga Jiwa membaca pesan yang kutitipkan pada dompetnya malam hari ini.

“Heh! Ngelamun aja lo!” Roy kawan satu timku itu menyikut lenganku. Komandanku melemparkan pandangan tajam kepada kami berdua. Aku pun segera memasang konsentrasi terbaikku. Kuacungkan pistolku untuk berjaga-jaga sambil memperhatikan areal kosong di depanku.

Seharusnya Jiwa dan anak buahnya akan mengadakan transaksi narkoba di tempat ini satu jam yang lalu. Namun sampai detik ini Jiwa belum muncul juga.

Pimpinanku memanggilku. “Dara! Kamu betul-betul memberikan petunjuk yang asli kepada tim kita, kan?” tanyanya.

“Siap, betul, Komandan!” kataku. Hati kecilku berbisik, toh semua percakapan di ponselku telah kalian sadap. Untuk itulah aku meninggalkan selembar kertas kecil di dompet Jiwa. Aku memintanya mengambilkan boneka beruang yang sedang kumasukan ke penatu dekat apartemennya, ah apartemen kami lebih tepatnya agar ia mengambil surat pengakuan yang kutitipkan di balik resleting boneka itu….

Kurasakan degup kekhawatiran nyaris meledak saat hari ini akhirnya datang juga. Aku si polwan yang dididik dalam spesialisasi bidang penyamaran diminta untuk menjadi orang kepercayaan Jiwa, bos besar komplotan narkoba ibukota.

Jiwa, sosok yang tidak pernah terlihat dan tertangkap oleh polisi. Ia begitu misterius sampai-sampai akupun diterjunkan untuk mencari tahu tentang keberadaan sosoknya. Berkat satu minggu pengintaian aku berhasil menemukan klub tempat Jiwa sering menghabiskan waktunya.

Kujalankan penyamaran menjadi bartender di klub itu selama satu bulan penuh. Kudapatkan perhatian Jiwa dengan kelihaianku meracik minuman. Aku tidak pernah takut kepada siapapun, kepada penjahat manapun lebih tepatnya.

Namun malam itu saat Jiwa memandangku, aku merasakan ketakutan….

Aku takut pada mata hitamnya yang terlihat haus kuasa itu….

Namun dengan sekali tepisan, segala ketakutanku menghilang sempurna. Jiwa penasaran denganku si bartender cantik yang baru dimiliki klub. Dalam sepekan saja aku sudah berhasil diboyong Jiwa ke apartemennya yang megah di utara Jakarta.

Tidak usah kalian bayangkan apa yang terjadi padaku dan Jiwa. Semua yang kulakukan dalam misi penyamaran tidak pernah mempengaruhi emosiku. Teman-teman mencapku sebagai wanita tanpa emosi.

Kupikir itu kelemahan, ternyata itu kelebihanku. Para pimpinan akademi kepolisian memasukkanku ke dalam program spesial pendidikan untuk kegiatan penyamaran.

Jiwa akhirnya takluk dalam buaian pelukanku sejak malam itu. Aku resmi menjadi Rembulan, perempuan yang selalu berada di sisi Jiwa. Perempuan kesayangan Jiwa, sekaligus perempuan pengkhianat baginya….

Kurapatkan jaket hitam yang kupakai sebagai seragam penyergapanku. Angin pada malam hari ini berhembus kencang sekali.

Mendadak kupicingkan mataku saat melihat dua buah mobil sedan hitam memasuki areal kosong di sudut pelabuhan yang tengah kami jaga itu.

“ANGKAT TANGAN!”

“JANGAN BERGERAK!”

Teriakan kami membuat satu buah sedan lain berdecit berbalik arah dengan tiba-tiba. Sial! Sepertinya dua mobil ini adalah umpan bagi kami.

Aku dan timku yang dikomandai oleh pimpinan segera menyerbu dua buah mobil itu. Suara tembakan beruntun ditembakkan oleh orang yang berada di dalam mobil itu kepada kami.

Pimpinanku berteriak lantang untuk segera mengejar mobil sedan yang berbalik arah tadi. Samar-samar kudengar pimpinanku mengatakan, ada Jiwa di mobil itu, segera kejar ke ujung dunia sekalipun!

Ah, rupanya Jiwa tidak membuka dompetnya hari ini. Jiwa tidak mengambil boneka beruang dari penatu. Jiwa tidak melihat isi surat pengakuanku.

Sementara itu, aku menembak ke arah mobil yang tersudut di pojok pelabuhan itu sambil dilindungi oleh anggota timku yang lain dari depan. Asap mengepul dari adu tembakan yang berlangsung singkat itu.

Setelah kupastikan tidak ada tembakan dari arah mobil. Kudekati mobil itu dan segera kubuka paksa pintunya. Di dalamnya tampak dua orang laki-laki berkemeja bunga-bunga yang telah tewas dengan banyak luka tembakan di dada dan kepala. Ada sebuah kertas yang terselip di saku kemeja lelaki itu. Kuambil kertas itu, di dalamnya tertulis kalimat dengan tinta semerah darah :

“Maaf mengecewakan kalian. Tunggu pembalasanku polisi keparat! Terutama kau, Rembulan Dara Anindar!”

Aku berikan surat itu kepada pimpinanku. Wajahnya gusar dan dengan keras dibantingnya kertas itu ke tanah.

“Sial! Siapa yang membocorkan misi penyergapan ini, Dara? Kita sudah mengejar Jiwa selama tiga tahun. Kau telah menyamar selama satu tahun dan kini semua sia-sia, Dara! Sialan!” katanya ketus.

“Siap, Komandan!” kataku serius.

Kami gagal menangkap Jiwa pada malam itu. Pimpinanku teramat tidak menyukai akan hasil berantakan seperti ini. Aku segera dirotasi ke bagian pembunuhan. Itu ibarat sebuah penurunan karir drastis bagi seorang lulusan terbaik akademi kepolisian spesialisasi penyamaran.

 Aku gagal untuk pertama kalinya sepanjang karir penyamaranku menangkap gembong narkoba dan dia bernama Jiwa….

***

“Jiwa, aku harus kembali ke kantor,” kataku sambil bangkit dari kursi panjang berwarna hitam itu. Jiwa menarik lenganku. Mataku membelalak. Refleks nyaris kutarik pistolku dari sarungnya.

Apa yang ingin dia lakukan?

“Kumohon tetaplah di sini, kumohon jangan pergi dulu, Bulan. Kumohon biarkan aku membersamaimu sebentar saja, Bulan. Anak buahku telah mengawal tempat ini. Mereka memberiku penjagaan untuk bertemu denganmu. Aku, nampaknya aku begitu merindukanmu, Bulan” katanya. Kurasakan kepalanya merebah dengan sempurna ke bahuku.

Bibirku tersenyum tipis. Rembulan, ingat satu hal, jiwamu tubuhmu bukan lagi milikmu saat kau memasuki program spesialisasi penyamaran ini, gumam sesosok jenderal polisi pimpinan akademi kepolisian sata menyambutku penuh kedigdayaan, 15 tahun yang silam. Lelaki tua keparat itu, di manakah sekarang tubuhnya dimakamkan? 

Lelaki tua itu dengan pongah mengambil keperawananku di kantornya satu minggu setelah aku masuk program pendidikan spesialisasi penyamaran. Menurutnya dengan hal itulah ia mencontohkan bahwa tubuhku bukan milikku lagi, tetapi semata-mata objek penyamaran untuk menangkap para musuh negara.

Semua lelaki keparat. Semua perempuan juga keparat, tugasku hanya menyamar dan menangkapi orang-orang keparat. Aku berjalan menghabiskan masa pendidikan dan karirku dengan dua kalimat mantra tersebut.

“Maafkan aku, Jiwa. Aku harus kembali ke kantor. Tolong jangan temui aku lagi serindu apapun itu kau padaku, jangan pernah temui aku lagi. Jangan, Jiwa,” kataku. Pandanganku bertemu dengan pandangan Jiwa.

Kedua mata indah itu…. Mata yang selalu haus kuasa dan pongah. Mata yang penuh ambisi dan kelihaian bisnis mafia narkoba…. Mata yang juga menangis saat aku jatuh sakit pada suatu hari yang dipenuhi hujan tiga bulan yang lalu….

***

Tiga Bulan yang Lalu….

Sial betul aku harus jatuh sakit di masa penyamaran seperti ini. aku yakin sedikit lagi aku bisa mengetahui kapan, di mana dan bagaimana Jiwa melakukan transaksi bisnis narkobanya itu. Namun hari ini aku merasakan demam tinggi.

Poin utama dalam penyamaran adalah kau tidak boleh sakit, karena kau harus segera fokus menyelesaikan misimu. Waktu akan terbuang sia-sia saat kau jatuh sakit selama dalam masa penyamaran. Untungnya aku diberkahi dengan tubuh sehat sekuat baja yang begitu jarang sakit.

Sialnya mengapa saat menyamar menjadi kekasih Jiwa aku harus jatuh demam seperti ini?

“Kamu yakin tidak mau aku panggilkan dokter pribadiku, Bulan?” Aku menggeleng lemah. Tidak usah, kataku dengan yakin. Jiwa menggenggam erat tanganku. Tubuhku terkapar di tempat tidur sejak pagi tadi. Kuyakin aku bisa sembuh dengan istirahat dan minum vitamin C dosis tinggi. Semua ini tidak boleh memperlama misi penyamaranku.

“Oke oke, istirahat yang banyak saja kalau begitu, oke? Aku ada urusan sebentar. Sebelum tengah malam aku akan pulang,” katanya sembari mengecup kening dan pipiku. Aku tersenyum. Urusan = bisnis narkoba yang berjalan. Entah sebuah transaksi atau pertemuan penting, apapun itu, urusan bagi Jiwa berarti bisnis narkoba.

Setelah Jiwa pergi, kupejamkan mataku. Aku berusaha untuk tidur dan menyembuhkan diriku sendiri. Saat pagi tiba, kurasakan sebuah tangan menggenggam erat tanganku. Di dahiku ada kompres hangat. Jiwa tertidur sembari duduk di sisi tempat tidur kami. Aku memalingkan wajahku. Ada air mata mengalir dengan perlahan di pipiku.

Air mata adalah sesuatu yang teramat terlarang dalam sebuah misi penyamaranku….

***

Orang-orang yang lalu lalang menatap lukisan di galeri ini seolah tidak melihat keberadaanku dan Jiwa di kursi panjang hitam ini. Jiwa masih menggenggam tanganku, erat. Kepalanya yang tadi merebah sejenak di bahuku kini menoleh kepadaku. Ada senyum di wajahnya. Mengerikan.

Hanya kepadakulah dia bisa tersenyum.

Jiwa yang dikenal anak buahnya adalah Jiwa yang jiwanya gelap tak berdasar. Jiwa bisa menarik pelatuk pistolnya tanpa emosi. Jiwa tidak pernah mempercayai siapapun termasuk anak buahnya sendiri. Jiwa malang-melintang membangun kerajaan bisnisnya di dunia narkoba. Jiwa, yang tidak berjiwa, begitu mereka menamainya.

“Kamu boleh kembali ke kantormu, Bulan. Bisa dibilang aku belum puas bertemu denganmu seperti ini. Aku rindu dirimu, dirimu yang seutuhnya…,” katanya berbisik di telingaku.

Aku berdiri sambil melepaskan genggaman tangan Jiwa. Waktuku habis terbuang percuma, kini aku harus kembali ke kantor tanpa penyegaran sehabis melihat-lihat galeri seni, justru bertambah pusing karena melihatmu, Jiwa. Ingin sekali kulontarkan semua kalimat itu di hadapannya, tetapi bibirku terkatup.

Terkunci sempurna.

Aku melangkah pergi tanpa berkata sepatah katapun kepada Jiwa. Kulangkahkan kaki menjauh dari kursi panjang itu. Kurasakan tatapan Jiwa di belakang punggungku. Kupegang erat pistol di sisi ikat pinggang sebelah kananku. Aku dilatih untuk selalu bersiap menembak dalam keadaan apapun.

Apalagi kini berhadapan dengan Jiwa, insting polisiku menyala sempurna.

Aku yakin Jiwa pun tahu sedari tadi bertatapan dengannya, tanganku sudah menyentuh pistolku. Namun untunglah tidak ada pertumpahan darah kali ini. Galeri seni ini terlalu manis untuk menjadi tempat yang bersimbah darah pekat nan berbau anyir.

Sambil tetap fokus memindai dengan cepat keadaan sekitar, kuteruskan langkah kakiku untuk keluar dari galeri seni itu. Kudorong pintu kaca terluar galeri untuk menuju halaman luar galeri. Sekilas kutatap sosok Jiwa yang masih berdiri dan melihat ke arahku.

Aku selalu bangga terhadap diriku sendiri. Dimulai dari bangga berhasil mendaftar akpol seorang diri. Lalu bangga mengatakan kepada ibuku bahwa aku telah masuk akpol meskipun begitu besar kebenciannya terhadap perempuan yang menjadi polisi. Lalu bangga berhasil menjadi lulusan terbaik di angkatanku pada program spesialisasi penyamaran. Lalu bangga berhasil menjalani karir di divisi narkoba dengan amat sangat baik dalam menyamar berhari-hari, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Namun di siang hari ini, pada tempat ini, galeri seni ini, aku luar biasa bangga terhadap diriku karena telah menutup rapat-rapat mulutku dan berlalu dari sosok Jiwa.

Kukunci rapat bibirku, tanpa mengucapkan salam perpisahan sedikit pun kutinggalkan Jiwa begitu saja di dalam galeri seni itu.

Kutekan jauh-jauh gelombang perasaan yang menderaku. Saat kupastikan aku sudah jauh berjalan meninggalkan galeri seni itu, kubelai lembut perutku. Ada belahan jiwaku dan belahan jiwanya….

Maafkan aku, bayiku. Ayahmu baru saja menemui kita tetapi ibu diam tentang keberadaanmu,

Ini kulakukan demi keselamatannya juga keselamatan kita.

Suatu hari kamu akan mengerti betapa ibu mencintai ayahmu.

Selamat tinggal, Jiwa!

 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Cerpen : Rembulan Untuk Jiwa"

Comment