Rei


Ah, Rei.

Sendumu sudah terbaca di udara sebelum kita bertemu.
Kita bertemu aku ingin memelukmu, satu miliar abad ingin kupeluk jiwamu yang basah oleh banjir kerapuhan itu..



Ah, Rei.

Namamu itu bisa menggerakkan aku secepat kilat meminta izin suamiku untuk bertemu dirimu sepulang tahsin..



Ah,Rei.

Bukankan kita sudah saling memahami bahwa menjadi anak fatherless akan banyak sedihnya akan banyak sepinya?
Tapi aku tercekat saat kamu ternyata meluap dalam sendu sepi tak teraba siapapun..



Dan saat aku melihat wajahmu, aku bisa tau, Rei. Kamu ternyata masih selalu Rei-ku. Lincah, enerjik, tak terbendung. Jiwamu selalu meninju ke langit dan tak seorangpun atau tak sekejadianpun harusnya dan akan mematahkan jiwa itu.



Rei,
Kalau kamu baca surat ini.
Aku cuma mau bilang..




Kadang masalah itu lebih mirip obat. Kita justru harus menelannya bulat-bulat untuk menyelesaikan, kita harus menghadapinya untuk merasai efek baiknya, yang membuat pusing adalah kita tidak pernah yakin kapan efek baik obat itu segera hadir, betul kan?




Jangan sering rapuh, Rei. Kamu kuat. Selama kita berpikir kuat kita akan selalu menemukan alasan untuk tersenyum..




Sekarang, aku yang merasa bodoh. Mengapa semua hal ini tak bisa kukatakan kepada ya ketika kita bertemu? Cuma dua pasang mata kita saling menatap.. Dan dari balik jilbabmu selalu kurasa aura Rei yang sama sejak kita bertemu pertama dulu.



Kamu kuat, tangguh, dan selalu meninju langit dengan jiwa unggulmu itu, sayang!



I love you Rei..




:)






Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Rei"

Comment