Saya punya
sahabat sejak SMA yang baik banget deh. Namanya Nela (baca blognya di sini), dia gila baca dan gila
beli buku. Kombinasi yang luar biasa hebat. Hehehe. Terus saya tanpa ragu, pinjem dong koleksi
buku-bukunya yang nyaris terus menerus ada yang baru itu. Hihihi.
Beberapa
minggu yang lalu dia minjemin bukunya Pidi Baiq yang judulnya Dilan, Dia Adalah
Dilanku Tahun 1991.
Bukunya
simpel banget. Kaya diary banget. Adegan-adegannya sederhana. Dialog-dialog aja
mengalir.
Saya
awalnya baca kepengen tau aja. Soalnya sudut pandangnya flashback dari Milea (tokoh utama perempuan) yang sudah dewasa yang lagi mengenang Dilan, pacar jaman SMA-nya.
Dialog-dialognya
kocak dan bodor khas anak muda Bandung, tempat di mana lokasi cerita ini
berlatar. Dilan digambarkan sebagai karakter yang nyeni banget. Dilan juga
bagian dari geng motor.
Tapi caranya menyatakan sesuatu emang unik dan
lucu-lucu
Milea
digambarkan sebagai anak perempuan yang suka banget sama Dilan. Suka banget
sama cara bicara Dilan. Suka banget sama cara bercanda Dilan. Tapi ngga suka
sama cara Dilan bergaul yang deket banget sama “kenakalan remaja”
Di buku
Dilan ini, banyak quotes-quotes yang unik, renyah, tapi bikin hati mesem-mesem
karena khas banget romantisme jaman kita SMA #Eaaa
Contohnya :
“Aku ga mau
aku sakit”
“Emang
kenapa?”
“Nanti kamu
ga ada yang meratiin”
“Kalau aku
yang sakit?”
“Aku curiga
itu pura-pura”
“Pura-pura
apa”
“Kamu
pura-pura sakit biar aku meratiin kamu”
Awww.
Hahahahahahahahaa… Kocak-kocak renyah kaaan khas romantisme hujan-hujanan anak
SMA (naon sih Dey ;p). Ringan tapi bikin mesem-mesem malu khas romantisme jalan
ke toko buku khas anak SMA. Edaaaan siaaah Deyaaa. Hahahahahaha
Dan
begitulah halaman-halaman awal sampai ke tengah buku ini berisi romantisme
Dilan dan Milea.
Yaa saya pikir mereka happy ending gitu.. Ternyata
Di sebuah
bab menuju akhir cerita, Dilan dan Milea berpisah.
Duh. Ada hati yang ikutan
patah pas bacanya juga. Berasa ikutan sedih. Pidi Baiq bagus deh pemilihan
kata-katanya. Kata-katanya biasa aja, jelas banget, tapi bisa bikin kita
merasakan apa yang dirasakan tokoh-tokohnya.
Contohnya :
“Sungguh,
aku tidak pernah berpikir bahwa aku benar-benar ingin putus dengan Dilan, tapi
aku merasa itu harus aku lakukan. Tentu saja, itu adalah hal yang paling berat
yang aku alami dari semua kehidupan. Tapi, terpaksa harus aku lakukan.
Pikiranku saat itu, tidak apa-apa putus dulu, aku yakin pada akhirnya kami akan
nyambung kembali. Karena aku tau aku mencintainya, karena aku yakin
seyakin-yakinnya Dilan mencintaiku”
Huuuuu..
Dan ngga gitu sih ternyata ending ceritanya.. Milea nikah sama orang lain, seorang kakak kelas di kampus yang baik hati dan memahaminya. Milea jadi istri dan ibu.
Dan menuliskan kisah tentang Dilan.
Ada kalimat penutup yang bagus dari Milea di halaman buku itu,
“Aku merasa
sedih untuk apa yang hilang, tapi kupikir mungkin ada pelajaran yang bisa kita
dapati dari situ. Masa lalu bukan untuk diperdebatkan. Itu sudah bagus. Biarkan”
….......
Hmmmmmmmmmm
Nyes banget
gak sih kaaak? Berasa pengen guling-guling koprol meluk diary jaman SMA ya kan kaaaa*WAKAKA
:p
Overall,
novel Dilan ini emang sederhana, sederhana banget malah. Ngga puitis
kalimat-kalimatnya seperti Andrea Hirata. Atau penuh nilai Islami seperti
Habiburrahman El Shirazy. Tapi kalimat-kalimatnya Pidi Baiq ini jujur banget. Lumayan buat hiburan jiwa..
Hufff okey
everybody mari bereskan remah-remah hati yang berceceran (wooo), Hahaha.
Terakhir
saya cuma mo bilang,
“Masa lalu bukan untuk diperdebatkan. Itu sudah bagus. Biarkanlah. Biarkanlah. Lepaskanlah. Lepaskanlah. Terima kasih masa lalu!”
(backsound:
EAAAAA )
;P;P;P
2 Tanggapan untuk "Dilan dan Milea"
Kamu harus baca Dilan 1990 deeey. Itu parah sih nagih banget renyah2 kinyis2 gitu gombalannya si Dilan. bahahaha.
Beliiii nelaaaa, nanti aku pinjem hahaha ;p
Posting Komentar