Beberapa
hari ini eh ngga deng beberapa bulan ini suami saya pulangnya malem mulu.
Kerjanya di UI pulang sore sih tapi dia harus mengerjakan tugas kuliah S2
sepulang kerja jadilah pulang malem.
Kalo udah gitu, ngobrol sambil nemenin dia
makan malem adalah rizki dari Allah yang saya nanti setiap malam.
Ngga lama
pasti suami saya akan ketiduran di kursi sambil baca buku atau jurnal tugas
kuliahnya..
Kalo udah
kaya gitu, saya suka menikmati banget momen ngeliatin suami yang terkulai tidur
sambil ada buku di pangkuannya itu (maap buat yg jomblo, ahaks). Tapi ini
betulan sih, ngeliatin dia kelelahan sehabis kerja dan mengejarkan tugas kuliah
bikin saya bersyukur.
Bersyukur
dalam-dalam. Menginsyafi lamat-lamat
Bahwa suami
seperti dialah yang saya cari. Bahwa saya masih jauh dari banyak hal yang dia
harapkan. Bahwa dia selalu sabar membimbing saya dengan semua ego saya ini
Ah, saya
jadi sedih
Sedih
karena inget ada sosok dekat dengan keluarga saya yang sedang mengajukan gugat
cerai..
Alasannya
karena dia merasa suaminya bukan sosok yang baik sebagai suami. Keluarganya
menganjurkan dia untuk lebih menghormati dan menghargai keputusan-keputusan
yang diambil oleh suaminya dan lebih bersabar sedikit
Tapi dia
bersikeras dan berkata,”Iya suami harus dihormati, tapi suami yang gimana dulu”
Hmmm…..
Saat kita
menikah, bisa saja kita salah cara, salah niat, atau bahkan salah pasangan.
Bisa, bisa aja semua itu terjadi
Tapi
setelah akad itu terjadi, semua hal yang sudah terjadi, adalah takdir, seizin
Allah. Pasti ada hikmahnya kenapa kita menikah dengannya bukan dengan si itu
misalnya, cinta pertama kita di masa SMA
Pasti ada
hikmahnya kenapa dia begitu ngga cocoknya sama kepribadian kita, selama ijab
qobul telah diucapkan, masa saya yakin betul, kalau setiap pasangan bisa
mempertahankan rumah tangganya dalam ketaqwaan asalkan sabar
Toh istri
Fir’aun juga ngga menggugat cerai melihat kedzholiman suaminya. Asiah itu
muslimah yang taat tapi dia juga menghargai suaminya. Sampai akhirnya suaminya
yang menyiksanya hingga mengantarkan Asiah menjadi syahidah
Tapi boleh
dong Dey kita pasang standar tinggi seorang sosok suami? Boleh gaes, boleh
banget.
Selama masa pencarian mah kita bebas menentukan standar dan kriteria
Ini yang
mau saya tekankan sih pasca ijab qobulnya itu.
Setelah
kita nikahnya itu loh.. Sesulit apapun, kita harus yakin bahwa Allah menyimpan
hikmah mengapa kita menikahinya
Dan pada
akhirnya, jika kita selalu bertaubat dan berharap pada Allah, saya yakin banget
Allah ngga akan mempermalukan hamba-Nya.
Misalnya
pun bercerai, seseorang yang bertaubat dan mengharap ridho Allah aja akan beda
sama yang bercerai karena emang ga tahan sama kepribadian pasangan atau
dinamika berumahtangga.
Huff.
Ini super
sotoy. Tapi sebuah renungan, bahwa ketika setelah ijab qobul, tugas kita
membuat suami ridho pada kita
Oleh
karenanya sebelum menikah, penting sih klo menurut saya untuk memohon lelaki
sholeh,
Yang bertaqwa yang Allah penuhi hatinya dengan hidayah biar bisa membimbing
bahtera walau badai tergelap sekalipun dia akan tegak berdiri memeluk istrinya
dan bilang “Makasih sayang, untuk selalu berhusnuzhon padaku dan pada Allah.
InsyaAllah Allah takkan menyia-nyiakan amal sholehmu”
Huuuu~Bawaannya
pengen meluk suami ya kaaak. Tapi da gimana suaminya ketiduran di kursi tuh
seperti biasa, hehe
Tapi aku
yakin kamu baca ini,A’Jati
Ini
untukmu, suami yang alhamdulillah Allah kabulkan doa kriteria suamiku ada dalam
sosokmu.
Terima
kasih telah tulus mencontohkan bekerja keras dan cerdas sekaligus
Aku
mencintaimu, kalau boleh, sampai di syurga nanti bidadari-bidadari itu ngga
usah beredar yah, aku aja seorang. LOL ;P;P;P
I LOVE YOU,
A’JATI!!
Belum ada tanggapan untuk "Suami Yang Gimana Dulu"
Posting Komentar