Cerpen “KUCING”



Aku menghabiskan sekerat daging di hadapanku. Nyamm.

Rasanya sangat enak sekali, mungkin karena daging ikan memang diciptakan Tuhan khusus untukku.

Lidahku masih menjilati tulang belulang ikan saat sesosok anak kecil mendekatiku. Sumringah sekali wajahnya.

“Uciinggggg.. Uciingggggg….Uciingggg”

Suara anak kecil itu tidak begitu keras dan ada sedikit rasa takut di dalamnya. Tapi ada rasa penasaran juga.

Aku pun menoleh ke arahnya.

Aku membuka mulut dan mengeluarkan suara khas-ku. Anak kecil itu mundur ke belakang dan menangis meraung-raung.

Hufttt.

Lagi-lagi suaraku disalahartikan. Kenapa sih ada manusia yang tidak mengerti suara khas-ku. Aku pun berlalu pergi dari tempat itu.

Aku ingin mencari sekerat daging lagi.

***

Sore ini kaki-kakiku terasa lelah. Aku menemukan tumpukan daging ikan di sebuah plastik yang berada jauh sekali di sana di bawah rumah-rumah ini di dekat rerumputan tanah kosong.

Sambil menunduk aku berjalan menuju rumah kuning.

Oiya, rumah kuning adalah sebutanku untuk rumah kesukaan tempat tadi pagi aku diberi sekerat ikan.

Penghuninya begitu baik kepadaku. Teman-temanku juga suka menunggu di sana. Di pintu belakang rumah kuning.

Tepat setelah matahari terbit dan matahari tenggelam pasti pintu itu akan terbuka. Sesosok perempuan paruh baya akan menunduk memberi kami makanan.

Aaah, betapa senangnya bisa selalu ke sana, ke rumah kuning-ku.

“Ketemu nihhh kucingnyaaa!!!!!”

Segerombolan anak kecil tiba-tiba menghalangi jalanku. Mereka melambai-lambaikan seutas tali rafia panjang. Ah, aku harus segera kabur nampaknya.

Dengan merunduk, aku berhasil kabur dari sergapan mereka. Kakiku yg sangat lelah sejatinya tetap kupaksakan untuk berlari.

Hap!

Aku berhasil memanjat tembok abu-abu tinggi pembatas jalan raya dan rumah kuning. Dari atas tembok aku bisa melihat anak-anak tadi saling berteriak sambil menunjuk-nunjukku.

“Yaaaah, kabuuuuuur!”

“Ayooo ayooo kita cari kucing yang laiiiiiiin”

“Ayooooo!!!!”

Huftt, selamaat. Aku melompat menuruni tembok abu-abu. Sesosok perempuan menatapku. Dia berkacamata. Bukan perempuan paruh baya biasanya.

Apakah dia akan mengusirku? Perempuan itu tampak berhati-hati sekali saat melewati hadapanku. Di tangannya tertumpuk pakaian. Sepertinya pakaian manusia itu banyak sekali ya?

Aku balik menatap perempuan berkacamata itu. Dia menatapku dan tersenyum. Aku senang saat manusia tidak takut terhadapku. Perempuan itu pun masuk ke pintu rumah kuning.

Oh, ini sudah saatnya aku bersih-bersih. Aku pun segera menjilati bulu-bulu hitam di sekujur tubuhku. Beginilah cara kami membersihkan tubuh setiap harinya.

***

Duh. Malam ini terasa sangat gerah sekali. Aku menatap mesin cuci yang letaknya di berada di halaman samping rumah kuning.

Aku biasa tidur di atas mesin cuci karena tempatnya yang di atas membuatku bisa tidur tanpa rusuh diganggu para tikus itu.

Aku heran pada manusia yang menganggap kami adalah pemakan para tikus itu. Mereka itu menyebalkan sekali, taukk!

Aku sendiri tidak pernah memakan tikus. Aku pernah melihat kucing gropak dengan luka pada matanya membawa seekor tikus kecil di mulutnya.

Ekor tikus itu tergantung-gantung. Aku tidak bertanya banyak tetapi kulihat dia begitu lahap memakan tikus itu.

Hmm, aku berhasil naik ke atas mesin cuci.

Ah, rasanya menyenangkan merebahkan badan setelah seharian berkeliling mencari sekerat daging.

Rumah kuning ini selalu jadi kesukaanku. Para penghuninya suka meletakkan kain-kain di halaman samping sini dan bisa dijadikan tempat kami tidur.

Ya, aku tidak sendirian.

Kalau malam hari tiba, teman-temanku juga akan menumpang tidur di sisi rumah ini.

Ah!

Ada suara pintu dibuka. Aku berusaha membuka mata yang kadung mengantuk. Sesosok perempuan berkacamata itu telah berdiri di hadapanku. Kali ini dia membawa sebuah celana basah.

Sepertinya milik si anak kecil tadi pagi. Bukankah anak manusia memakai celana lalu mengencinginya?

Perempuan berkacamata itu menjemur celana basah itu sambil tak henti menatapku. Tiba-tiba dia berteriak

“Nekkkk! Kucingnya niiiih! Tidur di atas mesin cuci!”

Aku menegakkan badan. Postur siaga-ku sudah sempurna. Aku siap melompat lalu kabur jika mereka mengusirku.

Perempuan berkacamata masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa lagi. Lalu tidak ada manusia lagi yang keluar.

Ah, syukurlah.

Aku kembali merebahkan diri. Malam ini aku ingin istirahat dengan tenang. 

Sesaat kemudian suara-suara menandakan teman-temanku mulai datang.

Si cokelat, si galak, si abu-abu, begitu kukenal mereka. Mereka masing-masing temanku sejak kutemukan rumah kuning ini.

Si cokelat adalah kucing jantan sama sepertiku. Kerjaannya mencari gundukan pasir untuk buang hajat. Perutnya selalu bermasalah. Hufft.

Si galak adalah kucing betina yang selalu melahirkan. Kerjaannya melahirkan tiada henti. Kami kasihan setiap dia diusir dari tempatnya melahirkan. Dia jadi galak karena sering diusir manusia. Kadang-kadang manusia itu memang kejam, ya?

Si abu-abu adalah kucing jantan dengan kalung tergantung di lehernya. Bulunya paling bersih di antara kami berempat. Sebenarnya aku penasaran kenapa dia tidur di rumah kuning ini.

Dengar-dengar isu yang beredar, si abu-abu adalah kucing peliharaan. Sebetulnya kami benci betul dengan kucing peliharaan.

Mereka sombong-sombong sih biasanya. Membuat kami tidak suka jika berbagi makanan atau berbagi tempat tidur.

Tapi si abu-abu ini berbeda. Dia menerima kami kucing-kucing jalanan ini.

Ah, baiklah..

Semua sudah siap di atas peraduan masing-masing. Aku di atas mesin cuci, si cokelat di bawah pohon, si galak di dekat motor, si abu-abu di atas tumpukan kain.

Aku sedang menikmati alunan udara malam saat suara bergemerisik menghampiri telingaku.

Aku memberi kode pada teman-temanku yang lain. Sepertinya ada penyusup yang ingin masuk ke rumah kuning ini.

Sepasang mata si abu-abu segera terbuka. Dia memang paling sigap. Apa karena dia setiap hari dilatih oleh pemiliknya, ya?

Si abu-abu berlari menghampiri si galak dan si cokelat. Kami semua sudah terbangun dan siap siaga.

Suara-suara itu berasal dari tembok abu-abu. Si cokelat memberi tanda kepadaku untuk naik ke atas tembok dan menengok apa yang terjadi.

Sekali lompat, aku sudah berada di atas tembok, dua orang manusia berpakaian hitam-hitam sedang berdiri bersandar pada tembok.

Aku mengeong memberi tanda pada teman-temanku. Si galak segera memanjat tembok dan mengeong kepada dua orang manusia itu.

Si galak bahkan meluncur ke bawah tembok. Mengagetkan dua orang manusia itu yang tampak sedang menunggu sesuatu.

“Ah, hush! Hush! Kucing dari mana sih ini! Hush! Gimana ini bro?? terlalu berisik, bisa ketauan kita nih”

“Iya, siaul bener nih kucing-kucing. Hush!!! Hushhh!!”

Aku mengeong keras-keras dari atas tembok. Teman-temanku sudah berkumpul bersamaku di atas tembok.

“Udah, ga jadi aja, yok, ayok pergi sebelum orang-orang liat kita”

Mereka lari tunggang langgang seperti ketakutan akan sesuatu. Aku tersenyum puas.

Huh, enak saja mereka mau mengganggu penghuni rumah ini. Tidak boleh! Penghuni rumah kuning ini selalu baik terhadap kami-kami.

Tentu saja akan kami usir siapa saja yang terlihat mencurigakan.

Hap!

Aku kembali ke peraduanku yang nyaman di atas mesin cuci. Sesekali tedengar suara motor dari jalan raya di depan sana.

Aku pun merasa mengantuk sekali. Selamat malam dunia. Aku tidur dulu. Aku pun melingkarkan badanku dan memejamkan kedua mataku...

-Selesai-



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Cerpen “KUCING”"

Comment