Muharram Patra



 “Patraaaaaa!!!!!!!!!!!!”

Teriakan Pak Sugi guru bidang kesiswaan SMA Harapan menggema di lorong sekolah. Sesosok siswa telah menabrak Pak Sugi dengan begitu kencangnya dari belakang.

“Maaf Paaaaak…!”

Patra berlari sekencang-kencangnya menuju kelasnya. Kelas 11 IPS 3 lokasinya memang di ujung deretan kelas 11. Jauh dari gerbang sekolah tempat Patra meloloskan diri.

Patra menyukai dan membenci kelasnya itu sekaligus.

Ia menyukainya karena kelas itu sangat cocok untuk pacaran sehabis pulang sekolah. Ia membencinya karena kelas itu sangat jauh dari gerbang sekolah tempat Patra biasa diinterogasi karena terlambat masuk sekolah.

Ya, persis seperti yang terjadi seperti kejadian pagi ini.

“Hosh.hosh..hosh…hosh.. Pagi, Buuuuuu!” Sembari tersenyum lebar Patra berlari memasuki kelas yang sedang diajar mata pelajaran Bahasa Inggris milik Bu Lili.

“Pagi, Patra. Kamu terlambat lagi ya? Sudah didata belum di gerbang? Mana surat keterangan yang membolehkan kamu masuk?”

Bu Lili menunjukkan wajah tidak suka terhadap Patra. Namanya terkenal karena acapkali menjadi bulan-bulanan satpam sekolah saking seringnya terlambat.

Patra merogoh saku celana dan mengeluarkan surat sakti-nya.

“Ini, Bu Lili yang manis semanis bunga Lili. Udah kan? Saya boleh duduk dong…Saya udah ga sabar ingin mendapat siraman pengajaran bahasa Inggris dari Bu Lili yang cantik JELITA… JELANG LIMA PULUH TAHUN maksud saya gituloh Bu”

Gerrrr. Suara tawa sekelas membuat wajah Bu Lili bersemu merah karena menahan rasa kesal.

“Sudah, sudahh! Diammm!!! Semuanya ayo diam….Kita lanjutkan pelajarannya ya!”
Patra berjalan menuju kursinya dengan senyum tengil. Di sebelahnya sudah duduk daritadi Robi, sohib kental Patra sejak SD.

“Gile lu Pat,  berani amat sih ngecengin Bu Lili gitu. Emang udah putus Pat urat malu lo kayanya deh!”

Patra terbahak-bahak demi mendengar kalimat Robi barusan. Patra yakin hari ini akan berjalan indah seperti biasanya.

Seindah hari-harinya seperti biasa sebagai pangeran di SMA Harapan ini

***
Angin sore hari mulai menerbangkan daun-daun kering di halaman rumah bercat kuning itu. Sesosok perempuan berjilbab tengah menyapu dedaunan yang rontok itu .

“Dorrrrr!!!!!! Mama lagi ngapain hayo????? Nyapu halaman gini kok sambil bengong sih” Patra mengagetkan Mamanya yang sedang termenung.

“Ih, dor-dor apa sih, assalamu’alaikum-nya manaaa?” Mama menjawil hidung Patra. Anak satu-satunya ini memang suka mengagetkannya.

“Oh iya, assalamu’alaikumm Mama sayang cintakuhh.”

“Nah gitu dong, waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.”

Perempuan itu meletakkan sapunya di halaman dan masuk ke rumah bersama anak lelaki kesayangannya itu.

***

Safira, itu namaku. Usiaku kini genap 47 tahun. Aku bekerja sehari-hari sebagai karyawan di perusahaan pabrik minuman ringan di kota Karawang.

Sore hari seperti ini adalah waktuku membersamai anakku yang baru saja pulang sekolah. Muharram Patra, namanya.

Anakku satu-satunya. Anak kesayanganku.

Anak perlambang doa-doa berlinang air mata-ku waktu itu. Waktu terkelam dalam hidupku….

***

Patra duduk di meja makan untuk bersiap-siap makan malam. Sebuah piring sudah dia ambil dari rak piring.

Hari ini menu-nya sangat menggoda sekali. Sayur sop plus ayam goreng. Mama memang luar biasa. Setiap Mama pulang kerja secapek apapun itu, pasti Mama tetap memasak untuk Patra.

Patra pun mulai menyendok makanannya.

“Eh, Pat, Mama mo tanya, kamu tadi belajar apa di sekolah?”

“Hah? Belajar banyak-lah, Ma.”

“Ya banyak itu apa ajaa. Mama kan mau denger cerita kamu belajar di sekolah.”

“Ga ada yang seru kok, Ma. Biasa-biasa aja.”

“Terus kalau biasa-biasa aja, kok Mama dapet laporan kalau kamu terlambat masuk sekolah tadi?”

“BBRUUP!!”

Patra menyemburkan makanan di mulutnya. Sial, dari mana Mamanya bisa tau adegan tadi pagi. Ah, pasti Pak Sugi guru nyentrik satu itu yang membocorkan ke Mamanya.

“Tenang Maaaa. Patra bisa masuk kok pelajaran pertama. Peraturannya sekarang kan udah longgar.”

“Pat, Mama ga yakin ini harus disikapi secara tenang. Ada hal lain nih Pat yang mau Mama bahas. Itu loh, tentang pacar kamu Nadia itu. Mama ga yakin ini waktunya kamu pacaran. Mama saranin sih kamu fokus akademis dulu, Pat. Kamu tau kan kalau kelas 11 ini sangat penting untuk menabung nilai agar masuk perguruan tinggi?”

Patra sibuk mengunyah makanan yang terhidang di piringnya. 

Mamanya akan melanjutkan ceramahnya apapun respon jawaban Patra. Jadi lebih baik mendengarkan saja sambil terus melanjutkan makan. Anggap saja musik orkestra, tapi sayangnya orkestra yang ini bernada sumbang.

***

Suasana kelas Patra siang hari itu terlihat sangat gaduh. Wali kelas mereka meminta diadakan rapat kelas untuk kegiatan ulang tahun sekolah.

Setiap kelas akan membuka stand untuk menjamu tamu dari kelas lain maupun sekolah lain. Kelas-kelas lain pun sedang memutuskan tema stand mereka masing-masing.

Patra berjalan santai keluar dari kelasnya. Hal-hal semacan rapat kelas adalah sesuatu yang tidak disukainya.

Daripada ribet-ribet jadi kambing congek mendengarkan orang berdebat memutuskan tema mana yang lebih baik, Patra memutuskan menuju kelas sebelah, 11 IPS 2.

Kelas di mana Nadia berada.

“Nad!”

Gadis manis di pinggir jendela itu otomatis segera menengok ke arah Patra. Nadia, segera menghampiri Patra yang menunggunya di luar kelas.

“Pat, kamu kok di sini? Ga ikutan rapat kelas kamu? “

“Ngga, ah. Males. Kamu emang ikutan rapat? Palingan juga kamu ngobrol aja sama siapa tuh temen kamu yang aneh itu”

“Ih siapa sih yang aneh, dia baik tau. Oiya Pat, jadi kan nanti abis pulang sekolah jadi ga main ke rumahku?”

“Iyaa, jadii”

“Asiiiiiiik!”

Patra menatap gadis kesukaannya itu. Nadia menyatakan perasaan kepada Patra di sebuah sore hari saat Patra selesai mengadakan pertandingan basket.

Nadia tampak sangat gugup saat mengatakan kalimat demi kalimatnya di hadapan Patra. Kegugupan itu berganti dengan rasa senang membuncah-buncah saat Patra menerimanya sebagai pacar.

“Ih kamu bengong mikirin apaan sih, aneeeh” Nadia mendorong Patra sambil tertawa.

“Nggak, nggak mikirin apa-apa kok” Patra membelai kepala Nadia. Rambut Nadia selalu tergerai lembut lengkap dengan kemilau warna hitam yang memukau. Patra selalu merasakan sensasi tersendiri saat menyentuhnya.

***

Safira membereskan meja kerjanya. Hari ini dia akan ikut jemputan kantornya untuk pulang ke rumah. Walaupun harus merelakan sepertiga tunjangan gajinya terbuang karena jam kerja-nya yang dipotong karena mengikuti jadwal jemputan, hal itu tidaklah mengapa buatnya.

Hal yang paling penting adalah bisa mencapai rumah sebelum malam tiba dan membuatkan makan malam untuk Patra, anaknya.

Perjalanan Karawang-Depok memakan waktu tempuh 2 jam. Hal itu bisa dimanfaatkan Safira untuk berisitrahat sejenak di bus jemputan.

Safira harus segera memasak saat mencapai rumahnya nanti. Safira juga harus mencuci, menyetrika sejak pukul 3 pagi setiap harinya. Hanya di bus jemputan inilah satu-satunya tempat Safira bisa beristirahat.

Bus mulai bergerak memasuki jalan tol Cikampek-Jakarta. Safira memandangi hamparan lahan kosong di sisi jalan tol.

“Biiiip! Biiip!! Biiipp! Biiipp!! ” Sebuah panggilan masuk di ponselnya membuyarkan lamunan Safira.

Safira segera mengangkat telpon itu. Dari Patra rupanya.

“Asssalamualaikum, Pat, Mama udah otw pulang nih.  Sekarang lagi di bus jemputan. Kamu udah pulang sekolah? Tunggu Mama oke? Mama akan masak makan malam buat kita”

[Waalaikumussalam, Ma. Ma, Patra ke rumah Nadia dulu ya sekarang. Ini udah pulang sekolah sih, Ma. Patra pulang agak maleman. Oke. Dadah, Mama!]

Klik.

Telepon dari Patra terputus. Hati Safira mulai terasa tidak enak. Dia sebetulnya tidak menyetujui ide Patra untuk berpacaran.

Sejak dulu anak satu-satunya itu tidak pernah punya ide berpacaran. Nadia, gadis berambut hitam sebahu itu mengobrak-abrik pertahanan Patra.

Huffft. Safira menatap jalanan lurus di jendela sebelahnya. Hatinya seolah tersedot ke masa lalunya saat dia mengandung Patra.

Matahari mulai rendah di ufuk barat. Pikiran Safira bergulir ke masa di mana dia berusia 29 tahun, saat semuanya masih baik-baik saja….

***

Jakarta seperti biasa terasa sangat sumuk di bulan Agustus seperti ini. Gedung-gedung perkantoran mulai menyalakan lampu tanda malam telah tiba.

Safira membereskan meja kerjanya. Dia harus segera pulang. Ayahnya yang seorang pelaut hari ini pulang dari perjalanan lamanya menuju Panama.

Safira sangat tidak sabar bertemu ayahnya. Sambil memasukkan segala sesuatu ke dalam tas-nya, Safira menyadari ada seseorang yang berdiri di pintu ruangannya.

“Fir, jadi kan ikut ke vila Pak Buwono?”

“Ah! Iya, aku lupa. Hari ini ya acaranya?”

Pak Buwono adalah bos mereka yang baru saja mendapatkan kenaikan pangkat menjadi general manager. Seluruh staff diundang makan-makan di villa Pak Buwono sebagai tanda syukur atas kebahagiaannya itu.

“Kayanya aku ga jadi ikut, Tom. Kamu bisa minta tolong bilangin Pak Buwono ga? Plis, Tom.”

“Yah, Fir, kamu tau sendiri kan Pak Buwono kaya apa orangnya, udahlah dateng aja sebentar nanti aku anter balik cepet. Okeh?”

Tom, rekan kerja Safira itu menawarkan tumpangan kepada Safira. Safira pun meng-iya-kan. Sebentar dia meminta waktu untuk mengabari orang di rumahnya bahwa dia akan terlambat pulang kerja malam ini.

Malam yang panjang dan tentunya paling kelam dalam sejarah kehidupan seorang Safira….

***

Hujan turun sangat deras pada malam itu. Tom mengendarai mobilnya dengan sangat berhati-hati karena jalan sangat licin.

Di jalan tol dalam kota, antrian mobil sudah mengular panjang. Safira berdecak pelan, sepertinya mereka akan masih lama sampai ke Megamendung, lokasi di mana villa Pak Buwono berada.

Tom terlihat serius memandangi jalanan di hadapannya. Sesekali pandangannya mengarah ke gedung samping jalan tol.

Saat kepadatan mulai terurai, Tom membelokkan mobilnya keluar jalan tol.

“Loh, kenapa kita keluar jalan tol, Tom?”

“Karena aku harus mengambil barang hadiah untuk Pak Buwono yang tertinggal, Fir. Sori yah, sebentar aja kok”

Mobil Tom memasuki parkiran gedung apartemen dan lurus mengarah ke bawah lantai dasarnya. Sesaat kemudian Tom memberhentikan mobilnya.

“Kamu mau tunggu di sini aja atau gimana, Fir?”

“Iya, boleh, aku tunggu di dalam mobil saja.”

“Sepertinya agak rawan kalau kamu menunggu di sini, Fir. Kamu boleh kok naik ke apartemen ku, aku sebentar aja mengambil hadiahnya Pak Buwono.”

Safira sejenak terdiam berpikir. Apakah tindakannya ini betul untuk ikut naik ke apartemen Tom, ah tapi Tom hanya akan mengambil hadiah itu sebentar lalu mereka akan melanjutkan perjalanan kembali.

“Oke, aku ikut denganmu, Tom.”

Tom dan Safira naik ke lantai 13 tempat apartemen Tom berada. Safira sudah mengenal Tom sejak 5 tahun yang lalu.

Tom lebih lama bekerja di perusahaan ini daripada Safira. Tom adalah orang yang pertama menyapa Safira di hari pertama Safira bekerja.

Tom adalah orang yang sangat banyak membantu proses adaptasi Safira di kantor.

“Oiya, Fir, Papamu yang pelaut itu baru pulang dari Panama? Akhirnya yah setelah sekian lama”

“Iya, Tom. Beginilah kalau ayahmu seorang pelaut. Ngomong-ngomong kamu tinggal sendiri di apartemen ini, Tom?”

Safira baru menyadari bahwa dia tidak pernah mendengar Tom menceritakan orang tua-nya. Safira-lah yang selalu menceritakan keluarganya terhadap Tom.

Mereka sampai di depan pintu apartemen Tom. Dengan sekali putar, Tom berhasil membuka kunci pintu apartemennya itu.

Tom pun mempersilahkan Safira untuk masuk.

Ruangan apartemen itu berkuran studio. Kecil saja tetapi menampung semua kebutuhan Tom.

Safira melihat sekelilingnya. Hanya ada tempat tidur, nakas, lemari baju, sebuah sofa, lalu sudut kecil untuk dapur mini dan kamar mandi.

Safira mematung diam di tempat. Sepertinya dia bingung harus duduk di sebelah mana dari bagian apartemen ini.

Tom beringsut menuju nakas sebelah tempat tidurnya. Dia terlhat sibuk mencari-cari sesuatu di situ. Safira menyimpulkan bahwa Tom meletakkan hadiah untuk Pak Buwono di situ.

Safira tiba-tiba penasaran akan sesuatu.

“Kamu tinggal di sini sendirian, Tom?”

Gerakan Tom terhenti seketika. Dia menoleh ke arah Safira yang masih mematung di depan pintu. Tom duduk di tempat tidurnya dan tersenyum simpul.

“Iya, aku selalu sendirian di sini, Fir. Orang tuaku sudah bercerai sejak aku kecil. Lebih tepatnya saat aku berusia 4 tahun. Aku diasuh oleh nenekku. Nenek-lah orang yang membesarkanku hingga dewasa seperti sekarang.”

Safira menjadi tidak enak terhadap Tom. Tidak seharusnya dia menanyakan hal seprivasi itu terhadapnya. Safira mendekati Tom.

“Hey, aku minta maaf karena telah tidak sopan menanyakan hal itu ya?”

Tom dan Safira bertatapan. Safira memberikan senyuman kepada Tom. Dia berharap Tom tidak sedih atas pertanyaannya barusan. Hujan di luar masih sangat deras. Tiba-tiba petir menyambar dengan kencangnya.

“Aaaaaaa!”

Safira menangkupkan kedua tangannya dengan cepat pada telinganya lalu meringkuk seperti bayi. Sejak kecil dia memang sangat takut terhadap bunyi-bunyian keras seperti petir.

“Fir, Fira, kamu gapapa? Kamu takut petir ya? Hahahaha.... Duh, Maaf Fir. Tidak kusangka seorang Safira ternyata penakut.” Tom memberikan cengiran khasnya.

“I, iya, aku agak sedikit takut kalau mendengar suara petir. Apalagi yang besar seperti itu.” Safira perlahan duduk di sebelah Tom di tempat tidurnya.

“Makasih ya Fir..”

“Hah? Untuk apa, Tom?”

“Kamu mungkin ga tau, Fir, tapi aku melihatmu. Aku selalu melihatmu sejak hari pertama kamu masuk di kantor. Kamu ceria dan menebarkan kebahagiaan dimanapun kamu berada. Aku selalu suka kepribadian kamu, Fir.”

Safira tersenyum.

“Thanks, Tom. Kamu tau akulah yang harusnya berterimakasih. Sejak hari pertama kamu selalu membantuku di kantor. Pak Buwono kan galak dan sangat detil. Kamu banyak membantuku dalam beradaptasi. Kamu yang terbaik, Tom.”

Tom menerawang ke arah langit-langit. Dia merasa ada kesedihan menyeruak tiba-tiba. Mengapa perempuan ini harus menyentuh inti hatinya sih?

“Terbaik? Iyakah?”

Tom tampak tiba-tiba sedih. Raut wajahnya menjadi sendu.

“Terima kasih banyak, Fir. Sejujurnya aku tidak tau dimana kebaikanku, Fir. Aku sempat merasa menyesal kenapa aku dilahirkan, Fir. Kamu tau, Fir? Orang tuaku saja tidak begitu memperhatikan keberadaanku. Mereka menganggapku tidak ada. Tapi beruntung nenekku tidak menyerah terhadapku. Aku rasa saat ini nenekku adalah satu-satunya alasanku tetap hidup. I owe her so much, Fir..

“Kamu orang yang baik, Tom. Aku yakin kehidupan para orang tua tidak selalu berjalan mudah. Ada banyak keputusan mereka yang belum bisa kita pahami. Tapi suatu hari kamu akan tau mengapa orang tuamu melakukan hal itu, Tom”

Safira kembali tersenyum kepada Tom. Tom menatap gadis itu dengan lembut. Safira sangat cantik. Dia begitu cantik malam ini. Rambut sebahunya selalu membuat Tom sukses tidak bisa memalingkan wajah darinya.

Tom mendekat ke arah Safira. Wajah Tom sudah sangat dekat dengan wajah Safira. Safira bisa merasakan hembusan nafas Tom di telinganya.

Safira segera mendorong badan Tom dengan kedua tangannya..

“Tom, kita harus segera ambil hadiah untuk Pak Buwono okey?”

Safira berjalan menuju pintu keluar apartemen Tom. Tom bergegas menghalangi Safira. Dengan sekali bunyi klik, pintu itu terkunci.

“Fir, kumohon jangan pergi. Jangan pergi dari sini. Aku ingin kamu tetap di sini Fir. Aku menyukaimu sejak dulu, Fira. Aku selalu melihatmu.”

Tom memegangi pundak Safira. Safira terpaku di tempatnya.

“Tom…..”

“Fir, aku butuh kamu, Fir. Aku ingin kamu, Fir. Kamu orang yang aku butuhkan. Tolong peluk aku, Fir. Tolong, Fir. Sebentar saja, peluk aku…”

Sesaat Safira terasa gontai, langkahnya terhenti. Dia menatap Tom tepat di kedua matanya.

“Tom, ayolah..”

Tom tiba-tiba merangkul tubuh Safira dengan sekuat tenaga..

Air mata Tom tumpah ruah sambil memeluk Safira. Deras sederas aliran luka masa lalu yang tiba-tiba terbuka. Tom mengencangkan pelukannya. Tangan Safira terentang ke badan Tom. Kali ini Safira yang memeluk Tom dengan seluruh jiwa raganya.

***

Safira membuka kedua matanya perlahan. Sinar matahari yang masuk membangunkan Safira. Potongan adegan demi adegan mampir ke kepala Safira. Hah? Safira terkejut mengingat adegan terakhir tadi malam. Dia berpelukan dengan Tom.

Ya. Safira memeluk Tom. Sedemikian erat hingga dia dapat merasakan luka batin yang dirasakan oleh Tom.

Lalu?

Safira segera bangkit dari tempat tidur. Dia menatap dirinya masih di apartemen Tom. Safira menyibak selimut yang menutupi tubuhnya.

ASTAGA.

Apa yang sudah dia lakukan? Safira kembali menutupi tubuhnya dengan selimut tebal itu.
Tom keluar dari kamar mandi. Dia menatap Safira yang terisak di tempat tidur.

“Fir, Fira, hey, dengarkan aku, okey? Aku akan bertanggung jawab, okey? Fira, aku akan bertanggung jawab. Okey?”

Tangan Tom terulur menyentuh bahu Safira. Safira buru-buru menepisnya. Air matanya turun menderas tak tertahankan lagi. Dia harus pulang sekarang juga.

Tanpa kata-kata, Safira membereskan semuanya dan meninggalkan Tom sendirian di apartemennya.

***

Safira menghela nafas panjang. Jalan tol Cikampek-Jakarta lancar pada sore hari ini, sebuah kemustahilan yang terjadi cukup jarang.

Apa yang akan dilakukan Patra di rumah pacarnya? Safira membuka tas-nya. Sebuah untaian gelang kecil telah berada dalam genggaman Safira.

Sambil menarik nafas panjang, Safira memulai lantunan dzikr-nya terhadap Yang Maha Kuasa. Doanya diam-diam terlantun untuk putra semata wayangnya.

Kumohon, Ya Rabb, kumohon, hentikan dia dari kesalahan kedua orang tuanuya.

Kumohon, Ya Rabb, kumohon, ampuni kesalahan kami, jangan biarkan menetes terhadap kehidupan Patra.

Kumohon, Ya Rabb, kumohon, lindungi Patra dari hebatnya godaan nafsu dunia.

Safira meneteskan air matanya. Selamanya dia tidak pernah tahu apakah dosanya telah diampuni. Dia hanya tahu setiap malam semenjak kejadian itu dia selalu mengerjakan shalat taubat.

Dosanya tak terampuni tapi lautan rahmat-Nya selalu maha luas. Safira tenggelam lagi dalam kenangan masa lalu.

Orang tuanya sangat murka begitu mengetahui kehamilan Safira setelah kejadian di apartemen Tom malam itu.

Safira tutup mulut tentang siapa yang melakukan perbuatan itu terhadapnya. Sungguh dia berharap Tom benar-benar bertanggung-jawab.

Tapi Tom tak pernah membuktikan janjinya itu terhadap Safira. Safira memaksa dirinya untuk kuat di waktu itu.

Waktu terberat dalam hidupnya saat Papanya ambruk diserang penyakit stroke mendadak akibat mendengar berita kehamilan Safira. Mama Safira menangis setiap harinya melihat kondisi suaminya.

Tom pindah kantor keesokan harinya sejak kejadian itu. Safira tidak pernah menghubunginya. Ini bukan murni kesalahan Tom.

Safira menutup rapat setiap orang yang bertanya siapa ayah dari bayi yang dia kandung. Itu adalah aibnya. Tidak seorang pun yang harus mengetahui dengan siapa dia melakukan perbuatan itu pada malam hari itu.

Safira memulai perjalanan titik balik kehidupannya saat itu juga. Dia berjanji untuk fokus pada dirinya dan masa depan jabang bayinya.

Dia telah mengecewakan orang tuanya, dia telah mengecawakan dirinya sendiri, ini semua harus dia perbaiki dengan sekuat tenaga.

Dia hanya harus melanjutkan kehidupan dengan tanpa melakukan kesalahan kembali. Safira bertekad melahirkan anaknya dan membesarkannya.

Safira memutuskan keluar juga dari perusahaan yang telah menjadi tempatnya bekerja selama 5 tahun itu.

Orang tua Safira mengusirnya dari rumah. Safira meminta maaf dengan bersimpuh di hadapan Papanya.

“Pah, Fira minta maaf atas kesalahan Fira, Pah.. Fira akan keluar dari rumah ini dan tidak akan menemui Papa dan Mama lagi. Maafkan kesalahan Fira, Pah..”

Kedua orang tua Safira membeku dalam keheningan yang mencekam. Mamanya mengusap air mata yang jatuh berkaca-kaca dari kedua matanya.

Safira bangkit meninggalkan rumah besar itu pada saat usia kandungannya 2 bulan. Dia tidak tau harus kemana. Tapi dia membawa semua ijazah dan pakaiannya.

Safira akan memulai kehidupan barunya. Berdua saja, dengan anak dalam kandungannya. Berdua dalam pertaubatan panjang tak henti-henti atas satu malam itu……

***

Patra sampai di depan rumah Nadia. Nadia menarik tangan Patra masuk ke dalam rumahnya. Rumah Nadia tampak kosong.

Garasi tempat mobil Ayah Nadia bisa terparkir kini kosong.

“Pat, ayoooo masuuuuuk..”

Nadia membukakan pintu untuk Patra. Muharram Patra kali pertama menginjakkan kaki ke dalam rumah Nadia yang sepi itu.

“Duduk, Pat. Aku ambilin minum yaaa”

Patra pun duduk di kursi tamu. Ruangan itu dihiasi beberapa pigura foto keluarga Nadia. Patra mengamatinya dengan seksama.

Nadia menyuguhkan segelas air sirup rasa jeruk. Patra segera meminumnya. Udara sore hari ini sangat terik terasa.

“Ah, enak, Nad! Makasih ya!”

“Iya, sama-sama, Pat”

Nadia duduk di sebelah Patra. Dia tampak cantik meskipun sehabis pulang sekolah. Patra mengakui bahwa dia mau menerima Patra karena dia memang cantik.

“Pat, aku mau tanya sesuatu sama kamu…”

“Hah? Mo tanya apa, Nad? Tumben kamu serius gini. Bilang aja Nad kalau ada sesuatu”

Wajah Nadia tampak serius. Patra mencoba mengamati Nadia dengan seksama. Sebenarnya apa sih yang mau dikatakan oleh Nadia.

“Pat, aku……”

“Kamu kenapa, Nad?”

“Aku……”

***

Safira berhenti di perempatan Pasar Rebo, rumahnya sebenarnya masih beberapa kilometer lagi mengarah Depok.

Tapi dia benar-benar ingin berhenti. Ada perasaan tidak enak menjalari hatinya saat ini. Safira berusaha mengontak Patra.

Dia ingin bicara dengan anak tunggalnya itu. Sekarang juga.

***

“Aku mau tanya sama kamu, Pat. Kamu bener-bener sayang sama aku, ngga?”

“Hah?”

Patra melongo tepat saat Nadia menuntaskan kalimat pertanyaannya itu. Patra menatap Nadia dengan masygul.

“Nad, what’s wrong? Apa yang lagi kamu pikirin sih? Yaiyalah aku sayang sama kamu, kan aku pacar kamu, Nad. Itu pertanyaan yang kamu ga harus tanya sih”

“Kalau gitu aku ingin make love sama kamu sekarang! Di sini!”

“Apa?”

Nadia menutup kedua matanya. Seluruh tubuh Nadia bergetar hebat. Dia tampak sangat gugup. Patra menatap Nadia. Dia tidak tahu harus berkata apa kepada Nadia.

Mereka memang pernah berpelukan, sekali saat Nadia merayakan ulang tahunnya. Patra mengakui bahwa itu membuatnya hampir hilang kendali.

Tapi bagaimanapun dia tidak pernah menyangka Nadia menyatakan keinginan semacam itu. Patra menatap pacarnya lekat-lekat. Tubuh Patra bergerak ke arah Nadia perlahan tapi pasti.

“Nettt!Nett-Noooot-Neeettttt!!!!!Netttt-nooooot-neeet!!!!”

Suara dering ponsel Patra membuyarkan konsentrasi Patra saat itu juga. Wajah Patra mendadak kesal. Nadia membuka matanya lebar-lebar. Dia menatap Patra.

“Sebentar ya, Nad.”

Patra menatap kesal layar ponselnya. Mama menelponnya.

[Pat! Hallo, Nak? Pat, kamu bisa pulang sekarang juga? Ada hal penting yang ingin Mama katakan. Kamu ingin tau kan Pat siapa ayahmu? Kamu bertanya-tanya kan Pat mengapa tidak pernah ada selembar foto pun tentangnya di rumahmu? Pulang, pulanglah sekarang Patra. Mama menunggumu]

Patra menutup ponselnya dengan pandangan nanar. Dia harus pulang sekarang juga.

“Mama kamu kenapa, Pat?” Nadia mencoba mencairkan suasana. Tapi gagal, Patra segera mengambil tasnya dan berlari ke luar rumah Nadia.

“Aku harus pulang, Nadia. Ada hal penting yang ingin disampaikan Mamaku”

***
Nafas Safira masih terengah-engah. Dia mengelus kandungannya yang sudah berusia sembilan bulan. Sambil duduk di lantai rumah kecil kontrakannya, Safira berusaha mengatur nafasnya.

Perlahan Safira membuka jilbab yang kini setia menutupi rambut indahnya. Punggung Safira menempel ke dinding. Dia masih shock.

Safira baru saja mendatangi sebuah kajian ustadz di masjid dekat rumah kontrakannya dan bertanya mengenai pengalamannya. Jawaban dari Ustadz itu begitu mengguncang diri Safira. Safira terduduk dan bulir air mata perlahan menetes dari pelupuk matanya.

“Selamanya zina takkan diampuni oleh Allah.. Sebanyak apapun sholat taubat yang dilakukan oleh orang tersebut, dosanya takkan diampuni oleh Allah….”

Safira menggigit bibir bawahnya. Tubuhnya bergetar oleh rasa takut yang amat dahsyat.

“Tapi ustadz, bukankah mengampuni dosa adalah hak prerogatif Allah. Manusia wajib berikhtiar bertaubat di sisa usia dan berhusnuzhon atas rahmat Allah?”

“Tidak! Zina itu sebuah perbuatan dosa yang teramat kelam. Dosanya akan menetes kepada anak keturunannya. Dosa itu membuat Allah murka, semurka-murkanya!”

Safira membenamkan wajahnya di kedua telapak tangannya. Air matanya menganak sungai. Ketakutannya membesar sebesar-besarnya.

Safira sungguh sangat takut aibnya mencelakakan anaknya. Allah sudah sedemikian mengaruniakan rahmat kepada Safira dengan memberikan jenis kelamin laki-laki pada bayi yang dikandungnya.

Safira memang tidak putus-putus berdoa agar Allah memberikannya bayi laki-laki. Safira tidak ingin membesarkan seorang perempuan yang dinilainya lebih lemah ketimbang laki-laki.

Safira tiba-tiba tercenung lama. Bagaimana kalau bayi ini akan menjadi laki-laki seperti Tom yang meniduri gadis sebelum menikahinya?

Bagaimana kalau dosa Safira benar-benar menetes dan mengacaukan kehidupan bayi di dalam kandungannya ini?

Safira meledak dalam tangisan yang semakin hebat. Bahunya terguncang penuh emosi. 

Mulai hari ini Safira berjanji akan selalu mendoakan bayi ini agar terlindung dari apapun keburukan, baik keburukan ayah ibunya, keburukan hawa nafsunya sendiri, keburukan orang lain, seluruh keburukan di muka bumi.

Safira mengelus kandungannya. Bayi ini tidak berdosa, ujar Safira. Sungguh berat baginya hidup tanpa sosok ayah tapi Safira bertekad akan membesarkannya dalam jalan pertaubatan murni semurni-murninya.

Rumah kontrakan itu sunyi, Safira merasakan bayi dalam kandungannya berputar sedikit dari porosnya. Pasti dia merasakan seluruh emosi yang dirasakan oleh ibunya.

“Nak, Mama tau Mama memiliki sebuah dosa yang mungkin tak pernah terampuni. Tapi Mama ingin kamu menjadi pemuda yang terlindungi dari keburukan dunia apapun sumbernya.. Mama berjanji Mama akan mendoakanmu siang dan malam agar kamu terputus dan menjadi sosok bersih tak ternoda dosa Mama, Nak…”

Safira mengelus-elus jabang bayi di dalam perutnya. Dia tau dia tidak boleh menyerah. Belum boleh seorang berputus asa dari rahmat Allah selama Allah masih memberikannya usia untuk berdoa.

Safira bertekad akan meneruskan tradisi sholat taubatnya yang telah dia lakukan setiap malam sejak peristiwanya dan Tom terjadi.

Mama mendoakanmu, Nak agar jalan taubat Mama semoga melindungi kamu dari keburukan dunia ini….

***

Safira menatap Patra yang duduk di hadapannya. Alhamdulillah Patra mau menyanggupi permintaannya untuk segera pulang.

Entah apa yang tengah dia lakukan di rumah Nadia, tapi firasat Safira sebagai seorang ibu menyatakan untuk segera memanggil Patra pulang.

Dan satu-satunya alasan paling kuat untuk memanggil Patra pulang adalah dengan menceritakan tentang ayahnya.

Gluk. Safira menelan ludahnya sendiri. Dia merasakan begitu berat untuk membuka mulut mengawali kalimat pertamanya.

“Jadi siapa Ma? Siapa orang itu?”

Safira menegakkan posisi duduknya di sofa. Dia menatap Patra. Putranya itu memiliki wajah yang sepintas mirip Tom.

Ah, entah dimana Tom sekarang berada. Tapi Patra tetap harus diberitahu kebenarannya.
Safira menggenggam tangan Patra.

“Pat, Mama mau minta Patra janji satu hal. Tetap doakan Mama apapun yang Mama ceritakan setelah ini ya? Janji ya, Pat?”


“Doa apa maksud Mama?”

“Doa untuk Mama. Doa seorang anak untuk ibunya. Mama akan sangat membutuhkan itu 
kelak Pat…”

Suara Safira terhenti. Dia harus menenangkan diri. Safira menarik nafas panjang dan mulai menceritakan semuanya….

Semua yang terjadi dan berujung hingga hari ini…

Semua ketakutannya…

Semua harapannya…

Semua upayanya menghidupi dirinya dan Patra…

Semua doanya bagi Patra…

Semuanya…

Safira tak kuasa menahan air matanya. Ah, akhirnya luruh juga kebenaran itu di hadapan putranya sendiri. Safira menunggu respons Patra.

“Jadi itu alasan kenapa Mama menamakan Patra dengan Muharram?”

“Iya, Nak. Mama sungguh ingin hijrah, pindah dari keburukan ke kebaikan dengan kelahiranmu, oleh karena itulah Mama menamaimu Muharram, alih-alih Muhammad seperti kebanyakan orang tua lainnya. Namamu adalah penyemangat Mama, Pat.Kamu adalah tonggak hijrah Mama menuju jalan yang benar-benar lurus”

Patra menunduk. Kepalanya terasa berat sekali.

“Lalu kenapa Mama tidak pernah menghubungi sosok Tom?”

“Maafkan Mama, Pat. Mama merasa itu bukan solusi yang terbaik. Mama memohon ampun selamanya atas aib Mama. Tapi meminta pertanggung jawaban orang yang tidak mau bertanggungjawab bukanlah sebuah solusi, Nak….”

“Orang itu tidak pernah menghubungi Mama?”

“Tidak, Nak. Tom tidak pernah menghubungi Mama sejak saat itu. Jadi kalaupun kamu mau mencarinya mungkin dia akan kaget karena Mama bahkan tidak memberitahukannya tentang kehamilan Mama..”

Safira tersenyum kecut. Patra menatap Mamanya dengan tatapan rumit. Seluruh emosinya bercampur aduk dengan sempurna pada malam ini. Patra tahu bahwa Mamanya menyembunyikan sosok yang menjadi ayahnya.

Tapi Patra tidak mengira bahwa seperti inilah kisah dibalik kelahirannya. Patra selalu berpikir bahwa Mamanya adalah sosok istri kedua atau simpanan seseorang yang tidak mau bertanggung jawab. Tapi fakta yang diceritakan Mamanya lebih parah daripada itu semua.

Patra menghela nafas. Ini terlalu berat baginya untuk dicerna secara mendadak. Patra menatap Mamanya sekali lagi.

“Ma, Patra minta maaf ya?”

“Minta maaf?”

Safira menghapus air mata dari pipinya.

“Iya, Patra minta maaf selama ini tidak tau kalau Mama memendam seluruh hal ini sendirian. Mulai hari ini Patra akan jadi pelindung Mama. Kita tidak perlu menghubungi dia, Ma. Patra akan mendoakan dia sebagai seorang anak. Tapi Patra tidak akan mencari dia kalau Mama meminta Patra untuk tidak mencari dia.”

Safira terpana menatap putranya. Di hadapannya kini Patra menjelma menjadi sosok dewasa. Pengganti ayahnya yang mengusirnya, pengganti Tom yang berjanji bertanggung jawab, pengganti orang-orang yang meninggalkannya di tengah pergulatan batinnya melanjutkan kehamilannya.

“Patra, Mama mau minta satu permintaan lagi.”

“Apa itu Ma?”

“Jadilah lelaki dewasa yang bertanggung jawab, ya? Tentang Nadia, Mama tidak tau sudah sejauh apa kalian berpacaran.. Mama mengakui Mama terlalu takut untuk menyetop kalian tetapi di saat bersamaan juga Mama sangat takut menebak sudah sejauh apa kalian berpacaran. Bisakah kamu mencintai Nadia nanti jika kamu sudah siap bertanggung jawab atas dirinya, Pat? Dengan kata lain, Mama meminta kamu memutuskan dia. Maafkan Mama, Patra.. Mama, Mama khawatir kamu tidak bisa menahan gelegak seperti Mama dahulu. Kehidupanmu terlalu mulia untuk tunduk di bawah hawa nafsu. Maafkan Mama yang lancang meminta hal seperti ini. Mama tau Mama sendiri mungkin selamanya tidak akan pernah terampuni. Tapi Mama berusaha sekuat-kuatnya untuk menempuh jalan pertaubatan..”

Patra memeluk Mamanya tiba-tiba. Safira terperangah.

“Ma, Patra akan melakukan apa aja. Apa aja Ma untuk Mama. Patra dan Nadia hanya pernah berpelukan satu kali. Maafin Patra ya Ma. Betul kata Mama dulu. Pacaran cuma penguat aliran hawa nafsu. Tidak ada kebaikan di dalamnya. Patra akan putus dengan Nadia, Ma. Patra sayang Mama. Patra akan membahagiakan Mama”

Safira mengusap punggung anak lelakinya itu. Muharram Patra adalah nama yang Safira berikan kepada bayi yang lahir tepat di hari Minggu 17 tahun lalu itu.

Safira melahirkan Patra sendirian di sebuah klinik bidan tidak jauh dari rumah kontrakannya. Safira merawat Patra seorang diri sejak hari pertama kelahirannya. Apabila Safira bekerja, Patra dia titipkan kepada tetangga pemilik warung sebelah rumah kontrakannya.

Safira memeluk Patra. Kini anak itu sudah dewasa dan mengetahui segalanya. Ya Allah, aku hanya ingin dia tumbuh dewasa dan tidak mengulangi kesalahan orang tuanya, bisik Safira.

Hati Safira seolah ringan saat ini, semua beban berat yang dia kelola sendirian selama ini sudah dia bagi kepada putranya sendiri.

Safira memegang wajah Patra

“Pat, kehadiran kamu adalah sebentuk pertaubatan Mama. Kamu adalah sebentuk hijrahnya Mama kembali ke jalan kebenaran. Semoga kamu pun selalu Allah jaga selalu dalam kebenaran ya Nak. Mama sayang kamu, sangat-sangat sayang kamu, Nak”

Patra mengangguk pelan

“Patra sayang Mama. Dan makasih Ma, sudah mempertahankan Patra meskipun masa depan terasa sangat kelam pasti waktu Mama sendirian mengandung Patra tanpa dukungan siapapun. Walaupun begitu Mama masih mempertahankan Patra.”

Safira tersenyum. Melebihi siapapun hari ini dia merasa bahagia. Safira merasa doa-doanya dalam sholat taubatnya sejak malam bersama Tom itu telah terkabul….

***

Sebuah ruangan. Sebuah kamar tidur. Sebuah tes kehamilan teronggok di meja. Sesesok perempuan menengadahkan tangan di atas sajadahnya.

Safira..

“Ya Allah.. Ampuni dosa-dosaku.."

"Tolonglah aku melanjutkan kehidupanku agar memenuhi apa yang Engkau mau… "

"Ya Allah…. Terimalah pertaubatanku…. Aku mohon bimbing aku kembali kepada jalan-Mu yang benar….."

"Ya Allah…. Lindungi bayi ini dari dosa-dosa kedua orang tuanya…"

"Biarkan dia tumbuh menjadi manusia merdeka yang selalu Engkau lindungi dari keburukan dosa-dosa kedua orang tuanya…."

"Ya Allah… Jika ini adalah jalanku untuk menemukan-Mu kembali dalam pertaubatanku, bimbing aku untuk menjaga janin ini hingga dia siap dilahirkan ke dunia ini…"

"Berikan dia jenis kelamin yang memudahkan dia untuk menata masa depannya tanpa mengetahui terlalu banyak dengan masa lalunya…."

"Ya Allah…. Aku memaafkan Tom…. Kumohon karuniakan dia hidayah-Mu agar kembali ke jalan yang benar-benar lurus…."

"Kuatkan aku ya Allah…. Aku meyakini-Mu kini melebihi siapapun… Karena siapapun telah meninggalkanku.. Tetapi Engkau tak pernah meninggalkanku meski aku berlumuran dosa yang tak terampuni.. “

Safira menunduk menyelesaikan doanya dengan mengucapkan hamdallah. 

Pelan tapi pasti dia menetapkan masa depannya berdua saja dengan janin yang dikandungnya. 

Ini bukan sebuah aib untuk bertaubat kembali ke jalan Allah. 

Janinnya tidak mengandung dosa kedua orang tuanya.

Safira bertekad memperjuangkan kehidupannya dan kehidupan janinnya. Dia yakin Allah akan membantunya selalu.

-THE END-







Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Muharram Patra"

Comment