Dan saya selalu kehabisan kata tentang orang satu ini. Begitupula tentang sore itu. Sore hujan di Masjid UI yang senantiasa ramai. Begitulah. Syuro kalo menurut bahasa mereka. Kalo menurut saya menabung pahala. Sama aja sih.
Dan sore berganti maghrib. Saya melihatnya tengah berkumpul. Ngariung kalo kata orang sunda mah. Membatalkan puasa nampaknya. Kemudian dari jarak 2 meter, dia memanggil saya dan menawarkan ta’jil-ta’jil itu. Sambil cengar-cengir saya menolak halus. Toh saya lagi gak puasa, pikir saya begitu.
Sesaat kemudian, dia menuju saya, hendak menitipkan tas untuk turun wudhu, begitu pikir saya.
Lalu ia memang menitipkan tasnya. Sejurus kemudian ia bertanya, “Mau didoain apa?”. Oh, iya juga ya. Kan dia lagi buka puasa. Dengan senyum saya menjawab penuh yakin, “Minta didoain itu” .
Sangat tidak eksplisit. Benar-benar refleks. Tidak jelas sama sekali. Dan ia serta merta tersenyum sambil mengangguk. Menghadap kiblat, duduk dan menunduk dalam. Berdoa. Mendoakan itu.
Ia mengerti apa maksud dari itu.
Ya ampun.
Saya menatap duduk dan doanya dia. Untuk kemudian mengaminkan dengan lantang.. “Amiiiiin”
Lalu ia pun turun berwudhu. Tanpa ia tau, ada yang bertambah pada hati saya. Tanpa ia tau, saya semakin bertambah sayang padanya. Tanpa ia tau, saya mencatat momen itu dalam-dalam.
I love u more, ti...
1 Tanggapan untuk "Seharusnya tidak (usah) segitunya, ti. Pyuf, dea yang lagi-lagi lebay"
aku yang tak pernah mengerti, namun, sok mengerti hal yang sebenarnya aku tak mengerti tapi sangat aku mengerti,,,,,,,,,
namun,,,,,,,,,,,,
aku sok mengengerti.....
tapi aku yakin
aku mengerti
dan pastinya kau anggap...
aku
tidak
mengerti.....
_saudaramu_
yang ingin mengerti mu.
Posting Komentar