Sudah setengah jam
bayi Marni menangis. Tangisannya begitu keras. Tetapi tidak ada tetangga yang
mendatangi.
Rumah kontrakan
itu sempit dan saling berdekatan satu dengan yang lainnya. Tetapi tidak ada
tetangga yang mendatangi.
Jam dinding
menunjukkan tepat pukul 12 siang.
Marni merasa
kelelahan dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Gari, bayi lelaki-nya tidak
mau berhenti menangis juga.
Marni menyeka air
matanya yang menetes. Dia harus kuat, entah bagaimana caranya.
Marni mendatangi
Gari dan menyusuinya.
***
Malam hari datang
dengan suasana yang tidak kunjung sejuk. Bulan September ini memang harusnya
sudah musim penghujan.
Ah tapi di sudut
kota Bogor ini hujan tak kunjung menyapa.
Marni melirik ke
tempat tidur. Teguh, suami Marni sudah lelap tertidur. Pasti dia sangat lelah.
Marni menerawang
ke langit-langit kontrakannya yang rendah di atasnya.
Tidak berapa lama,
Marni beringsut menuju rak plastik tempatnya menyimpan pakaiannya dan juga
pakaian suaminya.
Marni menyembunyikan
buku dan sebuah pulpen di balik tumpukan pakaian rapih itu.
Sambil memastikan
Gari masih terlelap, Marni memulai aktivitas kesukaannya itu.
Bogor, awal
September 2018
Halo, siapa
saja yang membaca tulisan ini. Aku Marni dan aku masih di sini. Di sisi Mas
Teguh suamiku. Aku mencintainya sungguh tapi aku tidak bisa menceritakan apa
yang terjadi padaku.
Hanya di sini
aku bisa menuliskan perasaan dan keadaanku yang sebenarnya…
Marni pun menulis
kalimat demi kalimatnya dengan sepenuh hati. Sepotong bulan menggantung di
langit malam. Marni masih tenggelam dalam tulisannya.
***
“Ya Allah, Guh!!!
Teguuuuuh!!!!!”
Suara tetangga
menyambut Teguh yang berlari terengah-engah menuju rumah kontrakannya.
“Bu Said, mana
Gari, Bu?”
“Adaaa. Gari udah
dibawa ke rumah Bu RT. Ya Allah, Guuh…Ya Allah…. Gua pikir si Marni ada di
dalam rumah, Guh.. Ya Allah… si Gari nangis udah kaya apaan tauk… Sejam ada
kali. Gua bareng ibu-ibu yang lain dobrak rumah lu jadinya. Maap ya Guh. Ya Allah,
Guh, si Marni kemana Guuuh”
Teguh limbung
seketika. Marni kabur dari rumah?
Sambil menyeret langkahnya Teguh memasuki rumah kontrakannya.
Ruang tamu kecil
mereka masih rapih bersih sebersih pagi tadi dia berangkat ke pabrik sepatu
tempatnya mencari nafkah.
Marni pastilah
masih membersihkannya sebelum dia kabur.
Teguh berjalan
menuju kamar tidurnya dengan Marni. Tidak ada perubahan apa-apa di sana. Semua masih
rapih seolah tidak ada yang terjadi.
Teguh melihat
tumpukan pakaian yang telah disetrika oleh Marni.
Di mana kamu,
Marni????
***
Malam merayap
perlahan. Gari sudah tertidur setelah diberi susu formula oleh ibu-ibu para
tetangga Teguh.
Teguh terdiam di
kamar menatap Gari. Bayi tidak berdosa itu tampak nyenyak terlelap.
Teguh bersandar
pada dinding kamarnya. Marni, kemana kamu pergi?
Sambil berpikir
Teguh mencoba mengingat-ingat apa yang Marni lakukan sebelum kepergiannya.
Ah, tulisan!
Marni sering
terlihat menulis di buku yang entah dimana dia meletakkannya. Apakah di dalam
buku itu Marni menuliskan kemana dia pergi?
Tubuh Teguh
mendadak bersemangat mengingat kemungkinan ini.
Sambil menyelusuri
seluruh jengkal kamarnya, Teguh mencari-cari sebuah buku. Di tumpukan pakaian
Teguh terhenti sejenak.
Sebuah buku
bersampul krem berukuran sedang teronggok di sana.
Teguh menelan
ludah, di sini mungkin akan aku dapatkan petunjuk tentang Marni.
Perlahan Teguh
membuka halaman demi halaman buku itu.
Bogor, awal
Juli 2018
Hai, siapapun
di sana. Aku Marni dan aku selalu suka menulis. Bagiku menulis adalah obat. Bagi
kalian yang membacanya mungkin ceritaku tidak berharga. Tetapi aku tetap suka
menulis.
Gari sudah
sebulan hari ini. Aku bahagia melahirkannya. Tetapi aku tidak tahan setiap dia
menangis. Ada apa denganku?
Bogor, akhir
Juli 2018
Hai, aku Marni.
Gari tumbuh dengan sehat. Tapi kebiasaannya menangis sekarang menyakitiku. Aku tidak
suka mendengarnya menangis. Mas Teguh terlalu lelah untuk menggendong Gari. Akulah
yang selalu menggendongnya setiap Gari menangis. Aku lelah.
Seseorang,
tolong aku.
Bogor, awal
Agustus 2018
Mas Teguh
membawakan aku seloyang martabak keju. Aku tau dia sengaja lembur agar bisa
membelikan makanan kesukaanku itu.
Gari masih suka
menangis. Aku merasa tangisannya membuat duniaku runtuh. Mengapa dia menangis
sepanjang waktu? Apa yang salah denganku? Apakah aku seorang ibu yang buruk?
Apakah Gari
membenciku? Mas Teguh bilang dia akan membanyakkan jam lembur. Aku tau itu agar
dia semakin banyak menerima gaji di akhir bulan. Kontrakan kami akan naik
harganya bulan depan.
Kontrakan busuk
yang di kamar mandinya sering ada cacing ini membuatku sedih. Aku sedih mengapa
aku hamil terlalu cepat?
Bukankah dulu
aku dan Mas Teguh bertemu di pabrik yang sama? Bukankah dulu kami berjanji agar
bekerja demi mengubah nasib kami?
Gari hadir
terlalu cepat…
Bogor, akhir
Agustus 2018
Mas Teguh
memelukku dari belakang. Lalu kami bercumbu. Aku tidak bisa bilang tidak. Aku lelah,
aku ingin berteriak. Mas Teguh, aku ingin lari dari semua ini.
Aku ingin lari!
Bogor, awal
September 2018
Halo, siapa
saja yang membaca tulisan ini. Aku Marni dan aku masih di sini. Di sisi Mas
Teguh suamiku. Aku mencintainya sungguh tapi aku tidak bisa menceritakan apa
yang terjadi padaku.
Hanya di sini
aku bisa menuliskan perasaan dan keadaanku yang sebenarnya…
Sebenarnya aku
benci di sini, di sisi Mas Teguh, menjadi ibu Gari, aku benci semua ini..
Aku ingin lari,
lari sekencang-kencangnya ke ujung dunia kalau perlu.
Aku ingin lari
dari beban ini, dari kepenatan ini.
Dari rasa sedih
yang menyiksa ini.
Aku malu setiap
bertemu tetangga. Mereka pasti menganggap aku seorang ibu yang buruk karena
Gari menangis terus….aku……
“TOK….TOK….TOK…!”
Seseorang yang
mengetuk pintu kontrakan membuat Teguh terhenti dari buku itu. Teguh pun
beranjak ke depan dan membukakan pintu.
Di hadapannya
sosok Marni berdiri berlinang air mata. Marni pun menghambur ke pelukan Teguh.
“Mas Teguuh. Huhuhu.
Huhuhuhu..”
Marni tersedu-sedu
di dalam pelukan Teguh. Teguh memeluk istrinya lama sekali. Ia tidak ingin
Marni bersedih. Ia harus tau apa yang bisa dia lakukan agar meringankan beban Marni.
***
Teguh pun membawa
Marni ke Puskesmas untuk diperiksa. Dokter umum yang baik hati di Puskesmas
menyambut mereka berdua dengan kecermatan dan perhatian.
Marni pun dirujuk
ke bagian psikiatri rumah sakit umum daerah untuk mendapatkan penanganan lebih
lanjut.
Teguh mendampingi
Marni dalam proses pengobatannya. Pabrik tempat Teguh memberikan dispensasi
satu minggu kepada Teguh.
Marni didiagnosis
menderita Post Partum Depression. Dokter ahli kejiwaan memberikan dosis
obat-obatan yang akan membantu Marni mengusir halusinasi dan pikiran-pikiran
negatifnya.
Sekarang Marni
masih menulis. Tetapi kini tulisannya adalah jurnal syukur hariannya..
Bogor, awal
Desember 2018
Selamat malam. Aku
Marni dan hari ini aku bersyukur atas kepulangan Mas Teguh dari pabrik tepat
pada waktu yang dia janjikan.
Aku Marni dan
hari ini ini aku bersyukur atas santapan makan siangku yang berupa tempe
goreng. Aku bisa memasak tempe goreng dan aku mensyukurinya…
Aku Marni dan
hari ini aku bersyukur atas Gari yang tersenyum kepadaku. Aku ibunya.
Aku pernah
salah tetapi aku tidak boleh menyerah atas Gari.
Aku Marni dan
aku akan menulis kesyukuranku setiap hari di sini…
Aku Marni....
-The End-
Catatan :
Cerpen ini dibuat untuk tugas One Writings One Week dari kelas minat Menulis di komunitas Ibu Profesional Kota Depok
^^
1 Tanggapan untuk "Marni"
Deeyy,, keren sekali masyaallah..
Setiap orang yang punya bayi pasti langsung mau teriak, "I'm not alone!" Dan peluk kamu.
Meskipun alhamdulillah gak semua orang suaminya kaya Mas Teguh, karena kita semua bukan hanya Marni, hehe..
Semoga bisa mencontoh kepiawaian Mamah Dea menulis :*
Posting Komentar