Senarai Part 10



Kursi-kursi di halaman perpustakaan kampus berjejer rapih seolah menunggu siapa saja yang akan mendudukinya. Lia masih kaget sekali menatap sosok di hadapannya ini. Laki-laki yang harusnya di Jepang kenapa tiba-tiba ada di kampusnya? Iqbaal yakin Lia tidak mau duduk berduaan dengannya, maka dia duduk dan mulai bicara.

“Aku datang ke sini untuk bertemu kamu, Lia.” Suara Iqbaal terdengar mantap tanpa keraguan sedikit pun. Orang berlalu lalang di halaman perpustakaan ini. Kursi-kursi taman didesain mengelilingi pepohonan yang rindang. Kampus Lia memang masih sangat asri dan rindang.

“Ada apa kak? Kenapa ingin bertemu Lia Ada hal yang penting kah hingga Kak Iqbaal ingin bertemu dengan Lia?”, tanya Lia kepada Iqbaal. Lia berdiri memeluk buku-buku kuliahnya. Hari ini memang jadwal kuliahnya padat tetapi menyisakan jeda 2 jam yang terlalu pendek jika Lia harus pulang ke rumah. Anehnya Kak Iqbaal tahu betul tentang ini. Pasti Raya yang memberitahu jadwal kuliahnya kepada Kak Iqbaal, desis Lia. Cuma Raya yang sempat dia kabari tentang perkuliahannya ini.

“Apa benar kamu ingin menikah dalam waktu dekat ini, Li?”, tanya Iqbaal kepada Lia. Terdengar hening menjeda sesaat. Lia terkesiap. Kak Iqbaal datang untuk menanyakan ini? Untuk apa? Untuk apa dia menanyakan hal ini? Apa masalahnya kalau Lia menikah dengan orang lain? Lia mempersiapkan sebuah jawaban di dalam kepalanya.

“Aku diberitahu oleh Raya bahwa kamu dijodohkan oleh orangtuamu dan kamu menerimanya,” Iqbaal tersenyum pelan lalu melanjutkan,”Apa itu benar, Lia?”

Lia memeluk buku-buku kuliahnya lebih erat. Tiba-tiba dia ingin seseorang menyelamatkannya dari kejadian ini. Lia sama sekali tidak berniat memberitahukan perihal rencana pernikahannya ini kepada Iqbaal. Tidak sekarang. Tidak sama sekali.

“Lia, ini siapa? Kok aku ga dikenalin? Temanmu ya, Li?” sesosok jangkung putih tampan dengan alis tebal dan suara khas menyela perbincangan Lia dan Iqbaal. Adam berdiri di sana. Di samping Lia menatap Iqbaal penuh selidik.

Lia menoleh kepada Adam, kok dia di sini sih. Yaiya Li, dia kan seniormu, Lia rasanya ingin mendadak pingsan di kursi taman ini. Boleh gak, sih?

“Ini Kak Iqbaal. Kakak kelasku di SMA.” Lia memperkenalkan singkat kepada Adam. Adam mengulurkan tangan kepada Iqbaal.

“Adam. Adam Wicaksana”, ujar Adam sembari senyum. Senyum yang aneh, Lia bergumam. Lia tidak tahu apa yang ada di balik senyum itu. Senang-kah, marah-kah, ah Adam selalu tidak bisa ditebak.

“Iqbaal. Iqbaal Rahmadi”, kata Iqbaal menjabat tangan Adam. Lia berharap mereka cepat segera sirna dari pandangan Lia. Dua-duanya deh. Aku mau kuliaaaah. Lia berteriak dalam hati. Sikap panikannya mendadak muncul.

“Oh kakak kelasnya Lia ya di SMA?”, tanya Adam kepada Iqbaal. Yang ditanya tampak tenang dan tersenyum.

“Iya”, senyum masih sempurna di bibir Iqbaal. Lia merasa dunianya sempit, dia dihimpit oleh perasaan tidak enak. Bagaimana kalau Adam mengakui kalau dia calon suaminya Lia di hadapan Iqbaal. Ya memang dia calon suamimu, kamu mau apa, Li? Ya tapi kan Kak Iqbaal ga perlu tahu sekarang, kan? Cepat atau lambat dia akan tahu segalanya Lia…

Lia menatap Adam dan berkata singkat, “Dam, sini bentar” Lia mengajak Adam menepi sedikit menjauh dari Iqbaal. Mata Adam selalu indah terlihat bagi Lia dan kali ini mata ini menyiratkan kemenangan. Lia seakan memihaknya.

“Kak Iqbaal ada keperluan denganku jadi bisakah kamu berlalu dan mengerjakan urusanmu sendiri? Bukankah kamu sendiri yang bilang kita tidak perlu bertemu sering-sering sebelum pernikahan? Atau kamu sendiri yang lupa?” Lia mengungkapkan kekesalannya. Dia sebal sekali Adam muncul tiba-tiba begini.

“Oh..kamu marah ya jadinya?” Adam terlihat sedikit senang. “Atau kamu inginnya kita ketemu sering-sering? Lagipula aku hanya bertanya sedikit kepadanya. Kenapa kamu yang emosi? Kalian berduaan di sini buat apa coba?” Adam membela diri.

“Kami ga berduaan. Aku sengaja memilih spot ini karena ramai orang berlalu lalang lagipula berduaan itu kalau terpisah ada sekatnya tauk, ini halaman bebas, semua orang bisa melihat dari berbagai arah, darimana berduaannya coba?” Lia menjawab tuduhan Adam yang semena-mena. Berduaan darimana sih, Lia mencoba tetap tenang.

“Oke, oke, aku cuma mau bilang jangan berduaan. Udah, kamu ga usah marah-marah gitulah. Jangan lupa kalau kamu punya kuliah sebentar lagi. Jangan lupa makan siang, oke?” Adam berlalu begitu saja dari hadapan Lia. Lia menatapnya menjauh dengan perasaan aneh. Dia tahu jadwal kuliahku? Lia menghela nafas. Kamu memang tidak pernah bisa ditebak, Adam Wicaksana.

Adam berjalan menjauh dari Lia dan Iqbaal. Dia menuju ke gedung dekanat tempat ruangan Mas Angga berada, Adam punya janji meeting dan dia sudah terlambat setengah jam gara-gara Lia. Huh.

Lia mendekat kembali kepada Iqbaal. Iqbaal dapat membaca keadaan dengan sempurna, dia berujar, “Itu calonmu ya, Li?”

Lia tersedak, buru-buru dia mengelak, “Oh, bukan-bukan. Bukan kak, dia mah senior Lia di kampus ini aja. Bukan kok Kak. Bukan dia calonnya Lia.”

Iqbaal tersenyum, kali ini lebih ke arah tersenyum kepada dirinya sendiri. “Aku laki-laki, Li. Aku tahu kok, bagaimana cara lelaki mengungkapkan kecemburuannya. Hmm. Jadi kamu benar-benar akan menikah ya, Li? Aku benar-benar terlambat. Aku kira aku masih punya kesempatan…” kalimat Iqbaal menggantung. Lia menatapnya tak percaya.

“Kesempatan untuk melamarmu, Li. Aku ingin melamarmu, bagaimana menurutmu?” Lia seolah ditarik ke pusat bumi demi mendengar kalimat Iqbaal barusan. Jadi laki-laki ini datang ke sini untuk melamarnya? Jauh-jauh dari Jepang? Lia merapatkan jaketnya. Udara Depok pagi tadi memang dingin, apalagi di dalam kelasnya pendingin ruangan selalu sempurna menyejukkan ruangan hingga nyaris titik beku. 

“Kak, ada hal-hal yang tidak bisa kita prediksi sesuai rencana. Itu yang Lia pahami selama ini. Lia punya rencana tapi rencana Allah lebih berkuasa. Lia tidak pernah merencanakan menikah dalam waktu dekat tetapi rencana Allah ternyata berkata lain. Lia tadinya tidak ingin memberi tahu Kak Iqbaal. Karena Lia tidak ingin mengganggu kuliah kakak di Jepang..” Lia terdiam sebentar. Jam di tangannya menunjukkan setengah jam lagi kelas perkuliahannya akan dimulai siang ini.

“Kak Iqbaal mungkin kaget saat mendengar ini, sejujurnya Lia pun begitu, Kak. Pasti Raya juga cerita ke Kak Iqbaal bahwa ini perjodohan yang diatur sedemikian rupa oleh orang tua Lia. Lia harap Kak Iqbaal mengerti. Bahwa Lia hanya ingin membahagiakan orang tua Lia.” Lia menunduk menatap rumput-rumput di bawah sepatunya. Dia tidak menatap wajah Iqbaal. Dia juga takut mendengar kalimat balasan dari Iqbaal. Bisakah seseorang langsung membawanya ke kelas sekarang juga?

Iqbaal terdiam mendengar kalimat demi kalimat dari Lia. Dia tahu dia tidak akan mudah melupakan Lia. Gadis itu sosok yang begitu berarti baginya. Dia ingin marah tapi tidak tahu kepada siapa dia harus marah. Dia ingin mengubah semuanya tapi dia tahu dia tidak punya hak untuk itu. Iqbaal menatap ke arah bangku-bangku taman lain yang kosong. Sekosong itu pula kah hatinya sekarang? Iqbaal rasanya ingin menertawakan kepedihan ini.

“Lia, aku tidak pernah menyangka akan menyaksikanmu menikah. Aku tidak pernah menyangka, Li. Sejujurnya kamu selalu ada di dalam pikiranku. Tidak pernah terbetik pun aku kehilangan bayangmu..”Iqbaal melirik Lia. Gadis itu terdiam membisu. Iqbaal meneruskan kalimatnya.

“Semua orang akan berbahagia pada hari pernikahanmu tapi mungkin satu-satunya orang yang bersedih adalah aku. Aku pamit dulu. Aku berharap ini belum final tapi sepertinya aku salah.”

“Kak Iqbaal, maaf kalau Lia membuat kakak marah atau sedih. Lia harap Kak Iqbaal bisa datang di acara pernikahan Lia.” Lia tidak tahu keberanian macam apa ini  meminta laki-laki yang datang dari Jepang untuk melamar agar datang di acara pernikahan. Lia yang naif.

Iqbaal tersenyum kepada Lia, “Maaf, Lia. Sepertinya aku yang kali ini akan mengecewakanmu. Aku yakin sekali aku tidak akan datang ke acara pernikahanmu. Aku tidak akan kuat. Dan aku kira karena kamu tahu alasannya maka aku mendapat ijinmu untuk tidak datang. Selamat sekali lagi, Lia. Laki-laki itu sangat beruntung mendapatkanmu.”

Iqbaal bangkit berdiri dari kursi taman. Dia tersenyum sekali lagi kepada Lia. Lia merasakan ada perasaan sedih juga menyelinap ke dalam hatinya. Lia tidak pernah ingin membuat siapapun merasa kecewa. Itu pula alasan terbesarnya menerima perjodohan dengan Adam. Dia hanya tidak ingin mengecewakan kedua orangtua-nya.

Iqbaal menengok kepada Lia, “Aku akan pulang, Lia. Mungkin besok akan kembali ke Jepang. Dan mungkin kamu tidak akan menemuiku dalam waktu singkat. Terima kasih banyak, Nurlia Paramita. Aku yakin kamu tidak menyangka aku akan mengatakannya di sini. Tapi aku akan selalu mengenangmu sebagai perempuan terbaik yang pernah aku temui, Lia. Sayangnya aku terlambat untuk memilikimu.”

Lia terdiam. Di hadapannya sejuta kenangan yang pernah dia lalui di SMA tiba-tiba terhampar menjadi nyata.

Lia tahu dia harus mengecewakan laki-laki di hadapannya. Ini sebuah keberanian untuk menjadi dewasa.

“Terima kasih, Kak. Semoga suatu hari nanti Kak Iqbaal menemukan sosok yang akan mendampingi Kak Iqbaal hingga akhir hayat, yang akan membahagiakan dan menjadi perempuan terbaik bagi kakak.” Lia berharap kalimatnya tidak bersayap. Dia sungguh tidak ingin menambahkan luka bagi Kak Iqbaal.

Iqbaal mengangguk pelan,”Aku pergi dulu, Li” Iqbaal berbalik pergi dari halaman perpustakaan yang asri dan rindang itu.

Tinggalah seorang Lia yang masih shock dengan semua ini. Lia terduduk di kursi taman bundar itu. Sambil berulang menarik nafas, Lia menengadah menatap pepohonan rindang di atasnya.

Ya Rabbana, Kak Iqbaal selama ini memiliki perasaan terhadapku. Dan semua baru aku ketahui setelah keputusan menerima perjodohan ini. Lia, dia memiliki perasaan terhadapmu, Lia. Dada Lia terasa sesak. Begitu banyak yang terjadi di siang hari ini.

Lia buru-buru menuju mushalla fakultasnya. Dia harus segera shalat dzuhur. Beban ini harus dia bagi kepada sosok yang paling tepat melalui cara yang paling tepat. Lia ingin berdoa panjang mengadukan segalanya kepada Allah. Hatinya masih terasa sesak.

Lia bergegas berjalan menuju mushalla. Dia menuruni undakan tangga menuju tempat mushalla fakultasnya berada. Di pinggiran danau sebuah mushalla asri berdiri tempat mahasiswi melaksanakan shalat.

Adam menatap dari jauh. Dia mendengar semuanya. Dia melihat semuanya. Setiap kalimat yang diucapkan oleh Iqbaal telah dia dengar semuanya. Adam mencerna semuanya perlahan dalam kepalanya. Dia selalu ingin menjaga Lia dari jauh. Tapi apa yang dilakukan Iqbaal sungguh di luar logikanya. Datang dari Jepang? Adam tersenyum kecut. Kamu bisa saja ditendang oleh Lia, Dam. Baginya kamu hanya calon suami hasil perjodohan yang misterius, angkuh, galak dan tidak pernah positif kepadanya. Iqbaal. Aneh. Adam tiba-tiba tidak suka pada satu nama itu.

Sejujurnya Adam selalu merasa dia telah benar dalam mendidik Lia dengan caranya sendiri.

Adam berjalan dalam diam menuju gedung dekanat.

-bersambung-




Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Senarai Part 10"

Nissa mengatakan...

Deeyyyy... mau lanjutannyaaa >.<

Comment