Kursi-kursi
di halaman perpustakaan kampus berjejer rapih seolah menunggu siapa saja yang
akan mendudukinya. Lia masih kaget sekali menatap sosok di hadapannya ini.
Laki-laki yang harusnya di Jepang kenapa tiba-tiba ada di kampusnya? Iqbaal
yakin Lia tidak mau duduk berduaan dengannya, maka dia duduk dan mulai bicara.
“Aku
datang ke sini untuk bertemu kamu, Lia.” Suara Iqbaal terdengar mantap tanpa
keraguan sedikit pun. Orang berlalu lalang di halaman perpustakaan ini. Kursi-kursi
taman didesain mengelilingi pepohonan yang rindang. Kampus Lia memang masih
sangat asri dan rindang.
“Ada
apa kak? Kenapa ingin bertemu Lia Ada hal yang penting kah hingga Kak Iqbaal
ingin bertemu dengan Lia?”, tanya Lia kepada Iqbaal. Lia berdiri memeluk
buku-buku kuliahnya. Hari ini memang jadwal kuliahnya padat tetapi menyisakan
jeda 2 jam yang terlalu pendek jika Lia harus pulang ke rumah. Anehnya Kak
Iqbaal tahu betul tentang ini. Pasti Raya yang memberitahu jadwal kuliahnya
kepada Kak Iqbaal, desis Lia. Cuma Raya yang sempat dia kabari tentang
perkuliahannya ini.
“Apa
benar kamu ingin menikah dalam waktu dekat ini, Li?”, tanya Iqbaal kepada Lia.
Terdengar hening menjeda sesaat. Lia terkesiap. Kak Iqbaal datang untuk
menanyakan ini? Untuk apa? Untuk apa dia menanyakan hal ini? Apa masalahnya kalau Lia menikah dengan orang lain? Lia mempersiapkan sebuah jawaban di dalam kepalanya.
“Aku
diberitahu oleh Raya bahwa kamu dijodohkan oleh orangtuamu dan kamu
menerimanya,” Iqbaal tersenyum pelan lalu melanjutkan,”Apa itu benar, Lia?”
Lia
memeluk buku-buku kuliahnya lebih erat. Tiba-tiba dia ingin seseorang
menyelamatkannya dari kejadian ini. Lia sama sekali tidak berniat
memberitahukan perihal rencana pernikahannya ini kepada Iqbaal. Tidak sekarang.
Tidak sama sekali.
“Lia,
ini siapa? Kok aku ga dikenalin? Temanmu ya, Li?” sesosok jangkung putih tampan
dengan alis tebal dan suara khas menyela perbincangan Lia dan Iqbaal. Adam
berdiri di sana. Di samping Lia menatap Iqbaal penuh selidik.
Lia
menoleh kepada Adam, kok dia di sini sih. Yaiya Li, dia kan seniormu, Lia rasanya
ingin mendadak pingsan di kursi taman ini. Boleh gak, sih?
“Ini
Kak Iqbaal. Kakak kelasku di SMA.” Lia memperkenalkan singkat kepada Adam. Adam
mengulurkan tangan kepada Iqbaal.
“Adam.
Adam Wicaksana”, ujar Adam sembari senyum. Senyum yang aneh, Lia bergumam. Lia
tidak tahu apa yang ada di balik senyum itu. Senang-kah, marah-kah, ah Adam
selalu tidak bisa ditebak.
“Iqbaal.
Iqbaal Rahmadi”, kata Iqbaal menjabat tangan Adam. Lia berharap mereka cepat
segera sirna dari pandangan Lia. Dua-duanya deh. Aku mau kuliaaaah. Lia
berteriak dalam hati. Sikap panikannya mendadak muncul.
“Oh
kakak kelasnya Lia ya di SMA?”, tanya Adam kepada Iqbaal. Yang ditanya tampak
tenang dan tersenyum.
“Iya”,
senyum masih sempurna di bibir Iqbaal. Lia merasa dunianya sempit, dia dihimpit
oleh perasaan tidak enak. Bagaimana kalau Adam mengakui kalau dia calon
suaminya Lia di hadapan Iqbaal. Ya memang dia calon suamimu, kamu mau apa, Li?
Ya tapi kan Kak Iqbaal ga perlu tahu sekarang, kan? Cepat atau lambat dia akan
tahu segalanya Lia…
Lia
menatap Adam dan berkata singkat, “Dam, sini bentar” Lia mengajak Adam menepi
sedikit menjauh dari Iqbaal. Mata Adam selalu indah terlihat bagi Lia dan kali
ini mata ini menyiratkan kemenangan. Lia seakan memihaknya.
“Kak
Iqbaal ada keperluan denganku jadi bisakah kamu berlalu dan mengerjakan
urusanmu sendiri? Bukankah kamu sendiri yang bilang kita tidak perlu bertemu
sering-sering sebelum pernikahan? Atau kamu sendiri yang lupa?” Lia
mengungkapkan kekesalannya. Dia sebal sekali Adam muncul tiba-tiba begini.
“Oh..kamu
marah ya jadinya?” Adam terlihat sedikit senang. “Atau kamu inginnya kita
ketemu sering-sering? Lagipula aku hanya bertanya sedikit kepadanya. Kenapa
kamu yang emosi? Kalian berduaan di sini buat apa coba?” Adam membela diri.
“Kami
ga berduaan. Aku sengaja memilih spot ini karena ramai orang berlalu lalang
lagipula berduaan itu kalau terpisah ada sekatnya tauk, ini halaman bebas,
semua orang bisa melihat dari berbagai arah, darimana berduaannya coba?” Lia menjawab
tuduhan Adam yang semena-mena. Berduaan darimana sih, Lia mencoba tetap tenang.
“Oke,
oke, aku cuma mau bilang jangan berduaan. Udah, kamu ga usah marah-marah
gitulah. Jangan lupa kalau kamu punya kuliah sebentar lagi. Jangan lupa makan
siang, oke?” Adam berlalu begitu saja dari hadapan Lia. Lia menatapnya menjauh
dengan perasaan aneh. Dia tahu jadwal kuliahku? Lia menghela nafas. Kamu memang
tidak pernah bisa ditebak, Adam Wicaksana.
Adam
berjalan menjauh dari Lia dan Iqbaal. Dia menuju ke gedung dekanat tempat
ruangan Mas Angga berada, Adam punya janji meeting dan dia sudah terlambat
setengah jam gara-gara Lia. Huh.
Lia
mendekat kembali kepada Iqbaal. Iqbaal dapat membaca keadaan dengan sempurna, dia
berujar, “Itu calonmu ya, Li?”
Lia
tersedak, buru-buru dia mengelak, “Oh, bukan-bukan. Bukan kak, dia mah senior Lia
di kampus ini aja. Bukan kok Kak. Bukan dia calonnya Lia.”
Iqbaal
tersenyum, kali ini lebih ke arah tersenyum kepada dirinya sendiri. “Aku
laki-laki, Li. Aku tahu kok, bagaimana cara lelaki mengungkapkan kecemburuannya.
Hmm. Jadi kamu benar-benar akan menikah ya, Li? Aku benar-benar terlambat. Aku
kira aku masih punya kesempatan…” kalimat Iqbaal menggantung. Lia menatapnya
tak percaya.
“Kesempatan
untuk melamarmu, Li. Aku ingin melamarmu, bagaimana menurutmu?” Lia seolah
ditarik ke pusat bumi demi mendengar kalimat Iqbaal barusan. Jadi laki-laki ini
datang ke sini untuk melamarnya? Jauh-jauh dari Jepang? Lia merapatkan
jaketnya. Udara Depok pagi tadi memang dingin, apalagi di dalam kelasnya pendingin ruangan selalu sempurna menyejukkan ruangan hingga nyaris titik beku.
“Kak,
ada hal-hal yang tidak bisa kita prediksi sesuai rencana. Itu yang Lia pahami
selama ini. Lia punya rencana tapi rencana Allah lebih berkuasa. Lia tidak
pernah merencanakan menikah dalam waktu dekat tetapi rencana Allah ternyata
berkata lain. Lia tadinya tidak ingin memberi tahu Kak Iqbaal. Karena Lia tidak
ingin mengganggu kuliah kakak di Jepang..” Lia terdiam sebentar. Jam di
tangannya menunjukkan setengah jam lagi kelas perkuliahannya akan dimulai siang ini.
“Kak
Iqbaal mungkin kaget saat mendengar ini, sejujurnya Lia pun begitu, Kak. Pasti
Raya juga cerita ke Kak Iqbaal bahwa ini perjodohan yang diatur sedemikian rupa
oleh orang tua Lia. Lia harap Kak Iqbaal mengerti. Bahwa Lia hanya ingin
membahagiakan orang tua Lia.” Lia menunduk menatap rumput-rumput di bawah sepatunya.
Dia tidak menatap wajah Iqbaal. Dia juga takut mendengar kalimat balasan dari
Iqbaal. Bisakah seseorang langsung membawanya ke kelas sekarang juga?
Iqbaal
terdiam mendengar kalimat demi kalimat dari Lia. Dia tahu dia tidak akan mudah
melupakan Lia. Gadis itu sosok yang begitu berarti baginya. Dia ingin marah
tapi tidak tahu kepada siapa dia harus marah. Dia ingin mengubah semuanya tapi
dia tahu dia tidak punya hak untuk itu. Iqbaal menatap ke arah bangku-bangku
taman lain yang kosong. Sekosong itu pula kah hatinya sekarang? Iqbaal rasanya
ingin menertawakan kepedihan ini.
“Lia,
aku tidak pernah menyangka akan menyaksikanmu menikah. Aku tidak pernah
menyangka, Li. Sejujurnya kamu selalu ada di dalam pikiranku. Tidak pernah
terbetik pun aku kehilangan bayangmu..”Iqbaal melirik Lia. Gadis itu terdiam
membisu. Iqbaal meneruskan kalimatnya.
“Semua
orang akan berbahagia pada hari pernikahanmu tapi mungkin satu-satunya orang yang
bersedih adalah aku. Aku pamit dulu. Aku berharap ini belum final tapi
sepertinya aku salah.”
“Kak
Iqbaal, maaf kalau Lia membuat kakak marah atau sedih. Lia harap Kak Iqbaal
bisa datang di acara pernikahan Lia.” Lia tidak tahu keberanian macam apa
ini meminta laki-laki yang datang dari
Jepang untuk melamar agar datang di acara pernikahan. Lia yang naif.
Iqbaal
tersenyum kepada Lia, “Maaf, Lia. Sepertinya aku yang kali ini akan
mengecewakanmu. Aku yakin sekali aku tidak akan datang ke acara pernikahanmu. Aku
tidak akan kuat. Dan aku kira karena kamu tahu alasannya maka aku mendapat
ijinmu untuk tidak datang. Selamat sekali lagi, Lia. Laki-laki itu sangat
beruntung mendapatkanmu.”
Iqbaal
bangkit berdiri dari kursi taman. Dia tersenyum sekali lagi kepada Lia. Lia merasakan
ada perasaan sedih juga menyelinap ke dalam hatinya. Lia tidak pernah ingin
membuat siapapun merasa kecewa. Itu pula alasan terbesarnya menerima perjodohan
dengan Adam. Dia hanya tidak ingin mengecewakan kedua orangtua-nya.
Iqbaal menengok kepada Lia, “Aku akan pulang, Lia. Mungkin besok akan kembali ke Jepang. Dan
mungkin kamu tidak akan menemuiku dalam waktu singkat. Terima kasih banyak,
Nurlia Paramita. Aku yakin kamu tidak menyangka aku akan mengatakannya di sini.
Tapi aku akan selalu mengenangmu sebagai perempuan terbaik yang pernah aku
temui, Lia. Sayangnya aku terlambat untuk memilikimu.”
Lia
terdiam. Di hadapannya sejuta kenangan yang pernah dia lalui di SMA tiba-tiba
terhampar menjadi nyata.
Lia
tahu dia harus mengecewakan laki-laki di hadapannya. Ini sebuah keberanian
untuk menjadi dewasa.
“Terima
kasih, Kak. Semoga suatu hari nanti Kak Iqbaal menemukan sosok yang akan
mendampingi Kak Iqbaal hingga akhir hayat, yang akan membahagiakan dan menjadi
perempuan terbaik bagi kakak.” Lia berharap kalimatnya tidak bersayap. Dia
sungguh tidak ingin menambahkan luka bagi Kak Iqbaal.
Iqbaal
mengangguk pelan,”Aku pergi dulu, Li” Iqbaal berbalik pergi dari halaman
perpustakaan yang asri dan rindang itu.
Tinggalah
seorang Lia yang masih shock dengan semua ini. Lia terduduk di kursi taman
bundar itu. Sambil berulang menarik nafas, Lia menengadah menatap pepohonan
rindang di atasnya.
Ya
Rabbana, Kak Iqbaal selama ini memiliki perasaan terhadapku. Dan semua baru aku
ketahui setelah keputusan menerima perjodohan ini. Lia, dia memiliki perasaan terhadapmu, Lia. Dada Lia terasa sesak.
Begitu banyak yang terjadi di siang hari ini.
Lia
buru-buru menuju mushalla fakultasnya. Dia harus segera shalat dzuhur. Beban ini
harus dia bagi kepada sosok yang paling tepat melalui cara yang paling tepat. Lia
ingin berdoa panjang mengadukan segalanya kepada Allah. Hatinya masih terasa
sesak.
Lia
bergegas berjalan menuju mushalla. Dia menuruni undakan tangga menuju tempat
mushalla fakultasnya berada. Di pinggiran danau sebuah mushalla asri berdiri
tempat mahasiswi melaksanakan shalat.
Adam
menatap dari jauh. Dia mendengar semuanya. Dia melihat semuanya. Setiap kalimat
yang diucapkan oleh Iqbaal telah dia dengar semuanya. Adam mencerna semuanya
perlahan dalam kepalanya. Dia selalu ingin menjaga Lia dari jauh. Tapi apa yang
dilakukan Iqbaal sungguh di luar logikanya. Datang dari Jepang? Adam tersenyum
kecut. Kamu bisa saja ditendang oleh Lia, Dam. Baginya kamu hanya calon suami
hasil perjodohan yang misterius, angkuh, galak dan tidak pernah positif
kepadanya. Iqbaal. Aneh. Adam tiba-tiba tidak suka pada satu nama itu.
Sejujurnya
Adam selalu merasa dia telah benar dalam mendidik Lia dengan caranya sendiri.
Adam
berjalan dalam diam menuju gedung dekanat.
-bersambung-
1 Tanggapan untuk "Senarai Part 10"
Deeyyyy... mau lanjutannyaaa >.<
Posting Komentar