Suasana toko buku itu terlihat
ramai. Beberapa gerombolan remaja asyik cekikikan membaca komik. Pendingin
ruangan bekerja dengan sempurna mengademkan suasana. Toko buku itu adalah
tempat favorit Lia dan sahabatnya untuk bertemu. Ada sebuah kafe yang enak
dijadikan tempat ngobrol di depan toko buku itu.
Lia mendorong pintu kafe dengan
lemas. Bayangan wawancara dengan Adam tadi masih berkelebat di benaknya. Bunyi
pang-ping-pang-ping di telepon genggamnya membuatnya semakin lemas. Pasti grup
Line angkatan itu deh yang berbunyi terus. Mereka para mahasiswa baru memang
berkomunikasi melalui aplikasi Line setiap harinya. Pengumpulan dan pengumuman
tugas disebarkan melalui grup itu.
“Lia! Sini! Sini!” Raya berteriak
keras sambil melambaikan tangan. Oh, rupanya Lia terlambat. Raya sahabatnya
sudah lebih dulu datang. Lia berjalan dengan gontai menuju Raya.
“Dih, ni anak kenapa sik? Lemes
amat. Duduk sini duduk. Pasti belom makan deh abis nugas, ye kan?” Raya memang terkenal
sebagai gadis ramah. Lia tersenyum kecil sambil berujar, “Iya nih Ray abis
nugas kepala ngebul banget. Hiks.”
“Dah, sini sini. Gue pesenin
makanan yak, oke oke? Eh, ngomong-ngomong, nugas apaan sih emang Li? Tumben
amat muka lo suntuk gitu. Bukannya lo selalu suka dengan semua tugas ospek.”
Raya menggoda sahabatnya itu.
“Huftt. Tauk nih, tugas satu ini
nyebelin karena…..” Lia teringat sesuatu. Raya belum tau tentang rencana
pernikahannya.
“Karena apaan?” Raya menunggu
sambungan kalimat Lia.
“Ray, gue mau bilang sesuatu
nih.” Lia memutuskan memberi tahu sahabatnya itu sekarang. Walaupun cerewet,
Raya gemar memberinya nasihat-nasihat yang apik saat Lia terkena masalah.
Lia menggigit bibir bawahnya lalu
berkata cepat, “Gue mau nikah, Ray!” Raya yang mendengar langsung terdiam
sesaat.
“Serius Li? Serius beneran nikah?”
Mata Raya membulat lucu karena rasa kagetnya. Lia menelan ludah, dia harus
menjelaskan semuanya kepada Raya.
***
Riko masuk ke ruangan Senat
sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan Senat dari dulu
selalu ramai dengan perlengkapan acara yang digelar Senat. Ada saja barang yang
teronggok di sana-sini. Riko berniat mengambil bola basket di sudut olahraga.
Senat menyimpan barang-barang olahraga di sebuah sudut agar mudah dipinjam
& dikembalikan.
“Rik” sebuah suara perempuan
memanggil nama Riko tiba-tiba. Riko terkaget-kaget berseru, “Astagah, Pita. Lo
ga bisa apa muncul biasa aja? Jangan misterius gitu. Gue jantungan gimana
hayolo?”
“Sori, Rik. Gue mau tanya dong ke
lo, Rik, soal Adam.” Pita menjelaskan maksud kedatangannya.
“Oh, Adam. Kenapa Bu? Kangen ye?
Ada noh Adam di kosannya. Samperin aja kalo lo mau. Lagi ngerjain skripsi aja
kok dia.” Riko mengambil bola basket lalu membawanya keluar ruangan Senat.
“Eh, bentar bentar, Rik”, Pita
setengah menarik Riko kembali ke ruangan Senat. Riko menoleh sebal, “Ah apaan
lagi, Pit? Gue mo tanding nih sama fakultas sebelah.”
“Adam punya sodara ya Rik di
jurusan kita, maksud gue Adam punya sodara yang maba baru masuk ga?”
Riko menatap Pita, “Ngga kok,
seinget gue Adam ga pernah cerita dia punya sodara yang mahasiswa baru.”
“Oh. Gitu.” Pita terlihat kurang
yakin dengan jawaban Riko.
“Dah ye Pit, gue ke lapangan
dulu!” Riko berlari meninggalkan Pita.
Adam tidak punya saudara
mahasiswa baru di jurusan ini. Tapi mengapa Adam sungguh kelihatan berbeda
sekali saat wawancara tadi. Pita tidak pernah melihat raut wajah Adam yang
sebahagia itu. Ah, mungkin saja proyek penelitian Adam sedang lancar-lancarnya
makanya Adam jadi bahagia. Pita berusaha mengarang cerita.
Sambil duduk di ruangan Senat,
Pita menatap jadwal kegiatannya di layar telepon genggamnya. Ada jadwal
pertemuan mahasiswa baru pekan depan. Di saat itu Adam harusnya juga hadir.
Pita ingin melihat respon Adam terhadap maba itu lagi. Ada sesuatu yang
mengganjal di hati Pita. Pita menatap nanar sambil mengedikkan bahu. Adam dan
Riko sudah menyatakan bahwa maba itu tidak ada hubungan dengan Adam.
Pita kembali melanjutkan
pekerjaannya di ruangan Senat.
***
Lia menunggu respon dari Raya.
Semuanya telah dia ceritakan kepada Raya. Lia tidak sabaran bertanya, “Kok diem
sih Ray?”
“Ya gue siyok aja sih, Li. Gila
aja gitu lo tiba-tiba banget nikah. Gue jadi bingung mau komentar apa. Eh, kak
Iqbaal udah tau, Li?” Raya mengajukan sebuah pertanyaan yang menohok hati Lia.
“Belum tau, kak Iqbaal belum tau,
Ray.” Lia menunduk menatap rok jins panjangnya. Pikirannya tiba-tiba jadi
teringat kepada sosok pangeran itu, kak Iqbaal.
“Hufft. Ya, gue sebagai sahabat cuma
bisa bilang, lo harus serius kalau bener-bener mo nikah. I mean lo dan suami lo
yang awalnya sama-sama asing, asli sih gue sebenernya agak ngeri-ngeri sedap.”
Raya memulai nasihatnya.
Lia menghela nafas. Dia
sebetulnya hanya melandaskan keyakinan kepada orang tuanya semata. Ayah dan
Ibunya meyakinkan Lia bahwa Adam adalah sosok calon suami yang baik. Jadi
mengapa Lia harus menolaknya?
“Li, emang lo ga ada perasaan
sama kak Iqbaal?” Raya melirik penuh tanya kepada Lia.
“…….” Lia bungkam seribu bahasa.
Tapi akhirnya dia membuka suara, “Kak Iqbaal dan gue ga pernah ada hubungan
apa-apa sih, Ray. Jadinya supposed to be juga semuanya akan fine-fine aja
begitu tau kalau gue mau nikah.”
“Yeah. Gue harap sih begitu. Asal
lo ga menyesal aja ya, Li? Mending lo pikirin baik-baik keputusan nikah ini.
Iya gue tau orang tua lo yakin banget si Adam itu calon suami yang baik. Tapi
lo juga berhak sih memutuskan kebahagiaan sendiri.” Kalimat Raya
memantul-mantul terdengar di telinga Lia.
***
Persiapan pernikahan dilaksanakan
oleh Mama Adam dan Ibu Lia. Kedua orang sahabat ini bersemangat sekali
menuntaskan satu demi satu tahapan persiapan pernikahan. Hari demi hari mereka
lalui nyaris di jalan demi berkeliling Jakarta. Mulai dari mencari vendor katering, gedung,
pakaian, hingga dokumentasi.
“Kring-kriiing!” Bunyi nyaring
telepon genggam Mama Adam menghentikan sejenak aktivitas perburuan mereka di
Tanah Abang kali ini.
“Ah, si Adam. Halo halo, Dam,
apaan? Jangan nelpon sekarang deh. Mama lagi di Tanah Abang nih. Kenapa emang”,
suara Mama Adam setengah berteriak mencoba mengalahkan deru bising percakapan
di pusat perbelanjaan itu.
“Eh, Ma, Adam titip warna dong.
War-na.”
“Hah? Apa? Warna apaan? Katanya bebas,
udah serahin aja okey sama Mama dan Ibunya Lia, okey? Klik.” Mama Adam menutup
telponnya. Dia langsung kembali asyik berdiskusi dengan Ibu Lia terkait warna
pakaian mempelai pengantin.
Adam melongo menatap layar
ponselnya. Deuuh si Mama ini beneran ga bisa diganggu deh kalau lagi belanja.
Padahal Adam penasaran dan ingin tau juga sejauh mana progres pernikahan ini.
Adam menatap ponselnya lagi, dia menyimpan foto Senat dari tahun ke tahun. Pasti
mereka semua terpana begitu tau dia akan menikah. Hmm, tapi Adam punya rencana
lain yang tidak akan mereka duga.
-bersambung-
Belum ada tanggapan untuk "Senarai part 6"
Posting Komentar