Senarai part 6



Suasana toko buku itu terlihat ramai. Beberapa gerombolan remaja asyik cekikikan membaca komik. Pendingin ruangan bekerja dengan sempurna mengademkan suasana. Toko buku itu adalah tempat favorit Lia dan sahabatnya untuk bertemu. Ada sebuah kafe yang enak dijadikan tempat ngobrol di depan toko buku itu.

Lia mendorong pintu kafe dengan lemas. Bayangan wawancara dengan Adam tadi masih berkelebat di benaknya. Bunyi pang-ping-pang-ping di telepon genggamnya membuatnya semakin lemas. Pasti grup Line angkatan itu deh yang berbunyi terus. Mereka para mahasiswa baru memang berkomunikasi melalui aplikasi Line setiap harinya. Pengumpulan dan pengumuman tugas disebarkan melalui grup itu.

“Lia! Sini! Sini!” Raya berteriak keras sambil melambaikan tangan. Oh, rupanya Lia terlambat. Raya sahabatnya sudah lebih dulu datang. Lia berjalan dengan gontai menuju Raya.

“Dih, ni anak kenapa sik? Lemes amat. Duduk sini duduk. Pasti belom makan deh abis nugas, ye kan?” Raya memang terkenal sebagai gadis ramah. Lia tersenyum kecil sambil berujar, “Iya nih Ray abis nugas kepala ngebul banget. Hiks.”

“Dah, sini sini. Gue pesenin makanan yak, oke oke? Eh, ngomong-ngomong, nugas apaan sih emang Li? Tumben amat muka lo suntuk gitu. Bukannya lo selalu suka dengan semua tugas ospek.” Raya menggoda sahabatnya itu.

“Huftt. Tauk nih, tugas satu ini nyebelin karena…..” Lia teringat sesuatu. Raya belum tau tentang rencana pernikahannya.

“Karena apaan?” Raya menunggu sambungan kalimat Lia.

“Ray, gue mau bilang sesuatu nih.” Lia memutuskan memberi tahu sahabatnya itu sekarang. Walaupun cerewet, Raya gemar memberinya nasihat-nasihat yang apik saat Lia terkena masalah.

Lia menggigit bibir bawahnya lalu berkata cepat, “Gue mau nikah, Ray!” Raya yang mendengar langsung terdiam sesaat.

“Serius Li? Serius beneran nikah?” Mata Raya membulat lucu karena rasa kagetnya. Lia menelan ludah, dia harus menjelaskan semuanya kepada Raya.

***

Riko masuk ke ruangan Senat sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Ruangan Senat dari dulu selalu ramai dengan perlengkapan acara yang digelar Senat. Ada saja barang yang teronggok di sana-sini. Riko berniat mengambil bola basket di sudut olahraga. Senat menyimpan barang-barang olahraga di sebuah sudut agar mudah dipinjam & dikembalikan.

“Rik” sebuah suara perempuan memanggil nama Riko tiba-tiba. Riko terkaget-kaget berseru, “Astagah, Pita. Lo ga bisa apa muncul biasa aja? Jangan misterius gitu. Gue jantungan gimana hayolo?”

“Sori, Rik. Gue mau tanya dong ke lo, Rik, soal Adam.” Pita menjelaskan maksud kedatangannya.

“Oh, Adam. Kenapa Bu? Kangen ye? Ada noh Adam di kosannya. Samperin aja kalo lo mau. Lagi ngerjain skripsi aja kok dia.” Riko mengambil bola basket lalu membawanya keluar ruangan Senat.

“Eh, bentar bentar, Rik”, Pita setengah menarik Riko kembali ke ruangan Senat. Riko menoleh sebal, “Ah apaan lagi, Pit? Gue mo tanding nih sama fakultas sebelah.”

“Adam punya sodara ya Rik di jurusan kita, maksud gue Adam punya sodara yang maba baru masuk ga?”

Riko menatap Pita, “Ngga kok, seinget gue Adam ga pernah cerita dia punya sodara yang mahasiswa baru.”

“Oh. Gitu.” Pita terlihat kurang yakin dengan jawaban Riko.

“Dah ye Pit, gue ke lapangan dulu!” Riko berlari meninggalkan Pita.

Adam tidak punya saudara mahasiswa baru di jurusan ini. Tapi mengapa Adam sungguh kelihatan berbeda sekali saat wawancara tadi. Pita tidak pernah melihat raut wajah Adam yang sebahagia itu. Ah, mungkin saja proyek penelitian Adam sedang lancar-lancarnya makanya Adam jadi bahagia. Pita berusaha mengarang cerita.

Sambil duduk di ruangan Senat, Pita menatap jadwal kegiatannya di layar telepon genggamnya. Ada jadwal pertemuan mahasiswa baru pekan depan. Di saat itu Adam harusnya juga hadir. Pita ingin melihat respon Adam terhadap maba itu lagi. Ada sesuatu yang mengganjal di hati Pita. Pita menatap nanar sambil mengedikkan bahu. Adam dan Riko sudah menyatakan bahwa maba itu tidak ada hubungan dengan Adam.

Pita kembali melanjutkan pekerjaannya di ruangan Senat.

***

Lia menunggu respon dari Raya. Semuanya telah dia ceritakan kepada Raya. Lia tidak sabaran bertanya, “Kok diem sih Ray?”

“Ya gue siyok aja sih, Li. Gila aja gitu lo tiba-tiba banget nikah. Gue jadi bingung mau komentar apa. Eh, kak Iqbaal udah tau, Li?” Raya mengajukan sebuah pertanyaan yang menohok hati Lia.

“Belum tau, kak Iqbaal belum tau, Ray.” Lia menunduk menatap rok jins panjangnya. Pikirannya tiba-tiba jadi teringat kepada sosok pangeran itu, kak Iqbaal.

“Hufft. Ya, gue sebagai sahabat cuma bisa bilang, lo harus serius kalau bener-bener mo nikah. I mean lo dan suami lo yang awalnya sama-sama asing, asli sih gue sebenernya agak ngeri-ngeri sedap.” Raya memulai nasihatnya.

Lia menghela nafas. Dia sebetulnya hanya melandaskan keyakinan kepada orang tuanya semata. Ayah dan Ibunya meyakinkan Lia bahwa Adam adalah sosok calon suami yang baik. Jadi mengapa Lia harus menolaknya?

“Li, emang lo ga ada perasaan sama kak Iqbaal?” Raya melirik penuh tanya kepada Lia.

“…….” Lia bungkam seribu bahasa. Tapi akhirnya dia membuka suara, “Kak Iqbaal dan gue ga pernah ada hubungan apa-apa sih, Ray. Jadinya supposed to be juga semuanya akan fine-fine aja begitu tau kalau gue mau nikah.”

“Yeah. Gue harap sih begitu. Asal lo ga menyesal aja ya, Li? Mending lo pikirin baik-baik keputusan nikah ini. Iya gue tau orang tua lo yakin banget si Adam itu calon suami yang baik. Tapi lo juga berhak sih memutuskan kebahagiaan sendiri.” Kalimat Raya memantul-mantul terdengar di telinga Lia.

***

Persiapan pernikahan dilaksanakan oleh Mama Adam dan Ibu Lia. Kedua orang sahabat ini bersemangat sekali menuntaskan satu demi satu tahapan persiapan pernikahan. Hari demi hari mereka lalui nyaris di jalan demi berkeliling Jakarta. Mulai dari mencari vendor katering, gedung, pakaian, hingga dokumentasi.

“Kring-kriiing!” Bunyi nyaring telepon genggam Mama Adam menghentikan sejenak aktivitas perburuan mereka di Tanah Abang kali ini.

“Ah, si Adam. Halo halo, Dam, apaan? Jangan nelpon sekarang deh. Mama lagi di Tanah Abang nih. Kenapa emang”, suara Mama Adam setengah berteriak mencoba mengalahkan deru bising percakapan di pusat perbelanjaan itu.

“Eh, Ma, Adam titip warna dong. War-na.”

“Hah? Apa? Warna apaan? Katanya bebas, udah serahin aja okey sama Mama dan Ibunya Lia, okey? Klik.” Mama Adam menutup telponnya. Dia langsung kembali asyik berdiskusi dengan Ibu Lia terkait warna pakaian mempelai pengantin.

Adam melongo menatap layar ponselnya. Deuuh si Mama ini beneran ga bisa diganggu deh kalau lagi belanja. Padahal Adam penasaran dan ingin tau juga sejauh mana progres pernikahan ini. Adam menatap ponselnya lagi, dia menyimpan foto Senat dari tahun ke tahun. Pasti mereka semua terpana begitu tau dia akan menikah. Hmm, tapi Adam punya rencana lain yang tidak akan mereka duga.

-bersambung-



 

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Senarai part 6"

Comment