Hari
demi hari berlalu sangat cepat. Persiapan pernikahan Adam dan Lia dikebut oleh
kedua ibu mereka. Sangat antusias akan menjadi besan dari sahabat sendiri,
mereka mempersiapkan nyaris setiap detail pernikahan. Gedung, undangan,
katering, dan baju pernikahan, semuanya disiapkan oleh Mama Adam dan Ibu Lia.
Hingga
tiba hari di mana mereka harus fitting baju pengantin, Adam dan Lia bertemu
kembali. Lia sudah resmi menjadi mahasiswi semester 1. Masa-masa ospek yang
padat sudah berlalu. Adam masih berjibaku dengan skripsi sambil sibuk menjadi
asisten dosen. Adam yang lebih dulu sampai ke tempat fitting baju menanyakan di
mana Lia.
“Lia
dateng kan, Ma?” tanya Adam. Mama Adam menoleh sejenak, “Dateng lah, kenapa? Udah
ga sabar amat ketemu Lia. Udah kamu duluan gih, Dam, masuk gih ke ruang ganti”,
ujar Mama Adam.
“Assalamualaikum
maaf Lia telat ya Tante”, kata seorang gadis yang baru saja datang. Ruangan butik itu seketika hening. Adam menatap Lia sekilas. “Macet ya
jalanan? Kamu ga bisa on time apa?”, tanya Adam dengan datar seperti biasanya.
“Ada
kerja kelompok tadi di perpustakaan. Jadi begitu beres baru bisa ke sini”, kata
Lia tanpa menatap Adam.
“Udah,
udah, jangan berantem. Ini baju kamu, Dam, ayo buruan dicoba. Nah, yang ini
untuk kamu, Li”, ujar Mama Adam sambil tersenyum kepada Lia. Lia menerima baju
itu dan segera menuju ruang ganti.
Lia
keluar dari ruang ganti sambil menatap kaca di hadapannya. Mama Adam tak
berkedip dibuatnya.
“Wah,
Lia. Kamu cantik sekali..” Mama Adam tampak terpesona oleh penampilan Lia.
Sebuah gaun pengantin berwarna broken white beserta hijab kreasi simpel dan
tiara tersemat indah di kepala Lia.
Lia
menatap bayangan dirinya sendiri di depan kaca. Perasaannya campur aduk. Dia
memutar badan ke kiri dan ke kanan.
“Gimana,
mba? Ada yang kurang oke?, suara sang asisten desainer membuyarkan lamunan Lia.
“Oh,
iya, Mba”, Lia memperhatikan detail gaunnya sekali lagi lalu bertanya, “Ini
rompinya ya Mba?”
“Iya,
mba, kan konsep yang diminta simpel jadi untuk akad ke resepsi tinggal dipakai
rompi sebagai outer ini aja mba”, kata asisten desainer sembari mengulurkan
sebuah rompi satin berwarna biru muda.
Lia
tersenyum, “Cukup mba. Udah oke semua sih menurut saya. Kalau menurut Tante
gimana?”, tanya Lia kepada Mama Adam.
“Hmmm.
Menurut Tante bagian hijabnya bisa ditambah hiasan kepala berupa roncean bunga kalau ganti dari akad ke resepsi.
Gimana, Li?”
“Boleh-boleh
aja, Tante”, ujar Lia. Lia memperhatikan bagian hijabnya dengan lebih seksama. Dia suka model hijab ini karena menutup dada dan punggungnya tapi tetap terlihat elegan sebagai gaun pengantin.
“Pippp. Pippp.” Bunyi pesan pada ponsel Lia terdengar. Lia mengecek dari siapa pesan itu. “Kenapa sekarang sih?”, sesal Lia bergumam.
“Pippp. Pippp.” Bunyi pesan pada ponsel Lia terdengar. Lia mengecek dari siapa pesan itu. “Kenapa sekarang sih?”, sesal Lia bergumam.
“Siapa,
Li? Kamu ada janji lagi habis dari sini?”, ujar Mama Adam.
Lia
tersenyum, “Oh, ngga, ngga ada, Tante.”
Adam
yang dari tadi diam mematung karena terpana menatap Lia pun berdeham sejenak, “Ehem. Ehem.”
“Nah,
sini Dam, Mama liat jas kamu gimana.” Mama Adam menarik Adam ke hadapan kaca.
Lia segera mundur demi melihat Adam.
“Hmm,
kepanjangan ga Dam lengannya sih?”
“Nope.
Segini udah oke kok, Ma”, kata Adam. Dia melirik kepada Lia. Wah, dia sudah ke
ruangan ganti lagi.
LIa keluar lagi dari ruang ganti lalu menyerahkan gaun pengantin kepada mba-mba asisten desainer. “Permisi,
Tante, saya pamit duluan ya, insyaAllah saya pada prinsipnya setuju aja pada
gaun pengantin yang tadi. Kebetulan ukurannya juga sudah pas”, senyum Lia kepada
Mama Adam.
“Oke
Li, syukurlah kalau memang sudah pas ya? Hati-hati di jalan ya? Kamu mau dianterin Adam gak?", lirik Mama Adam menggoda kepada Lia.
“Ga
usah, Tante. Makasih banyak. Assalamualaikum..” Lia berlalu dari butik gaun
pengantin itu.
Adam
memperhatikan gadis punggung itu menjauh perlahan dari balik kaca. Lia terlihat
semakin dewasa. Sebetulnya Adam ingin lebih menanyakan banyak hal tentang
perkuliahan. Tapi sepertinya Lia bisa mengatasi segalanya. Adam kembali mematut
diri di hadapan kaca. Ah, sudahlah, dia memang selalu terlihat tampan kok,
cengir Adam.
***
Lia
menatap layar ponselnya sekali lagi. Di atas rangkaian gerbong kereta yang
kembali membawanya ke Depok, Lia meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi. Kak
Iqbaal kembali dari Jepang dan sekarang dia meminta Lia untuk bertemu dengan
dirinya. Ah, ini pasti ulah Raya. Raya memang selalu beraksi untuk memuluskan
hubungannya dengan Kak Iqbaal. Padahal dari dulu pun Lia selalu bilang bahwa
dia tidak punya perasaan apa-apa. Benarkah, Lia?
Benarkah
kamu tidak punya perasaan apa-apa? Lia terpekur menatap sekelilingnya. Semua
penumpang di gerbong ini asyik dengan dunianya sendiri-sendiri. Begitupula
semua orang akan sibuk dengan urusannya. Ya, benar. Tapi kenapa Kak Iqbaal
harus peduli kepadanya selama ini?
Lia
memperhatikan dua orang gadis kecil yang duduk sembari memakan es krim. Wajah
keduanya sangat bahagia. Tawa tulus tergambar di wajah mereka. Lia jadi
ikut-ikutan tersenyum.
Betul,
Lia. Tersenyumlah. Allah memberikanmu jodoh bernama Adam. Meskipun kamu belum mengenalnya tapi Allah akan membantumu belajar mencintainya kelak. Lupakanlah semua
kenangan masa lalu bernama Iqbaal Rahmadi. Lia menghela nafas. Sepertinya dia
perlu banyak-banyak membaca Al-Qur’an agar hatinya menjadi lurus kembali. Lia
mengeluarkan sebuah Al-Qur’an cokelat muda. Perlahan Lia membacanya sembari kereta
terus melaju menuju Depok.
***
Lia
memutuskan mampir dulu ke kampus. Dia harus mengambil laptop yang tadi dia
titipkan ke Perpustakaan. Kampus mulai ramai karena semester awal sudah aktif.
Mahasiswa bersliweran berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Lia mengambil 20
SKS di semester ini, dia tidak bisa mengambil kurang atau lebih lagi. Sebagai
mahasiswa baru, dia harus tunduk pada pemilihan mata kuliah wajib universitas dan
kampus.
Sambil
menuju perpustakaan, Lia menelpon Mba Aina. Pasti Mba Aina bisa memberinya
nasihat berharga tentang ajakan Kak Iqbaal untuk bertemu.
“Hallo?
Assalamualaikum, Mba.”
“Waalaikumussalam,
dede, ada apa?” Mba Aina memang suka memanggil Lia dengan sebutan dede.
“Mba,
apa Lia ganggu? Lia mau minta nasihat dari Mba Aina nih”, suara Lia setengah
bergetar.
“Ya
Allah, ada apa de? Bukannya dede lagi fitting baju pengantin sama Adam?”, ujar
Mba Aina terdengar khawatir.
“Mba, ini bukan tentang Adam, mba. Ini tentang Iqbaal, kakak kelas Lia waktu itu. Mba masih inget Kak Iqbaal ga, Mba? Dia balik dari Jepang, Mba, dan dia minta
ketemu sama Lia. Menurut Mba Aina, Lia ketemuan ga ya sama dia, Mba?
“Ya Rabb, De, Mba bisa membayangkan kamu bingung ya? Tapi menurut mba kamu jangan pergi, De. Kamu itu statusnya sudah menjadi calon istri orang lain sekarang. Sudah sepantasnya kamu ga lagi
mengingat atau mengenang laki-laki lain apalagi bertemu dengannya. Dede tau kan
hal ini pasti ga akan disetujui oleh Adam kalau dia tau?”
“Huff.
Iya, betul, mba. Betul juga apa perkataan Mba Aina. Hmm. Iya, Mba. Lia juga berpikir seperti itu. Oke deh, makasih ya Mba. Lia masih ada
urusan di kampus. Bentar lagi balik kok. Mba udah di rumah?”
“Iya,
de. Hati-hati di jalan ya. Kalau udah maghrib, mending sholat aja dulu di
kampus, okey?”
Mba
Aina adalah sosok yang selalu mengingatkan Lia tentang amal ibadah. Ayah dan
Ibu Lia selalu membanggakan Mba Aina sebagai sosok kakak yang penuh teladan
kebaikan bagi adik-adiknya.
“Iya,
mba. Makasih ya? Lia ke perpustakan dulu ya, Mba. Assalamualaikum”, suara Lia
memutus telepon.
Lia
menatap kembali layar ponselnya. Dia mengetik balasan pesan untuk Kak Iqbaal.
Lia meminta maaf tidak bisa bertemu dengannya. Lia mengemukakan alasan kerja
kelompok di perpustakaan. Dia tidak berbohong. Kerja kelompok tadi memang sudah
usai tapi Lia memang masih di perpustakaan.
Sambil
berusaha tersenyum, Lia mengirim pesan itu kepada Kak Iqbaal. Lia pun masuk ke
perpustakaan.
-bersambung-
Belum ada tanggapan untuk "Senarai part 8"
Posting Komentar