Senarai part 8



Hari demi hari berlalu sangat cepat. Persiapan pernikahan Adam dan Lia dikebut oleh kedua ibu mereka. Sangat antusias akan menjadi besan dari sahabat sendiri, mereka mempersiapkan nyaris setiap detail pernikahan. Gedung, undangan, katering, dan baju pernikahan, semuanya disiapkan oleh Mama Adam dan Ibu Lia.

Hingga tiba hari di mana mereka harus fitting baju pengantin, Adam dan Lia bertemu kembali. Lia sudah resmi menjadi mahasiswi semester 1. Masa-masa ospek yang padat sudah berlalu. Adam masih berjibaku dengan skripsi sambil sibuk menjadi asisten dosen. Adam yang lebih dulu sampai ke tempat fitting baju menanyakan di mana Lia.

“Lia dateng kan, Ma?” tanya Adam. Mama Adam menoleh sejenak, “Dateng lah, kenapa? Udah ga sabar amat ketemu Lia. Udah kamu duluan gih, Dam, masuk gih ke ruang ganti”, ujar Mama Adam.

“Assalamualaikum maaf Lia telat ya Tante”, kata seorang gadis yang baru saja datang. Ruangan butik itu seketika hening. Adam menatap Lia sekilas.  “Macet ya jalanan? Kamu ga bisa on time apa?”, tanya Adam dengan datar seperti biasanya.

“Ada kerja kelompok tadi di perpustakaan. Jadi begitu beres baru bisa ke sini”, kata Lia tanpa menatap Adam.

“Udah, udah, jangan berantem. Ini baju kamu, Dam, ayo buruan dicoba. Nah, yang ini untuk kamu, Li”, ujar Mama Adam sambil tersenyum kepada Lia. Lia menerima baju itu dan segera menuju ruang ganti.

Lia keluar dari ruang ganti sambil menatap kaca di hadapannya. Mama Adam tak berkedip dibuatnya.

“Wah, Lia. Kamu cantik sekali..” Mama Adam tampak terpesona oleh penampilan Lia. Sebuah gaun pengantin berwarna broken white beserta hijab kreasi simpel dan tiara tersemat indah di kepala Lia.

Lia menatap bayangan dirinya sendiri di depan kaca. Perasaannya campur aduk. Dia memutar badan ke kiri dan ke kanan.

“Gimana, mba? Ada yang kurang oke?, suara sang asisten desainer membuyarkan lamunan Lia.

“Oh, iya, Mba”, Lia memperhatikan detail gaunnya sekali lagi lalu bertanya, “Ini rompinya ya Mba?”

“Iya, mba, kan konsep yang diminta simpel jadi untuk akad ke resepsi tinggal dipakai rompi sebagai outer ini aja mba”, kata asisten desainer sembari mengulurkan sebuah rompi satin berwarna biru muda.

Lia tersenyum, “Cukup mba. Udah oke semua sih menurut saya. Kalau menurut Tante gimana?”, tanya Lia kepada Mama Adam.

“Hmmm. Menurut Tante bagian hijabnya bisa ditambah hiasan kepala berupa roncean bunga kalau ganti dari akad ke resepsi. Gimana, Li?”

“Boleh-boleh aja, Tante”, ujar Lia. Lia memperhatikan bagian hijabnya dengan lebih seksama. Dia suka model hijab ini karena menutup dada dan punggungnya tapi tetap terlihat elegan sebagai gaun pengantin.

“Pippp. Pippp.” Bunyi pesan pada ponsel Lia terdengar. Lia mengecek dari siapa pesan itu. “Kenapa sekarang sih?”, sesal Lia bergumam.

“Siapa, Li? Kamu ada janji lagi habis dari sini?”, ujar Mama Adam.

Lia tersenyum, “Oh, ngga, ngga ada, Tante.”

Adam yang dari tadi diam mematung karena terpana menatap Lia pun berdeham sejenak, “Ehem. Ehem.”

“Nah, sini Dam, Mama liat jas kamu gimana.” Mama Adam menarik Adam ke hadapan kaca. Lia segera mundur demi melihat Adam.

“Hmm, kepanjangan ga Dam lengannya sih?”

“Nope. Segini udah oke kok, Ma”, kata Adam. Dia melirik kepada Lia. Wah, dia sudah ke ruangan ganti lagi.

LIa keluar lagi dari ruang ganti lalu menyerahkan gaun pengantin kepada mba-mba asisten desainer. “Permisi, Tante, saya pamit duluan ya, insyaAllah saya pada prinsipnya setuju aja pada gaun pengantin yang tadi. Kebetulan ukurannya juga sudah pas”, senyum Lia kepada Mama Adam.

“Oke Li, syukurlah kalau memang sudah pas ya? Hati-hati di jalan ya? Kamu mau dianterin Adam gak?", lirik Mama Adam menggoda kepada Lia.

“Ga usah, Tante. Makasih banyak. Assalamualaikum..” Lia berlalu dari butik gaun pengantin itu.

Adam memperhatikan gadis punggung itu menjauh perlahan dari balik kaca. Lia terlihat semakin dewasa. Sebetulnya Adam ingin lebih menanyakan banyak hal tentang perkuliahan. Tapi sepertinya Lia bisa mengatasi segalanya. Adam kembali mematut diri di hadapan kaca. Ah, sudahlah, dia memang selalu terlihat tampan kok, cengir Adam.

***

Lia menatap layar ponselnya sekali lagi. Di atas rangkaian gerbong kereta yang kembali membawanya ke Depok, Lia meyakinkan dirinya bahwa ini bukan mimpi. Kak Iqbaal kembali dari Jepang dan sekarang dia meminta Lia untuk bertemu dengan dirinya. Ah, ini pasti ulah Raya. Raya memang selalu beraksi untuk memuluskan hubungannya dengan Kak Iqbaal. Padahal dari dulu pun Lia selalu bilang bahwa dia tidak punya perasaan apa-apa. Benarkah, Lia?

Benarkah kamu tidak punya perasaan apa-apa? Lia terpekur menatap sekelilingnya. Semua penumpang di gerbong ini asyik dengan dunianya sendiri-sendiri. Begitupula semua orang akan sibuk dengan urusannya. Ya, benar. Tapi kenapa Kak Iqbaal harus peduli kepadanya selama ini?

Lia memperhatikan dua orang gadis kecil yang duduk sembari memakan es krim. Wajah keduanya sangat bahagia. Tawa tulus tergambar di wajah mereka. Lia jadi ikut-ikutan tersenyum.

Betul, Lia. Tersenyumlah. Allah memberikanmu jodoh bernama Adam. Meskipun kamu belum mengenalnya tapi Allah akan membantumu belajar mencintainya kelak. Lupakanlah semua kenangan masa lalu bernama Iqbaal Rahmadi. Lia menghela nafas. Sepertinya dia perlu banyak-banyak membaca Al-Qur’an agar hatinya menjadi lurus kembali. Lia mengeluarkan sebuah Al-Qur’an cokelat muda. Perlahan Lia membacanya sembari kereta terus melaju menuju Depok.

***

Lia memutuskan mampir dulu ke kampus. Dia harus mengambil laptop yang tadi dia titipkan ke Perpustakaan. Kampus mulai ramai karena semester awal sudah aktif. Mahasiswa bersliweran berpindah dari satu kelas ke kelas lain. Lia mengambil 20 SKS di semester ini, dia tidak bisa mengambil kurang atau lebih lagi. Sebagai mahasiswa baru, dia harus tunduk pada pemilihan mata kuliah wajib universitas dan kampus.

Sambil menuju perpustakaan, Lia menelpon Mba Aina. Pasti Mba Aina bisa memberinya nasihat berharga tentang ajakan Kak Iqbaal untuk bertemu.

“Hallo? Assalamualaikum, Mba.”

“Waalaikumussalam, dede, ada apa?” Mba Aina memang suka memanggil Lia dengan sebutan dede.

“Mba, apa Lia ganggu? Lia mau minta nasihat dari Mba Aina nih”, suara Lia setengah bergetar.

“Ya Allah, ada apa de? Bukannya dede lagi fitting baju pengantin sama Adam?”, ujar Mba Aina terdengar khawatir.

“Mba, ini bukan tentang Adam, mba. Ini tentang Iqbaal, kakak kelas Lia waktu itu. Mba masih inget Kak Iqbaal ga, Mba? Dia balik dari Jepang, Mba, dan dia minta ketemu sama Lia. Menurut Mba Aina, Lia ketemuan ga ya sama dia, Mba?

“Ya Rabb, De, Mba bisa membayangkan kamu bingung ya? Tapi menurut mba kamu jangan pergi, De. Kamu itu statusnya sudah menjadi calon istri orang lain sekarang. Sudah sepantasnya kamu ga lagi mengingat atau mengenang laki-laki lain apalagi bertemu dengannya. Dede tau kan hal ini pasti ga akan disetujui oleh Adam kalau dia tau?”

“Huff. Iya, betul, mba. Betul juga apa perkataan Mba Aina. Hmm. Iya, Mba. Lia juga berpikir seperti itu. Oke deh, makasih ya Mba. Lia masih ada urusan di kampus. Bentar lagi balik kok. Mba udah di rumah?”

“Iya, de. Hati-hati di jalan ya. Kalau udah maghrib, mending sholat aja dulu di kampus, okey?”

Mba Aina adalah sosok yang selalu mengingatkan Lia tentang amal ibadah. Ayah dan Ibu Lia selalu membanggakan Mba Aina sebagai sosok kakak yang penuh teladan kebaikan bagi adik-adiknya.

“Iya, mba. Makasih ya? Lia ke perpustakan dulu ya, Mba. Assalamualaikum”, suara Lia memutus telepon.

Lia menatap kembali layar ponselnya. Dia mengetik balasan pesan untuk Kak Iqbaal. Lia meminta maaf tidak bisa bertemu dengannya. Lia mengemukakan alasan kerja kelompok di perpustakaan. Dia tidak berbohong. Kerja kelompok tadi memang sudah usai tapi Lia memang masih di perpustakaan.

Sambil berusaha tersenyum, Lia mengirim pesan itu kepada Kak Iqbaal. Lia pun masuk ke perpustakaan.

-bersambung-



Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Senarai part 8"

Comment