Malam semakin larut. Adam
terbaring di tempat tidurnya sambil terus mengecek jadwalnya esok hari pada telepon
genggamnya. Hmm. Besok dia harus menemui dosennya untuk mengambil jadwal
semester depan sebagai asisten dosen. Adam memang telah memiliki penghasilan
sejak tahun lalu sebagai peneliti dan asisten dosen. Tiba-tiba ada notifikasi
masuk. Adam meliriknya. Itu notifikasi WhatsApp. Sepertinya grup-grup WhatsApp
tak pernah berhenti berdegup. Adam membacanya selintas-selintas.
Sebuah chat pribadi masuk. Adam
membukanya. Pita. Adam menatap layar ponselnya.
Sender : Pita
“Dam, sepertinya besok kita wajib
rapat dadakan KOMPEK deh. Anak-anak minta lo turun tangan langsung sekalian
kita setting ruangan. Siang bisa kan?”
Sender : Adam
“Okeh siap, bu. Dimana besok?Gua
besok free siang-siang kok.”
Adam menaruh ponselnya. Dia
mencari buku agendanya di laci mejanya. Adam menuliskan apa saja agendanya untuk
besok. Pada ujung kalimat terakhir, Adam terhenti sejenak. Dia menambahkan satu
kalimat lagi sebagai agenda. ‘Mencari kontrakan di sekitar kampus’. Setelah
menuliskannya, Adam membuka laptopnya, ada beberapa yang harus dia sampaikan di
rapat besok. Adam sibuk mengetik bahan rapatnya.
***
Pita
Hai, namaku Pita. Pita Amalia
nama lengkapku. Aku baru saja kecewa pada diriku sendiri. Bisa-bisanya aku masih
berharap sosok itu membalas chat-ku lebih panjang lagi. Ya, dia. Adam Wicaksana.
Si ketus yang jago organisasi dan jago akademik. Adam. Si baik hati yang suka
membantu semua orang.
Pita menggigit bibir bawahnya.
Come on, Pit. Kamu naif. Adam tidak pernah punya perasaan padamu. Iya,
tapi aku yang telah jatuh suka padanya. Aku menyukainya. Aku menyukai Adam. Kedua
mata Pita berkaca-kaca. Dia menyukai semua sisi kepribadian Adam. Adam yang
galak. Adam yang bossy. Adam yang peduli. Adam yang suka membela teman.
Pita ingat betul Adam yang suka
perintah sana-sini itu adalah Adam yang juga memutuskan kembali lagi ke kampus
hanya karena Pita melaporkan bahwa dia
belum pulang karena terjebak hujan selepas rapat. Adam yang ketua kepanitiaan
itu kembali ke kampus dan membawakan Pita sebuah payung. Hujan deras dan angin
menderu-deru keras sekali saat itu. Halte kampus hampir kosong. Pita berdiri
mematung di sana terpana melihat Adam yang berseru, “Woy! Pita! Pake nih Pit payung
gue. Buru pulang gih, kabarin kalo udah sampe rumah, okay?”
Adam berlalu sehabis memberikan
payung itu. Punggung Adam yang menjauh dalam hujan terekam sempurna di memori Pita.
Ah, Adam. Dia memang baik dan tegas. Dia menyayangi semua bawahan di
organisasinya. Dia kadang-kadang bossy. Tapi Adam selalu memperhatikan semua
temannya dengan sangat baik.
Hufff. Pita menatap layar telepon
genggamnya lalu melirik deretan buku pada rak bukunya. Dia mengetik sesuatu
pada aplikasi chattingnya. Pita harus memanjang-manjangkan urusan dengan Adam.
Sender : Pita
“Dam, jangan lupa lo besok bawain
buku Machiavelli yak. Gue pinjam, okay?”
Nun jauh di sana, chat dari Pita langsung sampai
di ponsel Adam. Namun, Adam sudah lelap tertidur ke alam mimpi. Di dalam
mimpinya dia melihat sosok perempuan melambaikan tangan kepadanya. Adam
berjalan menghampiri perempuan itu. Perempuan itu tersenyum manis kepada Adam
lalu menunduk malu. Adam memanggilnya setengah takjub, “Lia?”
***
Lia membuka buku itu dengan
perlahan, dia membacanya pada bagian kewajiban istri. ‘Seorang istri wajib
menjadi sahabat bagi suaminya. Saat suaminya bersedih, istri adalah sosok yang
meneduhkan. Saat suaminya khawatir, istri adalah sosok yang menenangkan. Istri
adalah pelabuhan paling nyaman bagi seorang suami’
Lia terbayang wajah Adam saat
membaca kalimat barusan. Pelabuhan? Bagi orang se-bossy itu? Hhh, Lia menghela
nafas berat. Yah, iya sih Adam tampak bertanggung jawab. Setidaknya dia meminta
Lia menyiapkan dirinya dengan memperbanyak membaca buku-buku spesifik tentang
bagaimana menjadi istri . Lia sangat sepakat sejujurnya tentang hal itu.
“Tok-tok-tok”, suara pintu kamar
Lia diketuk dari luar. Lia bangkit dari duduk dan membukakan pintu.
“Lia, Ibu mau ngobrol-ngobrol
sebentar. Boleh kan?” Ibunya duduk di tempat tidur Lia.
“Boleh dong, Bu.”
“Li, ada beberapa hal yang ingin
sekali Ibu sampaikan saat anak Ibu menginjak jenjang pernikahan.” Suara Ibu
terdengar sedikit bergetar haru.
“Bu,” Lia langsung menggenggam
erat tangan Ibunya.
“Li, pernikahan adalah sesuatu yang
tidak main-main. Ketika dua orang mengikat janji akad nikah, sesungguhnya itu
janji yang luar biasa besarnya. Saking besarnya janji itu hingga sanggup
menggetarkan singgasana Allah.” Ibu menatap Lia penuh kasih sayang.
“Ibu sangat berharap kamu mampu
menjadi istri yang baik. Gapapa, Li, kalau nantinya kamu menghadapi jatuh
bangun di kehidupan pernikahan. Hal itu sesuatu yang wajar. Yang paling penting
adalah jangan berhenti. Itu lebih dari cukup. Ibu sangat-sangat ingin melihat
kamu bahagia di dalam pernikahanmu“ Ibu mulai terisak haru.
“Ibu…”, Lia memeluk Ibunya.
“Satu pesan terakhir Ibu, jangan
pernah meremehkan suamimu ya, Li? Betapapun kamu nanti ada masalah dengan
suamimu, diamkanlah sejenak. Amarah tidak pernah hilang kecuali dengan diam
lalu tenang.” Ibu tersenyum sambil menggenggam tangan Lia. Lia merasakan malam
ini sangat sedih kelak harus berpisah dengan ayah dan ibunya.
“Bu, Lia minta doanya ya? Semoga
Lia bisa menjadi istri yang baik sebaik ibu di samping ayah.” Mereka berpelukan
bersama.
-bersambung-
*KOMPEK = Kompetisi Ekonomi, event tahunan yang diselenggarakan mahasiswa FE UI
*KOMPEK = Kompetisi Ekonomi, event tahunan yang diselenggarakan mahasiswa FE UI
Belum ada tanggapan untuk "Senarai part 4 "
Posting Komentar