Senarai Part 1




Sekali lagi pasangan suami istri itu saling beradu pandangan. Mata mereka bersirobok mencari keyakinan satu sama  lain. Sinar matahari sore memasuki ruangan melalui jendela berkayu. “Apakah ini benar-benar yang terbaik menurut Ayah buat Lia?” Perempuan itu melemparkan sebuah pertanyaan kepada suaminya. Suaminya menghela nafas. Ini berat. Mereka tidak boleh salah mengambil langkah lagi. Ketiga kakak-kakak Lia telah terlambat untuk mereka ubah. Untuk saat ini hanya Lia yang memiliki kemungkinan berhasil melalui prosesnya. Lia harus sekarang juga melakukannya. Sebelum ia tertindih kesibukan demi kesibukan seperti ketiga kakak-kakaknya.

“Ya. Ayah pikir ini yang terbaik untuk Lia, Bu. Kita tahu ini memang kewajiban kita, Bu. Semuanya sudah Ayah pertimbangkan masak-masak” Rasa mantap tergambar dari suara laki-laki paruh baya itu. Pasangan suami istri saling memandang sekali lagi. Ada kecamuk pikiran. Tapi ini semua semata-mata untuk kebaikan masa depan putri mereka yang bungsu : Nurlia.

***

“Menikah? Me-ni-kah? Hah? Ayah sama Ibu bercanda ya? Bercanda kan? Ayah dan Ibu ga lupa kan kalau minggu lalu Lia baru perpisahan SMA? Lia kan baru aja mau kuliah. Masa udah disuruh nikah. Ayah sama Ibu bercanda kan? Lagian Mba Aina, Mba Isti sama Mba Mirna juga belum nikah..mereka aja yang disuruh nikah! Kenapa harus Lia? Kenapa harus sekarang?” Rentetan kalimat menyembur dari mulut Lia. Kedua alisnya bertaut kesal. Dia memandang kedua orang tuanya dengan pandangan heran.

Dia benar-benar tidak habis pikir. Bagaimana mungkin kedua orang tuanya punya rencana menjodohkan dia di masa-masa sekarang. Apa tidak bisa menunggu? Apa harus sekarang juga?

“Li……” lelaki itu memulai kalimatnya dengan lembut. “Ayah sama Ibu tuh ga asal-asalan. Ayah sudah mendiskusikan ini sama Ibumu secara mendalam untuk menghasilkan keputusan ini.” Lelaki itu sangat ingin putrinya memahami semua ini semata-mata untuk kebaikannya. “Ayah tuh menyesal, Li… Menyesal sekali ga menjodohkan ketiga kakak kamu…” Ayah menatap Lia serius. Bayangan ketiga putrinya tiba-tiba memenuhi memorinya. Dia sesungguhnya merasa bertanggung jawab atas seluruh kehidupan perjodohan putri-putrinya.

Tetapi dahulu dia belum memantapkan hati. Ayah Lia begitu naif menganggap semua akan bertemu jodohnya sendiri-sendiri, di masa depan. Lalu dia pun tersadar saat ketiga putrinya beranjak dewasa dan bergulung-gulung kesibukan mendera. Harusnya dia bisa campur tangan menjodohkan mereka. Mencarikan masing-masing mereka seorang suami baik dan berasal dari keluarga terpercaya.

Ayah Lia merasakan penyesalan di hatinya. Sebagai seorang ayah harusnya dia mengetahui ilmu ini sedari awal. Bahwa dalam Islam, kewajiban seorang ayahlah untuk mencarikan jodoh untuk putrinya.

“Ayahmu ingin kamu menikah sebelum memulai perkuliahan, Lia… Calon kamu ini sudah tingkat akhir di kuliahnya… Dia bisa membimbing kamu dalam perkuliahanmu… Dia juga berasal dari keluarga baik-baik, Lia” Suara Ibu terdengar lembut di telinga Lia.

Ibu melanjutkan dengan nada sedih “Lia, Ibu ga mau terulang kembali.. Ibu ga mau terlambat lagi mempertemukan anak Ibu dengan jodohnya… Kamu juga tahu kan Lia, itu kewajiban Ayah dan Ibu untuk mencarikan jodoh yang baik buat kamu”

“Tapi Lia keterima di UI, Yah, Bu. Itu ga bikin Ayah Ibu bahagia? Harus dengan menikah kah? Bukannya Lia ga mau tapi ini terlalu awal sekali untuk sebuah pernikahan, Yah, Bu…. Lia rasa Lia ga akan mampu berkuliah sambil menikah.....…”

Lia masih terdiam sekali. Seakan ada yang berdentam-dentam di dalam dadanya. Nafasnya yang tidak karuan. Matanya melihat Ayah Ibunya dengan sungguh-sungguh. Berharap mereka tertawa lalu mengatakan ini kejutan atau sebuah lawakan akhir pekan.

Namun kedua Ayah dan Ibunya tetap bergeming. Ini sungguh di luar harapan-harapannya selama ini. Lia sedang merasa ditimpa kabar buruk. Apa yang lebih buruk daripada hilangnya bayangan kuliah dengan menyenangkan. Apa yang lebih buruk daripada menikah dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Apa yang lebih buruk daripada kesulitan mengikuti kegiatan kemahasiswaan karena sudah menjadi istri orang. Apa yang lebih buruk lagi dari ini semua? Apa? 

Tiba-tiba Lia ingin meledak. Pikiran buruknya sudah muncul dengan jelas di dalam kepalanya. Matanya menatap kedua orangtuanya yang diam mematung.

“Lia sayangku….” Ibu Lia mencoba menjelaskan. “Ibu dan Ayah lebih dari bahagia, Nak, mendengar kabar bahwa kamu diterima di jurusan yang kamu pilih. Kami tidak ingin mengekang Lia dengan pernikahan ini. Kami hanya ingin menjodohkan Lia dengan lelaki yang baik dan berasal dari keluarga terpercaya. Maafkan Ibu jika waktunya terkesan mendadak. Ibu cuma merasa insting Ibu mengatakan ini waktu yang terbaik untuk kamu menikah…”

Ayah Lia menatap Lia penuh cinta “Kamu itu dijodohkan dengan lelaki baik-baik, Lia. Ayah dan Ibu sudah mengetahui semua tentang dia. Dia adalah sosok lelaki yang cocok menjadi pembimbing baik dalam kehidupan kuliah ataupun kehidupanmu sebagai istri”

Lia menutup mulutnya rapat-rapat. Otaknya penuh dengan kalimat-kalimat tanya. Pikirannya membayangkan hal yang tidak-tidak. Apakah benar laki-laki yang dijodohkan dengannya itu benar-benar baik? Bagaimana nanti saat Lia hamil, ah hamil? Lia jengah membayangkan kesana kemari berkuliah membawa perut berisi kandungan. 

Sungguh! Ini semua terlalu mendadak. Padahal masuk jurusan ini adalah impian Lia sejak dahulu kala. Ya, Lia ingin sekali menjadi seorang menteri ekonomi. Pikiran Lia seketika menjadi kusut. Mulutnya terkatup rapat. Kedua mata Lia menatap orang tuanya masih tidak percaya dengan semua ini.

“Lia rasa Lia cape banget malam ini. Maaf, Bu. Maaf, Yah. Lia ke kamar dulu” segera Lia bangkit dari kursinya dan beranjak ke kamarnya.

Bruak!

Suara pintu kamar ditutup keras-keras. Ayah dan Ibu saling berpandangan. Mereka harus mencoba meyakinkan putri mereka lagi besok pagi. Sungguh mereka telah merancang sebuah rencana terbaik untuk masa depan Lia.

***

“Hah? Dijodohin? Ha-ha-ha” Nyaris saja Adam terjatuh dari kursinya saking kagetnya. “Ya ampun Mah… Tenang dong, Mah… Adam tuh udah bilang khaan, Adam akan menikah kok Mah… Tapi ga sekarang.. Adam juga ingin kasih Mama cucu kok. Mama tenang dong ah” Senyum manis Adam tersungging di bibirnya.

Senyum itu langsung dibalas oleh sebuah jawilan di pipinya “Makanya itu kamu Mama jodohin Dam.. Dam, tenang yah? Ini Mama kenal beneran kok sama keluarganya. Jadi ibunya itu sahabat lama Mama, Dam. Mama tuh ga mungkin menjerumuskan anak Mama sendiri. Mama juga ga bego-bego amat” Mamanya menjelaskan sambil melemparkan pandangan setengah meledek.

Mama Adam tahu tidak akan mudah meyakinkan putra bungsunya itu untuk menikah. Dia merasakan bahwa putranya sudah punya seseorang yang spesial di kampusnya. Gadis itu memang tidak pernah dibawa ke rumah. Tapi kalau gadis itu belum pernah dikenalkan berarti Adam belum menaruh harapan apa-apa terhadapnya.

Lalu seorang sahabat lamanya menawarkan perjodohan dengan seorang putri baik hati , pintar, cantik, anggun dan shalihat. Ah, tawaran baik yang tidak boleh ditolak. Lagipula Adam tampak ogah-ogahan menyelesaikan skripsinya. Padahal pekerjaan proyekannya sudah dimana-mana.

Mungkin dengan adanya istri akan memberinya sebuah suntikan motivasi. Sebuah dorongan. Sebuah kehangatan. Sebuah cinta. Ah, perempuan itu perlahan kembali membuka suaranya “Adam… Mama tau kamu selalu menomor satukan orang lain, baik itu Mama, abang-abangmu atau temen-temen. Nah sekarang biarkan Mama ya Dan menomorsatukan kamu..Kamu harus yakin sama pilihan Mama ya Dam”

Adam menelan ludah. Dia tidak pernah menyangka telepon suruhan pulang dari Mamanya berujung petaka. Ini sih lebih baik dia tidak pernah pulang dari kosannya. Kasur busuknya di kosan seakan memanggil-manggil….

“Dam! Adam! Kamu dengerin Mama kan?” perempuan itu mengguncang bahu anaknya. “Iya, Mah….Zzzz. Emang cewenya cakep banget ya Mah? Adam mau yang secakep Atiqah Hasiholan, udah cakep, seksi, pinter, hayoloh mantep kaya gitu gak Mah calon Mama?

Mama Adam tersenyum lebar, dia tau anaknya akan selalu mendahulukan keinginannya. Selama ini hampir seluruh keinginannya sebagai ibu selalu dipatuhi oleh Adam.. Adam adalah anak baik, dia juga sudah memiliki penghasilan sendiri. Kriteria seorang suami sudah berada di dirinya saat ini, Mama Adam tahu hal itu.

“Hmm, cakep.. Cakep banget malahan lho, Dam. Dia baru akan jadi mahasiswi tahun ini. Dia berjilbab, pintar, cocok pokonya deh Dam sama kamu. Mama rasa kalian akan jadi pasangan suami istri yang serasi. Mama gini-gini pinter lho menilai orang. Mama yakin kamu dan dia akan jadi keluarga sakinah pokonya, Dam!”

Mama Adam mulai menyebutkan seluruh kebaikan calon menantunya. Adam menyimak sambil sesekali tertawa. Mamanya adalah perempuan nomor satu di hidupnya. Hidup Adam selalu bertujuan untuk membahagiakan Mamanya..

Perempuan itu sudah terlalu banyak mengalami derita karena banyak hal sebagai single parent. Adam tidak mau menambahkan kekecewaan. Adam menghela nafas. Berat sekali tugasnya.

Adam tahu mulai malam ini sesungguhnya ada hati yang harus dia patahkan…

**

Lia terduduk di kamarnya. Malam mulai merayap pelan. Ini membuat suasana semakin sunyi di luar sana.  Suara hewan-hewan khas malam hari mulai terdengar. Tetapi Lia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Dia masih tidak habis pikir, bagaimana tiba-tiba saja orangtuanya ingin menjodohkannya? Apakah dia terlihat tidak bisa menjaga diri selama kuliah? Apakah harus seorang Lia menikah justru saat akan memulai perkuliahannya pertama kali?

Air mata mendesak-desak di pelupuk matanya. Lia ingin sekali berharap ini semua adalah mimpi. Huh, iya betul sih Lia ingin menikah, tapi tidak sekarang juga kan….

Lia mengambil sebuah benda dari dalam tasnya. Ponsel pink-nya berada di dalam genggaman. Lia membuka album foto pada ponselnya. Foto-foto perpisahan SMA-nya masih sangat baru berada di dalam ponselnya.  Di antara puluhan foto itu ada foto Lia dan sahabat-sahabatnya menulis tulisan-tulisan penyemangat di spanduk angkatan mereka. Lia membacanya lagi satu per satu. Hati Lia tiba-tiba menjadi bimbang saat melihat foto itu.

“Nurliaaa cayangknya akuhhhh. Uhuuuy! semangattt masuk FE UI nya yaaaaak! JOSSS!!”

“Li, kita ketemu yaaak di UI! Jadi UI Squad kita ya Li! Lafff youu, Liii:*”

“Lia, lia, liaaa..nurliaa, ha-ha-ha, Si cewe full of energy, keep contact yess! Inget selalu ukhteee, hidup mulia or mati syahid, dan jangan lupa, oy-oy, dapetin suami hafidz. Ha-ha-ha”

Lia mengigit bibir bawahnya, air matanya menetes. Dia mulai merasa bodoh. Bagaimana mungkin dia mau-mau saja dijodohkan. Impiannya masuk jurusan yang dia idamkan selama ini sudah tercapai. Apa itu tidak bisa menggoyahkan keinginan Ayah dan Ibu atas perjodohan ini?

Lia ingin sekali berteriak. Kekesalannya sudah di ubun-ubun. Dia bukan orang yang tidak bisa mencari calon suami. Ketiga kakak perempuannya memang serempak memfokuskan diri pada pekerjaan. Tetapi kenapa harus Lia yang dijodohkan?

Sementara teman-temannya sedang bersenang-senang karena sangat bersemangat memulai kehidupan barunya di perguruan tinggi, disinilah Lia akan dijodohkan oleh seseorang yang tidak pernah dia kenal.

Lia membenamkan kepalanya dalam bantal-bantal. Dia harus melobi kedua orangtuanya lagi. Dia tau pernikahan itu hal baik, sungguh-sungguh baik, tapi ini sih keterlaluan. Arghhhhh!!!!!!!

***

Adam mencoba fokus, dia sudah menatap layar komputernya hampir setengah jam. Tapi skripsinya belum sama sekali tersentuh.

“Woy! Bengong aja sob, tumben, biasanya selalu semangat” sahabat Adam menegurnya. Riko memang tinggal sebelah kosan saja dengannya. “Rik, kapan lo dateng, katanya ada urusan dari kampus, kok gue ga denger sih suara motor lo?” mata Adam mengedarkan pandangan ke halaman kosan.

“Yee kan lo tau tuh motor udah gue jual. Payah ah, selain suka bengong sekarang lo pikun sob!” Riko meninju bahu Adam. Adam menggeleng-gelengkan kepalanya, ini sudah kelewatan, Dam, Fokus, ayo fokus.

“Sori, sori, Rik. Eh gimana tadi rapat, jadi tuh si Okta maju bidding? Gile tuh anak, ga ada matinya yak”

Dan mengalirkan obrolan khas Adam-Riko. Kedua lelaki yang disebut-sebut sahabat di luar dan di dalam kelas kuliah. Mereka sama-sama satu angkatan , satu organisasi dan terlibat banyak kepanitiaan bersama

Adam tau dia tidak mungkin menceritakan ide perjodohan dari Mamanya itu. Si Riko bisa mengeluarkan dua ekspresi yang sama-sama tidak menyenangkan buat Adam : entah pingsan karena saking terbahak-bahak atau malah diam mematung lalu menampar Adam untuk membuatnya sadar atas kebodohan dirinya.

Dua-duanya opsi yang tidak mau Adam pilih. Besok dia akan pulang ke rumahnya, Mamanya harus tau bahwa perjodohan ini bukan hal terbaik. Adam harus bisa meyakinkan Mamanya bahwa perjodohan ini akan sia-sia. 

Matahari senja mulai bergulir. Semburatnya melukiskan pemandangan magis jingga yang sangat-sangat indah. Seindah sebuah takdir tentang dua anak manusia yang sudah tertulis di langit. Dan keduanya besok akan bertemu untuk pertama kalinya.….

-bersambung-

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "Senarai Part 1 "

Nissa mengatakan...

Deaaaaaa... Baguuusss.... Bikin penasaran n!!! Lanjutin doong, seruuuu

Comment