Sekali lagi pasangan suami istri itu saling beradu pandangan. Mata mereka bersirobok mencari keyakinan satu sama lain. Sinar matahari sore memasuki ruangan melalui jendela berkayu. “Apakah ini
benar-benar yang terbaik menurut Ayah buat Lia?” Perempuan itu melemparkan sebuah pertanyaan kepada
suaminya. Suaminya menghela nafas. Ini berat. Mereka tidak boleh salah mengambil langkah
lagi. Ketiga kakak-kakak Lia telah terlambat untuk mereka ubah. Untuk saat ini hanya Lia yang memiliki kemungkinan berhasil melalui prosesnya. Lia harus sekarang juga melakukannya. Sebelum ia tertindih kesibukan demi kesibukan seperti ketiga kakak-kakaknya.
“Ya. Ayah pikir
ini yang terbaik untuk Lia, Bu. Kita tahu ini memang kewajiban kita, Bu. Semuanya
sudah Ayah pertimbangkan masak-masak” Rasa mantap tergambar dari suara laki-laki paruh baya itu. Pasangan suami istri saling memandang sekali lagi. Ada kecamuk pikiran. Tapi
ini semua semata-mata untuk kebaikan masa depan putri mereka yang bungsu :
Nurlia.
***
“Menikah? Me-ni-kah?
Hah? Ayah sama Ibu bercanda ya? Bercanda kan? Ayah dan Ibu ga lupa kan kalau
minggu lalu Lia baru perpisahan SMA? Lia kan baru aja mau kuliah. Masa udah
disuruh nikah. Ayah sama Ibu bercanda kan? Lagian Mba Aina, Mba Isti sama Mba Mirna
juga belum nikah..mereka aja yang disuruh nikah! Kenapa harus Lia? Kenapa harus
sekarang?” Rentetan kalimat menyembur dari mulut Lia. Kedua alisnya bertaut kesal. Dia memandang kedua orang tuanya dengan pandangan heran.
Dia benar-benar
tidak habis pikir. Bagaimana mungkin kedua orang tuanya punya rencana
menjodohkan dia di masa-masa sekarang. Apa tidak bisa menunggu? Apa harus
sekarang juga?
“Li……” lelaki
itu memulai kalimatnya dengan lembut. “Ayah sama Ibu tuh ga asal-asalan. Ayah sudah mendiskusikan ini sama Ibumu secara mendalam untuk menghasilkan keputusan ini.” Lelaki
itu sangat ingin putrinya memahami semua ini semata-mata untuk kebaikannya. “Ayah tuh
menyesal, Li… Menyesal sekali ga menjodohkan ketiga kakak kamu…” Ayah menatap Lia serius. Bayangan ketiga putrinya tiba-tiba memenuhi memorinya. Dia
sesungguhnya merasa bertanggung jawab atas seluruh kehidupan perjodohan putri-putrinya.
Tetapi dahulu
dia belum memantapkan hati. Ayah Lia begitu naif menganggap semua akan bertemu
jodohnya sendiri-sendiri, di masa depan. Lalu dia pun tersadar saat ketiga putrinya
beranjak dewasa dan bergulung-gulung kesibukan mendera. Harusnya dia bisa campur tangan menjodohkan mereka. Mencarikan masing-masing mereka seorang suami baik dan berasal dari keluarga terpercaya.
Ayah Lia merasakan penyesalan di hatinya. Sebagai seorang ayah harusnya dia mengetahui ilmu ini sedari awal. Bahwa
dalam Islam, kewajiban seorang ayahlah untuk mencarikan jodoh untuk
putrinya.
“Ayahmu ingin kamu menikah sebelum memulai perkuliahan, Lia… Calon kamu ini sudah tingkat akhir di
kuliahnya… Dia bisa membimbing kamu dalam perkuliahanmu… Dia juga berasal dari keluarga baik-baik, Lia”
Suara Ibu terdengar lembut di telinga Lia.
Ibu melanjutkan dengan nada sedih “Lia, Ibu ga mau terulang kembali.. Ibu ga mau terlambat lagi mempertemukan anak Ibu dengan jodohnya… Kamu juga tahu kan Lia, itu kewajiban Ayah dan Ibu untuk mencarikan jodoh yang baik buat kamu”
“Tapi Lia
keterima di UI, Yah, Bu. Itu ga bikin Ayah Ibu bahagia? Harus dengan menikah
kah? Bukannya Lia ga mau tapi ini terlalu awal sekali untuk sebuah pernikahan,
Yah, Bu…. Lia rasa Lia ga akan mampu berkuliah sambil menikah.....…”
Lia masih
terdiam sekali. Seakan ada yang berdentam-dentam di dalam dadanya. Nafasnya yang tidak karuan. Matanya melihat Ayah Ibunya dengan sungguh-sungguh. Berharap mereka tertawa lalu mengatakan ini kejutan atau sebuah lawakan akhir pekan.
Namun kedua Ayah dan Ibunya tetap bergeming. Ini sungguh di luar harapan-harapannya selama ini. Lia sedang merasa ditimpa kabar buruk. Apa yang lebih buruk daripada hilangnya bayangan kuliah dengan menyenangkan. Apa yang lebih buruk daripada menikah dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Apa yang lebih buruk daripada kesulitan mengikuti kegiatan kemahasiswaan karena sudah menjadi istri orang. Apa yang lebih buruk lagi dari ini semua? Apa?
Namun kedua Ayah dan Ibunya tetap bergeming. Ini sungguh di luar harapan-harapannya selama ini. Lia sedang merasa ditimpa kabar buruk. Apa yang lebih buruk daripada hilangnya bayangan kuliah dengan menyenangkan. Apa yang lebih buruk daripada menikah dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. Apa yang lebih buruk daripada kesulitan mengikuti kegiatan kemahasiswaan karena sudah menjadi istri orang. Apa yang lebih buruk lagi dari ini semua? Apa?
Tiba-tiba
Lia ingin meledak. Pikiran buruknya sudah muncul dengan jelas di dalam kepalanya. Matanya menatap kedua orangtuanya yang diam mematung.
“Lia sayangku….” Ibu
Lia mencoba menjelaskan. “Ibu dan Ayah lebih dari bahagia, Nak, mendengar kabar bahwa kamu diterima di jurusan yang kamu pilih. Kami tidak ingin mengekang Lia dengan pernikahan ini.
Kami hanya ingin menjodohkan Lia dengan lelaki yang baik dan berasal dari keluarga terpercaya. Maafkan Ibu jika waktunya terkesan mendadak. Ibu cuma merasa insting
Ibu mengatakan ini waktu yang terbaik untuk kamu menikah…”
Ayah Lia
menatap Lia penuh cinta “Kamu itu dijodohkan dengan lelaki baik-baik, Lia. Ayah dan Ibu sudah mengetahui semua tentang dia. Dia adalah sosok lelaki yang cocok menjadi pembimbing baik dalam kehidupan
kuliah ataupun kehidupanmu sebagai istri”
Lia menutup
mulutnya rapat-rapat. Otaknya penuh dengan kalimat-kalimat tanya. Pikirannya
membayangkan hal yang tidak-tidak. Apakah benar laki-laki yang dijodohkan dengannya itu
benar-benar baik? Bagaimana nanti saat Lia hamil, ah hamil? Lia jengah membayangkan kesana kemari berkuliah membawa perut berisi kandungan.
Sungguh! Ini semua terlalu mendadak. Padahal masuk jurusan ini adalah impian Lia sejak dahulu kala. Ya, Lia ingin sekali menjadi seorang menteri ekonomi. Pikiran Lia seketika menjadi
kusut. Mulutnya terkatup rapat. Kedua mata Lia menatap orang tuanya masih tidak percaya dengan semua ini.
“Lia rasa Lia
cape banget malam ini. Maaf, Bu. Maaf, Yah. Lia ke kamar dulu” segera Lia
bangkit dari kursinya dan beranjak ke kamarnya.
Bruak!
Suara pintu
kamar ditutup keras-keras. Ayah dan Ibu saling berpandangan. Mereka harus mencoba meyakinkan putri mereka lagi besok pagi. Sungguh mereka telah merancang sebuah rencana terbaik
untuk masa depan Lia.
***
“Hah?
Dijodohin? Ha-ha-ha” Nyaris saja Adam terjatuh dari kursinya saking kagetnya. “Ya ampun Mah… Tenang dong, Mah… Adam tuh udah bilang khaan, Adam akan
menikah kok Mah… Tapi ga sekarang.. Adam juga ingin kasih Mama cucu kok. Mama
tenang dong ah” Senyum manis Adam tersungging di bibirnya.
Senyum itu langsung dibalas oleh sebuah jawilan di pipinya “Makanya itu kamu Mama jodohin Dam.. Dam, tenang yah? Ini Mama kenal beneran kok sama keluarganya. Jadi ibunya itu sahabat lama Mama, Dam. Mama
tuh ga mungkin menjerumuskan anak Mama sendiri. Mama juga ga bego-bego amat” Mamanya menjelaskan sambil melemparkan pandangan setengah meledek.
Mama Adam tahu tidak akan
mudah meyakinkan putra bungsunya itu untuk menikah. Dia merasakan bahwa putranya sudah
punya seseorang yang spesial di kampusnya. Gadis itu memang tidak pernah dibawa ke rumah. Tapi kalau gadis itu belum pernah dikenalkan berarti Adam belum menaruh harapan apa-apa terhadapnya.
Lalu seorang sahabat
lamanya menawarkan perjodohan dengan seorang putri baik hati , pintar, cantik, anggun dan shalihat. Ah,
tawaran baik yang tidak boleh ditolak. Lagipula Adam tampak ogah-ogahan
menyelesaikan skripsinya. Padahal pekerjaan proyekannya sudah dimana-mana.
Mungkin dengan
adanya istri akan memberinya sebuah suntikan motivasi. Sebuah dorongan. Sebuah
kehangatan. Sebuah cinta. Ah, perempuan itu perlahan kembali membuka suaranya “Adam…
Mama tau kamu selalu menomor satukan orang lain, baik itu Mama, abang-abangmu
atau temen-temen. Nah sekarang biarkan Mama ya Dan menomorsatukan kamu..Kamu harus
yakin sama pilihan Mama ya Dam”
Adam menelan
ludah. Dia tidak pernah menyangka telepon suruhan pulang dari Mamanya berujung
petaka. Ini sih lebih baik dia tidak pernah pulang dari kosannya. Kasur
busuknya di kosan seakan memanggil-manggil….
“Dam! Adam!
Kamu dengerin Mama kan?” perempuan itu mengguncang bahu anaknya. “Iya, Mah….Zzzz.
Emang cewenya cakep banget ya Mah? Adam mau yang secakep Atiqah Hasiholan, udah
cakep, seksi, pinter, hayoloh mantep kaya gitu gak Mah calon Mama?
Mama Adam
tersenyum lebar, dia tau anaknya akan selalu mendahulukan keinginannya. Selama
ini hampir seluruh keinginannya sebagai ibu selalu dipatuhi oleh Adam.. Adam
adalah anak baik, dia juga sudah memiliki penghasilan sendiri. Kriteria seorang
suami sudah berada di dirinya saat ini, Mama Adam tahu hal itu.
“Hmm, cakep..
Cakep banget malahan lho, Dam. Dia baru akan jadi mahasiswi tahun ini. Dia berjilbab,
pintar, cocok pokonya deh Dam sama kamu. Mama rasa kalian akan jadi pasangan suami istri yang
serasi. Mama gini-gini pinter lho menilai orang. Mama yakin kamu dan dia
akan jadi keluarga sakinah pokonya, Dam!”
Mama Adam mulai
menyebutkan seluruh kebaikan calon menantunya. Adam menyimak sambil sesekali
tertawa. Mamanya adalah perempuan nomor satu di hidupnya. Hidup Adam selalu
bertujuan untuk membahagiakan Mamanya..
Perempuan itu
sudah terlalu banyak mengalami derita karena banyak hal sebagai single parent.
Adam tidak mau menambahkan kekecewaan. Adam menghela nafas. Berat sekali
tugasnya.
Adam tahu mulai malam
ini sesungguhnya ada hati yang harus dia patahkan…
**
Lia terduduk di
kamarnya. Malam mulai merayap pelan. Ini membuat suasana semakin sunyi di luar sana. Suara hewan-hewan khas malam hari mulai terdengar. Tetapi Lia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Dia masih tidak habis pikir, bagaimana
tiba-tiba saja orangtuanya ingin menjodohkannya? Apakah dia terlihat tidak bisa
menjaga diri selama kuliah? Apakah harus seorang Lia menikah justru saat akan memulai perkuliahannya pertama kali?
Air mata
mendesak-desak di pelupuk matanya. Lia ingin sekali berharap ini semua adalah
mimpi. Huh, iya betul sih Lia ingin menikah, tapi tidak sekarang juga kan….
Lia mengambil
sebuah benda dari dalam tasnya. Ponsel pink-nya berada di dalam genggaman. Lia membuka album foto pada ponselnya.
Foto-foto perpisahan SMA-nya masih sangat baru berada di dalam ponselnya. Di antara puluhan foto itu ada foto Lia dan
sahabat-sahabatnya menulis tulisan-tulisan penyemangat di spanduk angkatan
mereka. Lia membacanya lagi satu per satu. Hati Lia tiba-tiba menjadi bimbang
saat melihat foto itu.
“Nurliaaa cayangknya
akuhhhh. Uhuuuy! semangattt masuk FE UI nya yaaaaak! JOSSS!!”
“Li, kita
ketemu yaaak di UI! Jadi UI Squad kita ya Li! Lafff youu, Liii:*”
“Lia, lia,
liaaa..nurliaa, ha-ha-ha, Si cewe full of energy, keep contact yess! Inget
selalu ukhteee, hidup mulia or mati syahid, dan jangan lupa, oy-oy, dapetin suami
hafidz. Ha-ha-ha”
Lia mengigit
bibir bawahnya, air matanya menetes. Dia mulai merasa bodoh. Bagaimana mungkin
dia mau-mau saja dijodohkan. Impiannya masuk jurusan yang dia idamkan selama
ini sudah tercapai. Apa itu tidak bisa menggoyahkan keinginan Ayah dan Ibu atas perjodohan ini?
Lia ingin sekali berteriak. Kekesalannya sudah di ubun-ubun. Dia bukan orang yang tidak bisa mencari calon
suami. Ketiga kakak perempuannya memang serempak memfokuskan diri pada
pekerjaan. Tetapi kenapa
harus Lia yang dijodohkan?
Sementara teman-temannya sedang bersenang-senang karena sangat bersemangat memulai kehidupan barunya di
perguruan tinggi, disinilah Lia akan dijodohkan oleh seseorang yang tidak
pernah dia kenal.
Lia membenamkan
kepalanya dalam bantal-bantal. Dia harus melobi kedua orangtuanya lagi. Dia tau
pernikahan itu hal baik, sungguh-sungguh baik, tapi ini sih keterlaluan.
Arghhhhh!!!!!!!
***
Adam mencoba
fokus, dia sudah menatap layar komputernya hampir setengah jam. Tapi skripsinya
belum sama sekali tersentuh.
“Woy! Bengong
aja sob, tumben, biasanya selalu semangat” sahabat Adam menegurnya. Riko memang
tinggal sebelah kosan saja dengannya. “Rik, kapan lo dateng, katanya ada urusan
dari kampus, kok gue ga denger sih suara motor lo?” mata Adam mengedarkan
pandangan ke halaman kosan.
“Yee kan lo tau
tuh motor udah gue jual. Payah ah, selain suka bengong sekarang lo pikun sob!”
Riko meninju bahu Adam. Adam menggeleng-gelengkan kepalanya, ini sudah
kelewatan, Dam, Fokus, ayo fokus.
“Sori, sori,
Rik. Eh gimana tadi rapat, jadi tuh si Okta maju bidding? Gile tuh anak, ga ada
matinya yak”
Dan mengalirkan
obrolan khas Adam-Riko. Kedua lelaki yang disebut-sebut sahabat di luar dan di
dalam kelas kuliah. Mereka sama-sama satu angkatan , satu organisasi dan terlibat
banyak kepanitiaan bersama
Adam tau dia
tidak mungkin menceritakan ide perjodohan dari Mamanya itu. Si Riko bisa mengeluarkan dua ekspresi yang sama-sama tidak menyenangkan buat Adam : entah
pingsan karena saking terbahak-bahak atau malah diam mematung lalu menampar Adam untuk membuatnya sadar atas kebodohan dirinya.
Dua-duanya opsi
yang tidak mau Adam pilih. Besok dia akan pulang ke rumahnya, Mamanya harus tau bahwa
perjodohan ini bukan hal terbaik. Adam harus bisa meyakinkan Mamanya bahwa perjodohan ini akan sia-sia.
Matahari senja
mulai bergulir. Semburatnya melukiskan pemandangan magis jingga yang
sangat-sangat indah. Seindah sebuah takdir tentang dua anak manusia yang sudah
tertulis di langit. Dan keduanya besok akan bertemu untuk pertama kalinya.….
-bersambung-
1 Tanggapan untuk "Senarai Part 1 "
Deaaaaaa... Baguuusss.... Bikin penasaran n!!! Lanjutin doong, seruuuu
Posting Komentar