Senarai Part 2




Fajar mulai terbit perlahan di ufuk timur. Cahayanya berlimpah memenuhi alam raya. Segalanya menjadi penuh  dengan kehangatan energi pagi hari. Di kamar tidurnya, Lia sudah terjaga dari beberapa jam yang lalu. Lebih tepatnya dia mengalami penurunan jam tidur secara signifikan malam ini.

“Huuffffff…” Lia menghembuskan nafas. Pikiran-pikiran menggelayuti benaknya sedari tadi. “Tok..tok..ini Ibu, Li. Ayo sarapan dulu sini, Sayang” Ibu Lia memanggil dari luar kamar. Di keluarga Lia sebuah sarapan adalah saat di mana seluruh keluarganya bisa bertemu. Hal ini karena ketiga kakaknya sering pulang sangat malam sekali. Hanya saat sarapanlah semua bisa bertemu di meja makan.

“Iya, Bu. Lia keluar sekarang” Lia menjawab sambil memaksakan sebuah senyuman di bibirnya. Aah, Lia harus mencoba mulai berpositif memandang ini semua. Siapa tau pagi ini Ayah dan Ibunya berubah pikiran. Siapa tau perjodohan itu tidak akan benar-benar terjadi.

Lia berjalan gontai menuju meja makan. Ayah memanggilnya “Li, ke sini coba…” Lia melemparkan pandangan ke meja makan. Di sana sudah duduk ketiga kakaknya. Mba Aina, Mba Isti dan Mba Mirna. Semua anak Ayah memang sudah menggunakan jilbab sejak lama. Meskipun begitu Ayah dan Ibunya memang baru akhir-akhir ini saja terlibat pengajian.

“Iya, Yah, kenapa?” Lia berusaha membuka pembicaraan. Semoga Ayah berubah pikiran..Semoga berubah…Ayo dong berubah, Yah.

Ayah tersenyum kepada Lia “Li, Mba kamu semuanya sudah Ayah kabari tentang rencana semalam dan semuanya setuju” Mata Lia langsung membelalak kaget. Waduuuh, ini kenapa mba-mba semua pada setuju sih. Lia mulai memutar otak hendak mengatakan apa.

“Li, Mba tau ini terkesan mendadak. Tapi Mba Aina pribadi sebagai kakak kamu mendukung penuh keputusan Ayah dan Ibu” Mba Aina mulai membuka suara. Kakak pertama Lia itu seolah semakin menegaskan keputusan Ayah Lia. Mba Aina tersenyum tenang kepada Lia. Lia tidak berani membayangkan seperti apa perasaan sebenarnya di dalam hati Mba Aina. Sejak dulu Mba Aina adalah sosok kakak pertama yang sangat dewasa. Di mata Lia, Mba Aina selalu memendam perasaannya nyaris sepanjang waktu. Dia selalu terlihat tenang dan dewasa.  

Hampir semua saudara Lia satu sama lain begitu dekat, kecuali Mba Aina. Mba Aina baru-baru saja pulang kembali ke rumah mereka. Mba Aina menghabiskan waktu bertahun-tahun bekerja di kota Semarang.

“Li, apa yang kamu khawatirkan coba sih? Alhamdulillah dong Li, Ayah sama Ibu mau mencarikan jodoh. Siapa tau abis kamu, kita-kita nih yang bakal dicariin jodoh, ya gak? Ha-ha-ha” Mba Isti, kakak kedua Lia mencoba mencairkan suasana. Mba Isti memang selalu menjadi sosok badut di rumah Lia. Dia orang yang selalu berusaha membuat semua orang tertawa. Lia sendiri selalu suka oleh kemampuan Mba Isti dalam mengeluarkan kemampuan melawaknya. Tapi kali ini Lia dan semua orang diam di ruangan itu.

Lia gundah membayangkan apa yang sebenarnya dipikirkan oleh ketiga kakakknya. Apakah mereka tidak merasa sedih “dilangkahi”? Ah, Lia harus menggunakan ide ini sebagai senjatanya!

“Ayah sama Ibu apa ga sedih bayangin perasaan Mba Aina, Mba Isti dan Mba Mirna kalau misalkan Lia menikah? Itu kan artinya dilangkahi….” Ah, akhirnya keluar juga kalimat itu dari mulut Lia. Lia sungguh tidak berani menatap mata Ayahnya. Dia hanya melirik Ibunya sebagai tanda meminta dukungan.

Keheningan seketika melanda ruang makan itu. Semua menunggu jawaban Ayah. Ini sebuah isu yang sensitif. Ayah Lia menatap keempat putri-putrinya.

“Selamanya Ayah menginginkan kebahagiaan buat kalian semua. Ayah minta maaf jika Ayah dan Ibu terlambat menyadari perlunya mencarikan jodoh bagi kalian. Ayah tahu kalian semua anak-anak sholeha. Kalian bahkan telah menggunakan jilbab sebelum Ayah dan Ibu menyuruhnya” tiba-tiba suasana menjadi haru.

Lia tahu betul perjuangan Mba Aina sebagai pemakai jilbab pertama di keluarga ini. Mba Aina yang rajin mengajak adik-adiknya agar menjaga diri, ikut pengajian dan tidak membangkang kepada Ayah dan Ibu.

Lia melirik kepada Mba Aina. Kakak pertamanya tampak tenang memperhatikan kalimat dari Ayah. Lia menunduk. Dia merasa tidak tahu harus berkata apa. Lia menunggu Ayah melanjutkan kalimatnya lagi.

“Aina sedang proses menyelesaikan tesis. Isti masih terikat kontrak pekerjaan yang di dalamnya terdapat pasal larangan menikah. Mirna masih proses penyelesaian skripsinya.” Ayah menjelaskan keadaan putri-putrinya. “Lia, itulah mengapa Ayah dan Ibu mohon maaf... Seandainya Ayah dan Ibu lebih cepat sadar akan hal ini lebih awal… Ayah tentu akan mencarikan jodoh untuk kakak-kakakmu sebelum mereka mendapatkan kondisi yang menyulitkan mereka untuk menikah..”

Lia semakin menunduk. Sesungguhnya di dalam hatinya Lia sadar semua kalimat Ayah ada benarnya juga. Ketiga kakak perempuannya memang sudah dewasa dan kelihatan siap menikah tetapi masing-masing sedang terlibat pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Hufft. Lia merasa ini memang jalan buntu. Perjodohan ini 90% pasti akan terlaksana.

“Li, Ibu tahu ini tidak mudah untuk dilakukan. Kamu belum mengenal calonmu. Dia juga belum mengenal kamu. Tapi Ibu yakin Lia sudah dewasa dan seorang yang telah dewasa. Calon kamu pun seorang lelaki baik hati yang sholeh” Ibu Lia tersenyum kepada Lia. “Li, kamu yakin kan bahwa kalau Ayah dan Ibu selalu ingin yang terbaik untuk Lia?”

“Iya, Bu” Lia mengangguk. “Nah, kalau begitu. Lia nanti malam siap-siap ya? Calon suaminya Lia akan datang ke sini” kalimat Ibu barusan seolah menghentikan jantung Lia. Apa? Calon suaminya? Nanti malam? Ke rumah ini?

“Err, apa ga terlalu cepet, Bu? Kenapa ngga nanti aja, misalnya minggu depan aja gitu Bu” Lia merasakan perutnya mulas. Dia cemas membayangkan nanti malam harus berkata apa.

“Eh, Li, kata orang lebih cepat lebih baik. Ngerti kan?” Mba Mirna yang dari tadi diam saja mengeluarkan kalimat pamungkas. Skak mat. Lia tidak mendapat dukungan dari siapa-siapa. Sepertinya habis ini dia benar-benar harus menerima kenyataan. Nurlia akan menikah dengan orang tidak dikenal sebentar lagi.

“Gapapa, Li. Sekedar pertemuan perdana Ibu pikir ga ada salahnya… Setelahnya bergantian Lia bisa berkunjung ke rumahnya dan dia ke sini sendiri-sendiri untuk mengetahui kisah hidup kalian langsung dari orang tua masing-masing….Habis itu baru kamu bisa bertemu untuk rencana lamaran….” Sayup-sayup suara Ibu terdengar bersemangat sekali. Lia hanya bisa menatap kosong. Sekali lagi dia butuh shalat istikharah.

***

Matahari mulai naik. Sinarnya bukan memberikan kehangatan tetapi mulai beranjak menyengat siapa saja yang berada di luar ruangan. Adam duduk di undakan pinggir danau kampusnya. Ini lokasi favoritnya untuk beristirahat melepaskan penat setelah seharian kuliah atau rapat.

Danau ini selalu menyegarkan semangatnya setiap kali Adam memandangnya. Tapi kali ini Adam belum bisa merasakan semangat itu. Hatinya masih bimbang. Apa betul ini waktu yang terbaik baginya untuk menikah?

“Woy! Wah, lo bener-bener lagi ada masalah yak Sob? Dari kemaren bawaannya ngelamun aje. Ha-ha-ha” Riko menertawakan Adam. Suaranya yang membahana, membuatnya gampang dikenali dari jauh sekalipun. Adam menelan ludah. Asem banget sih si Riko.

“Eh, Rik, kira-kira kalo lo dijodohin lo mau ga?” Adam mulai memancing respons sahabatnya itu. “Wah! Itu sih udah jelas gue mau lah. Jaman sekarang susah Sob cari calon istri. Udah lama-lama dipacarin eh ditinggal nikah. Perihnya tuh di sini, Jenderal.” Riko menunjuk dadanya sambil mengeluarkan ekspresi kesakitan. Ini sih si Riko curcol alias curhat colongan.

Bulan lalu pacar Riko, Amel, memang melangsungkan pernikahan dengan orang lain. “Lo jangan malah curhat dong Rik” Adam melemparkan pandangan kesal kepada Riko. Ah, apa jangan-jangan iya, kalaupun pacaran, toh akhirnya akan ditinggal nikah.

Adam teringat akan sejarah panjangnya yang bersih tanpa pacaran. Apa gara-gara hal ini Mamanya berusaha menjodohkannya?

“Eh, Dam, tadi pas di parkiran, gue papasan tuh sama Pita. Lo ga ketemu yak?” Riko bertanya kepada Adam. “Hah? Pita? Oh, iya-iya. Ketemu sih” Adam tersenyum pada Riko.

Pita. Nama itu punya kedekatan di hati Adam sebetulnya. Mereka sekelas sejak semester pertama. Di kelompok skripsi juga mereka bersama-sama. Pita berjilbab, pintar, cantik. Siapa yang tidak tertarik padanya? Adam dulu sempat menaruh hati padanya. Tapi Adam tahu itu impian di siang hari bolong untuk melamar Pita.

Ayah Pita seorang menteri di kabinet sekarang. Ibunya adalah dekan fakultas mereka. Adam tahu bahwa itu adalah sebuah jarak yang jauh terbentang. Keluarga mereka bagaikan langit dan bumi.

“Eh, Rik, misalnya nih ya, lo dijodohin sama ibu lo, kira-kira lo akan setuju atau nolak, Rik?” Adam berusaha lagi mengetahui jawaban sahabatnya itu. “Yaelah itu mah gampang Sob, pake aja prinsip lo. Apaan itu sih kalimat yang lo pasang di tembok kamar kosan lo. Oh, The Road Not Taken! Nah, pake prinsip itu aja dah, Dam. Terima aja  Dam. Kenapa? Karena menurut gue menerima perjodohan adalah jalan yang ga semua orang tempuh. Karena itu jalan yang sulit.. Dan kesulitan yang akan membuat segalanya jadi berbeda.. Gitu kan selalu lo bilang Sob?” Riko menjawab santai. Dia tidak menyadari akan perubahan ekspresi wajah Adam.

Adam terpana. Ya. Betul. Dia sangat menyukai kalimat pada puisi yang berjudul “The Road Not Taken”. Itu adalah kalimat penyemangatnya. Itu adalah kalimat penguatnya. Itu adalah motivasinya bertahan membela kebenaran menurutnya bagaimanapun sulit kondisinya. Kadang hingga orang lain menganggap Adam aneh. Bagaimana tidak aneh, demi sahabatnya Adam pernah melepaskan kewajibannya datang Ujian Akhir Semester.

Riko saat itu menelponnya dari kosan. Laptop dan ponselnya dicuri oleh maling. Maling itu membobol bukan hanya kamar kosan Riko tapi juga kamar-kamar lainnya. Adam segera menuju kosan Riko saat itu juga. Dia membantu Riko mengurus ke polisi dan melacak jejak si maling.

Adam selalu menjunjung kebenaran. Dan menolong sahabatnya adalah kebenaran sejati yang selalu dijunjung tinggi oleh Adam..

Jalan yang sulit.. yang tidak semua orang memilihnya..

Adam bisa kuat mengabaikan kesempatan ujiannya dan mengulang semester depan karena dia selalu ingat kalimat “The Road Not Taken”… Karena dia yakin persahabatannya dengan Riko adalah sebuah kebenaran yang penting untuk dibela… Meskipun itu adalah jalan sunyi yang jarang diambil orang lain..

Two roads diverged in a wood, and I…
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference

Adam mengulang puisi itu di dalam kepalanya. Ini tidak sulit, Dam. Ini mudah saja, Dam. Ini semudah pengambilan keputusanmu sebelum-sebelumnya. Pilih yang orang lain akan mengernyitkan alis sambil menolaknya mentah-mentah, Dam.

“Selalu pilihlah yang menyelisihi hawa nafsumu. Dam…” DEGGH. Adam tersentak. Ya, kalimat itu. Itu adalah sebuah kalimat yang sering diulang Bang Ari, kakak pertamanya.

Adam melemparkan pandangannya ke danau. Tampaknya ini rencana Allah yang paling baik untuk dirinya. Dia, seperti biasa, hanya harus menjalankannya dengan dewasa dan kuat, seperti waktu-waktu sebelumnya……

Meskipun dia tahu jalan ke depan akan sangat menantang. Dia akan memilih jalan yang terjal sebab itu akan menjadikannya semakin dewasa.

“Eh, Rik, gue balik yak ke rumah malem ini“ Adam memberi info kepada sahabatnya itu. “Lo boleh kok pake aja tuh leptop gue. Kan leptop lo belom beli lagi sejak dimaling”.

“Wah, Dam, lo kenapa sik? Suka bengong dan jadi sering balik ke rumah. Skripsi emang kadang bisa bikin gila yak. Ha-ha-ha” Tawa Riko membahana di undakan pinggir danau itu. Adam hanya bisa mengangkat alisnya. Ya, betul sekali.. Adam harus memilih jalan yang takkan dilalui orang lain…..

***

Lia melipat sajadah dan mukenanya. Hatinya sedikit plong setelah sahalat istikharah. Lia melihat ke jam dinding. Pukul 10 pagi lewat 10 menit. Ibunya tadi mengingatkan bahwa calonnya akan datang selepas shalat Maghrib.

Lia duduk di pinggir tempat tidurnya. Dia mengedip-ngedipkan matanya. Pikirannya masih merasa kacau dalam merespons semua ini. Sebenarnya apa yang Lia takutkan? Huh, Lia sendiri tidak tahu.

Lia berjalan ke depan cerminnya. Dia menatap dalam-dalam sosok di hadapannya.

Kamu sebaiknya segera membaca buku-buku persiapan pernikahan itu, Li. Lia berbicara kepada dirinya sendiri. Matanya menoleh ke tumpukan buku yang tadi dibawakan Mba Aina. Dia memang pernah membaca beberapa judulnya sekilas tapi belum pernah mendalam.

Lia mengambil sebuah buku dan membuka halamannya. Judul buku itu membuat Lia mengernyitkan dahi. “Kado Pernikahan Sejati”. Tapi tidak berapa lama, lembar demi lembar buku itu dibaca Lia dengan sangat serius. Matanya menelusuri setiap kalimat yang tertera pada buku itu.

Satu jam kemudian Lia jatuh tertidur di antara buku-bukunya. Di dalam mimpinya Lia melihat sosok suaminya. Lelaki itu terlihat tampan dan sangat manis sekali. Lia menatap lekat-lekat lelaki itu. Lelaki itu melemparkan senyum kepada Lia. Tapi kenapa dia berjarak jauh sekali sih, Lia berjalan mendekati sosok itu. Tiba-tiba sosok itu terhapus angin saat Lia menghampirinya…..

***

“Mamaaa…Assalamualaikum… Ma? Mamaaaa, Adam pulang nih…. Ma…?” Adam membuka pintu rumahnya. Rumahnya tampak kosong. Mamanya mungkin sedang di luar rumah. Adam menghempaskan dirinya di sofa. Dia memandang langit-langit rumahnya. Adam memperhatikan sudut-sudut rumahnya. Rumah mereka ini tidak pernah direnovasi. Mamanya selalu mendahulukan kepentingan sekolah anak-anaknya. Jika ada keuntungan dari toko selalu dijadikan tabungan pendidikan bagi Adam dan abang-abangnya. Glek. Adam menelan ludah. Itu salah satu alasan terbesar kenapa lo ga boleh mengecewakan Mama dalam perjodohan ini, Dam.

“Adaaaam! Kok ga ngucapin salam sih. Mama lagi di dapur tadi. Ayo ayo mandi deh buruan sekarang. Kita mau ke Depok sekarang. Bang Tio ga bisa datang karena ada kerjaan. Bang Ari udah Mama kontak katanya dia kirim salam semangat. Dam, ayo ayo.” Mama Adam berjalan hilir mudik di hadapan Adam.

Kedua kakak Adam memang sudah menikah. Bang Tio sudah memiliki 2 orang putri dan Bang Ari sudah memiliki seorang putra. Keduanya tinggal di luar kota.

“Depok? Adam kan baru dari sana, Ma. Masa Adam balik lagi ke kosan.” Adam memutar bola matanya. Dia beranjak ke kamar. Tetapi Mama Adam segera memegang lengannya. “Eits, bukaaan. Bukan ke kosan kamu lah, tapi ke rumah calon kamu. Dia kan tinggalnya di Depok”

Adam menelan ludah. Dia baru sampai dan langsung harus menerima kenyataan : dia akan bertemu calon istrinya. Iya, perjodohan ini mulai bergerak, sodara-sodara.

“Ayo ayo ini Mama udah siap-siap, Dam. Kita shalat Maghrib di jalan aja ya Dam. Jadi ke sana sampainya selepas Maghrib biar ga kemaleman. Nah, kamu sekarang buruan mandi. Aduh bau asem bener deh kamu, Dam” Mama Adam setengah mendorong punggung Adam menuju kamar mandi.

“Bentar, Ma. Adam mau bilang sesuatu..” Adam berbalik menatap Mamanya. ”Apaaa, Dam?” Mamanya tampak tidak sabaran. ”Mama bahagia kah kalau Adam berjodoh dengan perempuan ini?”

Mamanya tersenyum lama lalu memeluk Adam “Mama bahagia banget, Dam, kalau kamu berjodoh dengan dia” kalimat dari Mamanya memasuki relung hati Adam. Dia tahu dia selalu bisa melakukan apapun selama Mamanya bahagia.

Adam tersenyum kepada Mamanya “Iya, Ma, Adam siap-siap dulu. Malam ini kita ke rumah dia ya?”. Mama Adam menatap Adam “Makasih ya Dam.”

***

Adam sudah bersiap-siap. Dia mengenakan kemeja terbaiknya. Sepertinya ini kemeja yang dia pakai setiap hari saat internship di perusahaan pada tahun lalu. 

“Bip..bip..” suara tanda chat masuk ke ponsel Adam. Adam membukanya. Dari Bang Ari, kakak pertamanya yang sekarang tinggal di Australia.

“Dam, Abang mendoakan Adam dari sini ya. Percaya sama Mama ya Dam. Dari dulu Mama selalu bekerja keras demi kebahagiaan kita semua. Abang turut berbahagia kalau Adam akan menikah. Menikah itu sebuah ibadah, Dam. Dia membuat hidupmu menjadi penuh kebaikan tiada henti. Yang semangat ya Dam.”

Adam membaca pesan dari abangnya itu dengan sebuah perasaan haru. Bang Ari benar, Mamanya selalu menomorsatukan anak-anaknya. Hampir tidak pernah Mama Adam memberikan saran atau keputusan yang tidak berlandaskan kepentingan dan kebahagiaan anak-anaknya.

Adam sekali lagi menatap bayangannya di cermin. Inilah Adam Wicaksana, calon suami. Wake up, Dam. Take this responsibility with all your good effort as usual. Adam tahu dia menapaki jalan yang benar.

***

Matahari tergelincir di kaki langit. Sedikit demi sedikit sinarnya redup lalu hilang di ufuk barat. Kesibukan tampak mulai meningkat di rumah Lia. Ibu Lia merapihkan ruang tengah rumahnya.

Lia dan kakak-kakaknya menggeser sofa dan menggelar karpet. Sepertinya ini akan muat menampung keluarga si calon suami Lia. Ah, calon suami. Just face it, Nurlia. You’ll be someone’s wife soon. Lia tersenyum getir. Sepertinya ini jalan yang Allah siapkan untuknya. Dia tinggal menapakinya dengan kuat.

“Heh, bengong aje” Mba Isti menepuk pundak Lia. “Li, jangan khawatir yak. Ayah sama Ibu ga akan berniat mencelakakan anaknya. Gue yakin calon suami lo itu laki-laki baik. Malah mungkin gue akan minta dia bawa temen-temennya. Siapa tau ada yang berjodoh kan sama gue?” Mba Isti menyikut Lia. Lia tersenyum 

“Iya Mba, Lia minta maaf yah kalau harus melangkahi Mba Aina, Mba Isti dan Mba Mirna. Tapi semoga ini pembuka jalan ya Mba. Lia sayang banget sama Mba Isti” Lia memeluk kakaknya itu dengan erat-erat.

“Cup…cup…gue juga sayang lah sama lo, Li. Udah, udah, ayo kita semangat ya Li, Ayah sama Ibu sejak ikut pengajian jadi banyak perbaikan kok. Ya salah satunya ini. Mencarikan jodoh buat anak-anaknya, ya kan?” Mba Isti melemparkan senyum kepada Lia.

Derit sebuah mobil terdengar dari luar rumah Lia. Suara pintu mobil dibuka dan langkah-langkah kaki terdengar jelas. Jantung Lia seolah berhenti saat bel rumahnya dipencet oleh seseorang.

“Ting-tong!”

-bersambung-
  

Postingan terkait:

2 Tanggapan untuk "Senarai Part 2"

inne mengatakan...

mbak, ceritanya baguuuus..
saya suka, saya suka... part 3 nya mana?

duh, jadi penasaran nih.. hehe

farahzu mengatakan...

Jantungku juga seolah ikut berhenti dey degdegan hihihi

Comment