Fajar mulai
terbit perlahan di ufuk timur. Cahayanya berlimpah memenuhi alam raya.
Segalanya menjadi penuh dengan kehangatan
energi pagi hari. Di kamar tidurnya, Lia sudah terjaga dari beberapa jam yang
lalu. Lebih tepatnya dia mengalami penurunan jam tidur secara signifikan malam
ini.
“Huuffffff…”
Lia menghembuskan nafas. Pikiran-pikiran menggelayuti benaknya sedari tadi.
“Tok..tok..ini Ibu, Li. Ayo sarapan dulu sini, Sayang” Ibu Lia memanggil dari
luar kamar. Di keluarga Lia sebuah sarapan adalah saat di mana seluruh keluarganya
bisa bertemu. Hal ini karena ketiga kakaknya sering pulang sangat malam sekali.
Hanya saat sarapanlah semua bisa bertemu di meja makan.
“Iya, Bu. Lia
keluar sekarang” Lia menjawab sambil memaksakan sebuah senyuman di bibirnya. Aah,
Lia harus mencoba mulai berpositif memandang ini semua. Siapa tau pagi ini Ayah
dan Ibunya berubah pikiran. Siapa tau perjodohan itu tidak akan benar-benar
terjadi.
Lia berjalan gontai
menuju meja makan. Ayah memanggilnya “Li, ke sini coba…” Lia melemparkan
pandangan ke meja makan. Di sana sudah duduk ketiga kakaknya. Mba Aina, Mba
Isti dan Mba Mirna. Semua anak Ayah memang sudah menggunakan jilbab sejak lama.
Meskipun begitu Ayah dan Ibunya memang baru akhir-akhir ini saja terlibat
pengajian.
“Iya, Yah,
kenapa?” Lia berusaha membuka pembicaraan. Semoga Ayah berubah pikiran..Semoga
berubah…Ayo dong berubah, Yah.
Ayah tersenyum
kepada Lia “Li, Mba kamu semuanya sudah Ayah kabari tentang rencana semalam dan
semuanya setuju” Mata Lia langsung membelalak kaget. Waduuuh, ini kenapa
mba-mba semua pada setuju sih. Lia mulai memutar otak hendak mengatakan apa.
“Li, Mba tau
ini terkesan mendadak. Tapi Mba Aina pribadi sebagai kakak kamu mendukung penuh
keputusan Ayah dan Ibu” Mba Aina mulai membuka suara. Kakak pertama Lia itu
seolah semakin menegaskan keputusan Ayah Lia. Mba Aina tersenyum tenang kepada
Lia. Lia tidak berani membayangkan seperti apa perasaan sebenarnya di dalam
hati Mba Aina. Sejak dulu Mba Aina adalah sosok kakak pertama yang sangat
dewasa. Di mata Lia, Mba Aina selalu memendam perasaannya nyaris sepanjang
waktu. Dia selalu terlihat tenang dan dewasa.
Hampir semua
saudara Lia satu sama lain begitu dekat, kecuali Mba Aina. Mba Aina baru-baru
saja pulang kembali ke rumah mereka. Mba Aina menghabiskan waktu bertahun-tahun
bekerja di kota Semarang.
“Li, apa yang
kamu khawatirkan coba sih? Alhamdulillah dong Li, Ayah sama Ibu mau mencarikan
jodoh. Siapa tau abis kamu, kita-kita nih yang bakal dicariin jodoh, ya gak?
Ha-ha-ha” Mba Isti, kakak kedua Lia mencoba mencairkan suasana. Mba Isti memang
selalu menjadi sosok badut di rumah Lia. Dia orang yang selalu berusaha membuat
semua orang tertawa. Lia sendiri selalu suka oleh kemampuan Mba Isti dalam mengeluarkan
kemampuan melawaknya. Tapi kali ini Lia dan semua orang diam di ruangan itu.
Lia gundah membayangkan
apa yang sebenarnya dipikirkan oleh ketiga kakakknya. Apakah mereka tidak
merasa sedih “dilangkahi”? Ah, Lia harus menggunakan ide ini sebagai
senjatanya!
“Ayah sama Ibu apa
ga sedih bayangin perasaan Mba Aina, Mba Isti dan Mba Mirna kalau misalkan Lia
menikah? Itu kan artinya dilangkahi….” Ah, akhirnya keluar juga kalimat itu
dari mulut Lia. Lia sungguh tidak berani menatap mata Ayahnya. Dia hanya
melirik Ibunya sebagai tanda meminta dukungan.
Keheningan
seketika melanda ruang makan itu. Semua menunggu jawaban Ayah. Ini sebuah isu yang
sensitif. Ayah Lia menatap keempat putri-putrinya.
“Selamanya Ayah
menginginkan kebahagiaan buat kalian semua. Ayah minta maaf jika Ayah dan Ibu
terlambat menyadari perlunya mencarikan jodoh bagi kalian. Ayah tahu kalian
semua anak-anak sholeha. Kalian bahkan telah menggunakan jilbab sebelum Ayah
dan Ibu menyuruhnya” tiba-tiba suasana menjadi haru.
Lia tahu betul
perjuangan Mba Aina sebagai pemakai jilbab pertama di keluarga ini. Mba Aina
yang rajin mengajak adik-adiknya agar menjaga diri, ikut pengajian dan tidak
membangkang kepada Ayah dan Ibu.
Lia melirik
kepada Mba Aina. Kakak pertamanya tampak tenang memperhatikan kalimat dari
Ayah. Lia menunduk. Dia merasa tidak tahu harus berkata apa. Lia menunggu Ayah
melanjutkan kalimatnya lagi.
“Aina sedang
proses menyelesaikan tesis. Isti masih terikat kontrak pekerjaan yang di
dalamnya terdapat pasal larangan menikah. Mirna masih proses penyelesaian
skripsinya.” Ayah menjelaskan keadaan putri-putrinya. “Lia, itulah mengapa Ayah
dan Ibu mohon maaf... Seandainya Ayah dan Ibu lebih cepat sadar akan hal ini
lebih awal… Ayah tentu akan mencarikan jodoh untuk kakak-kakakmu sebelum mereka
mendapatkan kondisi yang menyulitkan mereka untuk menikah..”
Lia semakin
menunduk. Sesungguhnya di dalam hatinya Lia sadar semua kalimat Ayah ada
benarnya juga. Ketiga kakak perempuannya memang sudah dewasa dan kelihatan siap
menikah tetapi masing-masing sedang terlibat pekerjaan yang tidak bisa
ditinggalkan. Hufft. Lia merasa ini memang jalan buntu. Perjodohan ini 90%
pasti akan terlaksana.
“Li, Ibu tahu
ini tidak mudah untuk dilakukan. Kamu belum mengenal calonmu. Dia juga belum
mengenal kamu. Tapi Ibu yakin Lia sudah dewasa dan seorang yang telah dewasa.
Calon kamu pun seorang lelaki baik hati yang sholeh” Ibu Lia tersenyum kepada
Lia. “Li, kamu yakin kan bahwa kalau Ayah dan Ibu selalu ingin yang terbaik
untuk Lia?”
“Iya, Bu” Lia
mengangguk. “Nah, kalau begitu. Lia nanti malam siap-siap ya? Calon suaminya
Lia akan datang ke sini” kalimat Ibu barusan seolah menghentikan jantung Lia.
Apa? Calon suaminya? Nanti malam? Ke rumah ini?
“Err, apa ga
terlalu cepet, Bu? Kenapa ngga nanti aja, misalnya minggu depan aja gitu Bu” Lia
merasakan perutnya mulas. Dia cemas membayangkan nanti malam harus berkata apa.
“Eh, Li, kata
orang lebih cepat lebih baik. Ngerti kan?” Mba Mirna yang dari tadi diam saja
mengeluarkan kalimat pamungkas. Skak mat. Lia tidak mendapat dukungan dari
siapa-siapa. Sepertinya habis ini dia benar-benar harus menerima kenyataan.
Nurlia akan menikah dengan orang tidak dikenal sebentar lagi.
“Gapapa, Li.
Sekedar pertemuan perdana Ibu pikir ga ada salahnya… Setelahnya bergantian Lia
bisa berkunjung ke rumahnya dan dia ke sini sendiri-sendiri untuk mengetahui
kisah hidup kalian langsung dari orang tua masing-masing….Habis itu baru kamu
bisa bertemu untuk rencana lamaran….” Sayup-sayup suara Ibu terdengar
bersemangat sekali. Lia hanya bisa menatap kosong. Sekali lagi dia butuh shalat
istikharah.
***
Matahari mulai
naik. Sinarnya bukan memberikan kehangatan tetapi mulai beranjak menyengat
siapa saja yang berada di luar ruangan. Adam duduk di undakan pinggir danau
kampusnya. Ini lokasi favoritnya untuk beristirahat melepaskan penat setelah
seharian kuliah atau rapat.
Danau ini
selalu menyegarkan semangatnya setiap kali Adam memandangnya. Tapi kali ini
Adam belum bisa merasakan semangat itu. Hatinya masih bimbang. Apa betul ini
waktu yang terbaik baginya untuk menikah?
“Woy! Wah, lo
bener-bener lagi ada masalah yak Sob? Dari kemaren bawaannya ngelamun aje.
Ha-ha-ha” Riko menertawakan Adam. Suaranya yang membahana, membuatnya gampang
dikenali dari jauh sekalipun. Adam menelan ludah. Asem banget sih si Riko.
“Eh, Rik,
kira-kira kalo lo dijodohin lo mau ga?” Adam mulai memancing respons sahabatnya
itu. “Wah! Itu sih udah jelas gue mau lah. Jaman sekarang susah Sob cari calon
istri. Udah lama-lama dipacarin eh ditinggal nikah. Perihnya tuh di sini, Jenderal.”
Riko menunjuk dadanya sambil mengeluarkan ekspresi kesakitan. Ini sih si Riko
curcol alias curhat colongan.
Bulan lalu
pacar Riko, Amel, memang melangsungkan pernikahan dengan orang lain. “Lo jangan
malah curhat dong Rik” Adam melemparkan pandangan kesal kepada Riko. Ah, apa
jangan-jangan iya, kalaupun pacaran, toh akhirnya akan ditinggal nikah.
Adam teringat
akan sejarah panjangnya yang bersih tanpa pacaran. Apa gara-gara hal ini
Mamanya berusaha menjodohkannya?
“Eh, Dam, tadi
pas di parkiran, gue papasan tuh sama Pita. Lo ga ketemu yak?” Riko bertanya
kepada Adam. “Hah? Pita? Oh, iya-iya. Ketemu sih” Adam tersenyum pada Riko.
Pita. Nama itu punya kedekatan di hati Adam sebetulnya. Mereka sekelas sejak semester pertama. Di kelompok skripsi juga mereka bersama-sama. Pita berjilbab, pintar, cantik. Siapa yang tidak tertarik padanya? Adam dulu sempat menaruh hati padanya. Tapi Adam tahu itu impian di siang hari bolong untuk melamar Pita.
Ayah Pita
seorang menteri di kabinet sekarang. Ibunya adalah dekan fakultas mereka. Adam
tahu bahwa itu adalah sebuah jarak yang jauh terbentang. Keluarga mereka
bagaikan langit dan bumi.
“Eh, Rik,
misalnya nih ya, lo dijodohin sama ibu lo, kira-kira lo akan setuju atau nolak,
Rik?” Adam berusaha lagi mengetahui jawaban sahabatnya itu. “Yaelah itu mah
gampang Sob, pake aja prinsip lo. Apaan itu sih kalimat yang lo pasang di
tembok kamar kosan lo. Oh, The Road Not Taken! Nah, pake prinsip itu aja dah,
Dam. Terima aja Dam. Kenapa? Karena menurut
gue menerima perjodohan adalah jalan yang ga semua orang tempuh. Karena itu
jalan yang sulit.. Dan kesulitan yang akan membuat segalanya jadi berbeda..
Gitu kan selalu lo bilang Sob?” Riko menjawab santai. Dia tidak menyadari akan perubahan
ekspresi wajah Adam.
Adam terpana. Ya.
Betul. Dia sangat menyukai kalimat pada puisi yang berjudul “The Road Not Taken”.
Itu adalah kalimat penyemangatnya. Itu adalah kalimat penguatnya. Itu adalah
motivasinya bertahan membela kebenaran menurutnya bagaimanapun sulit kondisinya.
Kadang hingga orang lain menganggap Adam aneh. Bagaimana tidak aneh, demi
sahabatnya Adam pernah melepaskan kewajibannya datang Ujian Akhir Semester.
Riko saat itu
menelponnya dari kosan. Laptop dan ponselnya dicuri oleh maling. Maling itu
membobol bukan hanya kamar kosan Riko tapi juga kamar-kamar lainnya. Adam
segera menuju kosan Riko saat itu juga. Dia membantu Riko mengurus ke polisi
dan melacak jejak si maling.
Adam selalu
menjunjung kebenaran. Dan menolong sahabatnya adalah kebenaran sejati yang
selalu dijunjung tinggi oleh Adam..
Jalan yang
sulit.. yang tidak semua orang memilihnya..
Adam bisa kuat
mengabaikan kesempatan ujiannya dan mengulang semester depan karena dia selalu
ingat kalimat “The Road Not Taken”… Karena dia yakin persahabatannya dengan Riko
adalah sebuah kebenaran yang penting untuk dibela… Meskipun itu adalah jalan
sunyi yang jarang diambil orang lain..
Two roads
diverged in a wood, and I…
I took the one
less traveled by,
And that has
made all the difference
Adam mengulang
puisi itu di dalam kepalanya. Ini tidak sulit, Dam. Ini mudah saja, Dam. Ini semudah pengambilan keputusanmu sebelum-sebelumnya. Pilih yang orang lain
akan mengernyitkan alis sambil menolaknya mentah-mentah, Dam.
“Selalu pilihlah
yang menyelisihi hawa nafsumu. Dam…” DEGGH. Adam tersentak. Ya, kalimat itu. Itu adalah sebuah
kalimat yang sering diulang Bang Ari, kakak pertamanya.
Adam
melemparkan pandangannya ke danau. Tampaknya ini rencana Allah yang paling baik
untuk dirinya. Dia, seperti biasa, hanya harus menjalankannya dengan dewasa dan
kuat, seperti waktu-waktu sebelumnya……
Meskipun dia
tahu jalan ke depan akan sangat menantang. Dia akan memilih jalan yang terjal
sebab itu akan menjadikannya semakin dewasa.
“Eh, Rik, gue
balik yak ke rumah malem ini“ Adam memberi info kepada sahabatnya itu. “Lo
boleh kok pake aja tuh leptop gue. Kan leptop lo belom beli lagi sejak
dimaling”.
“Wah, Dam, lo
kenapa sik? Suka bengong dan jadi sering balik ke rumah. Skripsi emang kadang
bisa bikin gila yak. Ha-ha-ha” Tawa Riko membahana di undakan pinggir danau
itu. Adam hanya bisa mengangkat alisnya. Ya, betul sekali.. Adam harus memilih
jalan yang takkan dilalui orang lain…..
***
Lia melipat
sajadah dan mukenanya. Hatinya sedikit plong setelah sahalat istikharah. Lia
melihat ke jam dinding. Pukul 10 pagi lewat 10 menit. Ibunya tadi mengingatkan
bahwa calonnya akan datang selepas shalat Maghrib.
Lia duduk di
pinggir tempat tidurnya. Dia mengedip-ngedipkan matanya. Pikirannya masih
merasa kacau dalam merespons semua ini. Sebenarnya apa yang Lia takutkan? Huh,
Lia sendiri tidak tahu.
Lia berjalan ke
depan cerminnya. Dia menatap dalam-dalam sosok di hadapannya.
Kamu sebaiknya
segera membaca buku-buku persiapan pernikahan itu, Li. Lia berbicara kepada
dirinya sendiri. Matanya menoleh ke tumpukan buku yang tadi dibawakan Mba Aina.
Dia memang pernah membaca beberapa judulnya sekilas tapi belum pernah mendalam.
Lia mengambil
sebuah buku dan membuka halamannya. Judul buku itu membuat Lia mengernyitkan
dahi. “Kado Pernikahan Sejati”. Tapi tidak berapa lama, lembar demi lembar buku
itu dibaca Lia dengan sangat serius. Matanya menelusuri setiap kalimat yang
tertera pada buku itu.
Satu jam kemudian
Lia jatuh tertidur di antara buku-bukunya. Di dalam mimpinya Lia
melihat sosok suaminya. Lelaki itu terlihat tampan dan sangat manis sekali.
Lia menatap lekat-lekat lelaki itu. Lelaki itu melemparkan senyum kepada Lia. Tapi
kenapa dia berjarak jauh sekali sih, Lia berjalan mendekati sosok itu. Tiba-tiba
sosok itu terhapus angin saat Lia menghampirinya…..
***
“Mamaaa…Assalamualaikum…
Ma? Mamaaaa, Adam pulang nih…. Ma…?” Adam membuka pintu rumahnya. Rumahnya
tampak kosong. Mamanya mungkin sedang di luar rumah. Adam menghempaskan dirinya
di sofa. Dia memandang langit-langit rumahnya. Adam memperhatikan sudut-sudut
rumahnya. Rumah mereka ini tidak pernah direnovasi. Mamanya selalu mendahulukan
kepentingan sekolah anak-anaknya. Jika ada keuntungan dari toko selalu
dijadikan tabungan pendidikan bagi Adam dan abang-abangnya. Glek. Adam menelan
ludah. Itu salah satu alasan terbesar kenapa lo ga boleh mengecewakan Mama
dalam perjodohan ini, Dam.
“Adaaaam! Kok
ga ngucapin salam sih. Mama lagi di dapur tadi. Ayo ayo mandi deh buruan sekarang.
Kita mau ke Depok sekarang. Bang Tio ga bisa datang karena ada kerjaan. Bang
Ari udah Mama kontak katanya dia kirim salam semangat. Dam, ayo ayo.” Mama Adam
berjalan hilir mudik di hadapan Adam.
Kedua kakak
Adam memang sudah menikah. Bang Tio sudah memiliki 2 orang putri dan Bang Ari
sudah memiliki seorang putra. Keduanya tinggal di luar kota.
“Depok? Adam
kan baru dari sana, Ma. Masa Adam balik lagi ke kosan.” Adam memutar bola
matanya. Dia beranjak ke kamar. Tetapi Mama Adam segera memegang lengannya.
“Eits, bukaaan. Bukan ke kosan kamu lah, tapi ke rumah calon kamu. Dia kan
tinggalnya di Depok”
Adam menelan
ludah. Dia baru sampai dan langsung harus menerima kenyataan : dia akan bertemu
calon istrinya. Iya, perjodohan ini mulai bergerak, sodara-sodara.
“Ayo ayo ini
Mama udah siap-siap, Dam. Kita shalat Maghrib di jalan aja ya Dam. Jadi ke sana
sampainya selepas Maghrib biar ga kemaleman. Nah, kamu sekarang buruan mandi.
Aduh bau asem bener deh kamu, Dam” Mama Adam setengah mendorong punggung Adam
menuju kamar mandi.
“Bentar, Ma.
Adam mau bilang sesuatu..” Adam berbalik menatap Mamanya. ”Apaaa, Dam?” Mamanya
tampak tidak sabaran. ”Mama bahagia kah kalau Adam berjodoh dengan perempuan ini?”
Mamanya
tersenyum lama lalu memeluk Adam “Mama bahagia banget, Dam, kalau kamu berjodoh
dengan dia” kalimat dari Mamanya memasuki relung hati Adam. Dia tahu dia selalu
bisa melakukan apapun selama Mamanya bahagia.
Adam tersenyum
kepada Mamanya “Iya, Ma, Adam siap-siap dulu. Malam ini kita ke rumah dia ya?”.
Mama Adam menatap Adam “Makasih ya Dam.”
***
Adam sudah
bersiap-siap. Dia mengenakan kemeja terbaiknya. Sepertinya ini kemeja yang dia
pakai setiap hari saat internship di perusahaan pada tahun lalu.
“Bip..bip..”
suara tanda chat masuk ke ponsel Adam. Adam membukanya. Dari Bang Ari, kakak
pertamanya yang sekarang tinggal di Australia.
“Dam, Abang
mendoakan Adam dari sini ya. Percaya sama Mama ya Dam. Dari dulu Mama selalu
bekerja keras demi kebahagiaan kita semua. Abang turut berbahagia kalau Adam
akan menikah. Menikah itu sebuah ibadah, Dam. Dia membuat hidupmu menjadi penuh
kebaikan tiada henti. Yang semangat ya Dam.”
Adam membaca
pesan dari abangnya itu dengan sebuah perasaan haru. Bang Ari benar, Mamanya
selalu menomorsatukan anak-anaknya. Hampir tidak pernah Mama Adam memberikan
saran atau keputusan yang tidak berlandaskan kepentingan dan kebahagiaan
anak-anaknya.
Adam sekali
lagi menatap bayangannya di cermin. Inilah Adam Wicaksana, calon suami. Wake
up, Dam. Take this responsibility with all your good effort as usual. Adam tahu
dia menapaki jalan yang benar.
***
Matahari
tergelincir di kaki langit. Sedikit demi sedikit sinarnya redup lalu hilang di
ufuk barat. Kesibukan tampak mulai meningkat di rumah Lia. Ibu Lia merapihkan
ruang tengah rumahnya.
Lia dan
kakak-kakaknya menggeser sofa dan menggelar karpet. Sepertinya ini akan muat
menampung keluarga si calon suami Lia. Ah, calon suami. Just face it, Nurlia. You’ll
be someone’s wife soon. Lia tersenyum getir. Sepertinya ini jalan yang Allah siapkan
untuknya. Dia tinggal menapakinya dengan kuat.
“Heh, bengong
aje” Mba Isti menepuk pundak Lia. “Li, jangan khawatir yak. Ayah sama Ibu ga
akan berniat mencelakakan anaknya. Gue yakin calon suami lo itu laki-laki baik. Malah mungkin
gue akan minta dia bawa temen-temennya. Siapa tau ada yang berjodoh kan sama
gue?” Mba Isti menyikut Lia. Lia tersenyum
“Iya Mba, Lia minta maaf yah kalau
harus melangkahi Mba Aina, Mba Isti dan Mba Mirna. Tapi semoga ini pembuka
jalan ya Mba. Lia sayang banget sama Mba Isti” Lia memeluk kakaknya itu dengan
erat-erat.
“Cup…cup…gue
juga sayang lah sama lo, Li. Udah, udah, ayo kita semangat ya Li, Ayah sama Ibu
sejak ikut pengajian jadi banyak perbaikan kok. Ya salah satunya ini.
Mencarikan jodoh buat anak-anaknya, ya kan?” Mba Isti melemparkan senyum kepada
Lia.
Derit sebuah
mobil terdengar dari luar rumah Lia. Suara pintu mobil dibuka dan
langkah-langkah kaki terdengar jelas. Jantung Lia seolah berhenti saat bel
rumahnya dipencet oleh seseorang.
“Ting-tong!”
-bersambung-
2 Tanggapan untuk "Senarai Part 2"
mbak, ceritanya baguuuus..
saya suka, saya suka... part 3 nya mana?
duh, jadi penasaran nih.. hehe
Jantungku juga seolah ikut berhenti dey degdegan hihihi
Posting Komentar