Adam menatap Mamanya melalui kaca
spion. Perjalanan ke Depok kali ini terasa lebih mendebarkan bagi Adam. Berkali-kali
dia menatap lurus jauh ke depan setir mobilnya. Kepalanya dipenuhi pertanyaan. Apakah gadis itu cantik? Apakah gadis itu
seorang yang pintar memasak? Ah, cetek sekali kau Dam, memandang istri dari
kebisaannya memasak. Adam melirik Mamanya lagi. Ada senyum tipis tergambar di wajah Mama sejak mereka berangkat tadi.
“Ma, ibunya gadis ini sahabat
Mama dari kapan Ma?” Adam bertanya iseng. Mama menoleh kepada Adam. “Sahabat
Mama dari SMA, Dam. Mama sama dia selalu bergantian juara umum di sekolah. Eh,
kok bilangnya gadis itu sih? Lia, Dam. Nurlia namanya.” Mama melemparkan pandangan
sebal. “Oh…Lia. Iya, Lia namanya.” Adam fokus kembali pada kemudi mobilnya.
Jalanan tol lingkar luar Jakarta tumben sekali lancar malam ini.
“Eh, Dam, kamu ga apa-apa kan
beneran dijodohin?” Mama melemparkan pandang penuh harap kepada Adam. “Iya, Ibu
Sarimulia Idham.” Adam menyebut nama lengkap Mamanya. Nah, kalau Adam sudah
menyebut nama lengkap itu antara dia kesal atau pasrah. Mama tersenyum menatap
langit indah malam hari. Sederet rencana sudah menari-nari di benaknya.
***
Mobil itu berbelok di sebuah
perumahan. Adam memperhatikan komplek itu. Sebuah komplek yang belum pernah dia
singgahi selama berkuliah di Depok. Depok luas juga ternyata. “Nah, yang itu,
Dam, rumahnya yang nomor 86. “ Mama Adam menunjuk ke ujung tikungan. Adam menghela
nafas. Ya, ini dia, Dam.
Sebuah rumah asri dua lantai berdiri di
pojok jalan itu. Adam menghentikan mobilnya perlahan. Dia menoleh kepada Mama. “Okeh,
Ma. Let’s go.” Mama tersenyum, “Kamu ga akan menyesal, Dam. Lia akan menjadi
istri yang baik buat kamu.” Adam menjawab singkat “Iya, Ma.”
Mereka keluar dari mobil. Adam
memperhatikan rumah itu. Halamannya dihiasi sebuah pohon mangga yang kokoh
berdiri. Mama Adam memencet bel.
“Ting-Tong!” Suara bel berbunyi
nyaring. Pintu terbuka, seorang perempuan berdiri di sana. Tersenyum kepada
Adam dan Mama. Adam menebak inilah yang dinamakan Lia. Gadis manis, berlesung
pipi, memakai jilbab, tersenyum di hadapannya.
Seorang perempuan lainnya keluar
menghampiri pintu, “Sari! Sini-sini ayo masuk!” Mama Adam langsung menghambur
ke pelukan perempuan itu, “Astuti!! Assalamualaikum. Masya Allah. Masya Allah.
Akhirnya kita ketemu lagi ya“
***
Lia terpaku di depan pintu. Tadi
keluarganya semuanya kompak menyuruhnya yang membukakan pintu. Sambil tersenyum
seperti menyambut tamu biasa, Lia membuka pintu rumahnya.
Dua sosok berdiri di hadapan Lia.
Seorang perempuan paruh baya berkerudung merah tersenyum kepada Lia. Hati Lia
mengatakan ini pastilah Mamanya Adam. Lia melirik ke sosok satunya lagi. Ini
dia. Ini pasti yang namanya Adam Wicaksana. Mereka beradu pandang. Adam lalu
membuang pandangannya ke arah lain. Lia menelan ludah. Adam tampak dewasa.
Wajahnya putih dengan alis hitam dan tebal. Bibirnya tipis. Ah, Lia buru-buru
beristighfar.
***
Sudah setengah jam Adam berada di
rumah itu. Dari tadi Ayah Lia mengajaknya mengobrol tentang banyak hal. Adam
menceritakan kesibukannya menyelesaikan skripsi dan menjadi asisten peneliti
dosennya. Mama Adam tampak sumringah bersama Ibu Lia. Mereka asyik bercerita
tentang berbagai hal.
“Ehem. Kita mulai saja ya.” Suara
Ayah Lia terdengar mengumpulkan perhatian dari semua yang hadir. “Assalamualaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh. Alhamdulillah kita bisa dipertemukan pada
kesempatan yang indah ini. Saya selaku ayahnya Lia, Prasojo Widagdo dan ini
istri saya, Astuti, ingin mengucapkan selamat datang kepada Ibu Sarimulia dan
Adam yang telah hadir jauh-jauh ke sini.” Ayah Lia menatap kepada Adam dan
mamanya.
“Kami keluarga besar menyambut
baik kehadiran Ibu Sari dalam rangka melaksanakan rencana penyatuan kedua
anak-anak kita dalam sebuah pernikahan.” Ayah Lia melanjutkan, “Alangkah
bahagia kami sebagai orang tua Nurlia Paramita mendapatkan kesempatan
menikahkan anak kami dengan ananda Adam yang berasal dari keluarga yang telah
kami percaya.”
Kalimat demi kalimat teruntai
dari Ayah Lia. Adam duduk mendengarkan dengan seksama. Lia menunduk memandangi
buku-buku jemarinya. Ayah Lia memperkenalkan satu per satu anggota keluarga.
Mama Adam juga memperkenalkan Adam dan kakak-kakaknya yang tidak bisa hadir.
“Lia, silahkan kamu ke ruangan
sebelah sama Adam dan Mamanya.” Kalimat barusan dari Ayah Lia membuat Lia
panik. Hah, ngapain ke teras sih. Disini aja kan bisa. Kebiasaan panikan Lia
mulai muncul.
Sebuah suara terdengar di samping
Lia, “Lia, ayo.” Itu suara Adam. Lia menelan ludah, glek. Dia mau diapain kah di
teras. Lia bangkit dari kursinya
***
Suasana sepi menyeruak di teras
rumah Lia. Lia duduk di depan Adam dan Mamanya. Mama Adam menyapa Lia, “Lia,
kenalkan ini Adam. Tante sengaja minta waktu sedikit di sini supaya lebih
tenang dan fokus. Semoga Lia mengerti ya.”
“Iya, silahkan dilanjutkan Tante.”,
Lia menanggapi.
“Adam ingin minta waktu khusus
berdua mengobrol dengan Lia. Makanya ini Tante temani ya.” Adam melirik
Mamanya. Sesaat sebelum keluar mobil tadi Adam memang meminta hal ini.
“Oke, Lia. Namamu Lia kan? Jadi
kita akan menikah dalam waktu dekat. Saya secara garis besar ada 3 permintaan
buat Lia. Oke ya.” Adam mulai bernada khas seperti dirinya yang suka memimpin
rapat di kampus.
Lia menatap Adam, “Oke.”
“Pertama, saya ingin Lia membaca
buku-buku spesifik tentang bagaimana menjadi istri. Kedua, saya ingin selepas
pernikahan, kita langsung mengontrak. Nanti saya yang carikan di dekat kampus.
Ketiga, saya ingin Lia tidak jatuh cinta sebelum pernikahan kepada saya.” Mama
Adam mendelik kepada putranya demi mendengar kalimat terakhir itu.
“Dam!” Mama Adam menyikut
putranya saking kagetnya. Apa-apaan sih si Adam ini. Bukannya akan semakin
mudah kalau Lia jatuh cinta kepadanya sebelum pernikahan. Duh, Adam, Adam. Kok
jadi 180 derajat sih bedanya. Di depan Lia kok dia jadi galak kaya di kampus
sih. Ini kan bukan lagi ospek.
“Maksudnya saya ga ingin kita
banyak-banyak ketemu sebelum pernikahan. Lia fokus saja pada permintaan saya.
Oiya, fokus juga pada ospek, oke? Saya ga mau Lia ketinggalan salah satu dari
banyak acara penerimaan mahasiswa baru hanya gara-gara pernikahan ini. Pernikahan ini cuma
satu dari sekian banyak titik kehidupan. Lia harus tahu hal itu” Adam sama
sekali tidak menatap Lia saat berbicara. Lebih banyak menatap ke arah lain.
Lia seolah terpaku di kursinya.
Aneh amat sih orang ini. Belum apa-apa udah bossy. Lia membuka suaranya, “ Oke.
Saya paham kok.”
“Oke. Kita ketemu di hari H pernikahan
ya, Nurlia Paramita.” Adam bangkit dari kursinya.
***
Lia terbaring di tempat tidurnya. Adam dan Mamanya sudah pulang sejam yang lalu. Kalimat-kalimat Adam terngiang-ngiang di benak Lia. Sebenarnya apa sih dia itu. Bossy betul lagaknya. Kirain mau memperkenalkan diri secara baik-baik. Apa karena dia kakak kelas di jurusan makanya dia belagak seperti itu.
Argggh. Lia malas membayangkan
menghabiskan hidup bersama orang seperti itu. Lia menutup wajahnya dengan
bantal. Tapi, wajah Adam muncul di benak Lia. Sebenarnya dia memiliki wajah
yang sempurna. Ganteng kalau kata Mba Isti. Kharismatik kalau kata Mba Aina.
Cool kalau kata Mba Mirna. Pasti ketiga kakak Lia sengaja memberi kesan positif
selepas acara tadi.
Cool dari mananya, sih? Terlalu
to the point dan ga ada manis-manisnya. Lia cemberut menatap langit-langit
kamarnya. Kapan sih terakhir dia bertemu dengan laki-laki manis?
Ah, Lia tiba-tiba ingat Kak
Iqbaal. Kak Iqbaal itu tuh contoh laki-laki yang manis. Selain manis dia juga
perhatian sama Lia. Pikiran Lia pun melayang di antara kenangan-kenangan masa
lalu.
***
1 tahun yang lalu
“Lia!” Sesosok lelaki memanggil
Lia yang hendak masuk ke perpustakaan. Lia menengok. Kak Iqbaal tersenyum pada
Lia.
“Eh, Kak Iqbaal. Ada apa ya, Kak?”
Lia berusaha menahan debar di hatinya. Bagaimanapun dia gadis normal. Kak
Iqbaal ini sering disebut-sebut sebagai pangeran paling tampan di seantero
sekolah.
“Ini untukmu, Li.” Iqbaal
mengulurkan satu set drawing pen. Lia terbelalak kaget, “Kak! Ini kan G-Pen!
Waaaaah! Kak Iqbaal dapet dari mana? Ini untuk Lia?”
Kak Iqbaal tertawa demi melihat
reaksi Lia, “Iya, Li. Papaku habis dinas luar negeri dari Jepang. Aku titip
minta dibelikan G-Pen. Kamu suka menggambar, kan?”
Tangan Lia terulur menerima satu set pulpen
mahal itu. Dia menatap Kak Iqbaal. Duh, ini orang kenapa bisa tau sih kalau Lia
suka gambar komik.
“Terusin ya, Li. Gambar-gambar
kamu bagus lho. Kedepannya kamu bisa jadi komikus yang menyebarkan ajakan
kebaikan. Apalagi komik kamu tentang berjilbab. Kudengar banyak adik kelas yang
pakai jilbab karena komik itu.” Kak Iqbaal tersenyum pada Lia.
Lia diam menatap pulpennya
dalam-dalam. Satu set pulpen ini adalah hal yang dia idamkan sejak dulu. Kak Iqbaal
ini jangan-jangan suka padaku nih, Lia mulai berhalusinasi.
“Aku pergi dulu ya, Li. Jangan
lupa pulpennya dipakai. Jadi komikus itu berat, makanya aku bantu kamu tuh
pakai G-Pen.“ Senyuman terukir di wajah Kak Iqbaal.
“Terima kasih banyak ya, Kak? Ini
sangat-sangat berarti buat Lia.” Lia malu sekali mengucapkannya tapi akhirnya
keluar juga kalimat itu. Fuh, ini cuma pulpen. Ayolah, Lia. Ini cuma pulpen.
Lia menatap Kak Iqbaal yang masih
berdiri di hadapannya. “Kamu juga kok Lia, sangat berarti.” Kalimat barusan
membuat Lia ingin terbenam tak muncul-muncul lagi. Hah, apa barusan kata Kak
Iqbaal? Lia berarti? Buat siapa? Berarti buat Kak Iqbaal kah?
Lia mengecek ke dalam hatinya.
Gawat, Nurlia. Gawat sekali ini. Kamu wajib panik. Sesuatu telah tercipta di
hatimu. Semoga bukan cinta, Nurlia. Karena kamu telah berjanji pada dirimu
sendiri untuk tidak mencintai siapapun sampai bertemu jodohmu nanti.
Matahari terik menyengat di
langit siang. Dua anak SMA masih berdiri mematung di depan perpustakaan. Lia
memegang set pulpen itu erat-erat. Kak Iqbaal mengamati Lia , dia tahu Lia sosok
yang agamis dan tidak menyukai ide pacaran. Bukan tanpa alasan dia memberikan
satu set pulpen itu. Papanya marah-marah demi mendengar permintaannya mencari
G-Pen di tengah dinas luar negerinya.
“Sekali lagi makasih ya, Kak. Lia
masuk dulu. Ada kerja kelompok di perpustakaan.” Lia masuk ke perpustakaan.
Tanpa Lia sadari, sosok Iqbaal masih berdiri menatap Lia dari kejauhan. Hatinya sudah jatuh kepada gadis itu.
***
“Kamu tadi apa-apaan sih, Dam?
Kok bisa-bisanya galak sama anak orang gitu. Ih, ampun banget, Dam. Kamu tuh
ya, ini kan bukan lagi di kampus. Ngapain galak kaya tadi? Awas aja kalau Lia
ngambek dan mundur dari perjodohan ini, kamu Mama slepet lho Dam” Mama Adam
merepet panjang di perjalanan pulang mereka.
Adam tersenyum diam-diam. Dia
memang sengaja memberikan permintaan tadi kepada Lia. Gadis itu harus serius
kalau mau menikah dengannya. Galak apanya, di kampus saat memimpin rapat, Adam
malah sering menggebrak meja.
“Ma, tenang aja, oke? Gadis itu
sepertinya bukan gadis yang cengeng kok. Lagian yang Adam minta semuanya betul,
kan? Dia harus berilmu sebelum jadi istri. Makanya Adam minta untuk baca
buku-buku tentang jadi istri. Terus permintaan langsung pisah rumah juga
wajar-wajar aja. Adam butuh lingkungan yang leluasa buat mengenal gadis itu.
Permintaan terakhir juga sederhana kok, Ma. Adam malas bertele-tele pertemuan
sebelum nikah. Yang langsung-langsung aja, Ma” Adam menjelaskan sambil terus
menyetir.
Mama Adam cemberut menatap putra
bungsunya. Adam memang punya sisi galak yang suka dia tampilkan kepada orang
yang baru dia kenal. Entah karena apa. Adam-nya suka sekali memainkan emosi si
lawan bicara. Ah, semoga Lia tidak mengambil hati gaya bicara Adam tadi.
“Dam, tapi tadi kamu gimana pas
liat Lia?”
“Gimana apanya, Ma?” Adam melirik
Mamanya. Mulai deh pasti nih. Mulai aneh-aneh deh Mama. Huft.
“Cantik, kan? Lia cantik kan,
Dam?”
“Ya cantik lah Ma, namanya juga
perempuan. Kalau Adam baru nih ganteng. Ha-ha-ha” Tawa Adam membahana di kabin
mobil mereka.
“Ih, anak ini. Yaudah pokonya
kamu serahin aja sama Mama, oke, Dam? Mama sama Tante Astuti akan mulai
siap-siapin persiapan nikahan. Kamu duduk anteng aja tunggu panggilan fitting
baju, oke?”
“Oke, Ma. Eh, Adam ga mau ya ada
pemotretan pre-wedding. Awas aja yah, Ma. Tengsin lah, masa Adam udah bilang
jangan jatuh cinta eh tiba-tiba ketemuan buat foto. Ngga usah ada pokonya. Titik.”
“Tuh kaaaan. Mama bilang juga
apaaa. Jangan galak-galak. Nyesel kan ga bisa ketemu Lia lagi sampai hari H.
Iyaaa deh iyaaa, ga akan ada pemotretan pre-wedding kok, Dam. Kan Om Pras dan Tante
Astuti juga tipe-tipe yang alim gitu, Dam. Pasti ga akan mau-lah anaknya
nempel-nempel difoto sama yang belum halal.”
Adam tersenyum mendengar
perkataan Mamanya. Mobil terus bergerak menjauh dari Depok. Malam semakin
larut. Sebuah takdir mulai bergulir melibatkan Lia dan Adam sejak malam ini.
-bersambung-
1 Tanggapan untuk "Senarai part 3"
Deaaaaaa... Seruuuu, Aku sukaaaaa, ceritanya ngalir. Terus yg berkesan banget tentang G-pen, kok kamu tau Deeyy tentang G-pen hahahha.. kereenn, kamu riset2 dulu gitu yah? Hehehehe
Posting Komentar