What If Our Parents is a Toxic Parents?



Bagi saya menjadi orang tua adalah sebuah perjalanan panjang yang penuh lika-liku. Melahirkan dua anak tidak otomatis menjadikan saya orang tua yang terlatih. Buat saya kurangnya pengetahuan tentang menjadi orang tua menjadikan saya cukup tertatih-tatih dalam menjalani perjalanan menjadi orang tua ini.

Tidak jarang di tengah perjalanan tersebut saya menyadari beberapa hal yang terkait masa kecil saya saat menjadi anak. Saya mengingat-ingat bagaimana pola asuh orang tua saya terhadap saya. Secara tidak sadar pola tersebut sering saya terapkan saat menjadi orang tua. Sayangnya tidak semua pola itu adalah pola pengasuhan yang baik.

Hari-hari mengasuh kedua putra saya sering sekali saya rasakan berat. Adaptasi yang tidak begitu mudah membuat saya belajar dari nol menjadi seorang ibu yang membersamai anak-anaknya di rumah. Hal ini semakin kental saya rasakan sebab saya masih tinggal seatap bersama Ibu saya yang notabene sejak dulu hingga sekarang masih aktif menjadi ASN.

Kadang-kadang saat hari terasa melelahkan dan berat sekali, saya sering merasa down, biasanya karena saya merasa overwhelmed oleh tingkah anak-anak, beberapa pertanyaan mencuat di kepala saya. Apakah saya tidak bisa lebih baik lagi dalam menjadi orang tua? Apakah saya termasuk ke dalam golongan toxic parents? Apakah ibu saya termasuk ke dalam golongan toxic parents? Bagaimana cara memutus lingkaran ini?

Menurut definisi yang dirilis oleh laman parentsadvice.com, toxic parents didefinisikan sebagai orang tua yang memiliki tingkah laku negatif yang mengakibatkan kerusakan emosional dan mengganggu kepribadian putra-putri mereka.  

Beberapa halaman daring lainnya memberikan penjelaskan yang lengkap mengenai tanda-tanda dari toxic parents. Intinya adalah orang tua yang belum selesai dengan diri mereka sendiri. Seketika itu pula saya jadi mengingat diri saya sendiri. Saya kah itu? Belum selesaikah saya dengan diri saya? Mengapa?

Toxic parents memiliki masa kecil yang tidak lengkap, rumit, terpotong, atau berkonflik. Hal ini menyebabkan ketika mendewasa mereka tidak siap untuk menerima peran sebagai orang tua. Salah satunya adalah ketika dibenturkan dengan kebutuhan penerimaan, kebutuhan keberhargaan diri, dan kebutuhan-kebutuhan psikologis lainnya, toxic parents memiliki permasalahan dalam hal ini.

Lalu, bagaimana dengan diri saya sendiri? Saya menemukan beberapa tanda toxic parents yang pernah saya lakukan. Sejujurnya hal ini membuat saya sedih dan tidak menerima dengan keadaan ini. Tapi saya ingat bahwa langkah awal memperbaiki sesuatu yang rusak adalah dengan menerima adanya kerusakan itu.

Hmm. Saya jadi introspeksi bagaimana pola tingkah laku saya dengan ibu saya. Hal ini mudah diamati karena memang kami masih seatap hingga saat ini. Saya dan suami memang tinggal bersama ibu saya yang sudah sendirian.

Beberapa hal langsung terlihat jelas sekali. Ibu saya memiliki pola-pola komunikasi yang dijelaskan sebagai tanda-tanda toxic parents. Lalu jika seperti ini keadaannya bagaimana cara kita menerima hal tersebut?

Pertama, usahakan tinggal terpisah dengan orang tua atau mertua. Orang tua yang bijaksana akan mendidik anak-anaknya untuk dewasa dan mandiri. Kemandirian seorang anak adalah saat dia mampu mengelola kehidupannya sendiri.

Kedua, jika belum mampu tinggal terpisah dari orang tua, perbaikilah pola komunikasi dengan orang tua. Dalam sebuah buku yang berjudul “Bunda, Maafkan Aku” disebutkan mengenai cara menyelesaikan konflik dengan orang tua :

Jika kita benar dan mereka benar, maka teknik yang bisa digunakan adalah teknik musyawarah. Dalam musyawarah, salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah mengalah. Orang tua atau anak harus mengalah sehingga persoalan bisa berangsur reda.

Jika kita salah dan orang tua benar, maka teknik yang harus digunakan adalah meminta maaf dan memohon ampun kepada Allah. Apalagi bila kesalahan yang kita lakukan merupakan kesalahan besar yang berakibat pada kerusakan yang besar pula. Sayangnya, seringkali kita sebagai anak serng terjebak nafsu amarah terlebih dahulu.

Jika kita benar dan orang tua salah, maka teknik yang bisa digunakan adalah teknik cooling down yaitu mendiamkan masalah terlebih dahulu agar mereda. Carilah jalur solusi-solusi lain. Ingatlah bahwa bagaimanapun salahnya mereka tetap orang tua kita. Berkomunikasilah dengan baik.

Lalu, bagaimana saya sendiri dengan ibu saya? Lebih seringnya kami merasa sama-sama benar. Atau kadang-kadang saya merasa ibu saya yang salah. Latar belakang ilmu psikologi saya sering membawa saya memahami kondisi ibu saya. Mengapa ibu saya acapkali menjadi gambaran riil dari toxic parents, saya paham betul alasan-alasannya.

Ibu saya diasuh oleh neneknya sebab ibunya ibu saya melahirkan adik ibu dengan jarak berdekatan sekali. Nenek ibu saya adalah sosok yang kaku, sangat kolot, sehingga nyaris ibu saya selalu dididik dalam keadaan penuh hardikan. Satu kali ibu saya pernah bercerita bahwa untuk membaca buku saja ibu saya harus sembunyi-sembunyi di kolong ranjang.

Maka buat saya pribadi, hidup seatap bersama ibu saya berarti satu lagi kesempatan emas dari Allah untuk mengasuh anak-anak saya, diri pribadi, sekaligus mengasuh ibu saya. Ya, sekarang-sekaran ini saya lebih sering menganggap ibu saya adalah sosok yang juga wajib saya asuh.

Masa kecil ibu saya yang diabaikan, ditinggalkan, diasuh dengan keras, lalu perjuangannya menjadi orang tua tunggal, menyisakan banyak sekali guratan luka pada batinnya. Saya pun merasa sebagai anaknya bahwa hal tersebut sedikit menurun kepada saya.

Lalu apa yang harus kita lakukan saat kita menyadari bahwa kita memiliki luka batin akibat toxic parents?

Pertama, menurut saya pribadi kita harus berani “menyentuh” luka batin itu. Luka fisik memang mudah karena terlhat jelas. Bagaimana cara menyentuh luka batin? Hadapilah dengan tenang. Anggap ini tujuan kita dihidupkan, untuk menghadapi luka batin ini dengan gagah dan dewasa.

Kedua, menurut saya, kita harus mengambil langkah-langkah solutif, misalnya dengan menganggap orang tua kita batu atau pohon saat mereka mulai mengeluarkan toxic thoughts kepada kita. Diamlah dan non-aktifkan semua emosi. Terimalah semua yang mereka katakan karena setiap perkataan mereka tidak mendefinisikan siapa diri kita. Kitalah yang mendefinisikan siapa kita.

For all my readers

Ketiga, luka batin memang akan selalu meninggalkan bekas. Terimalah bekas itu dengan tenang dan lapang dada. Setiap sesuatu ada maksudnya. Termasuk memiliki orang tua yang menjurus kepada toxic parents juga pasti ada hikmahnya. Tetaplah berfokus pada Allah pemilik kehidupan.

Semoga seperti apapun orang tua kita tidak mematahkan semangat kita menjadi orang tua terbaik bagi anak-anak kita. Ingatlah, perkataan dan perbuatan orang tua kita tidaklah mendefinisikan siapa kita. Tetap semangat bagi teman-teman yang memiliki orang tua yang “unik”. 

“Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi Petunjuk dan Penolong.” (Qur’an Surah Al-Furqon ayat 31)

Postingan terkait:

4 Tanggapan untuk "What If Our Parents is a Toxic Parents?"

kazaizafa mengatakan...

sedih banget mba, mau baca buku sampai ngumpet di kolong ranjang. hiks hiks hiks...
semoga sehat-sehat selalu yaaa untuk semua ibu.

Julia Amrih mengatakan...

Salah satunya bisa dengan memaafkan diri sendiri ya Mba'. Semoga kita bisa senantiasa memberikan yang terbaik untuk anak-anak kita. Thanks for sharing Mba'. :)

Asti Wisnu mengatakan...

harus berani 'cut the chain' ya mbak kitaaa...

nadhillahhehe mengatakan...

Semangat mbaa, sukses selaluu! makasi banyak sudah sharing ya mba

Comment