Ghost In The Nursery


note 1 : Tulisan  ini dibuat untuk memaparkan apa yang saya rasakan, sama sekali tidak ingin menyudutkan pihak-pihak tertentu dalam kehidupan saya.

Suatu malam saya lagi iseng-iseng stalking facebook seorang teman, dia juga seorang ibu muda. Pada laman facebook-nya saya menemukan artikel blog milik Amel ini (Baca: Ghost In The Nursery | Life In Mono).

Saat awal liat judulnya, saya kirain tentang hantu-hantuan karena ada kata “Ghost” ternyata itu hantu yang menghantui hubungan anak dan ibu sehingga jadi memburuk. Buruk sekali....

Saya menangis tersedu-sedu saat sampai di ujung artikel itu. Ada sesuatu yang luar biasa yang saya rasakan. Bukan kesedihan. Tapi semacam perasaan kelegaan..

1.Saya lega mengetahui apa yang saya rasakan juga ada yang merasakan
2.Saya lega mengetahui apa yang saya rasakan ternyata ada namanya

Ya. Namanya adalah Ghost In The Nursery.

Berikut saya kutip penjelasan dari artikel blog tersebut:

Sekelompok psikiater (yang saya sebut namanya di atas), pernah melakukan penelitian rentan hubungan bayi dan ibunya. 

Menurut mereka, hubungan bayi-ibu yang gagal dimotivasi oleh hantu-hantu yang datang dari masa lalu si ibu. Masa lalu yang dipendam, seolah-olah hilang dari kehidupan si ibu. Masa lalu yang masih menjadi masalah dan belum terselesaikan.

Hantu-hantu itu, adalah orang-orang di sekitar si ibu, terutama yang terlibat dalam pengasuhan si ibu, dulu. Dan, hantu-hantu itu berkonflik dengan si ibu.

Begitu si ibu melahirkan, hantu-hantu itu muncul dan mengganggu pembentukan bonding antara ibu-bayi.

Kenapa muncul pada saat sang ibu melahirkan?

"Pada saat perempuan melahirkan dan menopose, jiwanya goyah," kata Elly Risman. Itu yang menyebabkan lebih mudah bagi para hantu untuk muncul. “

Ya. Saya merasa apa yang dirasakan oleh Amel, penulis blog itu, adalah apa yang saya rasakan beberapa waktu ke belakang.

Saya menangis, menangis luar biasa hingga ingin membangunkan suami yang sudah tertidur. Saya ingin memberitahunya bahwa apa yang saya rasakan ternyata ada namanya. Ya, saya sangat merasa tertolong.  

Seperti Amel, saya juga sempat dan sesekali masih merasa harus pergi ke Psikolog. Beberapa kali di saat anak saya masih berusia di bawah 6 bulan, pikiran-pikiran buruk mendatangi saya. Ingin minggat, ingin menjatuhkan anak, ingin meninggalkan anak di bak mandi, dan pikiran-pikiran sejenisnya.

Saya pun sempat berteriak-teriak kepada anak saya saat dia menangis minta disusui. Kelelahan saya seperti tidak berujung.

Amel lebih beruntung dari saya, dia menemui Elly Risman, seorang psikolog keluarga untuk membantu kasusnya. Tapi sedikit banyak saya jadi banyak berkaca dari ceritanya. Bahwa kasus saya juga pengaruh dari pola asuh yang saya rasakan.

Saya menangis saat membaca bagian interaksi Amel dan ibunya.

Saya menangis semakin kuat saat membaca tentang ayah..

Ibu saya juga memiliki kecenderungan untuk mengkritik atau mencela saya dari sisi fisik. Seperti “Kapan sih kamu mau kurus?” atau "Baju itu nggak cocok dipakai kamu. Kamu nggak punya selera yang bagus dalam milih baju". Beliau juga terus  menerus melarang saya makan yang malah berakibat saya semakin ingin makan banyak-banyak untuk membuat beliau marah,

Ibu saya orang yang sangat hangat, iya tentu saja, teman-teman saya pun mengakui bahwa saya memliliki seorang ibu yang sangat baik. Tetapi saya baru menyadari ibu saya punya kecenderungan untuk mengkritisi segala sesuatu berlebihan. Dan ibu saya pun menjadi jarang sekali mensupport secara moriil.

Seperti saat saya hamil anak saya, di usia kandungan 9 bulan, saya bertanya retoris seperti apa rasanya melahirkan seorang anak. Dan jawaban ibu saya lagi-lagi bernada mencela “Singa dan Harimau juga melahirkan. Hewan-hewan juga melahirkan bisa. Masa manusia ga bisa. Udah tenang aja nanti juga brojol. Mamah juga melahirkan gampang banget kok. Kamu juga pasti bisa”

Ibu saya orangnya baik, baiiiik sekali. Tapi beliau tidak menyadari bahwa kalimatnya yang berniat menyemangati malah menjadi sebuah jurang yang menjatuhkan saya. Jatuh. Jatuh ke kedalaman saya yang teramat dalam…

Sekali lagi saya katakan ibu saya sangat baik, sangat teramat baik, Saya mencintainya. No doubt. Tapi baru saya sadari, mungkin hal-hal yang saya rasakan bersama anak saya bisa jadi juga karena sampah perasaan kecewa terhadap kritik terus menerus dari ibu saya yang saya tumpuk

Sampai sekarang ibu saya memiliki kecenderungan yang sangat tinggi untuk mengkritik saya di segala hal. Setiap saya sampaikan keluhan bahwa beliau terlalu mengkritik pun maka beliau akan bilang”Ah, kamu tuh ga tahan sama kritik. Tahan dong kalau dikritik”

Saya juga merasakan seperti yang Amel rasakan, ketakutan berlebihan saat pertama kali harus sendirian di rumah bersama anak saya setelah melahirkan. Rasanya seperti saya tidak punya ide harus melakukan apa.

Ibu saya mengatakan bahwa saya berlebihan. Suami saya menyarankan saya untuk menanyakan kepada ibu muda yang lain apa yang harus dilakukan.

Oh, sungguh, hari itu saya ingin mati saja,iya mati.

Saat waktu maghrib tiba dan ibu saya serta suami saya belum tiba dari kantor-kantor mereka,maka saya merasa habis kesabaran. Saya merasa tidak tau lagi harus melakukan apa-apa. Saya merasa linglung melihat anak saya yang masih bayi itu.

Saya bahkan mendiamkan anak saya yang menangis. Tangisann anak saya pun berubah jadi raungan. 

Meraung dengan tangis khas anak bayi baru dilahirkan. Cempreng dan melengking. Saya ingat betul, saya agak membanting pinggangnya saat mengganti bedongnya karena ternyata dia menangis karena pipis.

Tetangga saya pun sampai datang ke rumah karena katanya khawatir mendengar suara tangisan bayi saya. Di hadapan tetangga saya itu, saya bilang bahwa bedong bayi saya basah dan oleh karena itu dia menangis meraung-raung. Tetangga saya pun pulang.

Tetangga saya tidak tau, bahwa ketika dia pulang, tangisan saya pun ambrol. Saya merasa tidak tau lagi mengapa saya harus merawat bayi ini. Saya merasa membutuhkan sekali suami dan ibu saya untuk pulang dari kantor..


Oh crap. Really crap…..


Ya, itu yang terjadi hari-hari pertama setelah saya melahirkan… Saya merasa sangat ketakutan jika ditinggal berdua dengan anak saya, karena saya tidak tau apa yang harus saya lakukan. Ketakutan itu sangat-sangat mengakar sampai-sampai saya ingin tiap tamu yang menjenguk saya untuk jangan pulang sampai sore tiba,

Tapi tentu itu hal yang mustahil.. Dan tiap tamu-tamu itu pulang, saya hanya bisa menatap anak saya dengan perasaan bersalah. Mengapa saya tidak bisa mencintainya dengan betul?

Saya selalu memberitahu kepada suami saya apa yang saya rasakan, seluruhnya sepenuhnya, dan suami saya memberi support dengan menawarkan untuk memberi susu formula kepada anak kami agar saya bisa tidur pulas di malam hari.

Tapi tentu saja hal itu saya tolak mentah-mentah. Saya sangat takut untuk dicap sebagai ibu yang jelek karena memberikan sufor kepada anaknya.

Duileh dea.. Padahal masa-masa itu saya teramat parah ppd-nya deh (PPD = Post Partum Depression). Hampir setiap malam saya menangis dan berteriak kepada anak saya. Ya, saya berteriak 
kepada anak bayi yang bahkan belum berumur satu tahun.

Saya terbiasa menulis, maka saya sempatkan untuk menulis. Tidak bisa atau tidak sempat buka laptop, maka saya memaksakan menulis di kertas. Saya ingat ada masa-masa dimana saya menulis surat permohonan izin untuk kabur kepada suami saya. Dan tentu surat itu mengendap tak pernah saya sampaikan kepadanya...

Ya, saya ingin kabur dari anak saya. Anak yang sejak malam pertama selalu menangis di malam hari. Anak yang sampai usia 6 bulan, selalu harus digendong kalau mau tidur. Anak yang selalu membuat saya was-was kapan dia tidur. Kapan saya bisa mandi. Kapan saya bisa tidur pulas.

Gila. Saya merasa ada yang ga beres saat itu. Untungnya suami saya tanggap dan langsung mengajak saya jalan ke toko buku untuk refreshing pada suatu hari Minggu. Saat itu anak kami berusia 4 bulan dan frekuensi marah-marah saya sudah sangat tinggi. Saya bahkan ingin sekali menindihnya dengan bantal kala dia menangis :’’( Maafin ibu, nak, I really need help a lot

Kalau diingat-ingat lagi, saya juga selalu merasa iri dengan anak saya. Oh crap, yes I envy with my own child. 

Dia memiliki ayah yang baik hatinya. Saya selalu membandingkannya dengan saya yang memiliki ayah yang-tidak-begitu-baik. Well, saya mencoba memaafkan ayah saya. Saya berkata jujur. Saya ingin mencintainya, tapi saya tidak tau caranya. Kami masih bertemu tiap beberapa bulan sekali, dan itu terasa kurang.. Saya hampir tidak pernah lagi dipeluk oleh ayah saya

Dan saya selalu menyalahkan anak saya. Saya bilang sangat menyenangkan sekali memiliki ayah yang baik dan selalu ada untuknya.. Suami saya selalu mencegah saya untuk mengulang-ulang kalimat itu. Tapi semakin saya lihat kedekatan dan kebaikan suami saya, semakin unconsciously saya merasa iri dengan anak saya.. 

Saya sungguh mencintai ayah dan ibu saya, Bukan salah mereka, mereka tidak bersatu lagi. Bukan sebuah kesalahan siapa-siapa, mereka masih saling agak membenci sampai sekarang. Karena memaafkan adalah sebuah proses yang kita tidak pernah tau kapan selesainya.

Saya sungguh mencintai ayah saya, dia berusaha keras untuk kini membahagiakan cucunya. Saya juga merasakan keinginnannya untuk bertemu saya tiap beberapa bulan sekali. T_T Sekali lagi saya katakana saya merasakan cintanya kok

Cuma kenangan-kenangan tidak nyaman saat dulu melihat ayah dan ibu saya bertengkar di depan saya dan saat ayah saya meninggalkan kami dengan mudahnya, tidak mudah untuk dianggap biasa saja. Dan tanpa sadar, saya semakin membenci anak saya karena dia memiliki ayah yang cinta, peduli, selalu ada, dan mengasuhnya sedari kecil..

Crap. Shit. 

Saya jadi ingat kenangan saat ibu saya melahirkan saya. Ibu menceritakan bahwa ia melahirkan saya tanpa kehadiran ayah saya. Hanya didampingi bidan dan adik-adiknya. Ibu saya selalu menekankan betapa kuatnya dia bisa melahirkan tanpa seorang suami dan di sisinya. Tanpa ibu saya sadari, cerita kelahiran itu mebuat saya terluka.. Bagaimana tidak, saat saya lahir tidak ada ayah saya di samping saya

Ya, hal-hal semacam itu yang secara tidak sadar menjadi bertumpuk…..Bertumpuk dalam jiwa saya
Dan seperti juga Amel, saya punya kebiasaan memilih save-mode dalam menghadapi konflik dan berusaha menghindari semua yang akan menyakitkan perasaan saya seperti kenangan dan perasaan-perasaan itu.. Bahkan itu terbawa sampai sekarang di mana saya memiliki kecenderungan untuk membiarkan orang lain menang, atau mengejek saya asalkan masalahnya selesai..  Tapi di sisi lain saat marah, saya menjadi sangat brutal

Saya sering membentak dan membanting badan anak saya ke tempat tidur. Ya, percayalah, saya sering melakukannya..

Hari-hari semenjak jadi ibu memang begitu berat saya jalani.. Tapi untungnya Allah mempertemukan saya pada blog Amel itu dan menjadikan saya jadi sadar apa yang terjadi dengan saya selama ini…
Ghost In The Nursery….

So, what I have to do now is forgive.. Begitu menurut teori dan begitu pula yang pernah tersirat saya tulis di sini (Baca : Lupa Pada Masa Lalu), saya harus memaafkan alih-alih mencoba melupakan apalagi memendam semua kenangan dan hal tidak enak yang membekas dalam diri saya

Saya harus memaafkan ayah, ibu, dan semua yang terjadi pada mereka.

Percayalah, saya pernah marah besar saat kakak ipar saya mengusulkan untuk mempersatukan kembali ayah ibu saya. Mungkin itu suatu bukti bahwa saya belum memaafkan. Atau bentuk kemarahan yang masih selalu tersisa.

Saya tau itu juga sulit diterima dan diproses oleh ayah ibu saya. Peceraian, perpisahan, konflik yang berujung hal-hal menyakitkan, semua memang sudah terjadi

Dan semua terjadi seizin Allah, Dey.. Kamu tidak perlu menunggu apapun untuk memaafkan. 

Memaafkan itu memberi ruang di hatimu  untuk percaya semua ada kebaikannya dari sisi Allah. 

Termasuk maaf dan sabarmu.

Saya sayang sekali, sayang kepada ayah dan ibu saya. Semoga saat melihat saya bukan benci karena ingat mantan pasangan yang mereka ingat, tapi ingatan bahagia masa dulu yang mereka ingat.

Jadi, saran saya untuk yang akan dan sudah menikah atau punya anak, harus mencoba juga membersihkan atau membereskan masalah-masalah dengan orang tua. 

Bisa jadi tidak kita sadari karena kita ignore begitu saja tapi cobalah untuk jujur pada diri sendiri dan mulailah memaafkan

:’)



Postingan terkait:

5 Tanggapan untuk "Ghost In The Nursery"

nanajingga mengatakan...

Deeeey...thanks for sharing :)

Semoga hatinya bisa tenang dan memaafkan yaaa. Salam buat Ksatria, yang belum pernah diketemuin :)

nanajingga mengatakan...

Deeeey...thanks for sharing :)

Semoga hatinya bisa tenang dan memaafkan yaaa. Salam buat Ksatria, yang belum pernah diketemuin :)

dea alias dey mengatakan...

Naaaa, maapkeun baru bales komennya. Makasii ya Nanaa. Salam balik dari Ksatria ;p

Uchy Sudhanto mengatakan...

Hi mbak.. salam kenal.. saya jg habis baca postingan mbak Amel dan berakhir nangis gak jelas. Kemudian googling dan ketemu blog mbak. Saat ini saya sedang hamil 7 bulan. It never been easy since the day I found that I'm pregnant. Dan semakin kacau setiap harinya. Masa kecil saya jg gak mudah. Dan ini malah bikin saya semakin ketakutan menjelang kelahiran nanti..:(

dea alias dey mengatakan...

Hi mba Uchy, saya ga bisa bilang apa-apa karena di masa-masa itu memang semua saran dan teori menguap begitu aja. Tapi di facebook ada fanpage untuk support ibu-ibu dengan sindrom baby blues dan fanpage-nya aktif,mba.. Mungkin mba bisa ke sana, nama fp nya "mother for hope" kalau ndak salah
Semoga mba Uchy menemukan kemaafan atas diri dan masa lampau ya mba.. Ga mudah tapi selalu ada jalan untuk orang-orang yang mencoba. Salam hangat dari saya untuk mba Uchy dan baby di kandungan mba Uchy :')

Comment